CINDER - ELLA

By jasendradee

1.5M 152K 12K

Bagaimana jika dua gadis kembar identik bertukar tempat untuk menyelamatkan diri dari masalah masing-masing... More

PROLOG
Part 1 - Ini Cinder dan Kafka
Part 2 - Ini Ella dan Revas
Part 3 - Rasa Yang Berbeda
Part 4 - Luka Yang Terungkap
Part 5 - Pengakuan Ella dan Ide Cinder
Part 6 - The Show Time (Cinder's Side)
Part 7 - The Show Time (Ella's Side)
Part 8 - Cinder Yang Baru?
Part 9 - Ella Yang Baru?
Part 10 - Nada-nada Kafka
Part 11 - Angin Sore Revas
Part 12 - Perjanjian Baru
Part 13 - Setelah Kemarin
Part 14 - Aroma Ajaib
Part 15 - Tawaran Ella
Part 16 - Senyum Candu
Part 17 - Hari Bersamanya
Part 18 - Pertaruhan Cinder
Part 19 - Kegelapan Untuk Ella
Part 20 - Penyesalan Kafka
Part 21 - Keresahan Revas
Part 22 - Lain Sekali
Part 23 - Something In Between
Part 24 - Sebuah Rasa (bagian A)
Part 25 - Sebuah Rasa (bagian B)
Part 26 - Seolah Belum Cukup
Part 27 - Kembali
Part 28 - Sekali Lagi
Part 29 - Maaf
Part 30 - Fall For You
Part 31 - What If
Part 32 - I'm Here For You
Part 33 - Stay With Me
Part 34 - Thank You
Part 35 - The Truth Untold
Part 36 - Kau Adalah...
Part 37 - Bukan Dia
Part 38 - Cukup Sampai Di Sini
Part 39 - Karena Seharusnya Begini, bukan?
Part 40 - When You Love Someone
Part 41 - How Can I Say
Part 42 - What Can I Do
Part 43 - Nobody Knows
Part 44 - Somehow
Part 45 - It's Only
Part 47 - More Than This
Part 48 - Heartbeat
Part 49 - A 'Good' Way (END)

Part 46 - Seperti Seharusnya

26.9K 3.3K 881
By jasendradee

Alhamdulillah akhirnya bisa apdet juga walau telat dan gak banyak, semoga masih bisa dinikmati ya, selamat membaca ^^

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pukul sembilan lebih lima belas menit dan Revas masih terjaga di dalam kamarnya yang benderang. Cowok itu duduk bersila di atas tempat tidur dengan pandangan terpancang pada sepasang sepatu konverse di atas meja belajar. Revas menatap sepatu itu lama seraya mengingat banyak hal yang pernah dilaluinya di sekolah. Baik saat bersama teman-teman kelasnya, bersama Ella, atau pun bersama Cinder.

Pertandingan basketnya yang tertunda beberapa hari lalu membuatnya dihadapkan pada dua pilihan sulit yang ditawarkan sang ayah; tetap di Gentra tetapi kelab basket sekolah ditutup, atau pindah ke sekolah yang direkomendasikan ayahnya dalam waktu dekat. Revas tahu ayahnya tidak pernah main-main dengan ucapannya, tetapi tidak menduga jika waktu yang diberikan untuk membuat pilihan sesingkat ini.

Revas mengembuskan napas berat. Mengingat apa yang dialami Ella, ia tidak bisa pura-pura tidak bersalah. Fakta bahwa perasaan tertarik Donna padanya merupakan salah satu sebab penyerangan yang diterima anak perempuan itu, membuat Revas benar-benar merasa bersalah dan tidak berguna sebagai sahabat. Sekali pun Ella mengatakan itu bukan salahnya, tetap saja kejadian itu menghantuinya.

Berulang kali Revas menimbang dan rasanya ingin tetap tinggal. Ada banyak hal yang belum sempat ia lakukan, tetapi mengingat kejadian yang menimpa Ella membuatnya cukup tertekan. Ditambah harus membiarkan basket hilang dari sekolahnya bukanlah hal yang ia harapkan. Ia tidak ingin pilihannya menghapus kesenangan dari orang-orang yang menyukai permainan itu dengan tulus.

Menarik napas dalam, Revas melirik jam di dinding, kemudian berjingkat dan menyambar jaket di sandaran kursi belajar. Setidaknya ada yang perlu ia sampaikan sebelum kesempatan itu menghilang.

---------------------------------------------

"Tidur, La, udah malem," kata Cinder ketika lagi-lagi mendapati Ella masih terjaga padahal seharusnya cewek itu sudah terlelap.

"Aku belum ngantuk," jawab Ella.

Hanya ada Cinder dan Ella di ruangan itu. Mama dan Papa pulang satu jam yang lalu. Mereka sepakat untuk berbenah bersama karena besok Ella sudah diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah jauh membaik. Ella sudah mampu bergerak dan turun dari tempat tidur tanpa perlu dipegangi.

Suasana kembali hening. Cinder sibuk dengan telepon genggam sementara Ella fokus menatap langit-langit kamar.

"Cinder, kalau aku pindah sekolah menurut kamu gimana?" tanya Ella tiba-tiba.

Cinder mengangkat pandangan. "Kamu yakin?"

Ella mengangguk tanpa menoleh. "Kayaknya aku nggak bakal sanggup balik ke Gentra. Setiap ingat kejadian waktu itu, aku... takut. Rasanya kayak mau mati."

"Jangan ngomong sembarangan," serobot Cinder. "Kalau kamu memang mau pindah, nanti aku bantu bilang ke Mama dan Papa. Mereka juga pasti setuju."

"Aku ngerepotin terus, ya?"

"Kamu pikir aku nggak?"

Keduanya saling lirik kemudian terkekeh.

"Cinder," Ella memanggil lagi.

"Hm?"

"Maafin aku, ya. Aku selalu nggak nurutin kata-kata kamu, padahal kamu yang lebih tau."

Alis Cinder terangkat, menatap Ella penuh selidik. "To the point aja. Sebenarnya kamu mau ngomong apa?"

Ella meringis lebar. "Aku... mau jujur tentang sesuatu. Tapi janji kamu jangan marah."

Cinder mengedik bahu. "Tergantung tantang hal apa dulu."

"Ini tentang... Kafka," kata Ella, takut-takut.

Tatapan Cinder berubah tajam. "Jangan deket-deket sama dia. Anggap kamu nggak pernah kenal. Azka udah cerita apa yang terjadi di ruang kesehatan Gentra waktu itu, dan lebih baik kamu nggak dekat sama dia."

"Tapi, Cin, aku—"

"La," penggal Cinder, mengembuskan napas. "Nggak apa-apa kamu dekat sama siapa pun, asal bukan Kafka. Dia nggak baik buat kamu," katanya. "Lebih baik kamu sama Revas, bukan si Kunyuk tukang rusuh macam Kafka."

"Aku sayang Revas, kok. Dia sahabat aku," sahut Ella.

"Bukan sayang kayak gitu maksudku," desah Cinder, gemas.

Ketukan di pintu membuat Ella urung menjawab. Keduanya saling lirik penuh tanya. Lalu, Cinder gegas berdiri setelah mengerling jam. Begitu pintu di depannya dibuka, Cinder mengerjap. Revas berdiri di hadapannya sambil tersenyum tipis.

"Hai," sapa cowok itu.

"Lo nggak salah jam?" Cinder mengangkat sebelah alis.

Revas mengusap tengkuk seraya berdeham canggung. "Maaf kalau aku ganggu. Aku cuma mau—"

"Di dalam aja ngomongnya. Ella juga belum tidur," potong Cinder, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Revas masuk.

"Revas?" Kening Ella mengernyit melihat cowok itu datang.

"Hai," ujar Revas, tersenyum. "Aku ganggu, ya?"

Ella menggeleng. "Ada apa? Tumben kamu datang malam-malam begini?"

"Karena... kangen?" Revas tertawa. Ella mendengus geli.

Di belakang punggung Revas, Cinder terdiam. Ia menatap punggung cowok itu, kemudian berdeham. "La, aku keluar sebentar, ya? Laper," ucapnya, buru-buru menyambar jaket tanpa melirik dua orang di sekitarnya.

"Di sini kan banyak makanan, Cinder," jawab Ella.

"Aku mendadak pengin mi instan. Aku tinggal sebentar nggak apa-apa, kan?" Cinder menatap Ella.

Revas memerhatikan Cinder. Terlihat sekali cewek itu menghindarinya, bahkan sama sekali tidak meliriknya.

Ella mengangguk. "Jangan lama-lama, ya."

"Oke." Cinder mengalihkan pandangan dan melihat Revas. "Gue titip Ella sebentar, jangan ditinggal sebelum gue balik."

Revas mengangguk, lalu saat bayangan Cinder sudah hilang di balik pintu, cowok itu mengembuskan napas yang tanpa sadar ditahannya sejak tadi.

"Kenapa, Rev?"

Pertanyaan Ella menyentak Revas. Cowok itu menggeleng dan tersenyum kaku. "Ada sesuatu yang mau aku sampein ke kamu."

------------------------------------------

Ketika pintu di belakang punggungnya tertutup, Cinder mengembuskan napas panjang, kemudian menuyusuri koridor dengan langkah pelan. Mencari makanan hanya alasan agar tidak lama-lama berada di dekat Revas. Meskipun ia sudah lebih mampu mengendalikan perasaan, tetap saja ia belum terbiasa melihat cowok itu berinteraksi sebegitu menyenangkan bersama Ella dan mengakui jika mereka berdua terlihat sangat serasi.

Suara langkah mendekat memaksa Cinder mengangkat pandangan dan menemukan Kafka berdiri tidak jauh darinya dengan tampang kusut. Sebelah alis Cinder terangkat tinggi. "Lagi?" tanyanya datar. "Nggak bosen lo?"

Kafka mengedik bahu tanpa menyahut, kemudian mengekori Cinder yang berjalan menuju bangku kayu panjang di dekat air mancur di tengah taman rumah sakit. Cowok itu duduk di samping Cinder tanpa mengatakan apa-apa.

Cinder melirik Kafka sedetik, sebelum kemudian menyandarkan punggung. Ini bukan kali pertama menemukan Kafka di area rumah sakit malam-malam begini. Sejak Ella dirawat, cowok itu selalu datang siang dan malam hanya untuk memerhatikan dari balik pintu, kemudian menghuni salah satu kursi di selasar rumah sakit untuk menjemput pagi. Kalau saja Azka tidak menemaninya menjenguk saat Ella siuman seminggu yang lalu, mungkin cowok itu tidak akan pernah berani masuk.

Tanpa dijelaskan pun, Cinder mengerti apa yang terjadi antara Kafka dan Ella. Ia tidak buta, hanya saja memilih diam. Mengenal cowok itu sejak tingkat pertama, Cinder belum pernah melihat Kafka menatap sesuatu seperti caranya menatap Ella sejak saudari kembarnya itu dirawat. Kafka menatap Ella seolah cewek itu adalah satu-satunya harapannya untuk melanjutkan hidup. Dan mengingat bagaimana kacaunya Kafka saat Ella terluka, Cinder semakin yakin bahwa pernah terjadi sesuatu di antara mereka.

"Lebih baik lo mundur, Kaf," kata Cinder tiba-tiba.

Kafka ikut menyandarkan punggung dan mengadahkan wajah menatap langit malam. "Gue nggak punya kesempatan, ya?"

Cinder mengangguk. "Revas udah jadi pilihan terbaik buat Ella."

Kafka mendengus getir. "Lo bener. Lagian, nggak ada yang bisa diharapkan dari sampah macam gue. Ya, kan?"

Mengembuskan napas, Cinder mengerling Kafka. "Maaf buat kata-kata gue waktu itu, tapi emang lo kurang berguna," tuturnya, jujur.

Kafka tersenyum miris. "Semenyedihkan itu, ya, gue," komentarnya, sarkas.

"Lo nggak sendirian," sahut Cinder, tatapannya menerawang.

"Oh, iya. Lo juga menyedihkan. Bisa-bisanya lo suka sama cowok yang sayang dan disayang kembaran lo."

Seketika Cinder menoleh, menatap Kafka dengan sorot terkejut.

"Kenapa kaget?" tanya Kafka tanpa dosa. Saat melihat Cinder menatapya semakin tajam, sudut bibirnya terangkat tipis. "Gue emang nggak berguna, tapi gue nggak bego. Lo natap Revas seolah itu adalah kesempatan terakhir lo liat dia."

"Sialan banget mulut lo," ujar Cinder.

Kafka terkekeh pelan, kemudian tatapannya terpancang pada bintang-bintang. Untuk beberapa saat tidak ada yang bersuara, sampai kemudian Kafka berkata dengan suara pelan namun menyakinkan. "Gue salah. Gue udah ngomong kasar dan memperlakukan Ella dengan buruk. Keluarga gue juga nggak utuh, bahkan gue nggak tau bokap ada di mana sekarang. Gue berantakan, kacau, dan nggak berguna. Tapi, kalau gue berusaha memperbaiki diri, apa masih ada kesempatan buat gue deketin Ella?"

Cinder menatapnya seolah apa yang baru saja Kafka ucapkan adalah sesuatu yang tidak ada gunanya. Tetapi, mengingat apa yang pernah Azka sampaikan padanya, mungkin cowok di depannya ini hanya butuh sesuatu untuk dijadikan pegangan.

"Gue sayang Ella," ucap Kafka, yakin. "Dan seandainya gue benar-benar nggak punya kesempatan dekat, minimal gue bisa minta maaf dengan baik dan benar."

"Silakan lo minta maaf, tapi buat dekat-dekat Ella, sori, gue nggak kasih ijin. Kecuali lo buat diri lo berguna dan sedikit lebih pintar."

Ekspresi Kafka berbinar. "Lo serius?"

"Coba lo liat tampang lo tadi, kayak anjing tersesat, bikin orang kasian," jawab Cinder, datar.

"Sialan." Kafka mendengus jengkel. "Gue nggak paham kenapa abang gue bisa suka sama lo," katanya. "Untung aja Azka nggak minta lo jadi pacarnya. Hancur hidup gue kalo sampe punya calon ipar kayak lo."

"Gue bisa wujudin mimpi lo asalkan lo siap jadi budak gue selama dua puluh empat jam dalam setahun," sahut Cinder, menyeringai jahat.

Kafka menatapnya skeptis. "Beruntung gue sayangnya sama Ella."

Cinder mendengus sinis. Sebelah alisnya terangkat tinggi. "Nggak tau diri, ya, Kunyuk satu ini."

Kafka buru-buru menangkupkan kedua tangan di depan dada. Alisnya terangkat dan kedua sudut bibirnya tertarik tinggi dengan kaku.

Kedua bola mata Cinder begulir malas. Sejenak ia menarik napas dalam, kemudian berkata, "Ella bakal pindah sekolah."

Kafka menoleh kelewat cepat, menatap Cinder terkejut.

Merasa dipandangi, Cinder mengedik bahu. "Ini baru rencana," katanya. "Tapi lihat kondisinya sekarang, suasana baru adalah pilihan terbaik. Ella memang kelihatan udah sehat secara fisik, tapi setiap kali lihat benda tajam dan masuk kamar mandi, dia masih gemetaran dan mendadak sesak napas. Dengan kondisi begitu, nggak mungkin Ella dibiarin balik ke Gentra sendirian. Ada banyak kenangan yang bikin dia semakin takut. Ella butuh sembuh lebih dulu, juga suasana baru."

Kafka tercenung, mengingat saat-saat ia mengusir Ella dari ruang kesehatan waktu itu. Kalau saja ia tidak berkata kasar, mungkin Ella tidak akan terluka. Dan hal itu membuat Kafka merasa bersalah. "Gue minta maaf, Cin. Gue... menyesal. Harusnya hari itu gue nggak ngomong kasar dan ngusir Ella begitu aja. Mungkin semuanya bakal beda kalau aja gue lebih bisa mengendalikan diri."

"Semuanya nggak akan terjadi kalau gue nggak pernah minta tukar posisi," desah Cinder sambil memejamkan mata. "Kalau ada orang yang harus disalahkan, itu adalah gue," tambahnya. Untuk sesaat suasana berubah hening, lalu kemudian Cinder mendengus hambar. "Ternyata lo dan gue punya kesamaan, ya, sama-sama nggak berguna."

Tidak ada sahutan. Kafka menatap Cinder beberapa saat, kemudian mengangguk pelan dan ikut memejamkan mata.

----------------------------------------------

"Kamu melamun lagi."

Revas tersentak kaget dan tersenyum kikuk saat menyadari jika sejak tadi terus menatap arah kepergian Cinder.

"Ada apa?" tanya Ella.

Cowok itu menggeleng, kemudian mendekat dan duduk menyamping di pinggir tempat tidur dan menghadap Ella. Sebelah tangannya terulur, mengusap sayang kepala cewek itu. "Kamu kelihatan jauh lebih sehat," katanya, tersenyum tipis. "Kapan boleh pulang?"

"Besok atau lusa," jawab Ella, berbinar. "Kamu kelihatan kayak lagi banyak pikiran. Ada apa?"

"Bukannya aku udah bilang aku kangen kamu?" Revas mengulum senyum.

Ella berdecak. "Aku kenal kamu bukan cuma hari ini, ya."

Revas tertawa. "Bodoh banget, ya, aku baru sadar punya sahabat perhatian begini," kelakarnya.

Ella ikut tertawa. "Kamu nggak perhatian, sih," candanya.

Tawa Revas meredup perlahan. "Kamu benar. Aku memang nggak perhatian," katanya, memainkan jemari Ella.

Melihat perubahan ekspresi Revas, Ella mengerutkan kening. "Kamu nggak baik-baik aja, Rev. Ada apa? Kamu bisa cerita ke aku. Aku udah cukup sehat buat jadi pendengar," tuturnya.

Revas tersenyum. "Ada sesuatu yang mau aku sampein."

"Tentang?"

"Aku... bakal pindah sekolah," kata Revas setelah terdiam lama seolah mengumpulkan keberanian.

Hening beberapa saat, sebelum kemudian Ella mengerjap kaget dengan mata membulat. "Apa?"

Revas menarik napas dalam dan mengembuskannya berat. Sebelah tangannya menggenggam jemari Ella dengan erat. Ia menatap anak perempuan di hadapannya dengan senyum kecil penuh penyesalan. "Aku minta maaf atas semuanya. Selama ini aku jadi sahabat yang nggak berguna buat kamu. Aku nggak perhatian, egois, bahkan aku sama sekali nggak tau Donna udah nyakitin kamu separah ini," ujarnya.

"Kamu pasti bercanda," komentar Ella, menggeleng tak percaya. Wajahnya mulai memerah.

Tersenyum getir, Revas menjawab. "Aku juga berharap aku lagi mimpi, tapi nyatanya nggak."

"Tapi kenapa? Apa alasannya?" tanya Ella, matanya berkaca.

"Ada banyak hal yang bikin aku harus ambil keputusan ini, terutama apa yang terjadi sama kamu."

Ella menggeleng. "Rev, kamu nggak salah. Kamu—"

"Aku salah, La, aku bukan sahabat yang baik," penggal Revas, napasnya mulai tersengal menahan gumpalan emosi. "Selama ini kamu selalu tau tentang aku, apa yang aku suka, bahkan impianku selama ini. Tapi aku? Bahkan kamu disakiti orang aja aku nggak tau apa-apa. Aku benar-benar nggak berguna, ya."

"Nggak, nggak. Itu bukan alasan buat kamu boleh pergi." Ella mulai menangis, genggaman tangannya mengerat.

Revas tersenyum sedih dan merengkuh Ella ke dalam pelukan. "Aku minta maaf, La, tolong maafin aku. Aku benar-benar nggak bisa diandalkan, bahkan jagain kamu aja aku nggak bisa. Aku minta maaf...."

Ella menggeleng dalam dekapan, tangisnya semakin kencang.

"Terima kasih kamu udah mau jadi sahabatku, terima kasih udah mau aku repotin dengan segala keluhan, dan terima kasih udah mau bantu aku ngewujudin keinginan terbesarku. Aku sayang kamu, La... benar-benar sayang kamu." Rengkuhan Revas semakin erat, memeluk Ella seolah tidak ada kesempatan lain di kemudian hari.

Tangis Ella semakin kencang. Bahunya bergetar dan napasnya tersengal. Kedua tangannya saling mengait di punggung Revas. "Kamu nggak boleh pergi, Rev... jangan pergi...."

Revas memejamkan mata seraya mengembuskan napas. Dagunya menumpu di atas kepala Ella dengan tangan mengelus punggungnya penuh sayang, membiarkan cewek itu menangis di dadanya dengan puas. Berapa kali pun Revas berpikir, jawaban yang didapatnya tetap sama; ia menyayangi Ella dengan sepenuh hati dan ingin selalu berada di sampingnya. Tetapi, mengingat apa yang terjadi padanya beberapa waktu lalu membuat Revas berpikir jika ia belum memiliki cukup kemampuan untuk menjaga Ella dengan benar.

"Aku sayang kamu, Rev, kamu sahabatku. Tolong jangan pergi," Ella terisak, dadanya naik turun. "Ki-kita bisa cari solusinya bareng-bareng. A-aku bakal minta tolong Cinder buat—"

"Jangan," potong Revas sambil melepas pelukan. Senyumnya terpoles geli melihat wajah Ella yang basah dan memerah berantakan. "Cinder udah banyak bantu aku, bahkan aku belum bilang terima kasih. Aku nggak mau bikin Cinder lebih sulit dari ini," imbuhnya.

"Tapi, Rev..."

"Tenang aja, La, ini memang pilihan yang tepat. Lagi pula, aku masih punya waktu sampai seminggu ke depan. Masih banyak hal yang perlu aku urus dan sampai hari itu tiba, kita masih bisa ketemu," ucap Revas, mengusap air mata Ella sambil tersenyum. "Aku masih bisa antar kamu check up atau berangkat sekolah, kalau kamu mau."

Ella berdeguk pelan, napasnya tersengal, sesak. "Aku... bakal istirahat total dulu di rumah buat beberapa waktu, jalanin terapi sampai benar-benar sembuh. Mungkin aku bakal break dari sekolah selama beberapa waktu. Dan kemungkinan besar aku nggak akan balik lagi ke Gentra," tuturnya, perlahan.

Sesaat Revas terdiam, tetapi kemudian mengangguk setuju. "Itu pilihan bagus. Gentra nggak sehat buat kamu, lebih baik pindah ke sekolah lain dan cari suasana baru."

"Aku yakin bakal sembuh cepat dan karena itu kamu nggak perlu pindah, Rev...."

Revas tersenyum kecil. "Sekali pun benar aku nggak salah, keputusan aku tetap nggak berubah," ujarnya. Saat melihat Ella seolah tak mengerti, Revas melanjutkan. "Pertandingan waktu itu merupakan salah satu cara aku nunjukin ke Papa kalau aku bisa meraih mimpi aku dengan usahaku sendiri. Apa pun hasilnya, aku cuma harus kasih yang terbaik. Tapi, dalam setiap pertandingan, kalah atau menang pasti ada konsekuensi yang harus kuterima, dan ini lah resiko yang harus aku ambil."

"Tapi nggak harus sampai pindah sekolah, kan? Kamu—"

"Sebenarnya sebelum hari pertandingan, aku punya taruhan tersendiri sama Papa dan ini hasilnya. Walau pertandingan kemarin nggak berlangsung sampai selesai, tapi aku anggap aku udah kalah. Aku nggak akan mungkin lawan Papa bagaimana pun keadaannya. Dan pindah sekolah adalah hal yang harus aku penuhi buat bayar kekalahan aku."

Ella menatap Revas, seolah apa yang baru saja cowok itu ucapkan adalah hal paling bodoh di dunia.

Revas berdeham, lalu nyengir lebar dengan kaku. "Iya aku tau. Seharusnya aku berpikir dulu sebelum bertindak."

"Kamu bego," kata Ella, kesal sekaligus sebal.

Bola mata Revas membesar kaget. Ella tidak pernah memakinya dengan kata-kata seperti itu.

"Jangan salahin aku," ujar Ella, mengedik bahu tanpa merasa bersalah. "Kata Cinder, orang yang nggak berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu bukan lagi bodoh, tapi bego. Aku cuma pinjam kata-katanya buat kamu."

Revas melongo sesaat, kemudian tertawa sambil mengacak rambut Ella.

"Laras udah tau kabar ini?" tanya Ella.

"Aku bakal kasih tau Laras besok."

Ella mengangguk, menghapus jejak air mata di pipi. "Aku... juga punya sesuatu yang mau aku kasih tau ke kamu," ujarnya setelah terdiam beberapa detik.

Melihat ekspresi Ella yang agak salah tingkah, rasanya Revas tahu hal apa yang akan disampaikan cewek itu.

"Tentang kapten tim basket Athalea, bukan?" tembak Revas, kemudian.

Bola mata Ella membesar lucu, kemudian buru-buru mengalihkan muka saat merasa pipinya menghangat. Revas tertawa geli melihatnya.

"Pantas aja kamu betah di Athalea," candanya.

Ella memukul bahu Revas pelan. "Bukan gitu, Revas," protesnya.

Lagi, Revas tertawa. "Aku tau, kok. Mungkin cuma hal ini yang bisa aku tangkap dengan benar dari kamu."

"Kamu... nggak marah, kan?" tanya Ella takut-takut.

"Sebenarnya aku pengin marah, tapi aku nggak bisa," sahut Revas.

"Oh, iya, ya. Kamu kan terlalu sayang sama aku, mana mungkin bisa marah," balas Ella, nyengir lebar.

Revas mendengus tawa, merapikan ujung-ujung rambut Ella penuh sayang. Tanpa mengungkapkan perasaannya sekali pun, Ella sudah menolaknya, dan Revas tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima. Mungkin ini memang yang terbaik. Ia tidak bisa menyayangi anak perempuan itu seperti keinginannya setelah rasa bersalah yang begitu besar.

"Perlu nggak aku titipin kamu ke dia selama aku pergi?" tanya Revas tiba-tiba setelah terdiam lama.

Ella mengerutkan kening tak paham, kemudian memukul Revas sedetik kemudian saat mengerti siapa yang dimaksud cowok itu. Wajahnya merengut dan bersemu secara bersamaan.

Melihatnya, Revas tertawa geli. Rasanya sudah lama sekali tidak menggoda anak perempuan itu sampai wajahnya merah padam, dan saat berhasil melakukannya lagi, rasanya menyenangkan. Revas seolah menemukan sesuatu yang hilang, yang dulu tidak pernah mereka lakukan dengan benar.

"Kalau kamu berani ngomong sesuatu ke Kafka, aku bakal aduin kamu ke Cinder biar Cinder negur kamu. Marahin kamu sekalian, kalau bisa," ancam Ella, mendelik lucu.

Revas tertawa tanpa suara, sesuatu yang hangat menyergapnya perlahan. Melihat Ella sudah benar-benar membaik membuatnya lega. "Nggak apa-apa, ngadu aja. Aku lebih suka dimarahain Cinder daripada kamu."

Ella menganga, mencubit Revas dengan gemas.

Revas mengaduh, tetapi kedua sudut bibirnya melengkung lebar. Ia menatap Ella dengan geli, kemudian tertawa lagi saat melihat anak perempuan itu merengut sebal. Detik itu, Revas menyadari sesuatu. Jantungnya tidak berdetak kencang seperti seharusnya dan darahnya tidak berdesir kelewat kencang. Ia justru merasa nyaman dan hangat sekaligus, seolah memang ini lah yang seharusnya terjadi pada mereka berdua.

----------------------------------------------

Waktu menunjukkan pukul sebelas saat langkah Revas terhenti begitu melihat Cinder duduk tertidur di kursi stainles panjang tidak jauh dari kamar rawat Ella dengan tudung jaket menutupi hampir separuh wajah. Kedua tangannya terlipat di depan dada dan kepalanya bersandar miring. Cewek itu terpejam lelap. Napasnya naik-turun dengan teratur.

Tanpa menimbulkan suara, Revas berjalan mendekat, kemudian duduk di samping Cinder dengan sangat perlahan karena takut membuatnya terbangun. Tidak ada yang dilakukan Revas setelahnya selain memandangi wajah tidur Cinder yang begitu damai dan rasanya tidak ada yang berubah. Degup jantungnya yang perlahan berkejaran tetap terasa menyenangkan dan rasanya begitu nyaman berada di dekat Cinder sekali pun ia sudah tahu kebenarannya.

Tanpa sadar, sudut-sudut bibir Revas terangkat perlahan. Kedua tangannya terulur, mengaitkan tali tudung jaket anak perempuan itu ke bawah dagu agar tidak terlepas. "Terima kasih, Cinder. Good night," bisiknya, kemudian bangkit berdiri dengan hati-hati dan melenggang pergi.

Setelah bayangan Revas sudah benar-benar menghilang, Cinder membuka mata perlahan, kemudian mengembuskan napas yang tanpa sadar ditahannya sejak tadi. Kedua tangannya mengusap wajah dengan frustrasi seraya menetralkan detak jantung. Ia memang tertidur, tetapi seketika terbangun saat merasakan seseorang duduk di sampingnya meski dengan gerakan sangat pelan. Dan saat wangi parfum Revas menusuk indra penciumannya, Cinder batal membuka mata.

Ia menunggu apa yang dilakukan Revas dengan jantung berdegup hebat. Lalu, saat mendengar langkahnya menjauh setelah menalikan tudung jaketnya, Cinder melepas napas banyak-banyak.

"Gue harap cuma gue yang gila di sini," desahnya, berat.

Saat Cinder hendak berdiri, ponsel di saku celananya bergetar. Satu panggilan dari nomor baru. Cinder gegas menerima panggilan tanpa berpikir dan seketika membeku saat mendengar suara Revas.

"Cinder," panggil cowok itu.

Cinder mengangguk, tapi kemudian merutuk dalam hati saat sadar Revas tidak melihat. "Ya? Kenapa?" sahutnya tanpa intonasi.

"Maaf aku nggak telepon kamu lebih awal," kata Revas. "Tadi... kamu tidur pulas banget. Aku takut ganggu."

Cinder merasakan pipinya menghangat. Ia berdeham canggung walau lagi-lagi mengumpat karena sadar Revas tidak ada di depannya. "Oke. Nggak masalah," balasnya.

"Aku pulang, ya. Maaf ganggu kamu malam-malam," ucap cowok itu.

"Hm," sahut Cinder, mencoba tidak terdengar terlalu senang. "Hati-hati."

Revas teetawa tanpa suara. Cinder seolah bisa melihatnya dari nada suaranya. Dan itu membuat jantungnya semakin berdentam gila.

"Terima kasih banyak, Cinder. Selamat malam...."

Cinder tidak menyahut sampai sambungan itu terputus. Lalu, saat layar telepon genggamnya menggelap, Cinder menatap benda itu lama, kemudian menjejalkannya ke dalam saku dan gegas berjingkat menuju kamar rawat Ella setelah mengembuskan napas panjang. Itu hanya panggilan biasa dan tidak seharusnya ia menanggapinya dengan begitu bahagia.

—TBC—

Yuk ah direview ^^

[30 Maret 2019]

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 13.4K 14
"
155K 17.5K 27
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
4.7M 261K 52
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
1.3M 63.7K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞