Kaka

80 12 8
                                    

"Ka, jangan lupa pulang sekolah langsung kerumah kak Luke, ya. Jangan pulang sebelum kamu ngerti pelajaran hari ini." Tegur kak Mali, sambil berjalan tergesa mengambil kunci mobilnya, melewatiku dengan pandangan acuh.

"Kak, nggak mau!" Rengekku. "Aku ada janji main futsal sama anak komplek sebelah hari ini!"

"Oh yaudah, mau futsal ya? Sini deh handphonenya, kakak gadai." sinisnya, membuatku mendadak ciut.

"Nggak mau, kan? Udah buruan berangkat, pulang sekolah jangan lupa, jangan bolos. Kakak udah minta kak Cal buat ngawasin kamu, jadi ketauan kalo macem macem." sergahnya, "Belajar yang benar ya, jangan main main!"

Aku mendengus, disambut dengan gebrakan pintu rumah, menandakan kak Mali udah diluar, bersiap berangkat kerja.

Iyain, deh.

Lagian kak Luke yang mana, sih?! Inget juga nggak!

-

"Jadi, buat cari ukuran kue yang dipotong enam tadi, kita pakai rumus ini."

Kue tuh kodratnya dimakan, bukan diitung itung anjir keburu basi.

Aku menatap jengah TV besar di depan kelas yang wajib dipelototi tiap siswa ketika pelajaran; papan tulis. Yang jujur aja, nih orang ngoceh daritadi aku nggak nangkep apa apa.

"Nah, sebelumnya kita harus cari berapa derajat lingkarannya waktu kuenya utuh." Cerocos sosok di depan kelas, nggak henti hentinya menunjuk papan tulis, namun nggak sekalipun membuatku mengerti.

Ya terus? Dengar ya, kalo tiap mau makan kue diitung dulu, ya keburu disemutin! Udah tau rasa semut pedes, emang dia mau kuenya berasa pedes pedes balsem? Aku mah ogah.

"Hood, nomor satu." Katanya, menudingku dengan spidol, membuatku sukses kelabakan setengah mati.

Mati, apaan nih?! Merhatiin juga nggak!

"G-Gue? Eh, saya?" Gugupku, yang segera diangguki sir Felix.

Mati.

Sampe kelepasan ngomong 'gue' gitu, lagi...

Gimana nih?!

Phone a friend kali, ya?

Ah nggak lah, dikira deal or no deal kali...

Atau minta bantuan Ashton aja kali, ya?

Ah, Aseton lagi. Dibantuin kagak dimalu maluin depan kelas yang ada...

"Hood?" Tegurnya lagi, membuat semua argumen dalam diriku bubar, digantikan oleh rasa panik yang makin menjalar.

"Uh, sir, ada telfon, tunggu sebentar ya" Sergahku buru buru, sepik biar dikasih bebas. Masih mau jaga harga diri, lah.

"Satu menit." Jawabnya, membuatku tanpa berpikir dua kali segera keluar kelas, berlari sejauh jauhnya dari kelas dia, persetan besok boleh ikut kelasnya atau nggak.

-

87, 88, 89... Ini rumahnya yang mana sih, mendadak bolang kan jadinya...

Mataku terus bergerak lincah pada nomor di setiap rumah, mencari rumah bernomor 92. Ya, apalagi kalo bukan rumahnya kak Luke?

Sesuai permintaan kak Mali, akhirnya aku ke tempat kak Luke, mau nggak mau. Iyalah gila, aku nggak kesini handphone taruhannya. Ya kali handphonenya kuserahin, ogah banget. Mau gaming pake apa kalo handphone disita terus laptop dirumah dipakai kak Cal? Pake telfon rumah? Kali dah.

Kakak • lrhDär berättelser lever. Upptäck nu