A MAN BEHIND THE MIRROR

By reijung9

24.3K 3.2K 1.8K

SHADOW SEQUEL More

1
2
3
4
5
5.1
6
7
8
9
10. [REBORN]
11. [ 미로 ] - Milo - Labirin
12. [ 이름 ] - Ileum - Name
13. [ 밤 ] - BAM - NIGHT
14. [숨바꼭질] - SUMBAKKOGJIL - HIDE & SEEK
16. [ 구해줘 ] - Guhaejwo - Save Me
17. [ 게임 ] - Geim - A Game
18. [ 목소리 ] - Mogsoli - Voice
19. Heart, Mind and Soul
20. [ 비밀 ] - Bimil - The Secret
21.
22. [ 꿈 같은 ] - Kkum Gat-eun - Dreamlike
23.[ 놀자 ] - Nolja - Let's Play
24. [ 악마 ] - Agma - Devil
25.[ 악마 ] - Agma - Devil - 2
26 : [ 악마 ] - Agma - Devil - 3
27. [ 악마 ] - Agma - Devil - 4
28. [ 협력 ] - Hyeoblyeog - Cooperation
29. [ 역습 ] - Yeogseub - Counterattack
30. [되든 안되든] - Hit Or Miss
31. [ 위장 자 ] - Wijang ja - The Disguiser
32. [ 갇힌 ] - Gadhin - Trapped

15. [눈 ] - NUN - EYES

626 90 68
By reijung9


Hari ini terasa lebih menakutkan bagi Kihyun, melebihi hari yang dia habiskan setelah mengetahui kematian kakaknya. Hari di mana dia akan mengantarkan tubuh kakaknya menuju tempat kremasi. Hari di mana dia tidak akan pernah dapat melihat wajah kakaknya lagi.

Kihyun mengeratkan genggaman tangannya pada bingkai foto yang dia bawa, entah kenapa dia tidakbisa merasakan tubuhnya sama sekali. Seluruh tubuhnya mati rasa, seperti dulu. Ketika dia, berdiri di samping kakaknya yang membawa dua buah foto ibu dan ayahnya. Kihyun sudah paham apa artinya mati dan kremasi pada saat itu. Jadi dia tidak merenggek pada sang kakak atau pun menyanyakan kenapa ayah dan ibunya tidur di dalam peti mati. Setidaknya dulu dia masih memiliki seorang kakak yang dapat dia andalkan. Tapi sekarang dia sendirian. Benar-benar sendiri, sebatang kara.

Terlepas dari kenyataan ada seorang namja asing yang mengklaim dirinya sebagai saudara jauh, tetap tidak mengubah pemikiran Kihyun kalau dia sendirian. Meski saudara jauh, dia masih berpikir kalau Yoo Eunho, namja yang mengkalim dirinya sebagai saudara tetaplah orang asing. Terlebih dia tidak memberi kesan yang bagus untuk dirinya.


"Ki..."

Kihyun mendongak, berpaling pada Wonho yang berbalut pakaian serba hitam. Setelah kejadian semalam Wonho terus bersama dengannya termasuk Minhyuk, dan keduanya menawarkan diri akan menjadi pengangkat perti bersama Eunho, saudara Kihyun.

Wonho berusaha tersenyum, meski wajahnya terlihat kaku saat dia melakukannya.

"Ne, hyung?" Tanya Kihyun.

"Gwaenchanh-a?"

Kihyun mengangguk sebagai jawaban. Dia tahu Wonho mengkhawatirkannya namun saat ini dia terlalu lelah dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Ah, bukan pada pertanyaan itu namun terlebih pada sorot mata yang diberikan Wonho kepadanya, kilatan dan sorot mengasihani. Dia tidak ingin dikasihani, terlebih oleh Wonho.

"Orang-orang di luar menyuruhmu bersiap." Kata Eunho, dari ambang pintu.

Wonho dan Kihyun menoleh.

"Ne." Jawab Kihyun singkat.

Eunho mengamati Kihyun yang berjalan lambat melewatinya yang berdiri di depan pintu tanpa menoleh.

"Cih, ini menyebalkan," Gumam Eunho.

-Flashback-

Haneul menoleh, ke tempat di mana Jooheon berdiir di ambang pintu dengan setelan jas serba hitam. Tubuhnya hanya berbalut handuk kecil yang melilit pinggangnya.

"Pakai ini dan pergi."

Alis Haneul naik ke atas. "Mworago?"

Tapi tanpa mengindahkan kebinggungan Haneul, Jooheon telah masuk ke kamarnya dan meletakkan stelan jas itu di atas tempat tidur tanpa permisi, melanggar privasinya.

"Hari ini hari pemakaman Kijong."

"What the—"

"Hyung listen," Jooheon menyela. "Sekarang kau adalah saudara Kihyun jadi kau harus datang di hari pemakamannya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang."

"I don't give a fuck about it!!!"

Haneul berteriak marah dengan tangan mengibas kasar udara. Dia berjalan ke lemari, berniat mengambil baju yang nyaman dan tidur.

BRAK!!!

Haneul menoleh, menyeringai ke arah Jooheon yang berdiri di sampingnya dengan tanagn menempel di pintu lemari yang dia tutup paksa.

"Want me to kill you right now, kid?" Tanya Haneul dengan kepala miring ke samping.

"Forgive me hyung, but you must go." Jooheon menatap mata Haneul tak gentar. "Now."

"Aku mulai muak dengan keberanianmu."

"Dan aku lelah harus berurusan dengan orang yang tidak bisa bekerja sama sepertimu." Balas Jooheon. "Ingat kalau kau telah membuka identitas sebagai saudara Kihyun dan Kijong kepada Jaejoong? Karena itu kau harus memainkan peranmu. Jangan menimbulkan kecurigaan."

-Flashback end-

Wonho berjalan hendak menyusul Kihyun, namun dia berhenti di dekat Eunho, menatap namja tan itu dengan tatapan mata tegang dan kaku.

Eunho membalas tatapan mata Wonho dengan tatapan mata yang gelap dan tidak ramah. Dia mengamati detective rekan kerja Jaejoong itu dengan tajam.

"Siapa pun anda, aku akan sangat berterima kasih jika keberadaan anda bukan dengan tujuan menyakiti Kihyun. Jika anda-"

Dengusan Eunho memotong kalimat Wonho.

"Apa yang anda katakan Tuan detective? Aku tidak mengerti." Katanya bersandirwara. "Aku saudaranya mana mungkin aku menyakitinya."

"Aku mengawasi anda." Kata Wonho sambil berlalu.

Setelah Wonho cukup jauh, Haneul tidak dapat menahan tawanya, dia terkekheh.

"This silly game gonna be fun." Ucapnya sambil menyisir rambut di keningnya ke belakang dengan seringai miring.

***


Changkyun enggan mengakui jika kembalinya dia ke rumah bukan hal yang menyenangkan. Meski ayahnya memberi kesan tenang dan perhatian sejak dia kembali tetapi itu tidak mengubah pandangan Changkyun yang muak pada sang ayah karena dia terlanjur mengetahui borok sang ayah. Dia tidak tahu harus memasang wajah seperti apa di depan ayahnya. tapi kata-kata Haneul terus berdengung di telinganya.

"Kau akan lebih aman di sana. Play along with me."

Dia menghela nafas berat.

"Semoga aku tidak tinggal di sini telalu lama." Gumamnya.

Changkyun mengambil peralatan kecilnya, penyadap, alat komuikasi yang dia masukkan ke saku bersama ponsel. Untuk berjaga-jaga karena dia tidak tahu kapan akan membutuhkannya. Dia telah diwanti-wanti oleh Jooheon dan juga Eunhyung untuk selalu membawa peralatan kecilnya, terutama pelacak. Agar Jooheon tetap dapat memantau keberadaan dan setiap pergerakkannya.

Setelahnya keluar dari kamarnya, menuruni tangga dengan langkah yang dibuat senormal mungkin, menghilangkan rasa waspada yang sudah terbiasa menyertai dirinya. Dia tidak ingin terlihat mencurigakan. Di ruang makan dia melihat ayahnya sudah duduk manis dengan koran tergelar di tangannya dan beberapa pelayan yang menata makanan di meja makan. Hidangan yang terlalu berlebihan untuk sebuah sarapan.

"Selamat pagi tuan muda." Kata seorang pelayan yeoja yang membungkuk pada Changkyun.

"Pagi." Jawabnya singkat.

Mendengar pelayan yang menyapa Changkyun, Younghan menutup lembaran koran yang belum habis di abaca, melipatnya dan menauhnya di atas meja makan yang segera disingkirkan oleh pelayan.

"Pagi." Sapa Younghan dengan senyum ramah di meja makan.

"Pagi, Appa." Jawab Changkyun sembari menarik kursi kosong di dekat ayahnya.

"Jadi," Younghan mengarahkan pandangannya pada Changkyun yang sudah duduk. "Apa rencanamu selanjutnya? Mau kembali melanjutkan pendidikanmu?"

"Apa itu memungkinkan?" Tanya Changkyun dengan polosanya.

"Ayah hanya perlu melakukan beberapa panggilan."

Changkyun mengangguk, untuk sejenak dia lupa siapa ayahnya dan pengaruh-pengaruhnya yang besar di beberapa aspek.

"Terserah pada Appa." Changkyun menjawab dengan senyuman.

"Sejak kembali kau menjadi lebih penurut."

Mata Changkyun melebar, memikirkan kemungkinan dia telah memberi jawaban yang salah.

"Tapi ayah senang dengan perubahanmu." Lanjutnya.

Changkyun menahan helaan nafas lega.

"Aku rasa, keluar dari rumah memberiku pelajaran yang berharga untuk tidak lagi meragukan keputusanmu."

Younghan tersenyum simpul. "Nanti siang kita makan bersama. Appa akan meluangkan waktu untukmu."

"Ne appa."

"Meogja." Katanya setelah semua hidangan tersedia di meja.

Changkyun mengangguk.

***

Menjelang pukul sepuluh Yoochun sudah sampai di markas kepolisian, dia berjalan melalui lobby menuju lift untuk sampai ke divisinya. Pemberhentian pertamanya adalah kantor Jaejoong namun dia tidak menemukan kberadaan rekannya itu dan juga juniornya. Dia lalu menyambangi salah satu meja rekan satuannya.

"Jaejoong belum datang?" Tanyanya tanpa basa-basi pada detective yang sedang merunduk bermain ponsel dengan santai.

"Belum. Mungkin terlambat." Jawabnya.

Yoochun mengangguk paham. Dia menepuk bahu rekannya.

"Simpan ponselmu. Kau tentu tidak mau terkena masalah jika Jaejoong datang dan memergokimu bermain ponsel."

"Ah,,, ne." Jawabnya tergagap.

Yoochun keluar dari ruangan divisi criminal dan berjalan di lorong menuju lift, menuju ke pemberhentian selanjutnya, divisi cyber crime, Siwon. Dia menempatkan diri di pojok lift yang nyaris kosong, kebanyakan petugas sudah memulai pekerjaannya sejak tadi jadi lift nyaris kosong. Dia menyangdarkan punggungnya di dinding besi lift yang dingin, melipat tangan di dada sambil berpikir.

Yoo Kijong, korban dan juga seorang mata-mata. Korban pembunuhan ganda. Setelah kematian korban, terjadi kebakaran yang membumi hanguskan tempat tinggal Kijong. Tiga mayat tak beridentitas di lokasi kebakaran. Orang tua yang dulu sempat menjadi lirikan untuk menjadi bagian dari politik. Kejanggalan dalam kasus kematian kedua orang tua Kijong. Lalu sekarang muncul seseorang dari masa lalu yang mengaku sebagai saudara Kijong. Apa tujuannya? Mencari sesuatu yang diselidiki Kijong? Tapi bagaimana?

Semua barang bukti yang berhubungan dengan Kijong sudah diamankan olehnya polisi, beserta dokumen-dokumen dari tempat kerjanya. Menurut data riwayat Yoo Eunho yang dia temukan, pekerjaan namja itu hanya seorang pegawai biasa di luar negeri dan karena dia sekarang di Korea, berarti namja itu tidak memiliki pekerjaan di sini. Dengan background sepert itu agaknya tidak memungkinkan untuk dapat mengorek apa yang dicari Kijong dengan mudah. Mengingat bagaimana perusahaan firma berusaha menahan penyelidikan dengan mengajukan mosi penangguhan penyelidikan penggeledahan.

Atau dia punya misi yang lain? Tapi apa? Pikirnya

DING

Yoochun mendongak, melihat nyala merah lantai tempat liftnya berhenti kemudian segera melangkah keluar ketika tahu dia telah di lantai yang benar. Dia bertegur sapa ringan dengan petugas-petugas yang dia temui. Walaupun mereka dari divisi yang berbeda tetapi divisi criminal cukup banyak mengenal orang-orang dari divisi cyber crime. Karena mereka sering melibatkan divisi cyber crime dalam misi pengintaian dan alat-alat yang mereka miliki.

TAP

Yoochun menoleh ke samping ketika merasakan tepukan ringan di bahunya dan mendapati Yesung dengan segelas kopi di tangan.

"Ne. Bagaimana kau tahu?" Tanyanya sambil merampas kopi dari tangan Yesung.

"YYA!"

Yesung berseru memprotes, tapi Yoochun sudah terlanjur meneguk kopi Yesung tanpa rasa bersalah. Yesung mendesah pasrah.

"Siwon juga mencarimu tadi. Tapi kau dan Jaejoong belum ada yang datang."

"Ah, aku ada urusan tadi dan Jaejoong mungkin akan terlambat." Jawabnya sambil mengembalikan gelas kopi pada Yesung, sehinnga namja itu mengerucutkan bibir tipisnya.

Yesung memberikan gelas itu lagi pada Yoochun.

"Untukmu sajalah." Katanya.

"Oh, gumawo. Aku memang sangat butuh kopi saat ini." Katanya sambil nyengir.

Keduanya berjalan bersama menuju ke ruangan divisi cybercrime. Namun sebelum mereka masuk, Siwon sudah terlebih dulu keluar dari ruangan, mereka berpapasan di depan pintu divisi.

"Oh, Hai Siwon-"

Siwon mengangkat tangannya, memotong sapaan basa-basi Yoochun. Siwon masih memakai seragam lengkap dengan sarung pistol melingkari  pinggangnya.

"Mian, aku tidak mengijinkanmu masuk ke dalam. Terakhir kali orang divisi criminal masuk, dia menendang bilik sehingga aku kena masalah." Ucapnya.

"Nugu?" Tanya Yoochun binggung.

"Atasanmu Kim Jaejoong. Kau pikir siapa lagi orang divisi criminal yang mungkin melakukannya." Sungut Siwon.

"Ahhh,,," Yoochun mengangguk-angguk.

Siwon berjalan melewati keduanya. "Kajja. Aku ingin kita bicara di ruang data kalian."

Siwon menoleh ke arah Yesung. "Mana kopiku?"

Tanpa suara Yesung menjawab dengan tangan teracung menunjuk kopi di tangan Yoochun. Yoochun membelalak, menatap Yesung lalu kopi di tangannya dan Siwon yang merah padam wajahnya.

"I-ini b-bukan m-milikmu?" Yoochun tergagap.

Yesung mengedikkan bahunya. "Aku tidak pernah bilang itu punyaku."

"Yya!!! Kenapa kau tidak bilang?" Seru Yoochun.

"Karena kau tidak bertanya." Jawabnya santai.

Siwon memutar bola matanya kesal. "Kalau saja kau bukan polisi aku akan mengajukan tuntutan padamu."

"YYa!! Ayolah ini hanya kopi."

"Kalau hanya kopi kenapa kau tidak beli sendiri eoh? Jatah bulananmu dipotong oleh Junsu-ssi?" Ledek Siwon.

Yoochun mempercepat langkahnya, menjajari Siwon.

"YYA!!! Ini tidak ada hubungannya." Sanggah Yoochun.

"Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membahas soal kopi."

Yesung menengahi. Keduanya menoleh ke arah Yesung.

"Oh ya benar. Bukan saatnya membahas itu." Ucap Siwon.

"Aku akan membelikan kopi untukmu saat kita melewati mesin penjual." Tawar Yoochun.

"Aku tidak minum kopi kaleng murah." Jawab Siwon ketus.

"Ish!"

***

_At Other Side_

Namja dengan wajah hitam itu, melingkarkan tangannya di bahu Yunho, sedikit menunduk. Tangannya terangkat, menunjuk seorang bocah laki-laki ,lebih muda daripada Yunho, yag berdiri di hadapan Yunho. Yunho pikir mata mereka saling memandang, namun seperti bagaimana dia melihat yang lain, di tempat yang seharusnya adalah wajah terganti dengan warna. Dan warna wajah bocah itu abu-abu kusam. Namun dia sangat yakin mata bocah itu menatapnya, dia dapat merasakannya.

Bocah itu memakai kaus hitam turtleneck dan celana hitam panjang. Tubuhnya kurus namun tidak memberi kesan memprihatinkan. Gejolak aura kemerahan bercampur kuning dan hitam menyelimuti bocah di depan Yunho, menjilat bagai lidah api. Hanya saja Yunho tidak terlalu tertarik untuk melihatnya lebih jauh.

"What do you see, kid?" Tanya namja itu.

"A boy?"Jawab Yunho ragu.

Dia tak paham dengan maksud pertanyaan namja itu. Namja itu tertawa. Dia lalu menoleh pada bocah itu, menyuruhnya mendekat dengan tangan.

TAP

TAP

TAP

Bocah itu mengambil tiga langkah maju. Sekarang bocah itu berdiri di depan Yunho terpisah dua langkah.

"Now, look at his eyes and tell me." Kata namja itu lagi, kali ini memerintah meski dengan halus.

Yunho maju satu langkah memperkecil jarak di antara mereka.

TAP

Kelopak mata yang melindungi bola mata musangnya, memicing, demi mencari jawaban yang diinginkan oleh si namja. Di pusat warna abu-abu di depannya, Yunho mulai melihat dua titik menyerupai mata, berwarna coklat gelap dengan kilat-kilat kebencian dan juga ketakutan yang bercampur menjadi satu. Membentuk sebuah gumpalan menyerupai awan.

"Fear..." Ucap Yunho lirih.

Namja itu menoleh. "Lalu?"

"Hatred..."

"Hmm. Ada yang lain."

"Nothing." Yunho menggeleng.

Dengan kibasan tangan dari namja itu, bocah yang lebih muda dari Yunho berjalan keluar. Suara langkah kakinya lambat dan tenang. Mengetuk lantai dengan irama beraturan.Namja itu melepaskan tangannya dari bahu Yunhho, berjalan ke sebuah kursi yang dipikir oleh yunho sebagai singgahsana si namja.


"Come here." Kata si namja.

Yunho melangkah maju, mendekati si namja.

"Apa kau masih tertarik untuk belajar dariku?'

"Ya."


Kepala namja itu miring ke kiri, menatap Yunho dari atas ke bawah dan kembali ke atas sebelum menjawab. Yunho merasa tidak nyaman dengan gerakan kepala hitam yang seakan sedang menilainya itu, namun dia juga tidak ingin mundur. Dia ingin mengetahui lebih banyak dan dia merasa namja itu dapat memenuhi rasa ingin tahunya.


"Aku akan mengajarimu semua yang ingin kau ketahui."



***


Jaejoong merendam tubuhnya di dalam bathup dengan suhu air yang sangat panas. Entah untuk berapa lama, sampai dia merasakan ketenangan kembali merasuk ke dalam dirinya. Dia diam di dalam bathup lebih lama dan mulai agak pening. Dia membutuhkan kopi, hanya hantaman sejumlah kafein untuk menyingkirkan pening dan segala omong kosong dari kepalanya.


Ada pekerjaan yang menantinya, ada seorang adik yang berharapkan dirinya untuk menghukum pelaku yang menghilangkan nyawa kakaknya. Baginya perasaan dan masalah pribadinya dapat menunggu untuk dikuak setelahnya. Dia tidak boleh membiarkan benaknya dijejali perasaan pribadi dan omong kosong sementara ada pekerjaan yang menantinya.

Jaejoong menatap wajahnya di cermin di atas wastafel-wajah pucat yang berantakan, tidak focus. Dia ingin meninju cermin itu dan nyaris melakukannya jika saja tidak ada suara bel dari intercome gerbang yang berbunyi.

Dia berbalik, mengambil jubah mandi dan keluar dari kamar mandi. Dia menjawab intercome dari kamar tidurnya. Dia melihat wajah Wonho sangat dekat dengan kamera yang terpasang di intercome bagian luar gerbang seperti sedang mencoba melihat Jaejoong melalui kamera intercome dengan ekspresi wajah anak anjing yang hilang. Jaejoong menekan salah satu tombol.

"Masuk." Katanya sambil menekan tombol otomatis yang membuka gerbang di luar, memberi akses bagi Wonho untuk masuk ke area rumahnya.

"Ne, letnan."

Suara Wonho bergema di kamar tidur Jaejoong. Dia hanya bisa menggelengkan kepala mendengar nada bicara Wonho yang seperti sedang bernyanyi.

"Bagaimana dia bisa seriang itu?" Gumamnya heran sambil memilih pakaian dari lemari besar.

Setelah berpakaian Jaejoong keluar dari kamarnya, menuruni tangga dan mendapati Wonho masuk ke ruang tengah dengan dua gelas kopi ala café dan sat kantung plastic yang diduga Jaejoong berisi makanan. Dia melihat dua kotak yang berukuran sedang dan roti dari plastic transparent di tangan Wonho. Wonho menghampiri Jaejoong, mengulurkan satu gelas kopi Americano dingin.

Tangan Jaejoong meraih kopi pemberian dari Wonho, menggumamkan terima kasih namun dengan kening mengkerut.

"Kau membaca pikiranku?" Tanyanya.

"Aku butuh kopi jadi kurasa anda juga." Jawabnya sembari menyesap kopi dinginnya dari sedotan.

"Kau pasti sudah mendengar cerita dari Yoochun."

Jaejoong memberi isyarat agar Wonho duduk, dan dia pun melakukan hal yang sama.

"Hmm, ya. Tapi jika itu membuat anda tidak nyaman aku tidak akan bertanya atau menyinggungnya."

Wonho menaruh plastic yang dia bawa di atas meja, mengeluarkan isinya.

"Karena kopi tidak baik untuk perut yang kosong, jadi aku membeli nasi kotak tadi dan juga roti. Karena aku tidak tahu apa yang Letnan makan untuk sarapan." Katanya sembari membuka penutup nasi kotak.

Jaejoong mengamati Wonho dengan kaki menyilang, satu tangan bersedakap di depan dada dan tangan lain memegang gelas kopi. Dia sadar Wonho sudah lebih dari pada rekan dan bawahan untuk Jaejoong, sekarang lebih seperti teman, sama halnya dengan Yoochun meski sedikit berbeda. Dan dia yakin Wonho tidak akan mengumbar rahasia Jaejoong. Hal seperti itu mungkin tidak akan terlintas di benak Wonho. Tipe orang yang dapat di percayai sepenuhnya, Jaejoong bisa melihat itu dari mata Wonho.

"Kau bisa menanggalkan panggilan letnan jika kita tidak sedang berada di kantor."

Wonho mendongak, kelopak matanya mengerjap cepat. "N-ne?"

"Kau bisa menanggalkan panggilan letnan jika kita tidak sedang berada di kantor. Aku tidak keberatan" Kata Jaejoong menggulangi.

Kaki kanan Jaejoong yang tertumpang di atas kaki kirinya, terangkat menyingkir dari atas kaki kiri kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan untuk meletakkan gelas kopi di atas meja. Dia menarik salah satu kotak makanan yang dibeli Wonho, menyobek kertas pembungkus sumpit dan mengeluakan sumpit kayu yang saling menempel.

TAK

Jaejoong mulai mengangkat kotak makan dan menghujamkan sumpit ke makanannya. Mendongak melihat Wonho yang terpaku.

"Wae? Tidak suka?"

"A-ah, aniya, aniya le-oh Hyung. Gumawo."

"Good. Sekarang makan dan aku ingin kau mengantarku ke suatu tempat."

"NE!" jawab Wonho kelewat semangat.

Jaejoong mendengus tertahan, tersenyum tipis dan mulai makan.

***


Yoochun menatap pistol yang berada di dalam kantung plastic bersegel di atas meja.

"Jadi ini jenis senjata api rakitan yang sama dengan kasus yang diselidiki oleh dua rekanku yang mati?"

Yoochun menatap Siwon yang duduk di depannya bersama Yesung, terpisah oleh meja rendah, memastikan informasi yang dia simpulkan dan dengar adalah benar.

Siwon mengangguk mantap. "Saat mereka mengemasi senjata-senjata yang menjadi barang bukti, aku melihatnya-melihat catatan mereka. Sebelum mereka memergokiku tentunya. Karena bentuk rakitannya mirip, jadi aku menemui Minwoo di lab bertanya tentang jenis peluru yang menewaskan rekanmu. Dan hasilnya baik pistol ini dan pistol yang menewaskan rekanmu adalah peluru dengan jenis yang sama."

"Sidik jari?" Tanya Yoochun.

"Sayangnya tidak ada."Jawab Siwon.

"Kurasa orang yang sengaja menyerangku itu bekerja untuk kelompok yang sama atau setidaknya memiliki hubungan entah sebagai pembeli atau penadah." Siwon menyandarkan punggung di sandaran kursi dan kakinya menjulur lurus di bawah kolong meja. "Setelah aku pikirkan lagi, orang itu sepertinya memang tidak ada niatan untuk melukaiku."

"Dari mana kau tahu?" Tanya Yesung.

"Dari caranya bicara padaku." Siwon menoleh sekilas ke arah Yesung. "Saat itu aku tidak terlalu menyadarinya tapi dia memperingatkanku. Dia juga sepertinya sedang terluka, aku melihat gerakan tubuhnya sedikit aneh."

"Hm." Yoochun bergumam, dia kemudian menunjuk pistol di atas meja. "Apa ini sudah masuk ke laporanmu?"

"Aku belum memasukkannya. Mungkin aku akan memasukkannya setelah bicara denganmu atau Jaejoong."

Yoochun menghela nafas panjang. "Kasus perdangan senjata ini tidak berada ditangangi olehku atau pun Jaejoong. Ja-"

"Kami tahu itu." Sela Yesung. "Tapi karena ini berhubungan dengan dua rekan dari divisimu kami memutuskan untuk berbicara lebih dulu padamu."

"Benar." Imbuh Siwon. "Lagipula kurasa peredaran senjata ini ada hubungannya dengan kasus kematin korban ganda yang kau selidiki. Mungkin kau sudah dengar dari Jaejoong, kalau aku menemukan ponsel kedua korbanmu terlacak di lokasi penangkapan anggota-anggota peredaran senjata itu. Tapi saat aku bertanya pada salah satu orang yang bertanggung jawab menangani kasus itu, mereka bungkam."

"Orang-orang yang dipilih sebagai penanggung penyelidikan berada di bawah perintah Komandan Park Taejin secara langsung. Jadi wajar kalau mereka tidak akan membuka mulut mereka sama sekali. Mereka terlatih dan terpilih. Aku pun binggung harus mulai dari mana. Aku sudah mengunjungi TKP tempat penangkapan terjadi tapi di sana bersih dan aku sudah berusaha mencari nama-nama yang terdaftar sebagai tim penyelidik tapi-" kedua tangan Yoochun tertekuk dengan bahu naik ke atas, dia mendecakkan lidah. "Aku tidak mendapatkan apa pun."

Yesung menoleh ke arah Siwon, menatap rekannya dengan seksama. "Apa kau tahu alasan kau diincar?"

Siwon menggedikkan bahunya santai, seolah pertanyaan Yesung tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, meski beberapa jam yang lalu dia hampir saja diculik. Ketiganya lalu diam. Tidak tahu harus membicarakan apa lagi karena yang tersisa hanya pertanyaan dan dari ketiganya tidak ada yang tahu jawabannya.

Siwon memutar kursinya untu mengusir rasa bosan, kemudian matanya tertuju pada tumpukan kardus berisi berkas-berkas Kijong dan Jihyun. Dia memutar pandanggannya lagi pada Yoochun.

"Apa kalian sudah menyerah untuk mengerjakannya?" Tanya Siwon.

"Huh?"

Siwon menunjuk tumpukan kardus dan ketika mata Yoochun serta Yesung terarah pada kardus-kardus itu keduanya mendesah nyaris bersamaan. Desahan Yesung terdengar paling kasar.

"Kemarin aku, Jaejoong dan Wonho sudah mengerjakan beberpa, memperkecil tanggal pemeriksaan tapi yah,,, aku rasa kita tetap membutuhkan tenaga ahli. Dan sejujurnya aku sudah muak melihat deretan angka-angka itu." Paparnya.

Siwon mengangguk paham. Yoochun pun hanya bisa mengacak-acak rambutnya kasar sampai berantakkan dan kusut. Dia dan Siwon pun belum dapat menyelesaikan pemeriksaan data di computer Kijong dan Jihyun, nyaris belum bergerak.

"Kepalaku rasanya mau pecah." Gerutu Yoochun.

Siwon dan Yesung pun mengangguk setuju dalam diam.

***

Bau tempat ini familiar. Jooheon menyadarinya ketika masuk. Apak dan lapuk, lantai semen, dan dinding-dinding yang catnya mengelupas –inilah tempat yang bertahun-tahun lalu pernah dia sebut rumah. Begitu dia memutuskan untuk berhenti dari universitas di tahun pertama, dia langsung bergabung dengan gerombolan anak-anak yang menamakan kelompok mereka sebagai "X". Mempelajari tentang mendapatkan uang dengan menghack mesin ATM, menmanipulasi hasil ujian universitas, dan juga system keamanan untuk bersenang-senang. Kenakalan mereka menghasilkan uang, mereka juga senang. Situasi yang sangat menguntungkan.

Karena wajahnya memiliki kesan polos yang bahkan tidak akan sanggup menlukai satu serangga pun, dia menjadi bagian dari penggalih perhatian. Atau justru penjebak. Dari orang-orang di kelompok ini dia mngembangkan kemampuannya dalam computer, merakit alat, membuat virus, membuat katru atm palsu dan sebagainya.

Sebagai anak yang tidak memiliki orang tua dia tidak takut untuk melakukan hal-hal yang lebih berbahaya, hanya untuk menguji program-program yang dibuatnya. Sampai akhirnya dia tertangkap polisi karena berkeras mencoba meretas system data kantor polisi. Di mana menjadi awal pertemuannya dengan Eunhyung yang mengeluarkan dirinya dari penjara. Dia tidak pernah melupakan masa lalunya. Sampai hari ini.

Jooheon mengngguk saat berpapasan dengan orang-orang di lorong, lalu menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Masuk ke dalam satu ruangan yang ada di sana dan menarik kursi empuk di dekat meja logam.

"Hai, Bee." Sapanya.

Namja dengan hoodie putih itu memalingkan wajahnya dari layar monitor computer berukuran 55inci, mata coklat almondnya membesar dua kali lipat ketika melihat Jooheon.

"Oh, omo, Honey. Whats up dude?"

Bee, nama samaran tentu saja. Mereka tidak pernah menyebutkan nama asli mereka di sini. Sama Seperti Bee, Jooheon dikenal dengan nama Honey di sini. Dia dan Bee berteman baik, sejak Jooheon bergabung dengan kelompok ini. Meski mereka melakukan tindak criminal mereka tidak pernah macam-macam dengan meretas system data kepolisian seperti yang dilakukan Jooheon hanya karena penasaran. Resiko yang terlalu besar untuk mereka. Tapi mereka tidak pernah menyalahkan Jooheon Karen pada saat Jooheon tertangkap dia tidak pernah sekalipun membawa-bawa nama "X" jadi tidak ada rasa dendam antara mereka dan Jooheon.

Bee menggeser kursinya ke belakang, lalu berdiri diikuti oleh Jooheon, mereka berpelukan singkat. Bee menepuk-nepuk punggung Jooheon. Jooheon menelan ludah, berusaha tidak mengeryit karena tepukan Bee yang lumayan bertenaga.

"Masih seperti ini." Jooheon mengenyakkan diri di kursi. "Bagaimana dengan di sini? Masih menyenangkan?"

"Menyenangkan, tentu saja."

Bee berjalan ke kulkas kecil di sudut ruangan dan mengambil dua botol beer dari dalamnya. Dia berbalik, menutup pintu kulkas menggunakan kaki lalu berjalan ke meja untuk meletakkan botol beer.

"Apa yang kau lakukan sekarang?" Tanya sambil berjalan mengabmil satu buah sendokdari dekat komputernya.

Jangan heran jika ada benda-benda yang tidak seharusnya di dekat computer, karena mereka melakukan semua kegiatan mereka sambil menatap layar monitor termasuk makan. Walaupun di ruangan itu ada meja dan mereka bisa makan di sana, jarang ada yang memfungsikan meja itu sebagaimana mestinya.

"Ini dan itu. Tidak terlalu menarik seperti di sini tapi lebih menegangkan kurasa." Jawabnya.

"Oh benarkah?"

Bee mengarahkan sendoknya ke tutup botol dan dengan sedikit tekanan ke bawah di gagang sendok, tutup botol beer melayang dan mendarat entah di mana, di lantai ruangan. Bee mengulurkan botol beer yang mendesis dengan percikan kecil di mulut botol ke arah Jooheon. Dia membuka botol kedua sambil duduk.

"Aku pikir kau masih mendekam di penjara. Perbuatanmu sangat gila." Ucapnya dengan semangat. "Kau menjadi sejarah di sini."

Mereka bersulang dan meneguk beer dingin yang sangat menyegarkan tenggorokan. Jooheon menatap botol di tangannya lalu tersenyum lebar setelah menelan beer.

"Wow, beer di sini masih seenak yang kuingat."

"Bruh, ini beer mini market bukan beer berkelas." Sahut Bee mendecak.

"Hahaha. Aku jarang bisa minum beer jadi yah ini beer pertamaku setelah berbulan-bulan."

Bee mengeryit prihatin, dia tidak dapat membayangkan dirinya hidup tanpa beer meski hanya sehari.

"Jadi kalian masih melakukan pekerjaan kalian?" Tanya Jooheon.

"Well, tentu saja." Bee mengangguk. "Masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Wae?"

Jooheon tersenyum penuh arti dan Bee menangkap sesuatau yang dianggapnya berbahaya.

"OH my, jangan bilang..." Bee mengelengkan kepalanya.

"Yup. Aku ingin menawarkan pekerjaan padamu. Itu kalau kau terima."

Bee mengangkat kedua tangannya di udara.

"Sorry, but I d-"

Jooheon yang menangkap gelagat penolakan Bee melepaskan tas punggung yang di sandangnya. Menarik ritsleting tasnya hingga terbuka dan mengeluarkan satu aplop coklat besar kemudian menaruhnya di meja. Bee menatap Jooheon lalu amplop di atas meja secara bergantian. Jooheon memberi sinyal dengan matanya kepada Bee.

Bee meraih amplop itu dan matanya membelalak lebih lebar daripada saat dia melihat Jooheon.

"Kau bisa memilikinya jika mau membantuku. Otte?" Tanya Jooheon dengan senyum lebar dan alis yang naik turun bermain-main.

"Urr-"

"Pekerjaanmu tidak sulit Bee. Aku hanya memerlukan beberapa 'mata' yang kau pasang di beberapa tempat."

Untuk kesekian kali mata Bee melebar. "Ba-Ba-"

"Tentu saja aku tahu. Kau harus ingat aku pernah meretas data kepolisian. Jadi untuk menemukan 'mata'-mu tidak sulit."

Jooheon mengambil botol beernya, tersenyum tipis ke arah Bee yang sedang dilemma.

"Ugh, I hate you, bro." Ucapnya sambil melemparkan amplop itu kembali ke atas meja.

"Thank you." Balas jooheon dengan tawa puas.

***

-At Other Side-

Dia terus memandangi wajah yeoja itu, tidak bereaksi meski tubuh yeoja itu roboh di bawah kakinya. Dia terbaring meringkuk, kulit tubuhnya yang putih mulus tampak menyala di atas lantai marmer hitam yang mengkilat. Dia seolah melihat dua tubuh di sana, satu di bawah kakinya dan yang satu lagi ada di bawah lantai. Yeoja itu menggeliat, jemarinya pilin-memilin.

Yunho mengarahkan kakinya, membalikkan tubuh yeoja yang menggeliat bagai seekor cacing hingga terlentang.

"...to....lo....ng..."

Yunho memiringkan kepalanya, masih menatap mata yeoja itu. Dia tersenyum tipis ketika bola mata yeoja itu naik ke atas nyaris menghilang di balik kelopak matanya.

"Indah bukan?"

Yunho menoleh. Namja bersetalan serba hitam itu berjalan menghampiri Yunho dengan langkah lambat. Gaya berjalan yang elegan nan angkuh dengan tangan masuk ke saku celana, seolah tidak ingin membuat tangannya kotor oleh butiran debu.

"Ne." Jawab Yunho kembali menundukkan pandangannya untuk melihat yeoja itu mengeliat dalam siksaan.

"Beautiful." Kata namja itu ikut bergabung memandangi si yeoja.

Kedua namja berbeda usia itu sangat menikmati pemandangan di bawah kaki mereka. Si yeoja itu mengapai-gapai udara kosong di dekatnya, berusaha meraih salah satu kaki dua namja itu. Namun sebelum dia dapat melakukan niatnya, tangannya terjatuh lemas di lantai marmer.

Yunho tersenyum puas melihat yeoja yang tak lagi dapat bergerak atau bersuara itu. Senyumnya tak luput dari perhatian si namja. Namja itu berjalan mendekati Yunho menaruh lengannya di bahu Yunho.

"Kau menyukai bagaimana dia menatapmu Kid?" Tanyanya.

"Sangat."

Dua pasang mata itu menatap sepasang mata di bawah mereka, mata yang melotot tanpa cahaya kehidupan.

"Itulah keindahan."

Senyum di bibir Yunho kian melebar dan dia kemudian tertawa terbahak-bahak.


***


Jaejoong keluar dari rumahnya, menghampiri wonho yang telah siap di dalam mobl dengan mesin yang menyala. Dia berjalan mengitari bagian depan mobil Wonho dan membuka pintu di samping kursi kemudi.

"Bawa aku menemui Minju." Katanya sambil memasang sabuk pengaman.

"Bagaimana dengan detective Park?" Tanya Wonho sambil memutar kemudinya.

PLAK

Jaejoong menepuk dahinya keras-keras. "Astaga. Aku melupakannya."

Wonho melirik sekilas ke arah Jaejoong, tersenyum tipis sebelum mengembalikan perhatian penuhnya pada jalanan setelah keluar dari halaman rumah Jaejoong. Jaejoong mngeluarkan ponsel dari saku jaketnya dan menekan sederet nomor yang sangat dia hapal kemudian menempelkannya di telinga.

PIP

"Yeo-"

"Aku akan pergi menemui Yoon Minju sekarang dan Wonho bersamaku. Aku tidak akan ke kantor setelah ini, jadi kau juga bisa pulang segera. Hari ini aku meliburkan tim."

PIP

Jaejoong mematikan sambungan telfonnya sebelum Yoochun sempat menjawab. Setelahnya dia menyimpan kembali ponselnya di dalam saku jaket. Mulut Wonho terbuka setengah karena tindakan Jaejoong yang sangat sepihak dan otorite dan sial baginya Jaejoong melihat reaksi wajah Wonho yang dianggap tidak menyenangkan oleh Jaejoong.

"Jangan memprotesku hari ini." Ucapnya dengan nada mengancam.

"Oke." Jawab Wonho pasrah.

Jaejoong sedang menyamankan dirinya di kursi, mencari posisi yang tidak terlalu menyakiti pantatnya yang masih terasa perih ketika Wonho buka suara lagi.

"Err—"

"Wae? Katakan saja. Aku tidak akan memakanmu hanya karena kau bicara."

"Soal namja semalam. Detective Park memintaku untuk mencari data dirinya. Apa aku perlu mengatakannya padamu sekarang?"

Wonho bertanya dengan sangat hati-hati memikirkan setiap kata yang pas agar tidak memancing atasannya yang sedang, hm, emosi menurutnya.

"Aku berubah pikiran. Kau menyebutnya lagi. Aku tidak sungkan untuk melemparmu keluar dari mobil detik itu juga."

GLUP

Wonho menelan ludah kecut, wajahnya pucat. Dia tahu atasannya hanya bercanda, tetapi ucapnnya terdengar sangat mengerikan dan seolah akan menjadi kenyataan kalau dia sampai nekat. Akhirnya dia pun memilih bungkam dan hanya bicara saat dibutuhkan oleh Jaejoong.

Setelah menempuh perjalan hampir sekitar satu jam karena terjebak macet, mereka sampai di area tempat tinggal keluarga Yoo yang lama. Wonho memarkirkan mobilnya tepat di mini market tempat dulu dia bertemu dengan Minju untuk pertama kali.

"Dari sini kita perlu berjalan." Katanya menginformasi Jaejoong.

Jaejoong mengangguk, meski dalam hati dia menyumpah serapah dan berharap Wonho tidak menyadari cara berjalannya yang sedikit aneh nanti. Keduanya keluar dari mobil bersamaan.

"Ke arah sini." Ucap Wonho.

"Oke."

Baru beberapa langkah dari tempat mobil mereka parkir Wonho berhenti, mengamati Jaejoong dari belakang.

"Ehm, hyung?" Panggil Wonho lirih.

Jaejoong menoleh, mendapati Wonho berhenti diam dan terlihat sedang berpikir keras.

Keningnya berkerut. "Wae?

Wonho mengusap lehernya, memalingkan wajah dari Jaejoong. Menghindar dari tatapan mata Jaejoong.

"A-Apa a-aku p-perlu m-menggendongmu?"

"Huh?!"

Kening Jaejoong makin berkerut karena pertanyaan Wonho. Butuh waktu sampai dia menyadari maksud dari tawaran Wonho. Sontak wajahnya memerah tak karuan karena malu, sangat malu.

"YYA!!!"

"A-aku h-hanya i-ingin m-membantu. B-bukan b-bermaksud u-untuk kurang ajar." Kata Wonho membela diri dengan kalimat terbata.

Bukan hanya Jaejoong yang memerah wajahnya, Wonho pun juga. Dia malu karena harus menawarkan tawaran yang aneh itu hanya karena khawatir dengan Jaejoong yang berjalan dengan sedikit aneh. Dia merasa Jaejoong seperti penguin.

Jaejoong menggeleng kuat-kuat sebelum dia menghampiri Wonho.

"Dengar, pura-pura tidak lihat. Oke?"


Meski mengancam tapi Jaejoong tidak dapat melakukan apa pun pada wajahnya yang merah padam. Karena Wonho terlalu malu dan tidak berani berdebat dengan Jaejoong dia pun hanya mengangguk.

"Good. Sekarang jalan."

***

Eunho menjaga jarak dengan Kihyun yang kini sedang berdiri, nyaris seperti patung di depan rak besar dengan sekat-sekat kecil yang membentuk kotak-kotak kecil cukup untuk menaruh guci berisi abu kremasi dan foto dari mendiang dengan pintu kaca bening. Di salah satu rak, terdapat guci berisi abu kakaknya, Kijong dan juga foto terbaik Kijong yang dia punya. Foto Kijong yang tersenyum lebar pada Kihyun. Kihyun merasa kehilangan yang besar, dia nyaris tidak kuat.

Eunho menoleh ketika ada sesuatu yang berjalan melewatinya. Meski dari belakang, dia tahu siapa orang itu, Minhyuk, sahabat Kihyun. Sejak dari rumah duka, namja itu selalu memastikan dirinya berada di dekat Kihyun. Dia melihat Minhyuk berdiri di samping Kihyun, menaruh lengannya di bahu Kihyun, mengusapnya pelan. Mereka berdua berdiri tanpa bicara.

Dia menghela nafas, dia tidak percaya jika dirinya harus berhadapan dengan hal sentimental seperti ini. Dia berbalik, keluar dari gedung tempa penyimpanan abu kremasi, mencari tempat untuk merokok di luar. Dia berjalan ke dekat tempat parkir, di samping tempat parker terdapat taman kecil dengan bangku. Di sana dia mengeluarkan rokok dari saku celana, menyalakan batang rokok dengan pemantik. Ketika dia menghembuskan asap rokok pertamanya, dia melihat sosok yang familiar berdiri di depan pintu gedung kremasi. Matanya menyipit.

"Kenapa oang itu ada di sini?" Gumamnya.

Eunho bangkit dari bangku kayu, masih menjepit rokok di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Dia menghisap rokoknya sambil jalan.

TAP

"Menghadiri pemakaman huh?" Tanya Eunho dengan nada menyindir.

Hyungwon menoleh, melihat wajah Eunho sekilas lalu berpaling lagi.


Tak berniat menjawab cemoohan Eunho. Sepasang mata coklatnya terpaku pada bahu sempit Kihyun yang berada di rangkulan tangan MInhyuk. Meski dari kejauhan Hyungwon dapat melihat bahu itu bergetar, kepalanya menunduk, sebelah tangannya menutupi wajah. MInhyuk mendongakkan wajahnya, seperti sedang mencegah dirinya agar tidak menitikkan air mata, lalu menarik Kihyun masuk ke pelukannya. Menyembunyikan wajah Kihyun dalam pelukan. Dalam hati Hyungwon berharap dia adalah orang yang memeluk Kihyun.

Eunho menyapulan lidahnya ke dinding mulut. Dia berdecak.

"Aku tidak percaya ini." Katanya.

"Kenapa kau masih di sini?" Hyungwon balik bertanya.

"Tanyakan itu pada Yunho."

Eunho berbalik, menjauh dari aura suram yang membuatnya marah. Entah karena apa dia merasa aura suram itu menusuknya dengan suatu benda tajam dan runcing yang memancing rasa marahnya. Dia menghenyak kasar di bangku, menghisap rokoknya dalam-dalam. Dia mendongak ketika melakukannya, gumpalan asap yang keluar dari mulut dan lubang hidungnya bergerak di atas wajahnya seperti gumpalan awan berpolusi.

"Perasaan apa ini?" Gumamnya.

Abu rokoknya mulai memanjang dan jatuh di atas rumput hijau buatan. Eunho jatuh dalam lamunan dengan wajah menengadah menatap langit yang cerah tanpa mendung. Dia bahkan tak menyadari Hyungwon telah pergi dari tempatnya berdiri dan Kihyun serta Minhyuk berjalan menghampirinya.

Kelopak matanya bengkak, matanya merah. Masih ada jejak airmata kering di wajah Kihyun dan namja mungil itu berkali-kali mengusap wajahnya dengan ujung jas hitam lengan jasnya. Sementara Minhyuk masih setia menguatkan Kihyun dengan rangkulan di bahu.

"Hyung..."

Kihyun memanggilnya dengan suara serak yang lirih, sehingga tak cukup di dengar oleh Eunho. Kihyun mengambil satu langkah maju, ragu-ragu dia mengambil tempat duduk di samping Eunho.

"Aku akan ke mobil duluan." Kata Minhyuk dengan senyum tipis dan dijawab dengan anggungan lemah oleh Kihyun.

Kihyun menoleh kea rah eunho, mengambil rokok yang telah habis dihisap oleh angina dari apitan jari Eunho. Tindakan Kihyun memancing gerak reflex Eunho, dia terkejut. Buru-buru Kihyun menarik tangannya, takut karena sekilas dia melihat raut wajah yang seram di wajah Eunho.

"M-Mian, a-aku..."

Kihyun berusaha menyembunyikan ketakutannya tapi dari cara bicaranya jelas jika dia gagal.

"Wae?" Tanya Eunho datar.

"A-aku..."

Eunho memutar bola matanya malas, dia tidak suka dengan cara bicara Kihyun yang tergagap.

"Katakan dengan jelas." Perintahnya.

Kihyun menundukkan wajahnya, menatap jarinya yang tidak bisa diam dari mengusap satu sama lain. Dia meyakinkan dirinya kalau dia hanya berhalusinasi tentang wajah menyeramkan tadi, Eunho hanya terkejut.

"Aku... berterima kasih, hyung bersedia tetap... di sini...sampai sekarang..."

Meski tidak lancar dan banyak jeda, Kihyun lega dapat menyelesaikan kalimatnya tanpa tergagap seperti orang bodoh Karena ketakutan. Eunho melirik Kihyun melalui ekor matanya, sikap takut-takut Kihyun mengingatkannya pada sikap Changkyun saat pertama mereka bertemu. Dia mulai berpikir, apa keberadaannya sungguh membuat orang lain tidak nyaman dan ketakutkan bahkan saat dia tidak melakukan apa pun.

"Nevermind. Kita keluarga." Ucapnya, mencopy kata-kata Yunho yang dulu sering dikatakan pada Changmin.

Jika Yunho yang ada di sini sekarang, maka dia akan dengan mudah memainkan perannya, pikir Eunho. Tindakan Kihyun setelahnya sungguh membuat Eunho terkejut, Kihyun memeluknya untuk waktu yang sangat singkat. Dia mendengar Kihyun berbicara tapi kata-kata itu terasa sangat jauh sekali.

"Gumawo, jjinja gumawo. Kau satu-satunya keluarga yang aku miliki sekarang. Aku senang karena aku tidak sendirian."

Kihyun melepas pelukannya dengan rasa lega. Dia kemudian berdiri, membungkuk dalam pada Eunho yang masih mencerna kejadian barusan.

"Hari ini aku akan menginap di tempat Minhyuk, dan mengambil barang-barangku. Sampai jumpa lagi."

Dia tidak yakin apakah dia menjawab Kihyun atau tidak, dia tidak pernah merasakan apa yang dirasakannya saat ini. Banyak hal yang membuatnya merasa asing dengan apa yang dirasakannya saat ini.

***

Tempat itu tidak seperti tempat tinggal, begitu pikir Jaejoong. Lebih seperti tempat penampungan untuk orang-orang kurang beruntung. Banyak anak-anak dengan kondisi fisik yang tidak bisa dibilang baik dan juga para yeoja. Namun untuk disebut penampungan atau panti tempat itu juga tidak dapat dibilang layak. Fasilitas yang tersedia kurang memadai, menurut Jaejoong. Meski harus dia akui tempat itu besar dan terawat dengan baik.

Dia mengalihkan perhatiannya pada Wonho yang kini duduk bersila di lantai dengan anak-anak kecil yang mengerubunginya seperti gerombolan semut. Sekarang dia tahu alasan Wonho mampir ke mini market dan membeli banyak makanan. Awalnya dia pikir Wonho akan memakan semuanya sendiri, mengingat namja besar itu memiliki perut black hole yang menghisap apa saja. Ternyata dia salah.

"Appa akan datang sebentar lagi." Kata yeoja paruh baya yang tadi menyambut Wonho dan Jaejoong.

"Gomabseubnida." Jawab Jaejoong dengan anggukan kecil.

Yeoja itu kemudian menghampiri Wonho yang sedang membacakan buku cerita pada anak-anak yang tengah menikmati permen yang tadi dibagikan oleh Wonho. Yeoja itu menekuk roknya ketika hendak duduk. Wajahnya ikut berseri ketika melihat Wonho membacakan cerita dengan antusias disertai gerakan tubuh untuk mengambarkan cerita.


Sambil menunggu dan tak banyak yang dapat dia lihat di tempat itu, Jaejoong ikut mendengarkan cerita Wonho namun dia memilih mendengarkan sambil berdiri. Demi mengurangi rasa tidak nyaman saat dia duduk di lantai tanpa alas. Namun Jaejoong tidak dapat menahan pikirannya dari pertanyaan-pertanyaan tentang kenapa para anak-anak itu berkumpul di tempat ini. Apa yang terjadi pada mereka. Keluarga mereka. Orang tua atau sadara mereka. Matanya kemudian menangkap satu anak yang duduk jauh dari yang lainnya. Tangan kanannya di gips. Anak itu menundukkan kepalanya seolah tidak ingin wajahnya di lihat orang lain. Di pangkuannya terdapat satu robot mainan berwarna merah yang telah kehilangan satu kakinya. Jaejoong bergerak mendekti anak itu, berjongkok di depannya.

"Kenapa tidak bergabung dengan teman-temanmu?" Tanya Jaejoong lembut.

Anak itu mendongak, kemudian langsung menunduk lagi. Mainannya lebih menarik daripada Jaejoong.

"Kwangji tidak dapat bicara."

Jaejoong mendongakkan kepalanya. Seorang namja tua berbaju lusuh menghampirinya sambil melepaskan sarung tangan yang kotor dan berlubang dari tangannya. Berjongkok di dekat bocah kecil di depan Jaejoong, mengusap rambut gelap bocah itu sambil tersenyum lembut.

"Halabeoji pulang, Kwangji." Katanya dan bocah itu langsung menghambur memeluk namja tua itu.

Namja tua itu balas memeluk dan kemudian melepaskannya dengan tangan menangkup wajah Kwangji. "Masih tidak mau berteman dengan saudara-saudaramu huh?"

Kwangji menundukkan wajahnya, kemudian menggeleng.

"Halaboeji mengerti."

Namja tua itu mengusap kepala Kwangji dengan lembut. Jaejoong dapat melihat kasih saying tulus di wajah namja tua itu. Namja itu kemudian berdiri, mengandeng Kwangji.

"Anda pasti rekan detective Shin." Namja itu mengulurkan tangannya pada Jaejoong. "Anda pasti sudah tahu namaku, tapi di sini aku hanya dipanggil dengan halaboeji. Semoga anda mengerti alasannya."

Jaejoong menyambut uluran tangan namja itu.

"Letnan Kim Jaejoong dari divisi kriminal. Senang anda mau meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya."

Sadar Minju telah datang, Wonho terpaksa mengakhiri ceritanya. Meski anak-anak tidak rela dan meminta Wonho untuk melanjutkan ceritanya. Beruntung sebelum dia uluh oleh tatapan memelas anak-anak, yeoja yang duduk bersamanya mengalihkan perhatian anak-anak dengan mengajak mereka bermain di luar.

"Tolong ajak Kwangji juga." Kata namaja tua itu.

"Ne." Jawab yeoja itu.

Yeoja itu kemudian mengandeng tangan Kwangji dan mengajaknya pergi dengan sedikit bujukkan karena Kwangji tidak mau melepaskan gandengan tangan namja tua itu. Ruangan yang tadinya ramai sekarang menjadi lengang. Namja tua itu mengajak Jaejoong dan Wonho ke ruangan lain, yang lebih kecil daripada ruangan yang digunakan anak-anak tadi untuk bermain.

"Terima kasih Wonho-ssi. Aku dengar dari Miran kau membawakan anak-anak makanan." Kata namja itu sambil duduk.

Wajah Wonho memerah. "Bukan hal besar, Minju-ssi."

"Anda mengelola tempat ini?" Tanya Jaejoong.

Minju menggeleng. "Aku sudah tidak punya uang untuk melakukan itu. Aku hanya memberi tempat bagi mereka yang ingin tinggal bersamaku di sini. Mereka, anak-anak dan yeoja, yang kurang beruntung."

Ada gurat kesedihan ketika Minju mengatakannya.

"Anda pasti sudah mendengar ceritaku dari Wonho-ssi."

Jejoong mengangguk. "Namun aku tidak mengerti alasan anda menanggalkan nama anda."

Minju tersenyum tipis. "Untuk melindungi anak-anak dan tempat ini dan menebus kesalahanku pada keluarga Yoo. Jika bukan karena keputusanku untuk menarik Gwaksu ke lingkaran setan bernama politik maka keluarga mereka akan baik-baik saja. Karena aku dua orang anak harus hidup dan besar tanpa kedua orang tuanya."

Helaan nafas panjang yang berat Minju hembuskan. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan kesedihan dan rasa bersalah yang masih mengantung dengan sangat jelas.

"Anak-anak yang malang." Gumamnya dengan gelengan kepala.

"Dari percakapan anda dan rekan saya, saya rasa anda memiliki nama yang patut untuk saya curigai. Apa tebakan saya benar Minju-ssi?" Tanya Jaejoong.

Lagi-lagi Minju menghela nafas panjang. "Mereka bukan orang-orang yang akan dengan mudah tersentuh oleh hukum."

"Tapi saya memiliki pendapat lain." Sambung Jaejoong.

"Apa anda akan membuka kasus penyelidikan Gwaksu dan Minsu?" tanyanya dengan mata penuh pengharapan.

"Tergantung dengan kerja sama anda." Jawab Jaejoong.

***

Changkyun membuka-buka, halaman buku menu di tangannya, sementara ayahnya, Younghan, menandatangi sejumlah kertas yang diberikan oleh sekertaris pribadinya.

"Appa sudah menghubungi beberapa orang, dan kau sudah bisa masuk ke universitas minggu depan." Ucpa Younghan tanpa mengalihkan matanya dari kertas-kertas putih di atas meja.

"Secepat itu?" Changkyun bertanya.

Mata Younghan bergerak, ketika membaca barisan kalimat di atas kertas putih sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan.

"Kau bisa mengundurnya jika memang belum siap."

Bibir Changkyun mengigit bibir bawahnya ketika mengangguk. Dia tidak terlalu tertarik dengan sekolah, apalagi dengan jika dia harus masuk dengan jalan belakang. Toh, Eunhyung sudah mengajarinya semua yang dia perlukan dalam menjalani misi. Jadi dia merasa sekolah bukanlah hal yang penting. Dia hanya mengikuti arus permainan yang diberikan sang ayah. Menanamkan kesan anak yang telah tahu kerasnya dunia tanpa uang dan koneksi.

Changkyun menoleh pada pelayan, mengatakan makanan apa saja yang dia inginginkan dan membiarkan pelayan itu melakukan pekerjaannya. Sambil menunggu Youghan menyelesaikan pekerjaannya, Changkyun menggelar serbet di atas pangkuannya. Dan saat tanpa sengaja dia menoleh, dia melihat Sangjin berjalan bersama seorang namja blesteran tinggi, melewati ruang VIP yang ditempatinya. Matanya membesar ketika melihat seorang namja berbadan besar berjalan di bagian paling belakang rombongan.

"Kang Baekho?" Gumamnya dalam hati.

Changkyun berpaling, memperhatikan ayahnya.

"Appa, apa appa kemari karena ada pertemuan dengan paman? Aku melihatnya bersama Sangjin hyungnim barusan." Tanyanya hati-hati.

Younghan mendongak, tersenyum tipis ketika bertatap wajah dengan Changkyun.

"Aniya. Mereka pasti kesini untuk makan siang."

Lalu dia kembali menenggelamkan wajahnya dengan pekerjaannya yang belum tuntas.

"Kalau begitu aku akan mengucapkan salam pada mereka,"

Changkyun siap berdiri, setelah menyingkirkan serbet dari pangkuannya namun gerakannya terhenti ketika Younghan bicara.

"Anja."

"Ne?"

Yonghan membubuhkan tanda tangan diberkas terakhir dan menyerahkannya kepada sekertarisnya yang segera pergi setelah membungkuk kepada Younghan.

"Tidak perlu. Kita makan dulu."

Changkyun tidak punya pilihan selain menurut, dia kembali mendudukkan dirinya di kursi. Namun pikirannya masih tertuju pada tiga orang yang tadi melewati mejanya dan bertanya-tanya siapa yang bersama dengan Sangjin tadi. Dia belum pernah melihat namja itu sebelumnya, namun anehnya dia merasa familiar dengan wajahnya.

-TBC-

Continue Reading

You'll Also Like

656K 15.7K 100
Evelyn Claire Bennett never thought this would happen to her. Not in a million years. How could something that was meant to be temporary have a las...
36.1K 2K 32
Come and join the family of Kim. See how the Kim family spends the day, including the cool Dada Jin, strict Appa Joon, calm yoongi, overactive hobi...
5.3M 46.3K 57
Welcome to The Wattpad HQ Community Happenings story! We are so glad you're part of our global community. This is the place for readers and writers...
18.2K 615 28
روايه اماراتيه تتكلم عن مثايل وحيده امها وابوها الي عانت من الم الانفصال الام : نوره الاب : محمد تاريخ الكتابه : 19/3/2023 تاريخ التنزيل : ..