Terlatih ✓

By dantiarzky

667K 48K 1.5K

Haziqah Khaila Nala. Seorang perempuan sederhana yang sejak kecil sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. Kep... More

B l u r b
1. Penguji iman
2. Patah hati pertama
3. Luka kedua
4. Ujian cinta
5. Hadirnya
6. Perkara hati
7. Antara kita
8. Rencana terbaik
9. Sandiwara
10. Akhir harapan
11. Bahagia bersama luka
13. Pilihan untukku
14. Menjaga
15. Ketulusan hati
16. Yang tersimpan
17. Seikat bunga
18. Cemburu dan canggung
19. Isi doa
20. Permintaan
21. Menepati janji
22. Bukan pilihan terbaik
23. Salam rindu
24. Terjebak
25. Obsesi semata
26. Satu mimpi
27. Pregnant?
28. Perubahan
29. Memaafkan
30. Demi umi
31. Berpisah
32. Pangeran surga
33. Pengganti
34. Baiti Jannati
Extra part : Berjama'ah
Extra part : Saling menyayangi
Extra part : Selepas senja

12. Sepiring bersama

16.8K 1.3K 34
By dantiarzky

بسم الله الرحمن الرحيم

Jika kau ingin pergi, aku akan berdiri di sampingmu untuk menemani.
Ardan
- - -

🕊 Rumah bertingkat dua yang bergaya minimalis itu sudah terlihat sepi. Semua keluarga telah mengisi kamarnya masing-masing dan beristirahat melepas kepenatannya di hari ini.

Lampu-lampu kamar yang tadinya menyala kini sudah di matikan. Menandakan seseorang yang berada di dalamnya telah terlelap dalam mimpinya. Kecuali, Khaila.

Matanya terus terjaga menatap setiap inci langit-langit kamarnya, sesekali mata berpindah melirik jam yang berada di dinding depannya.

Benda berbentuk bundar dengan angka yang mengitar itu telah menunjukkan pukul dua dini. Namun nyatanya mata Khaila masih masih terjaga, sangat sulit di meramkan.

Hati kecilnya masih mengharapkan kedatangan Ardan, meskipun lelaki itu sudah menyuruhnya untuk tidak menunggunya.

Khaila semakin gelisah, ia takut Allah marah padanya karena telah mempermainkan pernikahan. Ia lantas mengambil jilbabnya dan berjalan membuka pintu kamarnya.

Suasana malam ini sudah begitu sunyi. Di tambah lagi, hampir semua sudut rumah lampunya mati. Membuat Khaila kesulitan berjalan untuk bisa sampai di depan pintu kamar Ardan.

Setelah berjalan beberapa langkah dari kamarnya, Khaila sampai di depan pintu kamar Ardan yang tertutup gelap. Tangannya yang gemetar perlahan mengetuk pintu kamarnya. Ia ingin membicarakan suatu hal yang menyangkut sandiwara yang mereka lakukan.

Ia tak mau terus-menerus membohongi keluarga mereka dengan berpura-pura saling menerima. Khaila ingin mengakhiri pernikahan ini dan benar-benar pergi.

"Aa..assalamualaikum." sambil mengetuk pintu.

"Aa..ardan.."

Khaila hanya mendengar suara dentingan jam.

Berulang kali ia mengetuk pintunya pelan.

"A..ar.." suara lembut Khaila akhirnya membuahkan hasil juga.

Pintu kamar Ardan seketika terbuka lebar.

Khaila tidak dapat melihat jelas wajah seseorang di hadapannya. Namun tiba-tiba tangannya tertarik ke dalam dan ia terkunci di sana.

Seketika suana di luar semakin sepi, karena tak ada ketukan pintu lagi. Sang pemilik tangan kini sudah berada di dalam, dan hanya mereka yang tahu apa yang terjadi di sana.

°°°

"Khaila, Ardan. Sarapan dulu nak." seru bunda dari bawah yang membuatku tergesa-gesa turun menemuinya.

"Maaf ya bun, aku kesiangan." ucapku pada bunda, sesampainya di bawah.

Seseorang terdengar berdehem pelan. "Maklum pengantin baru." celetuk om Reza.

Semalam, aku memang pergi ke kamar Ardan. Niat ku untuk bicara sementara ini akan aku tunda. Sebab keadaannya semalam tidak memungkinkan. Tubuhnya terlihat menggigil, namun panas ketika aku pegang.

Menurutku ia deman, sampai akhirnya aku menemaninya semalaman.

"Ardan mana Khai?" tanya bunda.

"Semalam Ardan demam bun. Sarapannya aku bawa ke atas ya."

"Gitu tuh, kalo baru ketemu cewe. Sekalinya tidur sekamar, langsung meriang." seru om Reza, mendapat pelototan dari bunda.

"Baguslah. Dari pada kaya kamu, masih di taman kanak-kanak aja udah ganjen sering godain anak perempuan." bunda membalas om Reza.

"Enak aja, mana ada."

"Emang iya, kamu aja yang pura-pura lupa."

Aku tak menghiraukan lagi perdebatan di antara keduanya. Aku mengambil seporsi makanan untuk Ardan.

"Bun, aku ke atas dulu ya."

"Buat kamu mana, Khai? Apa mau di tungguin di sini."

"Duluan aja bun, nanti aku nyusul."

Aku kembali ke atas.

Tok..tok..tok.

"Ardan, bolehkah aku masuk?" tanya ku di depan pintu kamarnya yang terbuka.

Tak ada jawaban apapun selain deheman. Akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam, memberinya makanan untuk sarapan.

"Apa kau sudah baikkan, Ardan?"

Ia diam.

Matanya fokus melihat ke depan, sambil bersandar di tempat tidurnya.

Akhirnya ku taruh nampan berisi makanan itu di atas nakas yang berada di sampingnya. Aku hendak pergi dari sana, namun tangannya tiba-tiba menahanku.

"Kau menyuruhku makan sendiri." suaranya yang datar mulai terdengar.

"Aku harus apa?"

Ia melirikku sekilas dan kembali menatap depan. Oke, sepertinya aku salah, lagi.

"Apa kau mau aku suapi?" tawarku sambil meraih sepiring nasi yang berada di atas nampan.

Namun lagi-lagi ia diam.

Baiklah.

Aku mengambil sesendok nasi, lalu ku dekatkan ke mulutnya.

"Bismillah.." ucapku saat ia mau membuka mulutnya.

Rasa bahagia, menyelimuti hati. Meskipun sikapnya masih terlihat ketus, tetapi ia mau menerima perhatianku.

"Mau minum?" tawarku, dan ia menggeleng pelan.

Aku sempat memerhatikan wajahnya sejenak. Alisnya tebal, hidungnya mancung, matanya terlihat lebih indah tanpa terhalang bingkai kaca mata, serta bibir tipisnya yang saat ini terlihat pucat.

Beginikah rasanya memperhatikan setiap inci wajahnya dari dekat. Sampai-sampai aku dapat mengetahui warna bola matanya yang ternyata berwarna coklat.

Semua yang terpatri di wajahnya aku suka. Ia karya-Nya yang paling luar biasa, indah.

Tidak dosa kan jika aku memerhatikannya sebegitu dalam? Namun aku segera membuang pandang agar tak tertangkap oleh matanya yang tajam.

"Khai." aku mendongakkan kepala saat ia memanggilku seperti biasa.

"Jangan pernah mencintaiku, karena aku tak akan pernah bisa membalas perasaanmu." ucapnya pelan, namun begitu menancap dalam.

Aku diam. Ya, aku tau itu.

"Kau akan tetap menjadi sahabatku dan selamanya akan seperti itu."

Aku tersenyum getir.

Ini kah rasanya mendapatkan apa yang ku mau? Di saat ia marah, aku berharap ia tetap menganggapku sebagai sahabatnya. Lalu, di saat aku sudah mendapatkannya. Kenapa hatiku tetap kecewa? Apa karena tak ada cinta untukku?

Batinku berdecak.

"Terimakasih, kau tetap menganggapku sebagai sahabat." sambil mempertahankan senyuman yang selalu aku berikan.

Ardan mengangguk pelan. "Apa kau masih nyaman Khai tinggal di sini? Jika kau ingin pergi, aku akan berdiri di sampingmu untuk menemani."

Aku kembali mendongakkan kepala.

"Aku tergantung padamu. Jika kau nyaman, akupun sama."

"Aku sudah membeli sebuah rumah, apa kau mau ikut tinggal bersamaku di sana?"

Aku melempar senyuman lagi padanya. "Tentu." ku angkat kembali sendok yang berisi nasi, lalu dia ku suapi lagi.

"Apa kau sudah makan?"

"Aku gampang yang penting kau dulu." aku kembali menyodorkan sesendok makanan, namun kali ini ia menolaknya.

"Jika kau sakit, siapa yang akan mengurusku?"

"Kau kan dokter. Urus dirimu sendiri."

Ardan merebut piring yang sedang aku pegang.

"Ayo makan."

"Aku tidak sakit Ardan."

"Memang hanya orang sakit yang perlu makan. Kau juga berhak, jangan mendzolimi badan."

"Cepat.." terdengar tak boleh ada penolakan.

Akhirnya kita makan sepiring bersama, ia menyuap nasinya sendiri dan menyuapiku setelahnya.

Dia mulai baikkan.
Batinku senang melihatnya lahap makan.

"Apa kau sudah tidak marah padaku, Ardan?" tanyaku tanpa sadar.

"Sedikit." balasnya singkat.

"Maafkan aku--"

"Seharusnya aku yang mengucapkan kalimat itu." sergah Ardan cepat. Menyentuh tanganku lembut.

Sudah pasti aku salah tingkah.

"Maafkan aku yang sempat membuatmu takut, Khai. Aku memang tidak bisa mencintaimu seperti Rasulullah, mencintai istrinya. Namun aku akan berusaha menjadi seorang suami yang baik sampai tiba waktunya,

Waktu di mana seseorang yang menjadi jodohmu datang menjemputmu, lalu membahagiakan dirimu." Ardan tersenyum manis dan menyentuh singkat pipiku.

Bukan rasa bahagia yang menimpa, justru sentuhan itu malah kembali menimbulkan luka.

"Apa benar kau akan melepaskanku?" sesak sudah memenuhi dada, butiran kristal bening siap tumpah.

"Tentu." balas Ardan santai.

"Jika itu yang terbaik untukmu, apapun akan aku lakukan demi kebahagiaanmu. Kau sudah cukup terluka berada didekatku, Khai."

"Jika aku tau siapa lelaki yang kau harapkan, aku akan memintanya untuk mencintaimu sebaik Rasullah mencintai istrinya. Aku juga akan berbicara padanya untuk menjaga mu dan membahagiakanmu setiap waktu. Aku akan berpesan banyak hal padanya, agar kau selalu bahagia ketika bersamanya."

Kini kau sudah berbicara dengannya. Diri mu sendiri lah orangnya.

"Kau harus makan lagi, Khai. Tubuhmu itu teramat langsing."

Ardan menyuapi ku lagi.

Ya, rabb. Terimakasih telah mengembalikan senyuman dibibirnya. Aku sungguh bahagia dan aku ikhlas jika harus menjadi sahabatnya selamanya.

"Kau juga makan yang banyak. Sehabis itu minum obat."

"Baik, suster."


•••

Afwan jika masih terlalu pendek, insya Allah part selanjutnya akan lebih panjang dari ini, karena alhamdulillah aku udah punya gambaran untuk part selanjutnya.

Selamat berakhir pekan. Doakan aku lancar menulis part selanjutnya ya😹. Dan jangan lupa utamakan membaca Al-qur'an.

Jazakumullah ya Khair.

Continue Reading

You'll Also Like

393K 22K 48
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapa...
2.9K 207 24
[Baper-Hurt- Romance-Islami] {JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK KALIAN❤❤} PLAGIAT DI LARANG MENDEKAT.⚠⚠ CERITA INI ASLI DARI PEMIKIRAN AUTHOR SENDIRI. Men...
1M 83.3K 51
[TAMAT. PART LENGKAP] Dari sekian banyak gadis yang takut menikah karena kepercayaannya akan cinta telah dikecewakan oleh ayahya sendiri, beberapa ju...
20.9K 1.9K 47
Reysa Aynandytha, seorang gadis berhijab blasteran Indonesia-China yang sedang menempuh S1 nya disebuah universitas. Pagi itu ia mendatangi sebuah ca...