Luke

44 9 4
                                    

"Dokter bisa tumbang juga."

Gue mendongak, mendapati Jack yang tersenyum lebar sembari masuk ke dalam kamar. Gue tersenyum balik, nggak nyangka ternyata dia beneran dateng. Gue kira mama bercanda soal dia.

"Ya bisa, lah." Tawa gue kecil. Pertanyaan yang dilontarkannya dari dulu sampai sekarang masih aja sama: nggak berbobot. "Ben mana? Kok lo sendiri?"

"Dia harus ke Vietnam, kerjaan katanya." Decaknya. "Gaya bener."

"Widih." Decak gue balik, nggak nyangka kakak kakak gue sekarang udah jadi orang. Perasaan, kemaren baru aja mereka ngunciin gue di lemari gara gara gue nangis terus, nggak mau diem. "Thanks ya, udah jauh jauh kesini."

"Santai aja." Angguknya, tersenyum tipis. "Pucet banget, lo. Kata dokter apa?"

Gue terdiam, kembali terpikirkan apa yang dokter katakan pada gue sebelumnya; Kalau dia jadi gue, dia nggak bakal berani menyimpulkan kalo dia cuma kecapekan.

Berarti, ini sesuatu yang lebih dari itu, dong?

"Ng..." Gue menggigit bibir bawah. "Ng-Nggak apa apa, sih. Kecapekan."

"Jangan ngadalin buaya, Luke. Nggak guna."

Gue menghela nafas, pasrah.
"Gue nggak enak badan, Jack. Yang pertama gue pikir emang cuma kecapekan. Tapi dokter bilang, kalo dia jadi gue, dia bakal mikir lebih jauh tentang itu. Nggak mungkin kecapekan sampai segininya."

"Terus, lo dijadwalin buat periksa lagi?"

Gue mengangguk.
"Katanya sih gitu. Paling mama lagi ngomong, nggak tau juga gue."

"Gue emang nggak bisa jamin keadaan lo buat kedepannya," Ia menggenggam tangan gue. Nggak, bukan homo, emang dia suka kayak gini. "Tapi gue bisa janji, kalo lo bakalan baik baik aja, selama lo ngikutin semuanya. Time is the best healer, inget?"

Kerja jadi direktur di penerbitan novel, ternyata nggak sia sia buat dia. Buktinya, sekarang dia bisa ngomong bijak. Ya nggak?

"Apaan sih bahasa lo, ah." Geleng gue pelan, kali ini tertawa miris. "Tapi, thanks..."

"Lo bakal baik baik aja." Angguknya, "Oh iya, tadi sori banget, gue... Ng..."

"Ya?" Tanya gue, "Lo ngapain tadi?"

"Gue... Nabrak..."

"Nabrak pasien?"

"Bukan."

"Terus?"

"Nabrak..." Ia menggigit bibir bawahnya, sesuatu yang selalu dilakukannya kala ia takut akan sesuatu. Macem macem nih pasti. "Nabrak Elhamka."

Lah?

Gue menerawang sekitar, baru sadar si curut nggak ada disini. Padahal sebelumnya, dia lagi tidur disamping gue.

"Nabrak gimana?" Bingung gue. Nggak mungkin Kaka main sampai keluar rumah sakit, kan? "Lo ketemu Kaka dimana? Sekarang dia dimana?"

"Tadi, dia lari sampai ke jalan raya, sebelum portal masuk rumah sakit. Gue nggak liat, jadi tadi ya nggak sengaja ketabrak. Cuma lukanya di kaki tangan aja, kepalanya nggak kenapa napa." Jelasnya, sukses membuat jantung gue berirama lebih cepat dari biasanya. Pikiran pikiran aneh tentang keadaan Kaka mulai bergumul jadi satu.

Anjritlah.

Kalo dia gegar otak, gimana?

Kalo dia diamputasi, gimana?

Kalo dia- anjrit, Luke, udah!

"T-Terus dia gimana?" Tanya gue, nggak mau lagi membayangkan keadaan manusia kecil satu itu. "Dia dimana sekarang?"

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now