A MAN BEHIND THE MIRROR

Par reijung9

24.3K 3.2K 1.8K

SHADOW SEQUEL Plus

1
2
3
4
5
5.1
6
7
8
9
10. [REBORN]
11. [ 미로 ] - Milo - Labirin
12. [ 이름 ] - Ileum - Name
13. [ 밤 ] - BAM - NIGHT
14. [숨바꼭질] - SUMBAKKOGJIL - HIDE & SEEK
15. [눈 ] - NUN - EYES
16. [ 구해줘 ] - Guhaejwo - Save Me
17. [ 게임 ] - Geim - A Game
18. [ 목소리 ] - Mogsoli - Voice
19. Heart, Mind and Soul
21.
22. [ 꿈 같은 ] - Kkum Gat-eun - Dreamlike
23.[ 놀자 ] - Nolja - Let's Play
24. [ 악마 ] - Agma - Devil
25.[ 악마 ] - Agma - Devil - 2
26 : [ 악마 ] - Agma - Devil - 3
27. [ 악마 ] - Agma - Devil - 4
28. [ 협력 ] - Hyeoblyeog - Cooperation
29. [ 역습 ] - Yeogseub - Counterattack
30. [되든 안되든] - Hit Or Miss
31. [ 위장 자 ] - Wijang ja - The Disguiser
32. [ 갇힌 ] - Gadhin - Trapped

20. [ 비밀 ] - Bimil - The Secret

553 74 38
Par reijung9

Jaejoong, Yoochun dan Wonho berjalan keluar dari sebuah gedung apartment sederhana dengan wajah tertekuk dan juga lelah. Wonho mengeluarkan buku catatan kecilnya dari saku, menarik pulpen yang terselip di sela halaman buku, kemudian menarik satu garis lurus di atas bukunya.

"Ini yang kelima." Gumamnya disertai helaan nafas panjang.

"Yang kelima kalinya ada orang yang membanting pintu tepat di depan wajahku dalam satu hari." Imbuh Jaejoong, jelas-jelas sedang menggerutu.

Setelah mereka bertemu dengan Eunho, mereka segera mengunjungi team penyidik kasus kematian pasangan Yoo. Team penyidik kasus itu beranggotakan enam orang. Lima orang polisi yang bertugas dan satu orang dokter bedah otopsi.

"Daripada pintu yang tertutup aku lebih penasaran dengan alasan sesungguhnya mereka mengajukan pengunduran diri di waktu yang hampir bersamaan."

Yoochun berkata sambil membuka pintu mobil di samping penumpang, dan seperti kesepakatan bersama yang tidak terucap lagi-lagi Wonho yang menyetir mobil untuk menuju ke alamat selanjutnya.

Di kursi belakang Jaejoong melipat tangan di depan dada, duduk tepat di tengah-tengah kursi. Raut wajahnya masam. Dia masih tidak terima dengan perlakuan tidak sopan dari mantan polisi yang baru saja mereka temui.

"Surat pengunduran diri yang pertama datang dari ketua team penyidik saat itu. Eric Mun, dua bulan setelah kasus ditutup dengan kesimpulan jika kematian pasangan Yoo murni akibat terjebak dalam kebakaran. Sementara penyebab kebakaran disebabkan oleh hubungan arus pendek listrik."

Wonho menginformasikan tanpa menoleh karena dia harus focus pada jalanan macet di depannya. Sebenarnya dia sangat lapar dan protein bar yang dia bawa telah habis bahkan sebelum mereka makan siang.

Di belakang, Jaejoong membuka catatan salinan miliknya sendiri, membaca nama terakhir yang harus mereka temui.

"Shin Hyesung. Dokter ahli bedah forensic."

"Wow." Yoochun berseru. "Banting setir yang sangat ekstrim."

"Dari ahli bedah forensic menjadi pemilik sekaligus pengelola restoran. Yeah, aku juga sepakat." Ujar Wonho sambil memutar kemudi bundarnya untuk berbelok mengikuti arahan yang diberikan oleh GPS-nya.

Jaejoong menutup buku catatannya lalu di masukan ke dalam saku.

"Karena dia bergerak di bisnis kuharap dia lebih ramah daripada kelima orang yang sudah kita temui." Ucapnya.

"Aku mengharapkan cerita yang luar biasa." Sambung Yoochun.

"Kuharap dia mau menyuguhi kita makanan." Imbuh Wonho yang tanpa sadar mengungkapkan apa yang diserukan oleh perutnya.

Jaejoong terkekeh di kursi belakang. "Protein barmu?"

"Sudah habis." Jawab wonho.

Yoochun memutar bola matanya dan tubuhnya makin merosot di kursi. "Astaga. Hebat sekali perutmu itu."

"Kuanggap itu sebuah pujian Sunbaenim. Karena aku punya keyakinan perut yang kenyang akan membawa otak untuk berfungsi lebih baik dan hati menjadi lebih tenang."

Kening Yoochun berkerut, menoleh pada Wonho. "Apa hubungannya hati dan perut kenyang?" Tanyanya.

"Hmm, karena hati berada di atas perut?" Jawabnya tak yakin.

Untuk beberapa saat Jaejoong dan Yoochun mematung dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

______

Kihyun mengabaikan ketegangan di leher dan punggungnya untuk menjaga duduknya tetap tegak. Meski tangannya yang saling meremas di atas pahanya yang rapat telah basah oleh keringat dingin. Selain dia mempertahan posisi duduknya untuk tetap tegak, dia juga menjaga pandangan matanya agar tetap lurus. Menatap dengan gugup saat orang yang duduk di depannya, terpisah oleh meja rendah sedang membaca CV kerja yang Kihyun ajukan.

Berkali-kali dia mendapati dirinya menahan nafas ketika orang di depannya menghela nafas, sepertinya kecewa dengan CV yang dibuat oleh Kihyun karena kurangnya pengalaman dan karena factor lain yaitu Kihyun masih berstatus sebagai mahasiswa. Kihyun sangat menginginkan pekerjaan itu, ah bukan, dia membutuhkannya, meski hanya sebagai pekerja part time. Dia sangat berharap dapat diterima dan dapat hidup mandiri. Dia tidak ingin merepotkan Minhyuk.

Uang asuransi bangunan dan asuransi jiwa Kijong tidak akan dia gunakan. Mungkin dia kaan menggunakan uang asuransi bangunan untuk membangun rumah mereka lagi tapi proses pencairan uang asuransi memerlukan waktu yang lumayan lama. Dan untuk bertahan sampai saat itu dia harus mencari pekerjaan secepatnya. Sebelum masa cutinya selesai. Dia tidak ingin menjadi beban. Perubahan yang terjadi dalam hidupnya sangat mendadak dan sangat mengerikan namun dia meyakinkan dirinya untuk menata hidupnya lagi sedikit demi sedikit.

Tangan Kihyun mengusap-usap permukaan kaca jam tangannya. Mendapatkan sedikit ketenangan saat melakukannya. Dia tidak sendirian, dia tahu itu. Dalam jamnya terdapat kenangan kakaknya, ayahnya dan juga ibunya. Dia tidak kehilangan siapa pun dan dia tidak sendirian. Lalu dia mengingat ada Minhyuk yang sedang menunggunya di luar ruangan tempatnya berada saat ini. Berdoa untuknya agar dia keluar dengan kabar baik.

"Well." Namja di depan Kihyun mulai berbicara, meletakkan CV Kihyun di atas meja.

Kihyun was-was, mengulum ludah ketika dia merasa tenggorokannya mendadak kering. Dia menunggu, menunggu kelanjutan dari kalimat namja itu. Tapi dia merasa waktu bergerak terlalu lambat, meski sebenarnya dia baru menunggu selama tiga detik. Usapan di permukaan jam tangannya berubah menjadi remasan dan dia sangat yakin pergelangan tangannya saat ini telah memerah.

"Kau diterima." Lanjut namja itu dengan senyum ramah di wajahnya.

"Ne?" Tanya Kihyun dengan bodohnya.

Jelas-jelas dia mendengar ucapan namja itu tapi dia tidak yakin dengan telinganya dan ingin memastikan.

"Kau diterima." Ulang namja itu. "Karena kau akan kembali ke universitas dalam waktu dekat maka aku akan menempatkanmu sebagai pekerja part time. Kau bekerja empat hari dalam satu minggu. Hari kamis sampai minggu dengan jam kerja 5 jam di setiap harinya. Jam kerjamu di mulai dari jam empat sore sampai jam sembilan malam. Untuk penjelasan mengenai pekerjaan apa saja yang menjadi tugasmu akan dijelaskan oleh karyawan yang akn menjadi pembimbingmu."

Namja itu tersenyum lagi. "Selamat. Kau bekerja mulai besok."

Ketika namja itu berdiri, Kihyun melakukan hal yang sama, membungkukan badan sambil mengucapkan terima kasih berkali kemudian pamit undur diri.

"Bagaimana?" Tanya Minhyuk saat dia melihat Kihyun berjalan keluar dari ruangan.

Kihyun diam, menundukkan wajahnya. Tidak melihat bagaimana wajah Minhyuk berbuah sendu. Minhyuk meletakkan tangannya di bahu Kihyun.

"It's okay." Minhyuk berkata dengan nada lemah. "Masih banyak pekerjaan lain di luar sana. Aku akan membantumu mencari pekerjaan lain. Aku ju-"

Kihyun memotong kalimat Minhyuk dengan gelengan kepala.

"W-wae?"

"Kau tidak perlu melakukannya." Desah Kihyun.

"Hei."

Kini kedua tangan MInhyuk berada di bahu sahabatnya yang masih menundukkan kepala.

"Kenapa kau putus asa begini eoh? Ini bukan Kihyun yang aku kenal. Di mana Kihyun-ku yang pantang menyerah?"

Namun Kihyun masih menggelang dengan kepala tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya karena dia saat ini sedang menahan tawa. Tawanya pasti akan pecah saat dia melihat wajah Minhyuk sekarang.

Tanpa tahu apa-apa Minhyuk yang khawatir menguncang tubuh Kihyun.

"Look at me, please Ki." Pintanya.

Perlahan Kihyun mengangkat kepala, mencoba untuk tidak tersenyum tapi gagal ketika dia melihat wajah Minhyuk. Dia langsung tertawa dan jelas sahabatnya itu binggung. Alis bertaut di kening, mata menyipit dan bibir sedikit tebuka.

"Hahahaha."

Kihyun masih tertawa. Butuh waktu untuk Minhyuk dan otaknya yang terkadang lemot untuk memproses informasi dan alasan kenapa Kihyun tertawa. Saat otaknya telah memproses segalanya dengan penuh, dia kehilangan kata-katanya dan tawa Kihyun makin menjadi.

"YYAK!" Minhyuk berseru pada Kihyun yang melenggang dengan santai.

Kihyun berbalik badan, berjalan mundur dengan kedua tangan menyatu di belakang punggungnya. Tersenyum lebar pada Minhyuk.

"Kau tidak perlu mencarikanku pekerjaan lagi karena aku diterima. Besok aku bekerja." Katanya.

Tanpa disadari oleh Minhyuk, senyum Kihyun membuatnya ikut tersenyum. Dia senang melihat sahabatnya itu kembali tersenyum di tengah-tengah situasinya yang sedang porak poranda dan senyum sahabatnya itu saat ini sangat berharga. Lebih dari segalanya.

"Minhyukiee... sedang apa eoh? Ayo." Seru Kihyun.

"YYA! Kemari kau!!! Aku ingin menjitak kepalamu." Minhyuk balas berseru, mengejar sahabatnya.

_______.

Hyungwon berdiri di seberang gedung tinggi bertingkat, menyeruput ice americanonya melalui sedotan berwarna putih kusam dengan sangat santai, sementara mata mengantuknya menatap gedung bertingkat delapan di depannya.

Dia mengeluarkan suara penuh kelegaan saat ice Americano yang pahit membasahi kerongkongannya yang kering.

"Wah, daebak." Gumamnya tanpa rasa minat yang berlebihan, lebih seperti ungkapan setengah hati. "Bisnis sampingan yang sangat besar."

Dia meminum americanonya lagi dan kemudian berjalan memasuki area gedung.

_____

Ketika Yunho membuka pintu kaar Jooheon, pendengarannya langsung disambut oleh lagu hip hop dengan suara vocal seorang namja yang terdengar seperti sedang marah di telinga Yunho. Yunho menggosok telinga kirinya, kurang nyaman dengan lagu yang memenuhi kamar Jooheon. Namja pemilik kamar itu tidak menyadari kehadiaran Yunho, masih menghentakkan kepalanya mengikuti hentakan music. Yunho dapat mendengar suara lain yang mencoba mengikuti nyanyian rap yang terdengar dari pengeras suara, sedikit terpotong-potong namun Jooheon sepertinya tidak terlalu perduli dan mengisi lirik lagu asli dengan liriknya sendiri ketika dia lupa atau tertinggal.

Untuk menarik perhatian Jooheon yang sedang asyik dalam dunianya sendiri dan layar computer di depannya, Yunho harus meletakkan tangannya di bahu Jooheon agar namja berlesung pipi itu menoleh.

"Eoh."

Jooheon terlihat sedikit kaget, tersenyum pada Yunho dan kemudian mengecilkan musiknya.

"Ada apa Hyung?"

Jooheon bertanya setelah mengecilkan suara musiknya dan pandangannya kini tertuju pada Yunho yang berdiri di dekatnya, menyandarkan panggulnya di pinggiran meja computer sambil memainkan benda yang mirip pendulum dari meja Jooheon.

Yunho tak serta merta menjawab pertanyaan Jooheon dan masih mengarahkan matanya pada pendulum di tangannya. Membolak-baliknya dengan rasa penasaran, mirip anak kecil yang mendapatkan mainan baru dan sedang belajar cara mengoperasikannya.

Pendulum di tangannya, mengingatkan Yunho atas kejadian yang dialaminya dalam alam bawah sadarnya beberapa waktu lalu. Sedikit samar tapi ada beberapa bagian yang masih dapat dia ingat. Tapi sejujurnya dia sendiri tidak yakin jika yang dilihatnya waktu itu adalah kenyataan, meski dia merasa jika semua yang dialaminya adalah kenyataan atau dia harus menyebutnya masa lalunya. Yunho merasa sangat yakin tapi juga tidak yakin disaat yang bersamaan. Dia ingin membuktikannya, karena itu dia mengunjungi Jooheon setelah Jaejoong bertandang ke tempatnya. Dia pikir Jooheon mungkin dapat membantunya.

Jooheon memiringkan kepala saat memandang Yunho yang sibuk dengan pendulum mainannya. Ikut mengerut ketika Yunho mengerutkan kening. Namja tan yang mengunjunginya itu terlihat sedang terlibat perdebatan hebat dalam dirinya. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang beragam selama Jooheon menatapnya. Ekspresi yang tidak terlalu menyenangkan untuk dipandang lama-lama. Namun dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk bersabar dan menunggu Yunho bicara.

Karena yang ada di depannya adalah seorang Yunho. Seorang Yunho yang lebih manusiawi daripada Haneul, tentunya, itu pendapat pribadinya. Selama dia mengawasi Yunho yang tinggal di rumah Jaejoong, Jooheon mempelajari banyak hal dari namja berkepribadian ganda itu. Namja bernama Jung Yunho itu adalah sosok yang lembut dan penuh kejutan. Diam-diam saat Jaejoong sedang berkerja, Yunho akan menghabiskan waktunya dengan membaca buku, dan melakukan olahraga fisik sambil mendengarkan music RnB. Lalu di saat yang lain Yunho akan duduk diam di ruangan yang berfungsi sebagai gym, hanya duduk tanpa melakukan apapun seperti sedang merenung. Music RnB masih mengalun di gym tapi dia tidak melakukan olahraga seperti biasanya. Menjelang sore namja itu akan memasuki area dapur, memasak makan malam dengan bantuan buku resep yang terbuka di atas meja dapur dan mengejutkan Jaejoong dengan makan malam romantic di meja makan dengan nyala lilin-lilin kecil sebagai penerang ruangan. Mendengarkan Jaejoong yang bercerita, setengah mengeluh tentang kasus-kasus yang dihadapinya dan Yunho akan mendengarkan dengan seksama. Memasang senyum tipis dengan mata yang menatap Jaejoong dengan sangat lembut saat Jaejoong bercerita tentang dunia luar.

Tapi ada hal lain yang Jooheon dapatkan saat melihat semua interaksi keduanya, terkadang Yunho akan memasang wajah yang sedikit aneh. Matanya memandang Jaejoong tapi terlihat sangat kosong. Namun saat Jaejoong balas menatap, maka Yunho akan kembali seperti biasanya. Memasang senyum dengan mata penuh cinta kasih menatap Jaejoong.

Dan kini dia melihat ekspresi itu lagi, mata yang menerawang dengan kerutan di kening yang membuat namja tan itu terlihat suram dan lemah. Berbanding terbalik dengan fisiknya yang sangat kuat dan gagah. Bagi Jooheon, Yunho itu seperti seekor siput yang menyembunyikan sisi lemah dan lunaknya di balik kulit cangkangnya yang keras.

"Hmmm." Yunho bergumam kemudian berdeham lalu menoleh pada Jooheon yang sudah menunggunya untuk bicara.

"Aku ingin minta tolong padamu."

Kata-kata itu terdengar sangat sederhana dan mudah untuk diucapkan tapi tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Yunho.

"Geuge mwoya?" Tanya Jooheon dengan rasa penasaran yang tinggi.

Lagi-lagi Yunho mengulur waktu untuk menjawab, kali ini dengan menaruh kembali pendulum di tempat semula.

"Aku ingin kau mencari tahu tentang seorang polisi bernama Kim Han." Yunho mengulum ludah. "Sepertinya dia sudah mati."

Kalimat selanjutnya terdengar lebih lirih daripada kalimat sebelumnya dan ada sesuatu hal yang aneh di nada bicaranya. Tapi Jooheon tidak tahu pasti apa itu.

"Kenapa aku harus mencari tahu soal orang yang sudah mati?"

Jooheon tidak ingin terdengar kasar ataupun menyinggung Yunho tapi dia harus tahu alasannya. Setidaknya secara garis besar jika memang Yunho tidak dapat mengungkapkan detailnya.

"Hanya ingin tahu orang itu nyata atau tidak." Yunho menjawab dengan pandangan menerawang.

Jooheon mengangguk. Memutar poros kursinya dan kembali kelayar komputernya dengan satu tangan berada di mouse.

"Mencari data dari orang yang telah mati tidaklah mudah. Tapi aku bisa mencobanya." Jooheon berkata, menatap komputernya dengan mata tajam ketika dia telah mengakses data base sourcecomp-nya. "Untuk mencarinya aku butuh sedikit informasi tambahan. Misalnya saja usia saat dia bertugas atau juga pangkatnya."

Air muka Yunho berubah menjadi lebih cerah daripada sebelumnya, memandang kagum pada Jooheon yang baru saja engucapkan nama Kim Han dan profesinya setelah menjalankan program pemindai suara. Dia menaruh banyak harapan sampai lupa untuk menjawab pertanyaan Jooheon. Dia tersadar dengan pertanyaan Jooheon yang dia abaikan saat Jooheon menoleh padanya dengan sebelah alis yang melengkung naik.

"A-aku,,," Yunho berdeham untuk menghilangkan keguggupan yang tidak perlu.

"Aku tidak tahu pangkat dan usianya. Tapi dia menjadi salah satu anggota yang bertugas pada kasus penculikan dan penyekapan anak-anak sekitar 24 atau 25 tahun yang lalu dan namaku tercantum sebagai salah satu dari nama anak-anak yang menjadi korban."

Mendengar usia kasus yang sudah puluhan tahun tak pelak membuat Jooheon mengerutkan wajahnya. Namun melihat Yunho yang menatapnya dengan jutaan bintang padanya, dia tidak jadi meneriakkan suara hatinya yang sedang memaki dan menggerutu.

"Well," Jooheon mendecakkan lidahnya. "I will try."

Senyum berseri-seri terkembang lebar di wajah Yunho, membuat namja tan itu terlihat lebih muda daripada usianya yang sebenarnya.

"Thanks." Ucapnya.

Jooheon menggeleng. "Jangan ucapkan terima kasih sekarang. Karena aku tidak yakin dapat menemukannya karena yah,,, usia kasus yang terlalu tua dan telah masuk batas kasus kadaluarsa. Jadi..."

"Tapi aku tetap ingin berterima kasih." Sela Yunho. "Dengan kau mau menolongku untuk mencarinya saja aku sudah sangat berterima kasih. Aku sangat menghargai kebaikan hatimu."

Wajah Jooheon merah padam mendengar pujian yang dilontarkan oleh Yunho. Dia memang terlalu lemah pada pujian. Sedikit pujian akan membuatnya melompat kegirangan, namun terlalu malu dan menganggap dirinya terlalu tua untuk melakukannya secara nyata jadi cukup hati kecilnya saja yang melakukannya.

"Sekali lagi terima kasih." Ucap Yunho dengan tangan berada di bahu Jooheon.

"Y-your welcome." Jawab Jooheon terbata.

______

Ketiga polisi itu, Jaejoong, Yoochun dan Wonho menaiki lift sebuah gedung yang akan membawa mereka ke restoran yang berada di lantai teratas gedung. Sebuah pintu kaca besar bergeser ketika ketiganya sampai di depan restoran dan kedatangan ketiganya disambut oleh pramusaji namja yang berpenampilan rapi dan bersih.

Si pramusaji membungkukkan badannya sedikit lalu menegakkan badannya lagi dengan kedua tangan menyatu di depan perut, melemparkan senyum bisnisnya pada ketiganya.

"Apa anda bertiga sudah melakukan pemesanan tempat?" Tanyanya.

Jaejoong mengeluarkan lencananya, mengangkatnya untuk dapat dilihat dengan jelas oleh si pramusaji.

"Aku Letnan Kim Jaejoong dari divisi criminal. Dan mereka berdua adalah rekanku. Detective park Yoochun dan Detective Shin Wonho. Kami ke sini untuk bertemu dengan pemilik restoran ini, Shin Hyesung."

Tubuh si pramusaji condong ke depan dengan mata menyipit ketika meliat lencana milik Jaejoong, lalu mundur dan berdiri tegak lagi. Menarik segaris senyum di wajahnya.

"Saya harap anda tidak keberatan untuk menunggu."

Mereka dituntun untuk menempati salah satu meja restoran yang berbentuk bundar. Lalu pramusaji yang mengantar mereka pamit undur diri untuk menemui atasannya dan memberitahu perihal kedatangan mereka. Saat pelayan itu berjalan menjauh dari meja Jaejoong dan rombongan, dia terlihat berbicara pada rekan kerjanya, melirik sekilas ke arah meja mereka lalu pergi. Tak lama rekan kerja yang tadi di ajak bicara datang membawakan tiga gelas minuman untuk mereka, sebagai wujud keramahan dari pihak restoran katanya. Yoochun dan Wonho tanpa sungkan langsung meminuman mereka masing-masing. Tidak ada alasan untuk menolak minuman itu, karena minuman itu bukan sogokan dan terlalu murah untuk menjadi sebuah sogokan.

Jaejoong melirik jam tangannya, menghentak-hentakkan kaki tidak sabar. Dia ingin cepat menyelesaikan urusannya di tempat ini secepatnya lalu pergi ke tempat selanjutnya dan kembali ke markas untuk segera menemui Minwoo.

Yoochun memutar bola matanya ketika sadar Jaejoong sedang memikirkan hal lain saat ini.

"Bisa berhenti menghentakkan kakimu dan tenang sedikit." Yoochun berkata pada Jaejoong.

"Aku lebih memilih mereka langsung mengantar kita pada Shin Hyesung daripada menunggu di sini dengan segelas minuman. Kita tidak punya waktu banyak untuk bersantai dan minum."

"Aku tahu apa yang membuatmu seperti diburu oleh hantu tapi tenang aku tidak akan membahasnya." Sindir Yoochun.

"Ya ya ya." Jawab Jaejoong bermalasan.

Pramusaji yang mengantar mereka datang menghampiri meja mereka, menunjukkan keramahan yang berasal dari buku panduan.

"Tuan Shin ingin bicara dengan anda secara privat di ruangannya. Saya akan mengantar anda semua."

Pramusaji itu tersenyum, mengisyaratkan dengan tangannya ke mana arah yang harus mereka tuju. Ketiganya kemudian berdiri, berjalan di belakang si pramusaji yang berjalan di paling depan tanpa kata-kata.

Mereka mengikuti si pramusaji dan menemukan Shin Hyesung menunggu di luar ruangannya. Tubuhnya tinggi, sedikit kurus. Rambutnya berwarna pirang gelap dengan poni mirip tirai menutupi keningnya. Matanya berwarna almond. Untuk seseorang yang berposisi tinggi, namja berusia kepala empat itu memakai pakaian yang terkesan tidak terlalu formal namun tetap rapi dan bersih.

Hyesung menyambut kedatangan ketiganya dengan seulas senyum simpul dan Jaejoong cukup bersyukur untuk itu. Setidaknya tidak ada lagi pintu yang dibanting setelah mereka memperkenalkan diri.

"Kembali bekerja." Perintahnya pada pramusaji yang mengantar mereka.

Setelah itu Hyesung memusatkan perhatiannya pada ketiga tamunya.

"Ruanganku." Katanya sambil membuka pintu di belakangnya.

"Apakah kalian yang mendatangi teman-temanku?"

Hyesung bertanya setelah mereka masuk ke dalam ruangan Hyesung.

"Jika teman-teman yang anda maksud adalah mantan polisi yang kami kunjungi sebelumnya, itu berarti jawabannya iya." Jaejoong menjawab sambil mendudukkan diri di sofa.

Hyesung tertawa kecil mendengar jawaban dari Jaejoong yang sedikit terdengar seperti keluhan.

"Kurasa kalian mendapatkan sambutan yang kurang ramah dari mereka." Katanya disela tawanya.

"Well, pintu yang ditutup dengan suara yang keras cukup mengesalkan." Yoochun menjawab.

Pandangan mata Hyesung mengarah pada Yoochun, kemudian tersenyum. "Aku mewakili mereka untuk meminta maaf atas kelakuan mereka."

"Permintaan maaf diterima." Yoochun menyahuti dengan cepat.

"Jadi."

Hyesung menoleh pada Jaejoong.

"Apa kalian berteman baik?" Tanya jaejoong.

"Ya." Hyesung menjawab dengan anggukan dan senyum simpul. "Baik saat kami masih bekerja di- kalian pasti tahu di mana- sampai sekarang. Kami biasanya pergi bersama sekedar untuk makan malam dan minum-minum beberapa kali dalam sebulan. Kami memiliki janji untuk keluar bersama akhir pekan nanti untuk berlayar."

Hyesung kemudian menggelengkan kepala. "Maafkan ocehanku. Itu pasti tidak penting untuk kalian."

"Sebenarnya itu penting." Jaejoong menanggapi dnegan nada bicaranya yang serius. "Karena jika anda dan mereka masih berteman baik maka pasti anda sudah mendengar alasan kami mendatangi anda saat ini dari salah satu mereka. Apa itu benar?"

Jaejoong melihat manik mata Hyesung beralih memandang objek lain untuk sesaat kemudian terdengar helaan nafas panjang dari bibir Hyesung yang terbuka sedikit.

"Kurasa." Jawabnya dengan nada tak yakin.

"Kami ingin menanyakan perihal kasus kematian pasangan Yoo."

Hyesung menoleh kembali, mencoba tersenyum. "Apa ini ada hubunganya dengan kasus kematian Yoo Kijong beberapa hari lalu?"

Jaejoong mengangguk.

Hyesung mengusap rambutnya ke belakang, menyebabkan poni yang rapi menutupi dahinya menjadi berantakan dan mencuat ke berbagai arah seperti antenna.

"Aku melihat berita itu di koran dan juga televisi. Berita itu cukup mengejutkan untukku."

Hesung berhenti bicara untuk menarik nafas da nada kilatan di matanya yang tidak dipahami oleh Jaejoong. Mata almond Hyesung seperti menyimpan kesedihan tapi Jaejoong tidak yakin untuk apa.

"Awalnya aku tidak yakin kalau Yoo Kijong yang dimaksud sebagai korban adalah Yoo Kijong anak dari pasangan Yoo. Tapi setelah mendengar dari temanku, aku tak dapat menahan diriku untuk merasa kasihan pada apa yang menimpa mereka. Keluarga mereka. Aku tidak mengenal mereka semasa hidup. Tidak juga mengenal Yoo Kijong selain dari laporan yang aku baca saat itu. Bahkan aku tidak pernah bertemu dengannya saat dia masih anak-anak. Tapi aku tetap merasa kasihan."

Jaejoong menoleh ke samping, dan mendapati Yoochun serta Wonho sedang menatapnya. Dia berpendapat kedua rekannya juga merasakan atau memikirkan apa yang dia pikirkan saat ini. Jika mereka mungkin akan mendapatkan fakta mengejutkan dari Shin Hyesung. Mereka berharap ada titik terang dari kasus pasangan Yoo yang akan membuka peluang mereka untuk mengurai benang kusut kasus Kijong disaat yang sama.

Perhatian Jaejoong teralih kembali pada Hyesung ketika dia mendengar suara tawa kecil yang berasal dari namja mantan dokter ahli forensic itu. Tak paham hal lucu apa yang membuat namja yang tadi terdengar penuh dengan penyesalan di dalam kata-katanya kini tertawa.

"Mereka mungkin akan menghajarku setelah ini terutama Eric." Hyesung mengarahkan matanya pada ketiga tamunya. "Kalian pasti sudah bertemu dengannya 'kan?"

Walaupun jawaban dari pertanyaan Hyesung sudah jelas, mereka mengangguk kecil sebagai jawaban dan menunjukkan kesopanan mereka.

"Eric berpangkat Letnan sepertimu saat menangani kasus kematian pasangan Yoo." Hyesung memiringkan kepala dan menhisap udara melalui sela bibirnya yang terbuka sedikit, menghasilkan bunyi desisan kecil. "Mereka ditemukan pada pukul lima pagi setelah api dapat dipadamkan oleh pemadam kebakaran dan sampai ke tempatku sekitar pukul enam. Kondisi jasad mereka saat itu sangat mengenaskan. Tubuh mereka seratus persen telah terbakar. Walaupun bentuk tubuh mereka dapat dikatakan masih utuh tapi sulit untuk mengindetifikasi jika tanpa tes DNA. Setelah melakukan tes DNA, identitas mereka baru dapat dipastikan."

Jaejoong mengerutkan keningnya, merasa ada yang janggal tapi memutuskan untuk diam dan mendengarkan penuturan versi Hyesung terlebih dahulu.

"Seperti saat aku menerima jasad-jasad untuk diotopsi, aku melakukan yang sudah seharusnya aku lakukan pada jasad pasangan Yoo. Mencari penyebab kematiannya."

Untuk sesaat Hyesung terdiam dengan raut wajah yang sulit dibaca, terlalu sederhana jika dikatakan sedang berusaha mengingat kasus yang telah lewat karena raut wajahnya seperti memiliki campuran berbagai rasa yang bercampur aduk sehingga membuat wajah namja itu terlalu rumit untuk dibaca.

"Pada awalnya," Hyesung kembali bicara sesaat setelah dia menghela nafas sangat panjang dan berat. "Hanya dengan melihat sekilas kondisi jasad mereka aku mengatakan jika penyebab kematian mereka adalah karena luka bakar. Tapi setelah aku melakukan pembedahan pada mayat mereka, aku menemukan peluru bersarang di kepala mereka."

Ketiganya mendelik. Mereka sudah menduga ada yang tidak beres tapi fakta yang mereka terima tetap membuat mereka terkejut.

Hyesung mengangkat tangan kanannya, menekuk jari-jarinya kecuali ibu jari dan telunjuk kemudian mendekatkannya ke pelipis kanan. "Dari arah peluru yang aku temukan, aku berasumsi pistol mengarah ke kepala Gwaksu seperti ini dan itulah yang menjadi penyebab utama kematiannya."

Dia menurunkan tangannya. "Peluru itu masuk melalui pelipis kiri, menembus tempurung dan berhenti di otaknya. Untuk Minsu, peluru menembus kepalanya dari arah belakang. Hal lain yang aku temukan saat memeriksa jasad mereka adalalah terjadi penganiyaan fisik sebelumnya di tubuh Gwaksu. Retak tulang kering di kedua kaki, pergelangan kaki kiri yang remuk dan patah tulang di lengan kiri."

"Ta-"

Hyesung menoleh pada Wonho dan dia dapat melihat wajah Wonho diselimuti oleh kebinggungan.

"Ta-tapi aku tidak menemukan hal yang anda katakan saat aku melihat berkas kasus pasangan Yoo." Katanya.

Hyesung tersenyum simpul. "Karena Eric memintaku merubah laporan hasil otopsi yang aku lakukan pada mereka."

Mendengar pernyataan Hyesung tak pelak mengundang tanda tanya besar di dalam diri Jaejoong. Tapi lebih dari itu dia dapat merasakan kemarahan mulai berbunga di dalam dirinya.

"A-apa kau bilang???" Tanya Jaejoong mencoba untuk setenang mungkin.

Bibir Hyesung terbuka, siap untuk menjawab.

BRAK

Sontak mereka berempat menoleh saat terdengar suara pintu yang dibuka dengan sangat kasar di belakang mereka. Mereka semua mengenali namja tinggi berkulit coklat eksotis yang masuk dengan raut wajah keras dan rahang mengatup rapat. Langkah namja itu panjang memasuki ruangan dan hanya sepersekian detik namja itu telah berada di sebelah Hyesung, kemarahan terlihat jelas dari caranya menatap Hyesung. Namun Hyesung tampak tidak terkejut sama sekali, bahkan di wajahnya terdapat senyum simpul.

"Apapun yang akan kau katakan sebaiknya kau berhenti sekarang juga."

Kalimat namja itu keluar dari sela giginya yang bergemerutuk. Hyesung menoleh sedikit mendongak.

"Aku sudah tidak tahan menyimpan ini." Ucapnya setenang mungkin. "Aku dihantui oleh rasa bersalah. Jangan katakan padaku kalau kau tidak merasakannya."

"HYESUNG!!!"

Suara namja itu bergema di dalam ruangan bagaikan halilintar di tengah badai. Jaejoong segera berdiri saat dia melihat namja yang baru datang itu mengepalkan tinju.

"Eric-ssi." Jaejoong berkata, menatap tajam namja berkulit eksotis itu yang balik menatapnya dengan kilat kemarahan di matanya.

Namun Jaejoong tidak menunjukkan tanda-tanda jika dia takut pada namja yang ada di depannya, salah satu mantan polisi yang menangani kasus pasangan Yoo, Eric Mun.

"Anda tidak bisa menerjang masuk ke ruangan seseorang tanpa ijin dari pemilik ruangan, meski pemilik ruangan itu adalah teman anda sendiri. Itu melanggar etika." Kata Jaejoong.

"Etika?" Kata Eric member dengan sebelah alis mata yang naik dan nada mencemooh.

Dia berbalik menatap Jaejoong dengan dagu terangkat dan memandang rendah pada Jaejoong.

"Kau membicarakan etika?" Eric menunjuk dadanya menggunakan telunjuk. "Padaku? Saat ini?"

Eric tertawa kering, lalu menatap Jaejoong lagi dengan mata yang lebih tajam daripada sebelumnya.

"Kalau kau membicarakan etika. Tunjukkan lebih dulu padaku etikamu. Kau berkeliaran, menanyai orang-orang tentang kasus lama. Apakah kau memiliki surat perintah penyelidikan resmi? Kalau iya. Tunjukkan padaku. Jika kau tidak dapat menunjukkannya," Eric maju satu langkah, bertatap muka dengan Jaejoong. "Maka yang tidak punya etika di sini adalah kau."

"Kami berniat membuka kasus pasangan Yoo." Ucap Yoochun menengahi.

Eric hanya melirik sekilas pada Yoochun lalu kembali menatap Jaejoong yang menahan rasa marahnya karena dipermalukan. Jika saja dia memiliki surat perintah sialan itu, dia akan menjejalkannya di mulut Eric dan membungkam namja itu selamanya. Tapi sayangnya dia tidak memilikinya.

"Membuka kasus?"

Kalimat yang keluar dari bibir Eric lebih terdengar seperti sebuah cemoohan daripada sebuah pertanyaan dan sejak tadi Eric sama sekali tidak mengalihkan matanya dari Jaejoong.

"Kami mohon." Wonho ikut buka suara. "Kami memerlukan kerjasama dari anda dan juga Hyesung-ssi agar dapat melakukannya. Saat ini kami berada di posisi yang sulit. Anda dulu juga adalah polisi meski anda sudah mengundurkan diri tapi aku yakin anda masih memiliki jiwa seorang polisi."

"Jiwa polisi kau bilang? Apakah kau pikir dapat menyelesaikan sebuah kasus hanya karena kau memiliki jiwa seorang polisi? Apakah semua penjahat akan tertangkap hanya karena kau memiliki jiwa seorang polisi?"

Kilat kemarahan di mata Eric sedikit memudar tapi kembali dalam waktu yang sangat singkat. Lebih pekat daripada sebelumnya. Seolah ada pemicu yang mendadak ditekan di dalam diri namja itu.

"Jika kalian hanya mengandalkan jiwa polisi untuk menyelesaikan kasus itu artinya kalian belum menyebut diri kalian seorang polisi."

"Lalu," Jaejoong balas menatap Eric garang, dia tidak terima profesi yang dia junjung tinggi direndahkan begitu saja.

"Apakah dengan merubah laporan kasus dan mundur setelahnya dapat membuatmu memiliki jiwa polisi?"

Kemarahan di dalam diri Jaejoong meledak, sehingga dia harus mengepalkan tangan dan menahannya agar tidak melayang ke wajah Eric.

"Bahkan yang sudah kau lakukan itu tidak seharusnya dilakukan oleh seorang manusia."

Eric tertegun namun dia tetap membalas tatapan mata Jaejoong yang ditujukan padanya. Hyesung menatap kagum pada Jaejoong yang berani menghadapi Eric tanpa menunjukkan kegentaran. Jaejoong mengingatkannya pada semangat Eric pada saat namja itu masih bekerja sebagai polisi. Mereka muda, menjunjung tinggi pekerjaan mereka dan bersemangat. Tak kenal takut pada apapun, bahkan saat harus menghadapi bahaya demi menangkap pelaku. Mereka bisa saja mati saat bertugas tapi hal itu tidak menghalangi mereka dari meakukan apa yang menurut mereka menjadi hal yang benar.

Pemikiran itu membuat kepala Hyesung dihantam dengan batu dan kotoran diraupkan ke wajahnya. Dia merasa malu dengan apa yang telah dia lakukan. Mereka melakukan kesalahan waktu itu dan mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk meluruskan peristiwa yang telah bengkok.

Jaejoong dan Eric saling memandang dengan tajam untuk waktu yang sangat lama sebelum Eric kembali bicara.

"Jika memalsukan laporan tentang dua orang yang telah mati dapat menyelamatkan lima nyawa dari orang yang masih hidup dan memiliki masa depan aku akan melakukannya."

Eric berkata dengan nada yang sangat serius bahkan penuh keyakinan dan matanya bahkan tidak berkedip untuk balas menatap mata doe Jaejoong. Keduanya memegang keyakinan mereka masing-masing dengan sangat kuat, keduanya sama-sama keras.

Hyesung menundukkan kepalanya, menatap permukaan celana yang membalut kakinya.

"Lima nyawa dari orang yang masih hidup dan memiliki masa depan..." Ujar Hyesung lirih namun masih dapat terdengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu karena kini semua mata tertuju padanya.

"Masa depan seperti apa?" Lanjutnya.

Hyesung mendongakkan wajah, menatap Eric yang memandanginya dengan sejuta tanya.

"Masa depan seperti apa yang ada di dalam benakmu Eric?" Tanya Hyesung lagi.

"Hye-"

"Cukup." Potong Hyesung cepat, meski tidak berteriak atau terlihat marah tapi mata Hyesung yang mulai nanar membungkam Eric seketika. "Aku sudah mendengarkan alasanmu dulu."

Hyesung menggeleng kecil. "Dan jangan buat aku mendengarnya lagi hari ini. Karena aku tidak akan mendengarkannya."

Pandangan mata Hyesung teralih pada Jaejoong.

"Kau berjanji akan membuka kasus pasangan Yoo?"

"Ya. Itu yang kuinginkan." Jawab Jaejoong.

"Aku akan membantu kalian." Katanya penuh dengan keseriusan. "Aku akan menjadi saksi untuk kalian."

"Hyesung!!!" Pekik Eric.

Kulit tan wajahnya kehilangan warna aslinya, pucat pasi dengan mata membelalak. Dia terlihat ketakutan.

"Aku tahu resikonya. Tapi aku sudah cukup lama bersembunyi. Aku lelah berpura-pura, Eric. Aku tidak lagi dapat berpura-pura untuk tidak tahu apa-apa."

Hyesung memandang Eric, meraih salah satu tangan Eric.

"Aku tahu kau juga merasakan apa yang aku rasakan." Hyesung menggeleng. "Tidak. Bukan hanya aku dan kau. Tapi kita semua. Kita berenam. Jika kau memang tidak perduli pada lagi pada semuanya setelah kau melepas pekerjaanmu tidak mungkin kau menyelidiki kasus Kijong secara diam-diam."

Eric terhenyak. "Ba-ba-"

"Aku tahu Eric. Aku tahu." Kata Hyesung. "Ini saatnya kau, aku dan kita semua menebus kesalahan kita."

____

"Holy shit!!!" Umpat Jooheon.

Wajahnya memucat saat memandangi layar komputer.

____

Eunhyung berjalan cepat melewati lorong gedung dan masuk ke dalam ruangannya tanpa menoleh pada seorang rekan yang menyapanya.

Menutup pintu di belakangnya dengan sebuah bantingan yang lumayan keras. Dia berjalan menyeberangi ruangan, bernaruh tas ransel yang ada di tangannya ke atas sofa. Eunhyung melepas jas hitam yang dia pakai, lalu di lempar ke asal tak jauh dari tas ransel dan setelahnya dia menghenyakkan diri di atas sofa.

Seperti sedang diburu oleh waktu dia membuka tas ransel itu dengan gerakan yang cepat dan mengeluarkan semua map yang ada kemudian ditumpuk di atas meja yang ada di depannya.

Eunhyung mengambil satu map teratas, membuka dan membacanya dengan mata elangnya.

____

"Kenapa kau ingin menyelidiki kasus penculikan itu?" Tanay Haneul pada Yunho.

"Karena aku ingin mencari tahu siapa penyelamatku." Jawabnya.

Keduanya berdiri saling berhadapan di dalam ruangan putih yang kosong, tempat terakhir mereka berbicara.

"Kenapa?" Tanya Haneul lagi.

"Karena dia penyelamatku."

Yunho dapat melihat wajah Haneul mengeras karena jawabannya. Karena baik dia atau Haneul tahu bukan jawaban itu yang ingin didengarkan oleh Haneul. Tapi dia juga tidak ingin mengungkapkan jawaban yang diinginkan oleh Haneul. Mungkin dia sedang mengetes kesabaran Haneul, mungkin juga dia ingin mendengar suara hati Haneul yang sebenarnya.

Selain Yunho dapat mendengar suara Haneul setelah mereka berbicara di ruangan putih ini, Yunho menyadari hal lain setelahnya. Dia semakin peka dengan perasaan Haneul. Dan karena hal itu Yunho merasa tidak tenang karena perasaan yang dimiliki Haneul untuk Changkyun.

"Bukan itu yang ingin kudengar."

"I know."

Yunho memandangi Haneul.

"Apakah kau menyukai Changkyun?" Tanyanya.

Seperti sebuah kereta cepat, Haneul menjawab. "Ya."

Jawaban Haneul hanya singkat tapi terlalu tajam dan menyesakkan untuk Yunho.

"Bagaimana dengan Jaejoong?"Yunho bertanya lagi.

"Aku masih mencintainya."

"Lalu kenapa?"

"Karena dia hanya mencintaimu. Sejak awal."

"Tapi dia menerimamu."

"Menerimaku bukan berarti dia mencintaiku. Ya, benar aku dan dia juga melakuakn hubungan badan seperti yang kalian lakukan tapi dia melakukannya hanya karena kita satu tubuh."

Mereka saling memandang tanpa berkedip dan mereka tahu, mereka sama-sama terluka.

"Yang dia lihat. Yang dia harapkan. Yang dia cintai." Haneul menggeleng. "Bukan aku. Only you."

"Itukah alasannya kau melepaskan cincin yang Jaejoong berikan?"

"Bagaimana kau tahu?"

Pertanyaan itu keluar dari bibir Haneul seperti tanpa dipikirkan lebih dahulu.

"Arra."

Yunho mengulas senyum palsu dan Haneul tahu itu bukan senyum Yunho, hanya sekedar otot wajah yang ditarik untuk membentuk sebuah garis lengkung tanpa makna.

"Haneul-ah, apakah kau tahu jika saat ini aku sangat ingin memakimu dan menghajarmu karena kau melakukan sesuatu tanpa seijinku."

Yunho mendengus lalu tertawa kering dan merasakan seperti ada batu besar sengaja ditekan di dadanya hingga dia kesulitan bernafas.

"Tapi anehnya aku tidak dapat melakukannya."

Nafas Yunho sedikit demi sedikit terdengar lebih kasar dan tanpa dia sadari mata musangnya telah digenangi oleh kabut bening.

"Karena aku tahu apa yang kau rasakan saat ini. Mian." Ucapnya dengan suara bergetar.

'Mian'.

Kata itu bergema di dalam benak Haneul seperti suara lonceng yang dibunyikan berkali-kali, memekakkan telinga dan membuat perutnya terasa sangat mual hingga mau muntah.

Haneul tidak mengerti perasaan apa yang sedang dialaminya saat ini.

Marah?

Tidak. Ini tidak seperti itu.

Senang?

Jelas bukan.

Sedih?

Entahlah. Yang jelas Haneul sangat tidak menyukai perasaan yang dia rasakan saat ini. Karena perasaan ini membuatnya ingin mengamuk. Tapi di saat yang sama dia seperti ingin berteriak dan menangis.

'Mian'.

Dia tidak ingin mendengar kalimat itu dari Yunho. Sama sekali tidak. Tapi sebenarnya apa yang dia harapkan saat ini? Kenapa dia seperti kehilangan arah?

______

Jooheon baru akan memanggil Yunho saat dia membuka pintu kamar yang di tempati oleh Yunho, namun kemudian dia melihat Yunho duduk di meja kursi, memunggunginya dan Jooheon dapat melihat siluet bahu Yunho naik turun. Deru nafas yang kasar mengisi udara kamar Yunho dengan sesuatu yang membuat Jooheon tidak berani melangkah masuk apalagi untuk memanggil namja itu.

Berusaha untuk tidak bersuara Jooheon menutu pintu kamar Yunho tapi menyisakan sedikit celah tak lebih lebar dari satu ruas jari agar dia dapat melihat Yunho dari luar.

Yunho bangun dari kursinya, wajahnya terlihat lebih gelap dari pada biasanya dan saat itu Jooheon baru menyadari Yunho menutup jendela dengan tirai dan tidak menyalakan lampu kamarnya. Yunho terlihat memandangi seluruh ruangan seperti sedang mencari sesuatu yang dapat menarik perhatiannya, lalu mengangkat tangan dan melakukan gerakan usapan di kening kemudian memijat kepala.

Jooheon tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Yunho, tapi dia menebak Yunho sedang memikirkan hal yang berat dan sangat buruk. Meski mereka terikat hubungan karena mereka satu team tapi tidak berarti Jooheon dapat masuk dan menanyakan apa yang sedang Yunho pikirkan. Hubungan mereka tidak sedalam itu sampai Yunho akan membuka diri untuk menceritakan masalahnya pada Jooheon. Jooehon pun sadar Yunho akan sangat terkejut jika Jooheon masuk dan bersikap terlalu peduli saat mereka bukanlah 'teman'.

Jadi Jooheon memutuskan untuk pura-pura tidak pernah mendatangi kamar Yunho dan kembali ke kamarnya sendiri. Yang akan dia sampaikan pada Yunho harus menunggu sampai Yunho sendiri yang menemuinya.

______

Hyungwon bergerak dengan cepat, menyembunyikan keberadaannya di balik dinding dengan tubuh rapat hampir menjadi satu dengan dinding. Wajahnya berubah sangat pucat dan jantungnya berdetak dengan kecepatan yang tidak normal.

"No way." Gumamnya.

Hyungwon mengangkat tangannya dan matanya melebar saat dia melihat tangannya gemetaran dan kilau keringat membasahi keningnya yang tertutup oleh topi. Dia mengepalkan tangan dengan sangat erat sampai dia merasakan kuku jarinya menancap di telapak tangan. Tapi rasa sakit itu tidak menghentikan tangan dan bahkan kini tubuhnya ikut gemertaran.

Dia tahu jika dia harus segera keluar dari tempat ini. Tapi dia tidak dapat merasakan kakinya.

"Tidak mungkin aku masih takut padanya..."

_____

Hanya ada kebisuan selama perjalanan dari restoran milik Hyesung menuju ke studio foto mereka kunjungi. Ketiga polisi yang ada di dalam kuda besi yang sedang melaju di jalanan macet sore itu masih mencerna semua informasi yang mereka dapatkan dari Eric dan juga Hyesung. Informasi yang membuat mereka ngeri dan sadar betapa kejinya pengaruh uang dan kekuasaan. Mereka yang memiliki uang dan kekuasaan bahkan dapat mengkontrol tindakan manusia, mengatur scenario yang harus di mainkan oleh masing-masing boneka yang mereka miliki agar semuanya berjalan sesuai keinginan dari mereka yang memiliki uang.

Bahkan dengan uang mereka mampu membayar dan mengancam polisi untuk melakukan hal yang bertentangan dengan sumpah setia polisi yang akan mengabdi untuk keadilan.

"Ini mengerikan." Kata Yoochun berusaha membuka topic pembicaraan meski topic yang dia pilih untuk saat ini tidak tepat.

"Sejak awal kita sudah menduga kemana arah kasus Kijong. Tapi aku tidak menyangka jika kebenaran kasus ini tersembunyi dan terkait dengan kasus yang telah lampau." Jawab Jaejoong menanggapi.

"Selamanya aku tidak akan paham kenapa orang tega melakukan perbuatan keji dengan melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain hanya demi kekuasaan dan uang." Sambung Wonho.

Yoochun menoleh pada Wonho. "Karena mereka memiliki ego yang tinggi dan diselimuti oleh rasa tidak pernah puas. Bagi mereka yang yang memiliki kedua hal itu akan melakukan apa saja untuk mencapai keinginan mereka. Dan uang dapat membantu mereka mempermudah segalanya."

Jaejoong menatap punggung kursi yang diduduki oleh Yoochun. Dengan fakta baru yang mereka peroleh mau tidak mau membuatnya berpikir tentang keselamatan Yoochun, Junsu dan Junyoung. Meski mereka masih buta akan siapa pelaku yang bertanggung jawab atas kematian pasangan Yoo dan Kijong tetap tidak mengubah kenyataan bahwa orang itu masih bebas. Jika si pelaku mengetahui jika saat ini mereka sedang menggali kasus pasangan Yoo lagi maka bukan tidak mungkin keselamatan orang-orang terdekat mereka akan berada dalam bahaya seperti yang terjadi pada Eric dan teman-temannya.

Dalang utama dari semua permainan ini masih tidak tertebak, bersembunyi dalam kegelapan bersama dengan uangnya. Tapi satu hal yang pasti, ada polisi yang menjadi kaki tangannya. Jaejoong tidak yakin dengan jumlah, pangkat dan tugas-tugas mereka. Tapi cepat atau lambat pergerakan mereka akan tercium oleh kaki tangan si pelaku dan hanya menunggu waktu sampai si pelaku utama melemparkan dadu permainannya untuk menutup jalan mereka.

"Yoochun." Panggil Jaejoong.

"Hm?"

Yoochun melongok ke belakang.

Jaejoong mengulum bibirnya. "Apakah kau tidak mau mengambil cuti?"

Yoochun menyipitkan sebelah matanya, keningnya berkerut.

"Kenapa tiba-tiba membicarakan cuti?" Tanyanya binggung.

Jaejoong mengalihkan pandangannya dari Yoochun, mengusap tengkuknya.

"Yah, kupikir sebaiknya kau mengambil cuti. Sebentar lagi Junyoung akan masuk sekolah dan waktumu bersamanya akan semakin berkurang. Jadi kupikir-"

Yoochun menghela nafas lalu menyeringai.

"Apa kau takut?" Tanyanya mengejek.

"Huh?!"

"Aku bertanya padamu. Apa kau takut?"

"Takut kehilangan aku?"

Seringai di wajah Yoochun semakin lebar, kedua alisnya bermain-main di keningnya yang lebar. Jaejoong memutar bola matanya.

"Kenapa aku harus merasa begitu padamu." Sahutnya sedikit jengkel.

"Yah," Yoochun kembali pada posisi duduknya. "Karena meski kau takut, aku tidak akan mundur. Sejak aku memiliki cita-cita untuk menjadi polisi aku sudah tahu resiko seperti apa yang harus dihadapi seorang polisi. Aku juga sudah membicarakannya pada Junsu sejak dulu dan dia mendukungku serta pekerjaanku. Daripada jadi pengecut. Aku lebih memilih menjadi pahlawan dengan caraku sendiri yaitu melakukan pekerjaanku apapun yang terjadi. Perlu kau ingat Jaejoong-ah, kalau bukan hanya kau di dunia ini yang bisa keras kepala. Aku juga dapat melakukannya. Hanya saja aku sedikit pilah-pilih."

Wonho melirik sekilas ke arah Yoochun yang memiliki senyuman di wajahnya saat bicara. Meski tidak melihat Jaejoong yang ada di belakang, Wonho dapat mendengar suara yang berasal dari Jaejoong.

______

-TBC-

______

Annyeong.....

Mian ane lama gak update cerita ini...

Hahahaha...

Udh pd tau kan ya kl DBSJ ke jogja??!!

Tu ane seneng bgt dgrnya n ane korbanin kerjaan ane buat ngintilin mereka...

Worth it bgt...
Akhirnya ane yg kaum misquen ini bisa ngliat mereka dr jarak deket...
Bisa liat mereka nafas n napak di depan ane.. 😭😭😭

Berkah bener dah...
Tp msi ngerasa kek mimpi aja gtu ngliat mereka... huhuhu ....

Dh cukup sekian cuap2 ane..
See you in jext part soon...

Please voment if you like this story...

Bye...

😙😙














Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

261K 39.8K 102
ပြန်သူမရှိတော့ဘူးဆိုလို့ ယူပြန်လိုက်ပြီ ဟီးဟီး ဖတ်ပေးကြပါဦး
94.2K 2.4K 35
A little AU where Lucifer and Alastor secretly loves eachother and doesn't tell anyone about it, and also Alastor has a secret identity no one else k...
119K 243 17
My wlw thoughts Men DNI 🚫 If you don't like these stories just block don't report
16.5K 576 27
روايه اماراتيه تتكلم عن مثايل وحيده امها وابوها الي عانت من الم الانفصال الام : نوره الاب : محمد تاريخ الكتابه : 19/3/2023 تاريخ التنزيل : ..