Kakak • lrh

By ohsnapitshood

2K 490 164

"Kakak?" "Kakak kenapa harus pergi jauh?" "Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disin... More

Special thanks!
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Kaka🍒
Luke
Kaka-kakak🍒
Kaka
Luke
Jack
Ben
Kaka
Luke
Luke
Jack
Ben
Jack
Kaka
Calum
Calum
Calum
Kaka
Kaka
Luke
Luke
Jack
Kaka
Jack
Luke
Kaka
Calum
Jack
Jack
Calum
Jack
Calum

Jack

22 8 0
By ohsnapitshood

"Lu mau sekolah apa mau main, Ka? Pendek bener celananya..."

Gue mengernyit bingung, melihat celana Kaka yang panjangnya cuma hampir dua jengkal diatas lutut.

Ia mengedikkan bahu.
"Celana dari kelas satu."

"Wow." Gue mengangkat kedua alis singkat. "Ayo, berangkat. Nanti jajan aja ya, buat makan siangnya. Jangan bilang Luke lu ngga gue bawain bekal, ya?"

Kaka mengangguk setuju; lantas membisikkan 'dah, kakak, pada Lewi yang masih tidur, sebelum akhirnya keluar dari ruang kamar rawat; dengan gue berjalan di belakangnya.

Semenjak Lewi sakit, gue yang selalu mengantar Kaka pergi sekolah. Oh ya, hampir lupa, hari ini adalah kemo pertama Lewi; setelah sekian banyak rangkaian tes yang dilakukan. Dan semua tesnya aman untuk kemo, mulai dari tes darah, ct scan, bahkan tes gigi.

"Deket kantor gue ada mall, nanti pulang sekolah ikut gue kesana ya?" Tanya gue, sambil kami menunggu lampu merah. "Celana lo seksi banget, buset."

"Kemaren, aku pake celana ini, diliatin Ashton." Ia manyun. Yaiyalah, bocil. Kalo sekarang gue seumuran Ashton juga gue liatin, kali. Bukan apa apa, pasti gue mikir nih anak korban banjir, pendek bener celananya. "Katanya aku ke sekolah pake celana dalem."

Gue sontak tertawa.
"I'm with your friend."

Ia makin manyun.
"Males ah, sama om."

"Hari ini Luke harus 'minum obat', jadi nanti sampe rumah sakit lo baik baik ya, jangan berisik. Kasian dia." Ujar gue, memutar kemudi ke kanan, tancap gas makin kencang. "Nanti upacara, nggak?"

"Obatnya segede apa, om?" Tanyanya, yang tak kunjung turun, padahal udah sampai. "Upacara. Tuh, udah pada baris."

"Yaudah, sana, baris." Gue mengusirnya pergi. "Ntar dijemur lu."

"Om." Matanya seakan berkata lu-anterin-gua-dulu-nyet, membuat gue mau gak mau akhirnya turun dulu dari mobil. Pasti dia minta anterin karena telat, jadi kalo gurunya ngomel, dia gak takut, soalnya gue jadi backingan.

Kok lu tahan sih, Lew, jadi bodyguard anak tikus?

"Dah." Gue mengantarnya sampai ke barisan. Gak sekalian aja gua baris, hm? "Baik baik lo."

"Dah, om." Ia melambaikan tangannya, tersenyum pada gue.

Sampai sini, gue sadar, kenapa selama ini Lewi mau mengurus Kaka sampai segitunya;

Karena meskipun ia anak bungsu, ia tidak pernah begitu disayang kedua orangtuanya. Begitu juga orang yang harusnya menjadi pengganti orangtuanya; Mali, dia sibuk kerja. Calum? Wah, gak tau deh gue. Selama ini, dia juga berjuang sendiri; sebenarnya, sampai sekarang di keluarganya, tetap Calum yang paling dimanja.

Karena meskipun ia anak bungsu, ia yang paling sendiri.

Gue menghela nafas; tiba tiba takut punya anak. Gimana, ya? Bikinnya enak, emang. Cuma kedepannya, kacau abis kalo gue nggak bisa ngurus. Gue nggak mau, nasib anak gue jadi kayak Kaka nantinya. It terrifies me, everytime Celeste wants us to have a kid after we get married.

Gimana kalo anak gue nanti gedenya ngobat?

Gimana kalo anak gue nanti gedenya jualan narkoba? Wayoloh, ngeri mampus gue, kan.

Lain dengan Ben yang amat ingin punya anak; dia berencana punya anak lebih dari tiga, dan semuanya harus dia yang ngurus. Ambisi yang mulia sekali.

Anak satu aja ngurusnya kebat kebit, gimana lebih dari satu?

Gue menggeleng pelan, menepis semua ketakutan dalam pikiran gue; semoga ntar jalannya baik, lah. Bikin ngeri aja dipikirin sekarang.

***

"Kaaaau bunuuuuh hatiku..." Senandung gue; menggunakan tupperware celeste sebagai mikrofon, berhenti mengurusi laporan sejenak. "Yoi. Makan tuh cinta."

Handphone gue bergetar; menunjukkan nama Lewi disana.

Mampus, kenapa nih?

"Iya, Lew?" Tanya gue, dag dig dug ser; takut dia kenapa napa.

"Jack?" Panggilnya. "Kaka sama lo nggak, sekarang?"

Gue menggeleng.
"Ngga. Gue masih di kantor, ini. Dia kan di sekolah."

"Dia berantem sama temennya..." lirih lewi. "Gue dikasih liat videonya sama guru kelasnya barusan."

Lah iya?

Lawannya anak TK-A apa anak Playgroup?

"Lawannya anak paud apa bayi lintah?" Tanya gue, yang masih gak percaya dia bisa berantem.

"Jack, gue serius."

"Oke, oke." Angguk gue; yang tau persis kalo lewi bilang gitu, tandanya dia samasekali gak bercanda. "Ini gue abis laporan selese bisa pulang; nanti gua ke sekolah dulu jemput dia, ya?"

"Aight..." jawabnya dari seberang sana. "Tolong diperiksa dia luka apa ngga, ya. Berantemnya sama cowok soalnya. Anjing emang, banci."

Ayo lew, gas terus! Seruduk kain merahnya!

"Oke, nanti pasti gue cek." Angguk gue, lagi. "Jangan terlalu dipikirin, ya. Gue bentar lagi selese, kok."

"Oke..." sahutnya. "Hati hati ya lu, pulangnya."

"Mm hmm." Angguk gue. "Gua matiin, ya?"

Gak menunggu jawabannya, gue lantas memutuskan sambungan; cepat cepat menyelesaikan laporan, biar gue bisa langsung jemput si bocil. Bukan apa apa, gue gak mau Lewi kepikiran.

"Gua lagi nyoba nyanyi kayak pitbull nih, kayak 'woooo!' Gitu, susah banget." Gue ngoceh sendiri; penyakit tahunan yang kronis abis dan gak bisa disembuhin lagi. Bukan gejala sakit jiwa, ngga, sebenernya emang kebiasaan dari dulu, biar gue ngerasa ada temen ngomong, dan lebih santai ngerjain sesuatu.

Kelar, udahlah. Tinggal print.

"Beginilah rasanyaaa ditinggal kekasih," senandung gue. "Woooo!"

Gokil, gokil. Iis pitbull, hehe.

Atau pitbull dahlia?

"Permisi, pak?"

Gue menoleh; karyawan gue terlihat bingung di ambang pintu.

"Iya?" Tanya gue, ikutan bingung. "Kenapa?"

"Bapak lagi nelfon?"

Gue menggeleng.
"Nggak. Kenapa?"

"Terus, bapak ngomong sama siapa?"

Mampus, mulai lagi disangkain gila nih gue.

"Ini, tadi ada yang video call aja." Sergah gue; pasti awkward mampus sampe gue bilang gue lagi belajar niruin pitbull. "Bapak ada perlu apa ya, kalo saya boleh tau?"

"Nggak ada sih." Gelengnya. "Saya cuma takut aja bapak ngomong sama 'orang lain', saya abis nonton horror kemaren soalnya."

Yaelah, pak.

"Nggak, ah." Geleng gue. "Laporan saya tolong diprint ya, pak, nanti. Tinta printer saya abis; tapi udah saya kirim ke email bapak."

"Oh." Angguknya. "Oke."

Gue bersandar pada bangku; tadi namanya siapa, ya? Gua mau ngirim gimana, kalo namanya aja lupa?

Ah, yaudahlah, print sendiri aja. Datanya masih bisa diliat dari sini juga.

***

"Maksud lo apa, berantem sampe kayak gini?"

Gue terpaku di ambang pintu; melihat Kaka yang bonyoknya bukan main sekarang, dengan Lewi di hadapannya, sedang mengobati luka memar dan lecet di wajah Kaka; yang jelas mukanya asem sekarang, mungkin Kaka lagi diomelin.

"Hah?" Sahut Lewi, berhenti mengobati luka Kaka. "Kalo ditanya jawab. Yang ngomong ada dimana, Ka?"

"Ngapain liat ke bawah mulu? Ada duit?" Timbrung gue sok galak; kali ini duduk di sofa. Gak apa apa sih, asik aja ngomporin orang.

Lewi menatap gue, mengisyaratkan gue untuk diam; karena gue tau, dia sebenernya gak sampe hati ngomelin Kaka kayak gitu.

"Maaf, kak." Cicit bocil; yang gue yakin dia kalah berantem. Ya, dia aja badannya segede beras, mau ngelawan orang yang kayak gimana?

"Gue gak mau lo minta maaf." Geleng lewi, matanya teduh namun kini berkaca. "Gue mau tau, kenapa lo berantem? Lo ngerasa kan, muka lo sakit semua sekarang? Siapa yang mulai?"

"Siapa yang nonjok lo?" Sambungnya lagi. "Jawab, Ka."

"Pokoknya dia yang salah." Lirih Kaka.

"Iya, dia ngapain lo?" Tanya Lewi. "Ngatain lo, karena celana lo pendek banget?"

"Nyoret nyoret buku lo?" Tanya lewi; tangannya bergerak menyelipkan rambut kaka ke belakang telinga. "Kenapa, dia kenapa?"

"Gak terima ya gue, lo jadi kayak gini." Gelengnya, menaruh obat untuk membersihkan luka Kaka begitu aja. "Gue jagain lo setengah mati, dia apaan, seenak dengkul bikin lo babak belur. Siapa sih orangnya, Ka? Kasihtau aja, gak bakal gue bilang siapa siapa."

Gak bilang siapa siapa iya, tapi langsung disamperin. Typical Lewi.

"Cowok, lagi. Iya, kan?" Sambungnya. "Siapa, Ka? Udah, lo jangan takut, bilang aja, gak apa apa."

"Kak," Tukas Kaka, yang gue rasa nggak ada niatan menjawab pertanyaan Lewi barusan. "Darahnya ada lagi."

"Gak bisa lagi ditahan pake tisu..." gumam Lewi, yang langsung berhenti mengintrogasi bocil. "Jack, tolong bantuin bersihin di kamar mandi dong, darahnya. Gue panggil dokter dulu."

"Ka, ayo." Ujar gue; yang langsung diturutinya.

"Tadi lo kenapa berantem?" Tanya gue, kali ini membersihkan darahnya pelan pelan. "Pasti gara gara celana lo, kan? Udah gua bilang, ke sekolah jangan pake celana dalem doang."

"Bukan." Gelengnya; duduk di kloset.

"Terus?" Tanya gue, lagi.

"Temenku..." lirihnya; kakinya berhenti berayun ayun. "Temenku kemaren liat kak Luke marathon juga, terus dia ngatain kakak kayak zombie, karena pucat banget, kurus..."

Gue terdiam; temen lo ngga boong, Ka.

Benar, dan amat sangat benar, bahwa lewi sekarang lebih kurus dari sebelumnya. Berat badannya menurun drastis; mukanya juga selalu pucat.

The cancer explains it all, isn't it?

"Aku gak suka..." suara Kaka bergetar. "—kakak dibilang begitu..."

"Terus, aku tonjok dia duluan." Lirihnya. "Eh, karena dia badannya jauh lebih gede, aku kalah."

"Luke emang pernah ngajarin lo buat mukul orang?" Gue kembali bertanya; sampai sini, gue tau alesan kenapa dia gak mau jawab pertanyaan Lewi tentang kenapa dia berantem;

Karena Lewi adalah satu satunya alasan kenapa ia ribut dengan temannya; dan Kaka cuma berusaha membela. Dia gak mungkin jawab jujur, karena Lewi pasti bisa merasa bersalah mendengarnya—atau bahkan kepikiran.

Ia tentu nggak terima; dan jika gue jadi Kaka, mungkin gue akan melakukan hal yang sama—bahkan lebih.

Masuk akal.

Kaka menggeleng, menjawab singkat pertanyaan gue barusan.

"Terus, kalo nggak, kenapa lo pukul? Kan lo bisa bilang baik baik dulu?" Bantah gue, yang meskipun sebenernya bangga, karena ternyata nih anak urat takutnya udah putus; ngga takut ngelawan orang yang macem raksasa kalo dibandingin sama dia, tapi tentu gue ngga mau kejadian kayak gini terulang lagi. Kalo dia rada tinggi dikit, ya ngga apa apalah berantem kayak gini. Lah ini kan ngga; sehari berantem lima kali bisa abis.

"Kata kak Cal, kalo gak suka sama orang, hajar aja, gak apa apa." Jawabnya polos. "He did that to me when he mad at me. In fact, he hates me, so he would always be mad at me; he always did that to me. Then why can't i? Don't you think it is worth it, to do that with people you think they deserved?"

"Ka," gue menempelkan tisu di dahinya yang tadi sobek, mengisyaratkannya untuk menahan tisunya. "Gue kali ini setuju sama lo; tapi gak semua masalah bisa lo selesein pake tinju, nggak."

"Kadang lo harus terima keadaan." Senyum gue, duduk di hadapannya. "Lain kali, kalo temen lo bilang gitu lagi, lo coba telaah baik baik maksudnya apa ngomong gitu. Kalo emang ngatain, yaudah diemin aja, ntar juga cape sendiri."

"Oke?" Gue mengadahkan tangan gue. "Gak ada berantem berantem lagi, ya? Tos dulu."

Ia mengangguk, menepuk tangan gue.

"Udah berenti belom lukanya? Kalo belom nanti dijait." Sergah gue; membuatnya mengernyitkan dahi heran, menjauh sekian meter dari gue.

"Dijait?" Tanyanya, yang gue angguki.

"Dijait." Angguk gue. "Sini liat, udah berhenti belom darahnya?"

Ia menggeleng, wajahnya panik.
"Udah, udah berhenti."

Kemudian, ia langsung keluar dari kamar mandi.

"Woy, mau kemana?!" Seru gue, yang berniat ngerjain dia kali ini. Udah lama gak nangisin anak orang. "Itu harus dijait!"

"Gak!" Seru Kaka balik, entah dimana sekarang. "Gak mau!"

"Harus!" Seru gue lagi, menyusulnya yang kini duduk di sofa seberang tempat tidur Lewi; tatapan lewi ikut bingung.

"Sini!" Gue menghampirinya; membuatnya berlari keluar ruang rawat lewi.

"Nah, mampus, keluar kan anaknya." Tukas Lewi. "Jack, lu, ah."

"Hehe." Cengir gue. "Bentar, gue paketin dulu anaknya kesini."

"Abis itu gue jait." Gue tersenyum lebar, membuat Lewi makin mengernyit heran. Tanpa menunggu responnya, gue ikut keluar ruang rawat; mengejar bocil yang sekarang entah dimana.

Lu ketangkep langsung gue jait, Ka. Awas aja.

Continue Reading

You'll Also Like

93.4K 11.1K 49
Jungkook, erzağının bitmesiyle kendine yiyecek birşeyler ararken, Taehyung'un liderlik yaptığı bir küçük bir şehirle karşılaşır. Jungkook, açlığını d...
389K 31.8K 26
Melez Kaplan Taehyung, Melez Tavşan Jungkook ile sevgili olmak istiyordu Ha birde onu altında inletmeyi... [texting+düz yazı] #3 - taekook [13.08.202...
33.5K 1.9K 39
Komşunuz Barış Alper Yılmaz olursa ne mi olur?
69.8K 3.1K 27
Yabani evrenindeki çiftimiz Asi ve Alaz'ın hayatları farklı bir şekilde kesişeydi, mesela Asi, Soysalan Üniversitesi'ne bomba gibi düşseydi, nasıl ol...