Luke

36 8 8
                                    

"Ya masa air segitu banyak gak bisa nembus selimut? Ngaco aja lu, Ka."

"Makanya, bangun pagi. Demen banget mati suri sih lu, heran gua."

Gue menerawang sekeliling, namun kali ini ngga menemukan papa di samping; melainkan mama, tapi beliau tidur di sofa.

Bersandar di bantal, gue menghela nafas pasrah.
Kenapa jadi lemes banget, ya?

"Gimana lu ngga kesiangan, jam segini aja masih ngalong, nelfon sembunyi sembunyi. Udah gila lu, emang."

"—woy, kaka nelfon nih!"

"Mampus, biar pada bangun."

Gue mengernyit; mendapati suara Calum yang girang bukan main. Ia bertengger di pinggir jendela, seperti biasanya. Namun kali ini, ia tidak bertengger persis disamping gue—ia bertengger di jendela dekat TV—dua jendela jaraknya dari sini.

Kalo gue panggil, pasti dia langsung selesai nelfon...

Gue samper, deh. Tapi diem diem; kalo ngga, sama aja boong.

Perlahan, gue bangun dari tempat tidur; berjalan menghampiri Cal yang kini masih duduk—tersenyum dengan telfon menempel di telinganya.

"Kakak jelek!"

Gue spontan berhenti. Itu... Suara Kaka, kan?

"Lah, lu lebih jelek." Sahut Cal. "Mama ngidam liat monyet pas hamil lo kayaknya."

"Lah, mama ngidam liat gorila, pas hamil kakak."

"Cal?" Panggil gue; membuatnya terlonjak—hampir tergelincir dari jendela, kalau aja dia ngga pegangan dinding.

"Udah dulu, gua ada urusan. Call me anytime." Sergahnya, yang tanpa menunggu jawaban Kaka lantas mematikan sambungan; pandangannya sinis menatap gue.

"Apaan sih, lo?" Decaknya. "Awas, gua mau ke wc."

"Itu siapa?" Tanya gue, berdiri tepat di hadapannya; menghadangnya pergi.

"Bukan siapa siapa." Gelengnya, mendorong bahu gue halus. "Awas."

"Cal—"

Pandangan gue lambat laut menjadi gelap; tubuh gue terhempas entah kemana— suara Cal menjadi samar, sampai akhirnya pandangan gue hilang sempurna.

"Luke!"

"Lu— Jack, tolongin gua!"

Bising namun samar; rasanya aneh.

"Lewi!"

Gue pasrah; membiarkan semua orang mengangkat gue—melakukan apapun pada gue.

nyerah.

***

"Lewi?"

"Tadi terakhir gimana, cal?"

"Tiba tiba dia udah jatoh. Jatoh sendiri tante, beneran, aku ngga ngapa ngapain."

Gue perlahan membuka mata; menemukan mama, jack, dan Cal; menatap gue seakan gue baru aja ditabrak mobil.

"Sayang?" Mama mengusap rambut gue halus. "You okay, honey?"

Calum menyilangkan tangan di dada; tampangnya tampak songong, tapi jelas, khawatir tercorak disana.

"Lew?" Kali ini Jack buka suara. "Gimana rasanya?"

Gue menggeleng pelan.
"Ng-nggak..."

"Nggak apa? Ngga enak, ya?" tanya mama; membuat gue menggeleng setelahnya.

"Nggak apa apa." Gue tersenyum paksa. "Sorry for making you guys worried."

"Gimana ceritanya..." Lirih Cal, menatap gue. "--Gimana caranya, sampe lo pingsan?"

Gue menatap mama sekilas, lantas menggeleng.
"L-Lemes aja..."

"Cal," mama menepuk pundak Cal; seakan tau bahasa mata gue. "Tolong beliin om andy rokok, dong."

"Katanya udah berhenti?" sungut Cal. "Gak mau, ah."

"Tante denger, kamu sama Ben mau ke coachella?" Tanya mama; membuat Calum mendengus gondok.

"Mau yang mana? isi berapa?" Sungut Calum, membuat mama spontan tersenyum penuh kemenangan.

"Terserah kamu."

"Yaudah, aku beliin honey pop." Sungutnya lagi, yang tanpa persetujuan mama langsung meloyor pergi.

Papa benci rokok itu, gue tau persis.

"Papa udah ngga ngerokok." Senyum mama, menyodorkan gue air mineral yang diambilnya dari tangan jack. "Minum dulu, sayang."

Gue menggeleng ragu—meskipun sebenernya pengen banget.
"Ngga, ma..."

"Ayo." Tegasnya. "Dikit aja."

Mau gak mau, gue menuruti perintah mama; menyesapnya sedikit— amat sedikit.

"Kamu kenapa, hm?" Mama mengusap punggung gue berulang kali; berusaha menenangkan gue; tentu saja.

Gue menghela nafas— menggenggam botol air tersebut tanpa niat meminumnya samasekali.
"Nggak kenapa napa..."

"Mama tau kamu gimana, sayang." Lirihnya. "You wanna keep it to yourself?"

Gue menggigit bibir bawah; sebenarnya ragu untuk cerita.
"Dehidrasi..."

"Hm?" Mama mengernyit bingung. "I'm sorry?"

"Aku ngga mau banyak ke toilet, karena..." lirih gue. "—aku ngga mau ngerepotin papa mama."

Sekarang, gue seperti mayat hidup; bener bener ngga ada tenaga untuk berbuat apapun, termasuk ke toilet sendiri. Setiap kali gue mau ke toilet, yang gue lakukan hanya bilang kalo gue mau ke toilet, dan papa yang ambil alih kegiatan setelahnya; Obat yang diberikan pada gue memang dimaksudkan agar gue tidur dan ngantuk tiap waktu,—serta bikin gue lemes gak ada tenaga; itu bagian brengseknya.

"Do you..." gue nggak berani menatap mama sekarang. "—you still love me?"

"If i were you, i would leave myself alone." Sambung gue; kali ini merasa gak berdaya. "Would you?"

Gue ngga mau mati;

Tapi kalo idup buat nyusahin orang doang, apa salahnya mati?

"Cuma ada satu Lewi buat mama." Senyumnya, mengusap punggung gue lembut. "Dan itu kamu; cuma kamu."

"Mama gak bisa nyari Lewi lain." Gelengnya. "Papa, Jack, Ben, Kaka, Calum—semuanya, gak bisa nyari Lewi lain."

"Cuma Lewi ini yang mereka sayang." Senyumnya lagi. "And we won't leave you, I promise you."

"Gak akan ada salah satu dari kita yang ninggalin Lewi, cuma gara gara ini." Geleng mama. "Tapi Lewi juga harus janji, gak bakal ninggalin semuanya."

"Ya, sayang?"

Gue menghela nafas; pikiran gue kosong—namun kalut.
"Lewi takut, ma..."

"Kenapa harus takut?" Tanya mama. "Ada mama, ada papa; ben, jack. bahkan, Kaka juga berusaha sekarang, biar Lewi sembuh. Jadi, apa yang harus ditakutin?"

"Ya?" Senyum mama, kali ini. "Jangan nyerah, sayang."

"—jangan pernah." Gelengnya. "Promise me, baby?"

Gue mengangguk pelan, meski rasanya gak sanggup.

Semoga aja bisa, ma.

Lewi gak janji,

Lewi gak akan bisa janji.

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now