KAIROS

By inariwritingproject

216K 24.7K 3.4K

Update setiap hari Senin pukul 08.00 WIB. Marco dan Floriska bersahabat sejak lama. Marco si tukang berantem... More

Inari Writing Project
INTRO KAIROS
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 15
BAB 16
Imajinasi Tokoh
Present
BAB 17
BAB 18
BAB 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Random 0.1
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Between Two Stars
Cuap 0.1
Vote
Kairos Terbit
PO Kairos dibuka

BAB 14

4.5K 602 112
By inariwritingproject

"Kamu bisa saja menceritakan kebohongan ke semua orang, tapi terkadang ada seseorang yang tak kamu duga yang bisa membaca isi hatimu yang sebenarnya."

^*^

Floriska berjalan menyusuri tepian lapangan basket sore itu setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam di perpustakaan sendirian sembari menunggu waktu latihan drum band Bio berakhir.

Sekolah sudah nyaris sepi, yang terdengar hanyalah bunyi berisik bola yang memantul di semen, dan teriakan-teriakan cowok-cowok yang meredam bunyi langkah kaki Floriska.

Lima cowok terlihat sedang bermain basket di sana. Dua cowok berasal dari kelas IPS dan tiga cowok berasal dari kelas Floriska. Salah satu di antara mereka adalah Marco, yang sudah menanggalkan kemeja batiknya dan menyisahkan kaus hitam membalut kulitnya.

“Kalau main yang bener dong, Lang, lemes amat deh,” tegur Marco sambil mengumpani bola ke cowok yang tampak tak bergairah untuk bermain basket.

“Habis diputusin ceweknya tuh, Ko. Si Bella, adik kelas,” cengir Ibram.

“Beneran? Yang lo tembak pas MOS dulu?” Marco ingin diyakinkan.

“Yoi, yang dulu itu loh. Yang cara nembaknya bikin heboh guru-guru.” sahut Ibram lagi dengan terbahak.

“Lo sedih amat sih, cari yang lain lah, Sob! Kayak cewek di dunia ini cuma satu aja,” sambung Haris anak IPS dengan geli. “Lo mau gue kenali sama temen adik gue? Banyak tuh biasanya ngumpul di rumah.”

Galang yang kisah cintanya sedang dibuat bahan bullying hanya menggeleng pasrah dan kentara sekali bahwa cowok itu sedang kehilangan selera humor parah.

Marco menghampirinya, lalu menepuk pelan punggung Galang.

“Kalau lo suntuk, entar malam gue temenin jalan deh. Mau ke mana terserah lo,” ujarnya menghibur tanpa ikutan mem-bully. “Gue juga mau bantu kalau lo butuh bantuan buat baikan sama cewek lo,” lanjutnya membuat Galang akhirnya tersenyum.

Floriska mengamati semua itu. Seulas senyum timbul di bibirnya. Meskipun hobi menonjok orang, Marco sebenarnya adalah cowok baik. Seketika dia merasa kehangatan menjalari sekujur tubuhnya.

Kehangatan yang selalu muncul ketika dia mendapati Marco bercanda dengan Bio. Atau…  kadang-kadang, ketika cowok itu mendadak berpaling padanya lalu tersenyum lebar seperti saat ini.

“Flo!” sapa Marco ceria membuat Floriska kaget. Karena dia pikir, Marco pasti marah dengannya karena siang tadi sudah mengusirnya dari perpustakaan. Memang dasar Marco manusia aneh, atau mungkin dia memang sudah menyadari kesalahannya. Mungkin juga masalah percintaan Galang mendongkrak mood-nya.

Entahlah.

Floriska melambaikan tangan. Marco berlari ringan menghampirinya.

“Kok masih di sini? Jam berapa Bio pulang dari latihan drum band? Kirain kamu udah pulang dari tadi,” lanjut Marco.

“Nih, mau balik. Setengah jam lagi Bio selesai latihan.”

“Oh oke, aku juga mau balik kok,” jawab Marco. “Tunggu bentar, aku ambil tas dulu.” Marco berbalik lalu memungut tas dan seragamnya. “Gue duluan ya?” pamitnya pada teman-temannya yang balik melambai.
Mereka berdua pun berjalan beriringan menyusuri jalan setapak menuju tempat parkir sekolah.

“Ko, kamu beneran nanti malam mau ke luar sama Galang?” tanya Floriska.

“Belum tahu. Entar Galang ngechat aku kalau jadi ngajak ke luar. Kenapa?”

“Nggak apa-apa sih. Cuma, aku nanti mau ke luar sama Bio ke toko buku. Peralatan tulis dia kan udah banyak yang habis. Jadi, mungkin aku bakal sekalian makan di luar sama Bio.”

Marco mengangguk mengerti.

“Nggak masalah, kalian jalan aja. Lagian hari ini kan nggak ada tugas. Kalau Galang nggak jadi ngajak jalan, aku paling nerusin pengamatan di ruangan Om Dewo.”

“Baguslah.”

“Kira-kira kalian berdua pulang jam berapa?” lanjut Marco lagi sembari membenahi letak tali tas di bahunya.
Floriska menaikkan bahunya.

“Aku nggak tahu, mungkin malam. Soalnya sekalian ketemu Arga di toko buku.”

Seketika Marco berhenti melangkah. Tali tas yang baru saja dia benarkan posisinya kembali melorot ke lengannya. Matanya memandang Floriska dengan tak percaya.

“Kalian janjian jalan bareng?” tanya Marco langsung dengan wajah terkejut.

Melihat ekspresi Marco yang seperti itu membuat Floriska mendengus. Selalu saja sahabatnya itu bereaksi berlebihan seakan sedang disuruh memilih antara hidup atau mati.

Sebenarnya Floriska enggan memberitahu Marco akan rencananya dengan Arga, karena tidak tahan melihat reaksi Marco yang seperti ini. Tapi lebih rumit lagi jika nanti Marco tiba-tiba tahu.

“Kami berdua butuh buku panduan baru yang direkomendasikan Bu Isma waktu bimbingan pertama. Pulang sekolah tadi Arga langsung ke Perpustakaan Kota buat cari bukunya, tapi nggak ada. Jadi, kami janjian di toko buku buat cari bareng. Sekalian aku ngantar Bio,” terang Floriska pelan-pelan agar Marco tidak salah paham. Tapi usahanya itu tampak sia-sia karena Marco masih saja berdiri membeku di tempatnya dengan mulut sedikit terbuka.

“Ah, Marco, biasa aja deh,” seru Floriska karena cowok itu tak kunjung menjawab. Dia sedikit merasa kesal melihat ekspresi Marco yang seperti baru saja kehilangan roh itu.

“Aku biasa aja kok,” koreksi Marco kemudian dengan sangat tak meyakinkan.

Floriska mengentakkan kaki lalu berjalan mendahului cowok itu sambil mengomel. Marco mengikuti langkahnya dengan pelan.

“Aku benar-benar nggak sengaja keluar dengan Bio demi bertemu Arga, tapi ini benar-benar kebetulan karena aku udah merencanakan ke toko buku bersama Bio sejak minggu kemarin. Cuma karena kita selalu dapat banyak tugas, jadi rencana itu terus mundur. Lagi pula habis ini Bio ulang tahun, aku pengin tahu apa yang dia pengin selain buku Harry Potter seri ketiga,” jelas Floriska dengan nada sedikit kesal.

“Aku tahu, aku tahu, nggak usah ngambek gitu dong. Aku kan cuma tanya,” balas Marco pelan. “Tapi tetap aja kalian janjian jalan bareng,”
Floriska berhenti melangkah, lalu berbalik menghadap Marco yang tampak terkejut melihatnya tiba-tiba berbalik.

“Memangnya kenapa kalau aku jalan bareng sama Arga? Kamu khawatir dia mesum atau karena kamu cemburu?” tanya Floriska serius. Sesaat yang lalu, dia mengingat ucapan Mbak Alma tentang perilaku Marco yang wanita itu sebut sebagai reaksi cemburu dan Floriska begitu ingin memastikannya. Sayangnya, ketika ditodong pertanyaan seperti itu, Marco malah diam seribu bahasa.

“Aku… nggak cemburu,” jawab Marco akhirnya sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. “Kenapa sih Flo, gitu amat?” lanjutnya mendadak galak ketika merasa kesal dipindai oleh mata lebar Floriska.

“Kalau gitu biasa aja, ini kan bukan kencan atau semacam itu,” tanggap Floriska kesal lalu kembali meneruskan perjalanan menyusuri jalan setapak dengan langkah cepat.

***

“Ngapain lo ke sini? Perasaan tadi gue nggak janjian buat ngajak lo jalan malam ini.”

“Justru karena lo nggak ngajak gue jalan malam ini, jadinya gue yang ngajak lo jalan sekarang,” jelas Marco pada Galang yang tampak bingung melihat Marco tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa konfirmasi apa pun. “Buruan ganti baju, gue tunggu.”

Galang hanya membeku menatap Marco berdiri di depan pagar rumahnya. Mobil sport berwarna hitam terparkir tak jauh dari rumahnya.

“Lo mau ngajak gue ke mana, sih? Gue belum siap dapat gebetan baru.”

“Udah deh, gak usah cerewet, cepetan ganti baju,” balas Marco dengan nada yang terdengar memaksa, membuat Galang menurut.

Tak sampai satu jam kemudian, Marco dan Galang tiba di sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota. Marco berjalan terlebih dulu dengan langkah cepat dan pandangan memindai ke seluruh lantai mal, sementara Galang mengekorinya dengan heran.

“Sebenarnya lo mau ke mana, sih? Ini udah lantai tiga dan kita cuma muter-muter doang dari tadi,” celetuk Galang. “Lagian tumben-tumbenan kita ngemal, enak juga main boling kayak biasanya.”

“Toko buku di lantai empat, kan?” sahut Marco tak mengindahkan eluhan Galang.

Marco berusaha dengan teliti mengamati satu persatu pengunjung di mal yang cukup besar itu. Dia mencari cewek yang berambut panjang dan anak kecil setinggi lengannya. Tapi sejak di lantai dasar, dia tak menemukan mereka.
Sampai di lantai tiga, hendak naik ke eskalator menuju lantai empat, pandangan Marco masih menjelajahi toko yang kemungkinan akan didatangi Floriska.

“Mata lo jelalatan mulu dari tadi, tapi kaki kenceng banget jalan ke toko buku, emang mau beli buku apa sih, Ko?” tanya Galang heran.

“Pokoknya buku yang pengin gue beli, ya gue beli,” jawab Marco dengan pandangan menuju toko mainan anak-anak, toko pernak-pernik, toko peralatan musik… dan itu mereka.

“Tumben sih, lo nggak sama Floriska? biasanya–”

Kalimat Galang terputus karena pada saat itu juga, Marco menarik cowok itu untuk bersembunyi di balik perlindungan tumpukan bola plastik di depan toko mainan yang tak jauh dari toko peralatan musik yang di mana Floriska dan Bio berada. Cewek itu sedang menunduk sambil melihat satu set drum yang sedang ditunjuk-tunjuk oleh Bio. Mereka berbincang tapi Marco tak mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Apaan sih, Ko? Ngapain lo narik gue buat sembunyi segala?” protes Galang yang kepalanya ditahan Marco agar tetap menunduk.

“Sstt… diam aja dulu,” balas Marco dengan pandangan fokus mengamati Floriska.

“Iya, tapi kepala gue lepasin dong! Sialan lo, Ko.”

Tak lama kemudian, Floriska bersama adiknya meneruskan perjalanan menuju eskalator ke lantai empat. Marco dengan perlahan keluar dari persembunyian dan mengikuti mereka dengan berhati-hati menjaga jarak.

“Itu Floriska!” celetuk Galang ketika mengikuti pandangan Marco. Dengan segera Marco menutup mulut cowok itu.

“Ssstt, jangan keras-keras,” tegur Marco.

“Lo ngapain, sih? Mata-matain Floriska? Buat apaan?” bisik Galang heran setelah Marco melepaskan tangannya dari mulut Galang. “Mana asin lagi tangan lo, nih,” tambah Galang kesal sembari mengusap bibirnya dengan lengan jaketnya.

Marco memandang serius Galang, lalu berkata, “lo ikutin gue aja ya, jangan berisik. Entar gue traktir lo minum.”

“Sekalian makan,” imbuh Galang spontan dan serius. Seakan mendengar kata traktir sudah membuatnya memaklumi semua kelakuan aneh Marco.

“Oke, deal,” balas Marco. Dan mereka pun menaiki tangga eskalator menyusul Floriska.

Sampai di lantai empat, Marco melihat Floriska berjalan santai dengan Bio menuju toko buku. Marco berjalan mengendap-endap diikuti Galang yang kali ini tidak lagi banyak bertanya. Dia malah memasang wajah seakan mereka sedang benar-benar bekerja sebagai mata-mata profesional.

Di depan toko buku, berdiri cowok yang seketika melambai ketika melihat kedatangan Floriska dan Bio. Marco pun dengan cepat menghentikan langkahnya untuk mempertahankan jarak.

“Gue baru tahu kalau Floriska pacaran sama Arga,” celetuk Galang yang ikut berhenti melangkah. Pandangannya ikut menerawang ke depan toko buku. Ke tempat reuni kecil obyek mata-mata Marco berlangsung.

“Mereka nggak pacaran, tapi Arga yang ngebet,” sahut Marco serius.

“Jadi lo cemburu? Lo suka beneran suka Floriska? Wah, benar dugaan anak-anak selama ini.”

Marco melirik Galang dengan ganas. “Gue khawatir,” balasnya.

Galang tertawa kecil. “Khawatir nggak segininya juga kali, Sob. Lagian lo kan cakep, banyak yang mau sama lo. Fans lo, si Safira, kan imut banget. Kalau Floriska kencan sama Arga, lo kencan sama dia aja.”

“Gue lagi nggak pengin dengar saran dari cowok yang hilang tenaga gara-gara belum bisa move on dari mantan pacarnya,” balas Marco telak membuat Galang langsung mengumpat. “Ayo, masuk,” ajak Marco kemudian.

Marco dan Galang pun masuk ke dalam toko buku, berhati-hati untuk tidak langsung berpapasan atau bertemu pandang dengan obyek mata-mata mereka.

Mereka menyusuri lorong demi lorong untuk mengamati. Ketika hendak sampai di lorong ensiklopedia anak-anak, Marco berhenti melangkah, sekaligus menghentikan Galang untuk melangkah. Dia menempelkan jari pada bibirnya. Floriska, Arga dan Bio ada di lorong setelahnya.

“Bio, kamu di sini aja ya? Jangan ke mana-mana, Kak Flo mau cari buku di rak di ujung sana sama Kak Arga biar belanjanya cepat kelar,” Marco mendengar Floriska memberi perintah pada adiknya dan Bio terdengar menyetujuinya.

Bisa-bisanya Floriska ninggalin adiknya sendirian buat berduaan dengan Arga, batin Marco kesal.

Floriska dan Arga pun menjauh, ke lorong buku-buku panduan dan kumpulan soal-soal. Marco dan Galang pun mengikutinya dan bersembunyi di balik satu rak dari tempat mereka berada.

“Nih, ketemu, Flo,” Marco mendengar Arga berbicara pada Floriska.

“Lumayan mahal harganya,” Floriska menjawab.

“Gue aja yang beli, entar buat berdua,” sahut Arga.

Marco dan Galang saling pandang penuh arti. Uh, sok manis banget. Modus Arga memang luar biasa. Beli satu buat berdua. Terus nanti latihan soalnya harus barengan terus. Asem banget!

Galang terlihat menahan tawanya ketika melihat ekspresi kecut Marco.

“Gue baru tahu, kalau orang pinter macam Arga bisa modus,” bisik Galang.

Marco merengut.

“Kita bayar berdua aja, Ga. Biayanya kita bagi dua,” saran Floriska kemudian.

Marco dengan perlahan mengintip dari balik buku-buku. Tampak Floriska dan Arga berdiri berhadapan dan jarak mereka cukup dekat untuk saling pandang.

“Ya udah kalau itu mau lo, entar bawa aja kalau udah selesai,” balas Arga sembari tersenyum.

“Kita bawa bergantian, Ga. Kamu bisa bawa kalau lagi butuh.”

“Gampang kalau itu, Flo. Gue bisa ambil di rumah lo kalau lagi butuh.”

Marco mendecih. 'Ambil di rumah lo, Flo.' Ngomong aja mau ngapelin Floriska, omelnya dalam hati.

“Oke,” Floriska menyetujuianya lalu memandang Arga dan tersenyum padanya.

Floriska tersenyum pada Arga di depan Marco.

Gitu katanya bukan kencan! Seru Marco dalam hati. Apa-apaan tuh cewek pakai senyum manis segala di depan Arga. Dia benar-benar sudah terjebak modus sarang tipis Araneae.

“Kak Marco!” seseorang memanggil Marco bersamaan dengan Galang menyenggol pelan lengan Marco.
Marco berbalik dan melihat Bio berdiri tak jauh dari tempatnya bersembunyi, spontan karena terkejut, Marco menarik salah satu buku di rak, membukanya dan berusaha menyembunyikan wajahnya di balik buku itu. Namun, semua itu sia-sia. Bio menghampirinya, lalu menarik lengannya.

“Persiapan Kehamilan Untuk Ibu Muda,” Bio membaca judul di sampul buku yang dipegang Marco. “Siapa ibu muda?” lanjut Bio polos.

Marco buru-buru menutup buku dan meletakkannya kembali di raknya. Galang kentara sekali menahan tawa di sebelahnya.

“Eh, Bio,” Marco balas menyapa dengan kikuk. “Kebetulan banget ketemu di sini.”

“Kenapa Kak Marco sembunyi, tuh ada Kak Flo–” Kalimat Bio terpotong karena buru-buru Marco menutup mulutnya.

“Bio, pernah dengar janji keren antara cowok dan cowok?” kata Marco buru-buru. Bio menggeleng. “Oke, ada janji yang bisa bikin cowok menjadi keren. Kamu mau jadi keren kan?” Bio mengangguk. “Oke, bisa kita ngomong sambil bisik-bisik aja?”
Bio mengangguk sekali lagi lalu Marco melepaskan tangannya dari mulut Bio.

“Janji apa?” tanya Bio dengan suara nyaris mendesis.

Marco menumpukan kedua lututnya di lantai sampai tingginya sama dengan Bio. Ditatapnya anak itu dengan serius.

“Kamu cowok kan?” tanya Marco dan anak itu mengangguk. “Kak Marco juga cowok. Jadi, karena kita sesama cowok, Kak Marco minta, kamu janji nggak bilang ke Kak Flo kalau Kak Marco ada di sini. Oke?”

“Tapi kenapa?” Bio terlihat bingung.

“Kak Marco nggak bisa jelasin kenapa. Karena janji menyimpan rahasia antara cowok dan cowok memang nggak ada alasannya. Makanya janji itu keren. Karena sangat rahasia dan nggak boleh diceritakan ke siapa pun. Apalagi ke cewek. Paham?”

Bio terdiam sebentar lalu akhirnya mengangguk mengerti. “Oke, aku janji,” jawabnya lalu menyodorkan jari kelingkingnya untuk dikait oleh jari kelingking, tapi Marco menggeleng.

“Janji antara cowok dan cowok itu seperti ini,” Marco membuka lebar kelima jarinya lalu melipat jari tengah dan jari manisnya. Seketika Bio menirukan bentuk tangan itu dan mereka berdua melakukan tos.

“Nah, kita udah bikin janji. Sekarang kamu balik gih, ke Kak Flo, dan kuntit terus Kak Flo. Oke?” perintah Marco.

Bio mengangguk mantap lalu pergi meninggalkan Marco. Tapi, setelah beberapa langkah, dia kembali menghadap Marco, mengacungkan tangan yang dia bentuk seperti yang diajarkan Marco dan berkata ‘keren’ dengan girang. Seketika Marco menghela nafas lega.

“Gue, baru tahu kalau lo bisa canggih banget menguasai keadaan genting,” komentar Galang seraya menepuk-nepuk ringan punggung Marco setelah Bio sudah benar-benar pergi. “Dan omong-omong siapa yang lagi hamil?”

Marco menggelengkan kepala.

“Serangga gue ada yang hamil.”

--------
--------

Selamat hari Senin ^^
Jumpa lagi denga  KAIROS
Hari ini temanya SPY dan sengaja pasang musik list bertema SPY juga. Hihihi

Oke Markojun shipper, relakan Floriska kencan sama Arga 😄

Gak rela? Okee aku tambah part lagi deh
Next kuyyy 😊

Continue Reading

You'll Also Like

520K 56.7K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
946K 13.5K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
296K 17.6K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
PUNISHER By Kak Ay

Teen Fiction

1.3M 114K 43
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...