Kakak • lrh

By ohsnapitshood

2K 490 164

"Kakak?" "Kakak kenapa harus pergi jauh?" "Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disin... More

Special thanks!
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Kaka🍒
Luke
Kaka-kakak🍒
Kaka
Luke
Jack
Ben
Kaka
Luke
Luke
Jack
Ben
Jack
Kaka
Calum
Calum
Calum
Kaka
Kaka
Luke
Luke
Jack
Kaka
Jack
Luke
Kaka
Calum
Jack
Jack
Calum
Jack
Calum

Jack

26 8 3
By ohsnapitshood

"Lo yakin?"

Ia mengangguk mantap, mengiyakan dengan singkat pertanyaan gua barusan; arena marathon untuk hari olahraga Kaka sudah dipenuhi orang orang yang akan berlari nanti. Kaka? Masih di jok belakang, lanjut tidur, sejak ia selesai mandi pagi dan sarapan tadi.

"Lew—"

"Jack," sanggahnya. "Gue gak apa apa."

Gue menghela nafas, mengangguk pasrah. Kalo gak batu, bukan Lewi namanya.
"Gimana lu aja, deh. Just... Call me if anything happens. Gue serius."

"Pasti." Angguknya, tersenyum singkat; berusaha meyakinkan gue bahwa dia baik baik aja. "Ka, come on, baby. Udah sampe. Masa mau tidur terus?"

"Kakak aja yang lari." Rengek Kaka; mulai lagi rewelnya. "Aku tunggu sini aja."

"Yaudah, berarti gue aja yang makan iga sapi, ya?" Sahutnya, yang ikut duduk di jok belakang. "Tuh, udah ditungguin. Ayo, yuk, nanti keburu mulai."

"Hng." Rengeknya, meski kali ini akhirnya ia bangun. "Kenapa pagi banget larinya, kak?"

"Biar gak panas." Lewi kali ini menggandengnya menuju arena start. "Minumnya udah, Ka?"

Seiring dengan berjalannya mereka, gue terduduk pasrah di jok mobil; kenapa gue ijinin dia marathon? Kenapa kemaren gue gak lobi dia, biar Kaka hari ini sama gue aja?

Dia gak tau, kondisi badannya gimana?

Kalo tau, kenapa maksa?

Gue menatapnya, yang kini sudah jauh; ia disana, mengobrol dengan orangtua teman Kaka. Bisa gue lihat, bahwa ia amat bahagia sekarang. Dan meskipun gue gak setuju ia ikut marathon, tentu gue gak akan mampu melarang; karena, kapan lagi dia bisa sebahagia itu?

Gue mengangkat kamera; memotret wajah bahagianya dari jauh. Karena, siapa tahu dia gak bisa bahagia lagi nantinya, bisa gue tunjukkan foto ini.

Gue menatap lekat lekat gambar wajahnya di kamera; membuat mata gue lambat laun memanas.
"Ini semudah apa sih, buat lo?"

Gue berbisik entah pada siapa.

"Kalo penyakit lo bisa dipindah ke gue..." anjrit, kok tiba tiba ada airmata?! "Gue mau..."

Gue menutup semua jendela mobil; mengunci pintunya.

Setelahnya, berteriak sekeras mungkin; meluapkan segala emosi gue di ruang kosong, berharap nggak ada yang mendengarnya.

Sejak gue dengar berita bahwa Lewi sakit, sampai sekarang, cuma gue yang belum nangis. Pertama kali gue tahu, entah kenapa, rasanya emosi gue mati; gak sedih, nangis apalagi.

Jadi, mungkin ini akhirnya; emosi gue ternyata belum mati.

"Pindahin penyakit lo ke gue!" Seru gue, masih entah pada siapa. "Kita bagi dua nyawa gue; atau semuanya buat lo, terserah!"

Isakan cupu memenuhi atmosfer hampa mobil. Sekarang, rasanya gue ingin hilang ingatan; atau putus hubungan darah sekalian.

Gak ada yang bisa lihat dia begini,

Siapapun itu.

Gue berteriak sekali lagi; menyandarkan dahi di setir, menyembunyikan wajah dibalik lengan.
"Kenapa harus lo, Lew?"

Kusut,

Rasanya carut marut; gue gak tau harus gimana. Ketika nyokap dan Ben udah tahu harus apa, gue masih kosong. Pikiran akan perginya Lewi menakuti gue mulai kemarin; rasanya ingin teriak lagi.

Stop crying, dumbass.

Gue menggeleng; lantas memotret diri gue sendiri dengan kamera handphone. Dih, siapa nih?

Perlahan tapi pasti, tangis gue akhirnya berhenti; langsung gak mood ngapa ngapain lagi, liat potret diri sendiri.

"Aight." Gue menghapus sisa airmata; meyakinkan diri sendiri untuk keluar dari mobil, dan ikut berlari bersama anak anak dan orangtuanya yang sudah berkumpul sejak tadi.

Gue pergi ke kamar mandi sebentar, mencuci muka. Biar gak disangka aneh, tentunya. Mending disangka abis nangis, kalo disangka abis ngobat?

Gue akhirnya mengambil tempat gak jauh dari Luke; ia didepan gue. Lumayan jauh, tapi gak jauh jauh amat.

"Nemenin anaknya, pak?"

Gue menoleh, mendapati seorang ibu ibu yang juga sedang menemani anaknya

"Uh, iya." Angguk gue keki. "Ibu juga?"

Ia mengangguk.
"Anaknya yang mana, pak? Kelas berapa?"

Duh, mana lagi si Kaka? Masa gue ngambil anak orang?

Gue menggandeng anak orang disebelah gue; wajahnya mendadak tegang, mungkin takut gue culik.
"Ini bu, hehe."

"Oh." Senyum si ibu. "Kelas berapa?"

"Lu kelas berapa?" Bisik gue, "Gece!"

"K-Kelas tiga..." jawabnya gemetaran.

"Kelas tiga, bu. Hehe." Cengir gue; sebelum akhirnya si ibu beralih ngobrol dengan orang lain.

Gue menoleh; mendapati lelaki yang lebih besar dari gue berjalan mendekat; mampus, ada bapaknya.

Gak pake lama, gue lantas melepaskan genggaman gue pada anak tadi. Gue masih mau selamat.

Semuanya bersiap lari; ketika aba aba 'go' diberikan, gue baru ingat bahwa kunci mobil gue ketinggalan di kamar mandi.

Balik lagi, iya.

Goblok emang.

Kesel.

Pengen ninju, tapi diri sendiri yang berulah.

Makin dongkol.

Dongkol itu ikan kan, ya ngga?

Bacot anjing, buru ambil kuncinya!

Karena kebodohan gue sendiri, akhirnya gue kehilangan jejak Lewi dan Kaka; entah sekarang mereka sampai dimana.

Duh, mampus.

Kalo Lewi kenapa napa, gimana?

Gue berlari kecil; mencari Lewi dan Kaka diantara kerumunan banyak orang. Kalau Kaka, gue yakin dia sekarang udah mendahului Lewi; karena dia memang lebih cepat; dan dia pasti sibuk dengan teman temannya.

Gue perlahan lahan berjalan; capek juga lari kayak tadi. Biasanya juga gue diem anteng di sofa, ngemil, sekarang suruh lari.

Gue menatap perut, merasa makin cupu; kenapa maju banget, ya? Kalo nanti Celeste nikah sama gue, terus dia hamil, yang diperiksa dokter kandungan itu dia atau gua, ya?

"Bikin malu, lu." Gondok gue, menatap perut yang makin hari makin maju. Masa gue sedot lemak?

"Anaknya udah duluan ya, pak?"

Gue menoleh; mendapati bapak bapak yang anaknya tadi gue gandeng, sekarang berlari kecil di sebelah gue. Sepertinya, ia juga ditinggal anaknya, karena ia sendiri sekarang.

Gue menatap wajahnya; kemudian makin turun ke bawah. Yes, perutnya gedean dia!

Kebahagiaan tersendiri.

"Iya, nih." Jawab gue keki.

Doi ngos ngosan, kali ini ikut berjalan.
"Udah bapak bapak emang beda, ya."

Lu aja anjir, gue mah ngga.

"Hehe." Gue menyengir keki. "Harus banyak olahraga, ya, pak."

"Bener." Angguknya. "Perut saya udah maju banget, bikin saya sama istri ngga ada bedanya."

"Saya juga." Akhirnya, gue menemukan kecocokan dengan bapak ini; kami sama sama menderita punya perut buncit. "Saya dulu waktu masih SMA kurus, loh, padahal."

"Saya juga." Angguknya. "Semenjak mulai kerja, saya jadi males olahraga."

I'm with you, pak.

"Nah, bener, saya juga." Angguk gue, gak bisa lebih setuju lagi. "Saya mikir, apa saya sedot lemak aja, ya?"

"Jangan, pak." Geleng si bapak tadi. "Nanti perutnya jadi aneh!"

Jangan dah.

"Kalo ke gym saya males pak." Gue jadi curhat. "Banyak orang orang sixpack kalo ngangkat barbel sambil teriak teriak. Matanya ngeliatin saya lagi, mentang mentang saya buncit."

"Wah, iya tuh." Ia mengangguk. "Olahraga keliling komplek aja, pak, kalo hari libur. Terus banyakin makan buah."

Iya ya, bener juga? Gua makan apaan aja selama ini, ya?

"Ayo pak, kita lari." Ajak si bapak tadi. "Sampe garis finish, gak berhenti, bisa gak?"

"Ayo, coba." Angguk gue, gak mau lagi jadi pecundang. "Siap ya, pak?"

Kami berlari sekuat tenaga, menghalau anak anak kecil di depan yang juga sedang berlari. Jantung gue rasanya pindah ke lutut, tapi gue harus tetep lari; karena kalo ngga, gue akan kalah dari bapak tadi.

Dia mulai ngos ngosan. Bagus, pak, lanjutin!

Gue berlari makin kencang; bentar lagi jantung gue berceceran.

"Om!"

"Om jack!"

Gue menggumam, bingung. Siapa, dah?

"Om, ayo!" Seru Kaka, yang sepertinya sudah di garis finish sejak tadi.

Gue makin cepat berlari, meninggalkan bapak tadi di belakang. Saya belom bapak bapak kok, pak. Maaf ya, saya boongin.

Gue tersenyum sumringah, mendapati diri gue kali ini berada di garis finish; sampai gue lupa, bahwa ada yang hilang.

Lewi dimana?

"Luke dimana, Ka?" Tanya gue, yang mulai panik. Kan, bener kata gue, Kaka pasti duluan.

"Kakak tadi dibelakangku, tapi tiba tiba aku cari nggak ada." Jawabnya, membuat gue langsung bersiap masuk ke kerumunan orang lari lagi.

"Om, mau kemana?! Ikut!" Serunya, yang gue angguki.

"Lo lari ke sisi kanan, gua di sisi kiri, ya. Telfon gue, kalo ketemu Luke." Perintah gue, yang langsung lari melawan arah. Tidak ada jawaban darinya; ia pasti sekarang sudah lari duluan.

"Salah arah, pak!" Tegur orangtua lain, ketika pundaknya tidak sengaja menabrak pundak gue.

"Iya, maaf, maaf." Sahut gue, masih sambil memperhatikan sekeliling.

Lo dimana, Lew?

"Pak, salah arah!"

"Mau kemana, pak? Salah arah!"

Aaah, jalan di trotoar aja dah gue, anjir.

"Lewi?" Panggil gue, siapa tau dia dengar. "Lew—"

Langkah gue terhenti; mendapati seseorang yang duduk di bangku panjang pinggir jalan; kepalanya tertunduk.

Itu dia, kan?

"Lew?" Gue menepuk bahunya pelan. Ya masa gua pukul? Ntar salah orang, abis gua. "Lewi?"

"I don't think I can't do it anymore..." lirihnya; yang ngga gitu gue dengarkan, karena gue sibuk bersyukur Lewi nggak pingsan atau jackpot.

"Lew, its fine." Gue duduk di sebelahnya, menepuk bahunya.

"Its not fine!" Bantahnya; matanya bengkak, amat terlihat bahwa ia menangis sejak tadi, entah kapan. "I try so hard to be strong, i really wanna prove her that im okay, and all the things she believed this whole time, its true. But turns out, that its all... Nothing."

"My body can't even do this things anymore."

Buku buku tangannya memutih, tanda emosinya sudah di puncak sekarang. "Gue mati matian jadi kuat depan Kaka, tapi sekarang jadinya tetep begini. Gue gak bisa buktiin apa apa ke dia."

"Lew..." gue menggenggam tangan kirinya, bodoamat mau disangka homo apa gimana; Gue cuma gak mau liat dia begini. "Lo udah sampe sini, itu udah kuat namanya. Kaka tau, kok. Gak peduli lo mau selemah apapun depan dia, lo tetep superheronya."

Ia menggeleng.
"Gak ada superhero yang berhenti tengah jalan, Jack."

"I hate the fact that you guys are right." Isaknya, lagi. "That I'm weak; that my body can't do shit to prove everyone that im okay,"

"That my head is now spinning like crazy,"

"That all i wanna do is throwing up; that im nauseous all the time,"

"That im fucking weak now."

Gue terdiam; entah harus berbuat apa.

Lewi gak pernah kayak gini samasekali; dan pengakuan dia barusan bahwa ia lemah, bahwa ia gak bisa lagi ngelakuin apa yang orang normal bisa lakukan dengan mudah, bahwa ia selalu gak enak badan tiap saat; semuanya sukses bikin gue ancur.

"Siapa bilang lo gak bisa ngelanjutin?" Tanya gue, merangkulnya kali ini. "Bisa kok."

Gue mengirim pesan diam diam pada Kaka; untuk membuat garis finish sendiri untuk Luke karena dia bakal telat sampai garis finish lantaran dia gak enak badan; setelah itu, gue minta dia kemari.

Ia menatap gue; matanya sembab, namun pandangannya heran.

"Ayo." Gue membantunya bangun. Arena marathon mulai sepi; tentu itu hal bagus, jadi Lewi gak usah lanjut sambil desak desakan. "Lo harus nyelesein ini. Gak mau kan lo, kalo kaka cuma makan iga sapi sendiri?"

"Kak!"

Kami menoleh; mendapati Kaka yang kini berdiri gak jauh di belakang kami berdua. Senyumnya terkembang lebar; gue memang menyuruhnya untuk gak menampilkan ekspresi sedih samasekali, karena itu bakal buat Lewi ngerasa makin gagal. Tapi, soal Lewi gak enak badan, tentu gue bilang ke dia.

"Kakak ninggalin aku!" Ujarnya; yang gue tau, dia pasti muter balik lagi. "Curang, lari duluan!"

Lewi sedikit mengeryitkan dahi; mungkin heran, karena tadi Kaka jauh didepannya, dan sekarang tiba tiba posisinya lebih jauh dibanding Kaka.

Bagus, Ka. Gas terus sampe kompornya nyala; akting lo jangan kasih kendor!

"Ayo, kak." Ia berjalan mendekat, menggandeng tangan Lewi. "Kita ke finishnya bertiga, biar dapet iga sapinya lebih banyak."

Lewi tertawa kecil, meski airmatanya sedikit sedikit masih turun; seenggaknya, dia nggak merasa insecure lagi.

"Kata temenku, nanti kita dapet es krim juga tau." Senyum Kaka, masih menyamakan langkahnya dengan Lewi. Yang gue tau, penyakit tahunan satu keluarga Kaka itu sama semua; gak sabaran. Calum waktu itu cerita sama gue; kalo dia, Mali, dan Kaka, pernah saking gak sabarnya nungguin orang berjajar nyebrang, mereka langsung nyari celah dan sprint sampai tujuan. Tapi sekarang? Kaka nggak ngeluh, nggak gimana gimana; ketika ia harus menyamakan langkah lewi. Dan iya, lewi berjalan sekarang.

"Minta dua scoop ya Ka, satu orang." Ujar gue, membuat Lewi kembali tertawa kecil. Thats it, itu yang ingin gue lihat darinya.

"Tiga scoop dong, pake popcorn." Sambung Kaka, membuat tawa Lewi makin keras sekarang. Terus Ka, terus!

Terus terus ngapain anying, markir?

"Kaka!" Seru temannya; ketika garis finish sudah mulai terlihat jelas. "Ayo, Ka!"

"Kak Luke, ayo!" Seru temannya lagi; garis finish untuk Lewi sudah mereka buat, entah dengan apa.

"Ayo, kak!" Ujar Kaka, tersenyum lebar. "Abis ini, kita dikasih es krim!"

Lewi mengangguk pelan, tersenyum atas ujaran Kaka barusan.

Selangkah,

Dua langkah,

Tiga langkah,

"Selamat, Kaka! Kak Luke!" Seru teman temannya, memberi Kaka dan Lewi group hug, membuat gue tersenyum diam diam; dalam hati berharap bahwa Lewi bahagia sekarang.

Gue sedikit menjauh; diam diam memotret mereka semua yang sedang berpelukan; karena jika saat Lewi merasa sendiri suatu saat nanti, gue punya bantahan yang tak terbantahkan;

Bahwa ia pernah dipeluk banyak orang,

Bahwa ia disayangi semuanya.

Continue Reading

You'll Also Like

83.7K 5.2K 33
Malfoy ve Black iki ezeli rakip ve birbirlerinden nefret eden iki küçük çocuktur. Black'in 4. Sınıfta Harry'nin yerine arayıcı olmasından sonra Malfo...
22.3K 3.1K 60
Hep aynı yıldıza bakarsan yolunu asla kaybetmezsin...
19.4K 3.3K 11
Taehyung 20 yaşında age play seven bir bebekti, arkadaşı Hoseok'sa ona babacık bulmak için çabalayan birisi. Pek tabii Taehyung'un minik bir çarpışm...
100K 8.5K 29
Üniversitesinin serseri çocuğu jungkook, kız arkadaşını rahatlatmak için kayda aldığı inlemelerini yanlışlıkla yeni atanan rektörü Kim Taehyung'a ata...