Kakak • lrh

By ohsnapitshood

2K 490 164

"Kakak?" "Kakak kenapa harus pergi jauh?" "Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disin... More

Special thanks!
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka🍒
Luke
Kaka-kakak🍒
Kaka
Luke
Jack
Jack
Ben
Kaka
Luke
Luke
Jack
Ben
Jack
Kaka
Calum
Calum
Calum
Kaka
Kaka
Luke
Luke
Jack
Kaka
Jack
Luke
Kaka
Calum
Jack
Jack
Calum
Jack
Calum

Kaka

25 7 5
By ohsnapitshood

"Ka, bangun."

"Nanti telat, ayo, bangun."

Aku mengerjapkan mataku; menemukan om Jack yang entah kenapa tiba tiba disini.

"Ayo; sekolah nggak?" Ia mengucek matanya sesaat. "Pelan pelan bangunnya, nanti Luke bangun."

Aku menoleh; mendapati kak Luke yang tumben masih tidur jam segini. Biasanya, dia yang kelabakan sendiri pagi pagi; jam segini pasti ia udah mandi, aku yang masih tidur.

"Hari ini om yang nganter?" Tanyaku, yang nggak samasekali beranjak.

Om Jack mengangguk pelan.
"Ayo, cepetan. Nanti telat, gak boleh masuk."

Aku ikut mengangguk; rasanya beda, sama biasanya. Biasanya, kakak pasti... Ah, percuma dijabarin. Tetap bukan kakak yang bangunin, kali ini.

"Om..." Aku berbisik lirih. "Aku gak mau sekolah..."

"Kenapa?" Tanyanya, kali ini mendekat padaku. "Udah ayo ah, jangan bandel Ka."

Aku tetap menggeleng.

"Kenapa gak mau?" Tanya om; menggendongku perlahan dari tempat tidur kakak; memposisikanku di sofa. "Lo gak mau pinter? Masa mau bolos bolosan?"

Aku mengedikkan bahu.
"Gak tau, om."

"Karena bukan sama luke hari ini berangkatnya?"

Aku tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Karena itu sebagian benar; tapi aku sebenarnya juga mau sekolah hari ini, karena ada tugas kelompok. Kan nilainya lumayan, kalo ujian nilaiku jelek lagi, itu bisa nutupin, hehe.

"Jangan gitu." Om Jack berusaha menatap mataku. "Luke sedih kalo tau lo begini."

"Kenapa sedih?" Tanyaku; bukannya kak Luke harusnya marah, ya?

"Gini..." Ia duduk di meja, di hadapanku. "Gue kasihtau ini biar lo tau, ya. Karena lo berhak untuk tau."

"Jadi..." ia menghela nafas. "Gua harus mulai darimana, ya..."

"Oke." Ia menepuk bahu kananku, singkat. "Luke sekarang sakit, jadi dia gak bisa sesering itu ngurusin lo, kayak dulu. Sampe sini ngerti ya, maksudnya gimana?"

Aku mengangguk.
"Sakit apa, om?"

"Namanya kanker. Kanker otak. Pernah denger?"

Aku menggeleng.
"Kanker itu penyakit apa?"

"Jadi gini." Ia menaruh tangan kanannya di kepalaku. "Otak lo itu sehat, gak ada apa apa; kalo Luke, didalem otaknya ada monster ganas, yang bikin dia sakit."

"Monsternya itu ganasnya gak main main." Ujarnya lagi. "Susah diusirnya, dan dia udah tinggal di kepalanya Luke. Nah, monster itu bikin luke sering sakit kepala, sering pingsan, sering muntah, kemaren juga dia kejang, karena monster itu."

"Monsternya gede, nggak?" Tanyaku; yang bingung seberapa ukuran monsternya, sampe bisa masuk ke kepala kakak dan ngelakuin hal hal kayak gitu. "Om gak bisa lawan dia?"

Om Jack menggeleng, tersenyum miris setelahnya.
"Monsternya kecil banget, gua gak bisa liat. Tapi dia jahat; dan yang bisa ngelawan cuma Luke. Makanya, dia harus sering istirahat, terus minum obat. Jadi dia gak bisa ngurusin lo sesering dulu. Dia juga gak bisa terus terusan diajak main."

"Mulai sekarang lo belajar mandiri, ya?" Sahut om Jack lagi. "Tidur malem sama Luke gak apa apa, tapi dari pagi sampe sore, lebih baik lo main sendiri dulu."

"Oke?" Ia mengadahkan tangan. "Ngerti ya? Tos dulu."

Aku menepuk tangannya; dalam hati masih mengutuk diri sendiri, karena jangan jangan monsternya dari aku?

"Tapi monsternya bisa pergi kan, om?" Tanyaku, sebelum om Jack membawaku ke kamar mandi.

"Bisa." Angguk om Jack. "—semoga."

"Kalo monsternya udah pergi, kakak sembuh lagi?"

Ia mengangguk.
"Sembuh, pasti."

Aku mengangguk pelan; masih mengira ngira, kapan monster itu bakal bosen tinggal di kepala kakak? Mungkin dia bisa pindah ke kepala orang lain, ya kan?

"Ayo, mandi." Tukas om Jack, meruntuhkan semua lamunanku. "Abis itu berangkat. Bukunya udah diberesin buat hari ini?"

Aku mengangguk asal, membiarkan om Jack mengobrak abrik isi tasku; sementara aku pergi ke kamar mandi.

Ah, mungkin aku bisa tanya soal monster ini ke Ashton, dia kan pinter, tau segalanya!

Siapa tau, dia tau soal monster yang tinggal di kepala kakak.

***

"Monster?"

Aku mengangguk.
"Namanya kan... Kanzler?"

"Kanzler itu merek sosis." Dengusnya, masih sambil menghubungkan rangkaian satu lampu dengan lampu lainnya. Hari ini kami tugas membuat rangkaian listrik; tadinya, aku punya ide untuk beli aja yang udah jadi. Kan bagus, terus kita gak usah ribet ribet bikin. Eh, Ashtonnya ngga mau. Ya, biarinlah, dia yang bikin sekarang. Tugasku cuma nyetak nyetekin saklar aja, hehe. "Kan apa? Kanker?"

"Nah, iya, itu!" Aku menudingnya. Ashton emang pinter! "Itu!"

"Ka," pandangan matanya berubah serius. "Itu... Itu penyakit yang bahaya, Ka..."

"Bahaya... Gimana?" Aku mengerutkan dahi, bingung maksudnya apa.

Ia menghela nafas.
"Kamu tau kan, papaku sakit sebelum akhirnya..."

Aku mengangguk, tidak ingin ia melanjutkan kalimatnya; papa Ashton meninggal setahun yang lalu, katanya terlalu banyak merokok. Dan dia sebulan penuh setelah papanya meninggal, pasti ke sekolah matanya bengkak.

"Itu kanker." Ia menatapku. "Kanker yang bunuh papaku."

Rasanya seperti disambar petir; gimana kalo monster itu juga bunuh kakak?

"T—terus... I-itu gimana?" Lirihku, yang sekarang panik bukan main. "Papamu gak langsung meninggal kan?"

"Jadi dia sakit berbulan bulan, terus ya, itu..." Lirihnya balik. "Tapi semoga kak Luke gak kenapa napa. Stadiumnya kan beda beda."

Stadium yang sering kak Cal datengin buat olahraga, kan?

"Maksudnya?" Tanyaku; yang berharap kali ini berita bagus yang disampaikannya.

"Stadium 1-2, itu masih bisa dijinakin, peluang sembuhnya besar." Sahutnya, masih sambil mengikatkan kabel pada ujung bawah lampu. "Kalo 3-4, itu udah susah; sama kayak papaku dulu."

Semoga kakak stadium 1 aja...

"Jangan dipikirin, Ka." Sahutnya; seakan tau apa yang sedang kulakukan. "Kamu sekarang bantu kak Luke aja. Bikin dia seneng, jangan bikin dia marah, jangan berantem sama dia; kalo bisa jangan sedih depan dia."

"Aku ngerasain." Ia tersenyum tipis padaku. "—waktu papaku begitu. Kata mamaku, tugasku cuma apa yang tadi aku bilang ke kamu. Banggain dia, jangan rewel kalo disuruh. Karena kalo udah saatnya dia pergi, kamu gak bakal ngerasa sedih atau bersalah; kamu udah ngelakuin apa yang harus kamu lakuin."

"—in a proper way." Senyumnya tipis, lagi. "He knows you loves him that much. Tapi pada kenyataannya, dia mungkin gak bisa sekuat yang kamu kira, dan... Kamu pasti akhirnya lebih rela dia pergi, daripada dia kesakitan."

Aku menggeleng; mataku langsung panas.
"Aku gak mau dia pergi, Ash..."

"Kamu gak perlu jawab sekarang." Gelengnya. "Kamu pikir dulu aku mau papaku pergi? Samasekali enggak, Ka. Tapi lama lama... Meskipun sepi, rasanya lebih baik..."

"—daripada dia terus terusan ngerasa sakit." Lirihnya; matanya ikut berkaca. "Coba nyalain saklarnya."

Aku melakukan apa yang diperintahkannya; meski kepalaku isinya hanya apa yang ia baru saja katakan.

Kak luke nggak boleh pergi, nggak boleh!

"Ash?" Nafasku memburu; gak enak mau nangis disini, nanti diseruin temen temen, dikatain cengeng.

"Hm?"

"Aku harus apa?" Suaraku bergetar; Ash tau sebentar lagi aku pasti nangis.

"Show him that you loves him, in a proper way— the way he should be treated." Ujarnya, menepuk pelan bahuku. "Pokoknya, tunjukin sama kak Luke kalo kamu sayang dia; jangan bikin dia marah, jangan bikin dia sedih, buat dia seneng."

"Aku tau kamu bisa." Ujarnya. "Jangan nangis, nanti aku ikutan nangis, Ka."

Aku mengangguk; berusaha mengalihkan pikiran dengan memainkan saklar.

Semoga kakak bisa sembuh.

Continue Reading

You'll Also Like

31.5K 1.7K 11
"kurtarıcısına aşık kız... klişe hikaye." "komşu kızına platonik aşık çocuk mu söylüyor bunu?" ya da asi'nin şebnem'in kızı olarak doğup büyüdüğü ve...
140K 5.8K 33
ʜᴇʀ şᴇʏ ꜱᴀʟᴀᴋ ᴋᴀʀᴅᴇşɪᴍɪɴ ʏᴀʟᴀɴıʏʟᴀ ʙᴀşʟᴀᴅı... ꜱɪᴢ: ᴅᴇʟɪᴋᴀɴʟıʏꜱᴀɴ ᴋᴏɴᴜᴍ ᴀᴛᴀʀꜱıɴ!
22.1K 3.1K 60
Hep aynı yıldıza bakarsan yolunu asla kaybetmezsin...
49.7K 7.6K 30
[🥼🔬] [theoretically lab] kim taehyung, stajyer jeon jeongguk'un tam bir virüs olduğunu düşünüyordu.