Kakak • lrh

By ohsnapitshood

2K 490 164

"Kakak?" "Kakak kenapa harus pergi jauh?" "Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disin... More

Special thanks!
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Kaka🍒
Luke
Kaka-kakak🍒
Kaka
Luke
Jack
Jack
Ben
Kaka
Luke
Luke
Jack
Ben
Jack
Kaka
Calum
Calum
Calum
Kaka
Kaka
Luke
Jack
Kaka
Jack
Luke
Kaka
Calum
Jack
Jack
Calum
Jack
Calum

Luke

28 7 1
By ohsnapitshood

"Kakak, ih! Katanya janji gak mau dimakan?!"

"Orang dikit, ah."

"Ini setengahnya-- Kak Cal! Ih, bener bener!"

"Dikit ah!"

"Udah, ih! Aku belom jilat juga!"

"Tunggu-- Ka!"

"Bagi, ah!"

"Mereka udah akur."

Gue menoleh kearah Jack, yang kini meletakkan teh di meja kecil disebelah gue; senyum kecilnya terkembang kecil, lantas ia duduk di pinggir tempat tidur gue, mengusap rambut gue lembut.

"You're gonna be fine, Lewi." Bisiknya, merengkuh gue kedalam pelukannya sesaat. "Dokter itu bukan Tuhan, dia gak berhak nentuin kapan lo mati."

I got it, the 'stage 3' thing.

Iya, stadium 3.

Waktu gue bahkan udah bisa ditentuin, secara medis.

Gue belom mau mati...

Gue mengangguk pelan; mau nangis juga rasanya gak guna. Dada gue sesak bukan main, pandangan gue buram, kepala gue makin sakit.

Lewi takut, ma, pa...

"Gue nggak mau mati, Jack..." Lirih gue, bersandar pasrah di dadanya begitu saja. "Gue takut..."

"Gue masih mau bareng mama," Isak gue, yang gak tau lagi harus gimana. "--bareng papa..."

"Bareng Kaka..."

"Bareng lo, bareng ben..."

"Bareng calum, mali..."

"Gue masih mau idup..." Gue memukul dada sendiri. Sekali, dua kali, tiga kali...

Gue meremas paha sendiri kali ini, kenapa sesaknya gak kunjung hilang?

"Lewi..." Lirih jack; menahan kedua tangan gue, agar tidak lagi memukul dada sendiri. "Lewi, gue udah bilang barusan, dia bukan Tuhan, dia gak bisa nentuin kapan lo mati."

"Bisa aja gue duluan," Ia mengusap rambut gue, "Bisa aja Ben duluan, bisa aja mama papa, atau bahkan calum. Kita gak pernah tau, Lew..."

"Lo harus yakin kalo lo bisa sehat lagi." Sambungnya. "Kita semua berharap banyak sama lo, Lew. Lo liat Kaka sekarang, siapa yang bikin dia begitu, kalo bukan lo?"

"Terus, lo mau nyerah gitu aja sama diagnosa dokter?"

"Kalo lo gak sanggup idup buat diri sendiri karena keparat yang idup di kepala lo, coba lo idup untuk orang lain. Lo mau liat kaka nangis ngeraung raung, ngeliat lo 'sekarat', padahal lo belom waktunya mati?"

"Lo mau liat mama papa nyalahin satu sama lain, karena lo 'sekarat', padahal lo belom waktunya mati?"

"Lo mau liat Calum nyalahin diri sendiri?"

"Lo mau Ben sama Mali makin jadi ributnya, karena mereka selalu nyalahin satu sama lain?"

"Jawab gua." Tegasnya, menggucang pelan bahu gue yang memang sudah bergetar karena menangis sejak tadi-- karena gue benar benar nggak tahu harus apa. "Lewi, jawab gua."

"Lo juga bukan Tuhan, Jack!" Seru gue frustasi. "Lo gak bisa bilang kalo gue masih punya waktu!"

"Neither do you!" Serunya balik. "Lo juga bukan Tuhan, Lew! Lo bisa mengira ngira kapan lo bakal mati, tapi lo cuma bisa mengira; semuanya, itu bukan lo yang menentukan! Lo bukan Tuhan! Catet itu!"

"Manusia bukan Tuhan!" Serunya--yang kemudian berubah jadi desisan pasrah. "Lo ngerti, kan? Kita ada yang menciptakan, dan Dia yang ngatur semuanya, Lew!"

"Jangan patah semangat." Lirihnya. "Gue gak bisa liat lo pergi."

"Ngga bisa..." Bisiknya; diam diam menghapus airmata yang menggenang di pelupuk matanya. "Gak ada yang bisa, Lew, asal lo tau..."

Jack adalah orang paling kuat ketiga setelah Ben dan Papa. Terakhir kali gue lihat dia nangis, itu waktu gue berumur empat tahun; dia nangis karena wafer jajanannya keujanan.

Tapi sekarang?

"Pikirin baik baik." Ia menghela nafas, menepuk pundak gue singkat, setelah selanjutnya duduk di pinggir jendela; tempat kesukaan Calum, jika ia berkunjung kemari. "Lo harus bisa ngalahin si kampret, Lew. Lo yang punya badan, bukan dia."

"Gue capek..." Bisik gue, entah pada siapa; setelahnya bersandar lemas pada bantal. Airmata gue layaknya keran rusak; gak bisa berhenti mengalir sekarang.

"Get some rest." Tukas Jack, yang mungkin mendengar bisikan gue barusan. "You need it."

Gue berbaring, hanya saja tanpa niat beristirahat samasekali; pikiran gue mengawang jauh pada saat nanti gue merayakan hadiah ulangtahun yang gue berikan untuk kaka, liburan berdua dengannya; ketika gue menjadi pendamping Ben jika ia akhirnya menikah; ketika Kaka mengenalkan pacar pertamanya pada gue; ketika nanti Jack dan Celeste punya anak; bahkan ketika mama dan papa tua nanti.

Tapi, apa mungkin?

"Ya lo pikir wakanda kayak pasar uler, banyak premannya? Konyol banget lu, Ka."

"Lah, emang pasar uler doang yang ada premannya? Gang deket rumah ngga ada? Hayo, emang ngga ada, kak?"

Gue memejamkan mata paksa; gak mau Kaka melihat gue menangis. Udah cukup dia ngadepin gue yang ngerepotin setengah mati tadi pagi.

Mungkin mati emang lebih baik, Luke, daripada lu nyusahin orang terus.

Masa depan Kaka masih panjang; kalo lo idup, lo cuma bakal nyusahin dia.

Mending mati aja.

"Kak--"

"Ssh," Timpal Jack. "Luke tidur, jangan pada berisik lu, ya."

"Aku juga mau tidur, ah."

"Lu baru bangun, kebo."

"Ya biarin, orang ngantuk lagi."

"Lu kayaknya anak mama sama kebo deh, bukan anak mama sama ayah."

"Kakak malah anak mama sama batu, bukan sama ayah."

"Sst, eh! Berisik banget lu berdua!"

"Kak Cal tuh,"

"Kaka, tuh! Enak aja gua!"

"Udah, udah. Kaka, kalo mau tidur samping Luke mandi dulu, ya. Terus tidur, beneran tidur, jangan main main lagi. Luke butuh istirahat soalnya. Ya?"

"Oke, om!"

"Kebo."

"Bodoamat."

Setelahnya, suara Kaka tidak terdengar lagi; mungkin ia menuruti perintah Jack untuk mandi; karena sekarang hanya ada suara Cal dan Jack yang bercakap.

Gue mau mama...

Mau papa...

Gue-- Luke, stop! Jangan nyusahin mereka terus!

Kalo mereka ada, terus lo mau apa?

Nangis depan mereka? Ngadu? Lo bukan anak SD lagi, Luke. Dewasa!

Gue belum bicara apa apa pada mereka berdua, sejak diagnosa gue tadi. Ketika dokter membacakan diagnosa gue, mama shock bukan main; baru kali ini gue lihat mama menangis didepan gue, dan sebabnya juga tentu karena gue. Papa juga shock, hanya saja dia nggak buka suara--samasekali. Sampai akhirnya mereka pulang ke rumah setengah jam yang lalu, yang papa lakukan hanya diam.

Maafin Lewi...

"Buruan, Ka! Yang mau mandi bukan cuma lo doang!"

"Sabar, ih! Ini udah!"

"Kakak jelek!"

"Lo lebih jelek!"

Setelah percakapan tadi, suara pintu dibanting menyeruak ke telinga gue; sepertinya Kaka sudah selesai mandi, karena derap langkah kakinya juga mulai mengarah kemari.

"Kakak?" Sapanya, diikuti dengan suara gaduh tanda ia sudah naik ke tempat tidur, kini berada di samping gue; membuat gue mati matian menahan tangis; memaksa diri untuk tidak membuka mata, atau hanya sekedar bergumam.

"Kakak abis nangis, ya?"

"Kakak kenapa nangis?"

"Kakak nggak sakit lagi, kan? Kata kak Cal, tadi kakak ke dokter. Pasti kakak udah dikasih obat kan, dari dokter?"

"Terus, kakak udah mendingan sekarang?"

Jangan bersuara, Luke. Pura pura tidur aja, udah.

Tangan kecilnya bergerak memeluk gue sekarang; mengusap lengan gue, seperti yang pagi tadi dilakukannya.
"Kakak harus sembuh..."

"Kakak kan mau jalan jalan ke disneyland, sama aku."

"Aku janji, gak bakalan berantem lagi, kalo kakak sembuh nanti."

"--gak akan males belajar,"

"--gak akan rewel lagi,"

"--gak akan pake dot lagi."

"Tapi kakak harus sembuh..."

"Aku kemaren diajak ngobrol, sama temenku..."

"Namanya Salah. Maksudnya, bukan 'salah' gak bener, emang namanya Salah"

"Dia cerita soal Tuhannya."

"Katanya, Tuhannya baik banget."

"Jadi, aku minta sama Tuhannya Salah, biar dia sembuhin kakak."

"Kalo Tuhan cuma satu, berarti Tuhannya dia Tuhanku juga, dong, kak?"

"Mama sama ayah gak pernah cerita, Tuhan ada dimana. Jadi mungkin, Salah bener."

"Kak,"

"Jangan sakit lagi..."

"Ka, katanya mau tidur? Kok ngobrol? Ngomong sama siapa?"

"Nggak, ngga ngomong, om."

"Kaka gila!"

"Kak cal lebih gila!"

"Eh, kalo masih berisik, gua pulangin, ya?"

"Ah, jangan om! Kak cal aja!"

"Ya makanya udah, tidur, jangan berisik!"

"Iya, aku tidur..."

"Mati suri kali!"

"Cal! Udah, lu juga jangan mancing!"

Suara kaka nggak terdengar lagi; namun kali ini suara game yang sedang dimainkannya terdengar; suaranya sengaja dikecilkan, mungkin agar nggak diomeli Jack lagi.

"Yah, jagoannya Ash, si goku, kemaren dia simpen dimana, ya? Apa udah dijual ke orang lain? Kok ngga ada?"

Deru nafasnya terdengar di telinga gue, begitu juga dengan suara game di handphonenya; sepertinya ia bersandar didekat gue, karena hangat nafasnya terasa sampai sini.

Perlahan, tanpa terlihat sengaja, gue memeluk Kaka; membuatnya mencicit sedikit, disusul hentakan sesuatu setelahnya.

Kalo gue udah gak ada, Ka, satu hal yang gak boleh lo lupa; gue sayang banget sama lo.

Sayang banget.

Tetep jadi anak baik, ya, Ka.

Jujur, gue ngga sanggup ninggalin lo, asli.

Maafin gue...

"Aw, jidatku..."

Sepertinya, tadi handphonenya jatuh menimpa dahinya.

"Wow, kambing guling berubah jadi guling beneran."

"Cal, udah."

"Om, kakak badannya anget..."

"Capek, biarin aja. Lu kok jadi guling, Ka?"

"Sering ketuker, mana guling mana kaka, gembulnya sama soalnya."

"Cal,"

"Ah, berisik lu jack."

"Lu, anjir."

Kesadaran gue hilang perlahan; rasa capek sukses menguasai tubuh gue, membuat sadar gue perlahan menghilang.

Mungkin, gue memang butuh istirahat kali ini.

Continue Reading

You'll Also Like

95.7K 11.3K 50
Jungkook, erzağının bitmesiyle kendine yiyecek birşeyler ararken, Taehyung'un liderlik yaptığı bir küçük bir şehirle karşılaşır. Jungkook, açlığını d...
22.6K 3K 19
O hep "kırılmadım sorun yok" diyordu, fakat ruhu yavaş yavaş ölüyordu. Texting&düzyazı
100K 18.5K 15
oğlum sadece en sevdiği oyuncakları kırıyor. ben onun yok ettiği kumdan kalelerin kralıyım omegaverse, etl texting
144K 16.3K 37
jeon jungkook en yakın arkadaşının amcasına aşık olmuştu.