A MAN BEHIND THE MIRROR

By reijung9

24.4K 3.2K 1.8K

SHADOW SEQUEL More

1
2
3
4
5
5.1
6
7
8
9
10. [REBORN]
11. [ 미로 ] - Milo - Labirin
13. [ 밤 ] - BAM - NIGHT
14. [숨바꼭질] - SUMBAKKOGJIL - HIDE & SEEK
15. [눈 ] - NUN - EYES
16. [ 구해줘 ] - Guhaejwo - Save Me
17. [ 게임 ] - Geim - A Game
18. [ 목소리 ] - Mogsoli - Voice
19. Heart, Mind and Soul
20. [ 비밀 ] - Bimil - The Secret
21.
22. [ 꿈 같은 ] - Kkum Gat-eun - Dreamlike
23.[ 놀자 ] - Nolja - Let's Play
24. [ 악마 ] - Agma - Devil
25.[ 악마 ] - Agma - Devil - 2
26 : [ 악마 ] - Agma - Devil - 3
27. [ 악마 ] - Agma - Devil - 4
28. [ 협력 ] - Hyeoblyeog - Cooperation
29. [ 역습 ] - Yeogseub - Counterattack
30. [되든 안되든] - Hit Or Miss
31. [ 위장 자 ] - Wijang ja - The Disguiser
32. [ 갇힌 ] - Gadhin - Trapped

12. [ 이름 ] - Ileum - Name

703 94 82
By reijung9

Seorang yeoja bersandar di dalam bak mandi marmer yang besar di kamar presidential suite,  Hotel The Palace dan membiarkan air panas yeng menyembur dari keran-keran jet meredakan ketengangan di tubuh moleknya yang hanya terbalut oleh bikini putih. Sebelah tangannya memegangi gelas berisi champange favoritnya.

(Ilustrasi)

Matanya terpejam nikmat ketika semburan air panas mengenai di bagian tubuhnya yang lelah. Ia berada di sana untuk mengurus acara  rutin yang biasa diadakan olehnya dan teman-teman sosialitanya untuk berkumpul dan bersenang-senang secara private, lebih tepatnya ia menyuruh orang untuk mengerjakan semuanya dan harus sesuai dengan bayangan yang ada di kepalanya sementara ia bisa memanjakan diri serta tubuhnya untuk nanti malam.

Namun tak lama kemudian ia membuka matanya dengan tatapan kesal ke arah pintu kaca buram kamar mandi, menatap sesosok bayangan tinggi di baliknya.

"Maaf Nyonya tapi ada sedikit masalah untuk pesta nanti malam." Kata namja di luar.

"Panggilkan assistenku." Kata yeoja itu.

Tak lama seorang yeoja masuk, dengan selehai bathrobe dan handuk di tangannya. Yeoja itu bangkit dari bak mandi dan melangkahkan kakinya keluar. Ia merentangkan tangannya dan yeoja yang bisa dipastikan adalah assisten pribadinya segera memakaikan bathrobe pada si yeoja yang baru keluar dari bak. Yeoja itu membungkus rambut bob pendeknya dengan handuk sebelum keluar dari kamar mandi.

"Ada apa?" Tanyanya tanpa melihat lawan bicaranya.

Ia kemudian duduk di sofa dengan kaki menyilang, sehingga bathrobe yang dipakainya menyingkap dan memamerkan kulit mulus tungkai kakinya yang basah. Assistennya menuangkan champange ke dalam gelas dan memberikannya pada si yeoja. Yeoja itu meneguknya dengan gerakan elegan dan sedikit menggoda.

Namja yang berdiri di tengah ruangan itu, mengulum ludah. Sebagai namja normal ia tentu tertarik secara alami pada pemandangan indah di depannya. Ia mengendurkan dasinya, namun tidak terlalu terlihat perbedaannya.

"Dj yang anda minta, kami tidak bisa menyediakannya karena dia sudah memiliki janji lain." Katanya dengan nada tenang, mencoba mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

"Apa?"

Yeoja itu dengan gamblang memperlihatkan wajah tidak sukanya. Sekarang wajah namja itu terlihat ketakutan.

"T-tapi anda tidak perlu khawatir. Kami sudah menemukan penganti yang pasti akan anda suka, Nyonya Han A-Yeong." Katanya.

Yeoja itu menaikkan sebelah alisnya tertarik. Ia meletakkan gelasnya di atas meja, kemudian memberi isyarat pada assistennya untuk mengeringkan rambutnya.

"Aku akan memutuskan suka atau tidak jika aku sudah melihatnya secara langsung. Aku tidak ingin menjadi bahan olokan di pesta nanti malam." Katanya sinis setelah menghardik assistennya yang menyalakan hairdryer dengan suhu terlalu tinggi untuknya.

"Tentu Nyonya. Karena itu saya sudah membawanya kemari dan dia sedang menunggu di depan. Jika anda mengijinkan, saya akan membawanya ke depan anda."

"Oh ya lakukan." Jawabnya santai.

Namja itu membungkuk kepada A-Yeong, berbalik menuju pintu dan tak lama ia kembali masuk bersama seseorang. A-Yeong membiarkan rambutnya disisir dan dirapikan oleh assistennya dan kemudian pandangannya  tertarik pada namja tinggi di belakang namja yang tadi bicara padanya. Manik matanya menjelajahi namja itu, memindainya dari atas sampai ke bawah.

Ia berdiri, dan bergerak maju untuk melihat lebih jelas namja yang ia yakin adalah DJ pengganti yang dimaksud oleh orang suruhannya. Dengan tangan terlipad di depan dada ia berjalan mengitari namja itu. Masih dengan pandangan yang bergerak dari atas ke bawah.

"Ba-"

Ayeong memotong ucapan orangnya dengan gerakan tangannya, satu jarinya teracung ke atas. Paham dengan maksud sang Nyonya, namja itu diam dan mundur satu langkah. Sementara Ayeong mulai mengulas senyum tipis pada namja tinggi itu ketika ia berhenti di depan si namja dan memperhatikannya lagi.

Tubuh tegap namja itu hanya berbalut selembar kaos hitam polos, memberi kesan kaus itu lebih besar ketika melekat di tubuhnya yang ramping. Mata Ayeong tertuju pada lengan namja itu, ia melihat urat-urat yang menonjol di lengan si namja. Ia tersenyum tipis, ramping tapi tidak lembek, pikirnya. Ketika ia mengamati lengan si namja secara otomatis matanya tertarik ketika melihat jam yang melingkar di pergelangan si namja.

"Rolex?" Tanyanya.

"A gift." Jawab si namja singkat.

Ayeong mengangguk-angguk kemudian kembali pada kegiatannya menilai si namja. Tatapannya bergerak turun, kaki panjang namja itu tertutup celana jeans panjang gelap dan ketat dan semakin turun ke sepatu yang dipakai si namja. Matanya memicing sebentar ketika melihat brand sepatu yang dikenakan si namja dan ia bergumam.

"Gucci, All flashtrek. Not bad."

"Thank you." Jawab namja itu.

Ayeong berhenti di depan si namja, matanya kini tertuju pada bagian terpenting dari standart penilaiannya, wajah. Ia menyukai cara namja itu menata rambutnya, rambut warna ash lembut, dengan bagian depan terbelah di tengah menyibak seperti tirai yang jatuh di kedua sisi kepala si namja. Perhatiannya tertuju pada telinga si namja, di telinga kiri namja itu terdapat tiga anting. Dua buah yang berupa tindik dan satu dengan rantai menjutai dengan hiasan salib terbalik dengan batu tepat di titik temu salib, semuanya berbuat dari perak. Sementara di telinga kanan hanya terdapat satu tindik.

Wajah namja itu tidak mengecewakan, bahkan Ayeong harus mengakui namja itu jauh lebih tampan dari DJ yang biasa ia sewa. Hidungnya mancung, kulit wajah yang terawat dan bibir penuh yang sangat menggoda untuk dicicipi.

Ayeong memiringkan kepalanya ketika matanya bertemu dengan mata coklat gelap si namja.

"Aku suka. Siapa namamu?" Tanyanya.

"Orang-orang memanggilku Dj H.one." Jawabnya tapi kali ini dengan senyum tipis, sangat tipis. "Tapi anda bisa memanggilku Hyungwon, Nona Ayeong."


Ayeong tersenyum, berbalik dan kemudian duduk di sofa dengan kaki menyilang. Ia memberi isyarat pada Hyungwon untuk duduk dan dengan senang hati Hyungwon menurutinya.

"Champange?" Tanya Ayeong.

"Tentu."

Tanpa harus mengeluarkan perintah, assisten Ayeong menuangkan champange untuk Hyungwon dan mengisi gelas Ayeong lagi. Setelah meletakkannya di atas meja Ayeong berkata.

"Tinggalkan aku berdua dengannya. Ada hal yang harus kubicarakan padanya."

Setelah mereka hanya tinggal berdua, Ayeong mengajak Hyungwon untuk bersulang. Dentingan gelas beralun merdu ketika gelas mereka saling bertemu.

"Oh ya aku minta maaf karena menjamumu dengan penampilanku yang tidak layak ini." Katanya dengan pandangan terarah pada bathrobe putihnya.

Hyungwon menggeleng. "Anda terlihat cantik. Bahkan jauh lebih canti dari yang pernah aku dengar."

"Jadi kau sudah tahu namaku?" Alis Ayeong terangkat.

"Tentu saja. Banyak teman-temanku, sesama DJ, yang sangat ingin bekerja pada anda. Tetapi yang saya tahu, anda hanya memfokuskan diri pada satu DJ saja." Jawab Hyungwon. "Suatu keberuntungan sekarang saya bisa bekerja pada anda."

Ayeong terkekeh, mengibaskan anak rambutnya ke samping kemudian menyandarkan tangan kirinya di lengan sofa, jemari tangan kirinya bermain-main dengan jari tangan kanan yang berada di atas paha.

"Aku merasa sedikit menyesal karena hanya memperkerjakan satu DJ dan tidak mencoba mencari yang lain. Tapi yah, karena kau sudah mendengar cerita tentangku mungkin kau tahu kenapa aku melakukannya."

"Ya, kurasa."

Sebelah alis Ayeong naik ke atas, seolah mempertanyakan jawaban Hyungwon.

"Aku hanya tahu jika anda istri seorang politikus tapi --"

"Tapi apa? Lanjutkan tidak perlu ragu di depanku." Kata Ayeong ketika Hyungwon terlihat ragu dengan kalimatnya.

"Maafkan saya tapi setelah melihat anda secara langsung aku tidak percaya jika anda sudah menikah. A-anda tidak seperti orang yang sudah menikah. Anda masih terlihat sangat muda dan cantik."

"Cantik?"

Kelopak mata Ayeong berkedip cepat.

Hyungwon menggeleng, menjilat bibirnya yang kering dengan gigitan kecil di bibir bawahnya.

"Anda pasti sudah sering mendengarnya dan maaf pasti ucapanku terdengar tidak sopan. Padahal ini pertama kalinya kita bertemu."

Ayeong terkekeh, menutupi bibirnya menggunakan punggung tangan kanan, memalingkan wajahnya dari Hyungwon. Pujian Hyungwon padanya membuat wajahnya panas dan merah.

"Kau berlebihan. Aku tidak semuda yang kau pikirkan dan tentu lebih banyak yeoja-yeoja cantik yang mengelilingimu di setiap pesta yang kau meriahkan."

"Ya itu mungkin benar tapi tidak ada yang bisa menarik perhatianku seperti yang anda."

Hyungwon menatap mata Ayeong lekat-lekat, membuat yeoja itu salah tingkah.

"Baiklah itu cukup. Kau terlalu berlebihan memujiku." Kata Ayeong disertai kibasan tangan.

Ia mengambil gelasnya. "Aku memperkerjakanmu dan kuharap kau tidak mengecewakanku di pesta nanti malam."

Hyungwon tersenyum, ikut mengangkat gelasnya. "Tidak akan."

Gelas mereka kembali bersentuhan di udara, sambil pura-pura meneguk champangenya Hyungwon mencuri pandang ke arah Ayeong.

Ketika Ayeong memergoki Hyungwon yang sedang menatapnya, Hyungwon menyunggingkan seulas senyum yang menggoda hingga membuat Ayeong tersipu.

●●●

Suara dering ponsel yang nyaring membuat Changkyun yang sedang tidur pulas di kamarnya mengeliat. Ia berguling ke samping  di atas ranjang king sizenya, dan mengulur tangannya ke atas meja. Meraba-raba permukaan meja dan langsung ditarik lagi ketika tangannya telah menemukan benda sumber suara berisik di kamarnya.

"Yeopseo." Ucapnya dengan suara khas bangun tidur.

"Bagaimana rasanya rumah?"

Suara riang Jooheon menyapa indera pendengarannya, ia menggosok matanya agar terbuka. Ia menaruh tangannya di bawah kepala.

"Tempat tidur nyaman, pelayan. Semuanya sangat sempurna." Jawabnya.


"Senang kau menikmatinya."

"Ada apa hyung menelfonku?"

"Hanya ingin mengingatkanmu untuk menghubungi Hyunwoo karena ia pasti sedang berpikir kenapa kau tidak menghubunginya. Tuan Lee sudah menghubunginya tapi dia pasti ingin kau bicara langsung padanya."

Changkyun menguap lebar. "Ah ya, aku akan menghubunginya nanti."

"Great. Aku akan menghubungimu secara berkala dan kau juga harus melakukannya. I love you."

"I hate you, hyung." Jawab Changkyun merengut.

Ia sempat mendengar suara tawa Jooheon sebelum sambungannya terputus.

Changkyun meletakkan lagi ponselnya di atas meja, mengusap wajahnya beberapa kali sebelum akhirnya ia menguap lagi dan melihat ke arah jam. Ia terkejut ketika melihat jam menunjukkan pukul lima sore, ia tidur siang hampir empat jam lamanya. Selama ia tinggal bersama Eunhyung, pola tidurnya tidak pernah teratur cenderung sedikit. Jadi tanpa disadari oleh Changkyun, tubuhnya yang lelah secara otomatis berisitirahat untuk waktu yang lama ketika ada kesempatan.

Ia menyibakkan selimut yang membelit tubuhnya, turun dari tempat tidur. Badannya terasa segar setelah istirahat yang cukup dan pikirannya juga jernih untuk mengingat apa yang harus dilakukannya.

Setelah ia mandi dan berpakaian, ia keluar dari kamar. Turun ke bawah untuk mencari ayahnya.

"Di mana ayah?" Tanyanya pada salah seorang pelayan yang sedang membersihkan meja makan.

"Tuan pergi ke kantornya setelah makan siang bersama anda. Tuan berpesan agar anda tidak menunggunya untuk makan malam karena tuan akan pulang larut." Jawab sang pelayan.

Bibir Changkyun membentuk bulatan kecil.

"Apa ada makanan khusus yang anda inginkan untuk makan malam?" Tanya sang pelayan.

"Tidak ada." Jawabnya sambil berlalu.

●●●

Jaejoong tidak menyangka akan membawa pekerjaannya ke rumah, lagi, plus dua rekannya, Yoochun dan Wonho. Tapi mengingat bagaimana seriusnya wajah kedua rekannya dan menanggapi ketidak inginan mereka untuk berbicara di markas jadi mau tidak mau ia membawa keduanya ke rumahnya. Di sana, Wonho tak hentinya ternganga karena ukuran rumahnya yang besar, bahkan Jaejoong sendiri harus mengakui hal itu di dalam kepala.

"Eug, letnan lalu di mana kura-kuranya?"

Wonho melangkah masuk, mengikuti kedua atasannya dengan jaket tersampir di lengan. Yoochun menoleh ke arah Wonho lalu kepada Jaejoong.

"Kura-kura?" Tanya Yoochun dengan dua belah alis yang naik ke atas.

"Mian Wonho tapi kura-kuraku lepas." Jawab Jaejoong.

Ia sangat tidak menyangka Wonho masih berpikir ia memiliki kura-kura, meski ia sedikit  lega Wonho tidak berpikir kalau ia memelihara mahluk berlendir tanpa tulang belakang bernama siput.

"Mwo? Apa dia memecahkan kandang? Atau melompat?" Tanya Wonho terlalu antusias.

Pasalnya ia belum pernah menemui orang yang memelihara kura-kura di rumah. Terakhir ia melihat kura-kura sewaktu pergi bersama teman yeojanya di bangku senior high. Mendengar mereka akan ke rumah Jaejoong, harapannya sudah melambung tinggi tapi kenyaatan membuatnya sedikit kecewa.

"Yah begitulah." Kening Jaejoong berkerut. "Mungkin."

Yoochun menjajari langkah Jaejoong dan mencolek lengan atas Jaejoong. Ketika Jaejoong menoleh, ia menaikan alisnya untuk bertanya dan Jaejoong mengerakkan bibirnya tanpa bersuara, menyebut satu nama sebagai jawaban. "Yun-ho."

Mulut Yoochun mengangguk ketika kepalanya mengangguk paham. Mengabaikan gumaman Wonho tentang kura-kura khayalan pelihaan Jaejoong, Jaejoong mengajak mereka untuk memasuki ruang kerjanya dan Wonho yang baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah Jaejoong benggong.

Ruangan itu besar dengan dua rak besar menempel di dinding, hampir memenuhi satu sisi dinding. Satu meja kerja dengan setumpuk kertas yang tidak ingin dijabarkan oleh Wonho, tersusun -tidak terlalu rapi tapi juga tidak berantakan- di dekat lampu meja dan sebuah laptop dalam kondisi tertutup. Di tengah ruangan terdapat sofa yang ditata membentuk huruf "L" mengelilingi sebuah meja.

Di sisi lain terdapat sebuah kulkas dan rak lebih kecil berisi beberapa jenis minuman dan sebuah mesin pembuat kopi. Jaejoong sengaja menambahkan itu di dalam ruangan, agar ia tidak perlu keluar dari ruang kerjanya hanya untuk mengambil minum atau untuk membuat kopi. Lebih praktis menurutnya.

"Wow, luar biasa. Daebak." Puji Wonho terkagum.

"Gumawo." Jawab Jaejoong tanpa menoleh.

Ia melemparkan jaketnya di atas sofadengan santai, lalu menarik glassboard-nya yang masih penuh coretan tangannya di malam sebelumnya.

"Kau membutuhkan papan yang baru yang lebih besar." Kata Yoochun berkomentar sambil bangkit dari kursinya.

"Aku terus mendengar saran itu."

"Dan pasti kau juga sudah mendengar kalau kau butuh ruang kerja yang lebih luas lagi." Inbuh Yoochun seraya membantu Jaejoong menarik glassboard.

"Aku berniat melakukannya dengan menjebol di dinding sebelah agar lebih luas. Tapi seseorang menahanku." Jaejoong mengambil penghapus dan spidol, membiar Yoochun melakukan pekerjaannya sendiri. "Dia bilang sekali aku melakukannya satu rumah akan beralih fungsi menjadi ruang kerja."

"Aku sependapat dengannya." Sahut Yoochun setelah memposisikan glassboard seperti arahan Jaejoong.

"Dia? Dia siapa?"

Wonho yang sedari tadi diam memperhatikan dan tidak paham akhirnya buka suara, melemparkan pertanyaan yang berputar di kepalanya.

"Kalau kalian ingin minum ambil sendiri. Dan aku siap mendengarkan kalian." Perintah Jaejoong yang pura-pura tak mendengar pertanyaan Wonho.

Wonho berdiri, mendekati papan yang masih penuh tulisan Jaejoong. Ia menoleh ke arah Jaejoong.

"Tak apa kau menghapusnya. Aku sudah menyimpannya di kepala ku dan aku bisa mengambarnya kapan pun aku mau." Jawab Jaejoong sembari memasukkan air di mesin pembuat kopi.

Tanpa ragu lagi, Wonho menghapus separuh dari isi papan dan menempelkan dua foto di papan lalu menggambar garis penghubung di antara ke duanya. Yoochun menyandarkan panggulnya di sofa, memperhatikan panah-panah yang dibuat oleh Wonho serta membaca  catatan kecilnya.

Jaejoong menghampiri Yoochun, melipat tangannya di dada.

"Merasa berhasil sebagai sunbae?" Tanya Jaejoong.

"Sangat." Jawab Yoochun singkat dengan senyum tipis.

Setelah selesai Wonho berbalik, mengambil dua buah laporan yang ia buat dan menyerahkannya pada Yoochun dan Jaejoong. Lalu berbalik lagi, berdiri di samping papan.

"Mereka adalah orang tua Kijong dan Kihyun." Ia menunjuk ke foto si ibu menggunakan spidol. "Yoo Minsu." Lalu ke foto si ayah. "Yoo Gwaksu."

Ia menurunkan spidolnya dan menggengamnya dengan satu tangan. "Seperti yang terdapat di daftar riwayatnya, keduanya adalah seorang guru. Minsu mengajar di sekolah dasar multikultural dan Gwaksu mengabdikan diri di sekolah negeri. Dari keterangan orang-orang yang pernah bekerja bersama keduanya, hampir semuanya mengatakan hal yang serupa, bahwa keduanya adalah orang yang baik. Pasangan Yoo ini semasa hidupnya aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Aku menyertakan detailnya di laporanku." Kata Wonho menunjuk kertas yang ada di tangan Yoochun dan Jaejoong.

Ketika perhatian Jaejoong dan Yoochun fokus membaca daftar nama lembaga sosial yang diikuti oleh pasangan Yoo, Wonho mengambil satu foto lain di bawah foto pasangan Yoo dan melingkarinya.

"Wow, mereka orang yang luar biasa." Gumam Yoochun.

"Selalu orang baik yang menjadi sasaran." Desah Jaejoong yang kemudian mengangkat pandangannya dan mengeryit melihat foto asing di bawah foto pasangan Yoo.

"Namja ini bernama Yoon Minju, usia saat ini 56 tahun. Lahir dan besar di Seoul, tidak terikat pernikahan. Dia bekerja sebagai sekertaris partai Im Younghan dan menundurkan diri ketika usianya 45tahun dengan alasan ingin berisitirahat karena penyakit yang ia derita."

Wonho melanjutkan ketika perhatian kedua atasan telah berpindah lagi padanya.

"Tapi ia hanya menghilang selama kurang lebih satu setengah tahun. Setelah itu ia muncul dan menjadi salah satu orang yang mengajukkan nama-nama yang berpotensi untuk maju ke parlemen dengan mengusung prinsip berdikari atau suara masyarakat."

Wonho berbalik ke arah papan, mengambarkan sesuatu dan Jaejoong sangat berharap apapun yang dilakukan Wonho bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya.

Ia langsung mengulum ludah ketika Wonho berbalik. Ekspresi horor pun mengelantung di wajah Yoochun. Mata Jaejoong dan Yoochun fokus pada anak panah yang menghubungkan foto Minju dan Gwaksu.

"Karena reputasi Gwaksu yang sangat baik di kalangan masyarakat, Minju menawarkan Gwaksu untuk maju masuk ke parlemen tetapi Gwaksu menolak. Ia berpendapat jika ia masih bisa melakukan sesuatu untuk orang banyak meski bukan sebagai seorang politikus, pada awalnya." 

"Pada awalnya?" Tanya Yoochun.

"Ya, menurut pengakuan Minju pada awalnya Gwaksu memang menolak. Tapi berubah pikiran. Gwaksu menemuinya satu hari sebelum dia dan istrinya meninggal dunia, mendatangi kediaman Minju yang lama. Tujuan dari Gwaksu menemui Minju adalah untuk menerima tawaran Minju asal dengan persyaratan Minju harus bisa menjaga keselamatan keluarganya."

Jaejoong mengangkat tangannya, membuat Wonho menghentikan presentasinya sebentar.

"Dari mana kau bisa tahu sampai sejauh dan detail dalam waktu singkat?"

"Tadi pagi, setelah menyelesaikan laporan aku pergi ke ruang data dan mencari file berkas kematin pasangan Yoo dan mengkopi data mereka. Serta beberapa nama petugas yang terlibat dalam penyelidikan kasus itu. Pertama aku pergi ke tempat di mana pasangan Yoo bekerja dan menemukan keterlibatan Minju." Wonho menunjuk foto Minju sekilas dan menurunkan tangannya lagi. "Dan aku juga mendapatkan alamatnya yang lama. Tapi tidak bisa menemukannya, sampai ada orang yang mendatangiku ketika aku sedang istirahat di depan mini market area tempat tinggal Minju--"

"Jebal intinya saja." Potong Jaejoong yang mulai pusing mendengarkan keterangan Wonho yang terlalu mendetail.

"Intinya aku mendapat semua informasi ini dari Minju sendiri. Dia orang yang mendatangiku ketika aku berada di depan minimarket."

"Mwo??!" Jaejoong dan Yoochun memekik bersamaan.

Wonho sedikit kaget, membelalak namun dapat menguasai dirinya lagi dengan cepat.

"Tunggu sebentar."

Wonho kemudian berjalan ke ranselnya dan mengeluarkan alat perekam yang ia miliki.

"Daripada aku menjelaskan mungkin kalian akan lebih senang mendengar percakapan kami." Tutur Wonho.

●●●

Minhyuk mengerti akan emosi yang ada di dalam hati Kihyun bahkan tanpa melihat, karena ia menunduk, ia masih bisa merasakan tatapan menusuk dari Kihyun padanya. Ia terlalu malu untuk mengangkat wajahnya.

"Mianhae Ki." Katanya dengan sangat lirih.

Karena emosi Kihyun meledak di tengah perjalanan ketika Minhyuk bercerita, Minhyuk terpaksa menepikan mobilnya dan kini ia siap menerima apa pun yang akan keluar dari bibir Kihyun.

Kihyun merasakan ledakan emosi yang meletup-letup bagai lahar panas di dalam perut bumi dan ia adalah gunung yang siap untuk meletus. Tapi ia mengambil nafas panjang, mengambil waktu beberapa detik untuk diam dan hanya memandangi sahabatnya yang menunduk.

"Aku berniat memberitahumu secepatnya. Tapi   melihatmu yang bersedih, a-aku tidak bisa membawa diriku untuk bicara padamu. A-aku berniat memberitahumu jika semuanya telah tenang. Bukan seperti ini."

Ia meremas rambutnya, menjambak rambutnya kasar, menyalahkan dirinya.

"Kenapa kau diam saja?" Tanya Kihyun singkat dan dingin.

"Karena Kijong hyung memintaku menyembunyikannya darimu. Dia tidak ingin membuatmu khawatir." Jawabnya lemah.

"Lanjutkan."

"Kijong hyung tidak menceritakan detailnya padaku, yang aku tahu dia hanya sedang menyelidiki satu kasus." Minhyuk mengulum sebelum melanjutkan. "Tiga hari sebelum kepulanganmu, Kijong hyung datang ke apartmentku. Ia memintaku untuk menjagamu dan menitipkan sesuatu untukmu. A-aku merasa aneh tapi aku pikir dia akan baik-baik saja."

Kalimat terakhir Minhyuk, memancing reaksi dari Kihyun. Reaksi yang sejak tadi di tahan oleh Kihyun.

"APA KAU GILA?!! KALAU KAU MEMBERITAHUKU SAAT ITU JUGA MU-"

Suara Kihyun tercekat di tenggorokan. Wajahnya memerah, seluruh darah di tubuhnya telah naik ke kepalanya.

"Mungkin Kijong hyung masih hidup."

Kedua mata Kihyun berkaca-kaca.

Kepala Minhyuk tertunduk semakin dalam. Ia tidak akan pernah bisa berhenti meminta maaf. "Mianhae."

Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan, memalingkan wajah dan menahan airmatanya untuk tidak jatuh. Ia bisa merasakan kepercayaan Kihyun yang terkoyak oleh perbuatannya dan ia pun digelayuti oleh perasaan bersalah yang tidak dapat dihapus.

Ia mengulum ludah, seperti ia sedang menelan rasa bersalahnya.

Kihyun bersiap keluar dari mobil, sebelum tangan Minhyuk menariknya hingga ia terduduk lagi di kursi dan meremas bahunya dengan keras.

"Kau boleh marah. Kau boleh meluapkan kemarahanmu kepadaku. Aku pantas mendapatkannya tapi jangan pergi."

Minhyuk merasakan kedua matanya memanas, dan ia pun sangat tahu kalau suaranya bergetar hebat.

"B-biarkan aku membantumu." Ucapnya, kali ini ia tidak dapat menahan airmatanya ketika ia melihat airmata berjatuhan di pipi Kihyun.

Kihyun menurunkan tangan Minhyuk dari bahunya, mengenggamnya erat.

"Aku tidak bisa. Kau menghancurkan persahabatan kita." Ucap Kihyun dengan gelengan kepala.

Kihyun segera keluar dari mobil sebelum Minhyuk sempat mencegahnya, ia pergi tanpa menoleh sekali pun dengan airmata terus berjatuhan. Minhyuk ikut keluar dari mobilnya tetapi ia kehilangan jejak Kihyun di antara pejalan kaki. Ia menghambur masuk ke dalam mobilnya, memukul apa yang bisa ia pukul saat itu juga. Memaki dirinya sendiri.

Satu hembusan nafas kasar ia lepaskan dari bibirnya dan ia merunduk di kemudi mobil.

"Mian..hae..." Gumamnya.

●●●

Jaejoong dapat menjaga tangannya untuk diam selama mendengarkan rekaman percakapan antara Wonho dan Minju. Ia menyentuh sudut bibirnya menggunakan ibu jari selama ia mendengarkan setelah tadi ia menggigiti kuku jarinya.

"Gwaksu mendatangi dengan harapan aku bisa membantunya untuk menjaga keselamatan keluarganya. Tapi sebelum aku bisa melakukan apa pun untuknya, dia-dia dan Minsu sudah...bahkan polisi-polisi itu.. mereka menutup kasusnya.. aku aku merasa sangat bersalah...."

Terdengar isak tangis seorang namja tua di rekaman itu. Lalu Wonho mematikannya.

"Percakapan kami berhenti di situ." Ucapnya, memecah keheningan ruang kerja Jaejoong. "Seperti yang kalian dengar, ia menjual rumahnya dan uang hasil penjualannya ia gunakan untuk membiayai pendidikan Kijong dan Kihyun, melalui lembaga."

"Tidak ingin dikenali dan untuk menebus rasa bersalah." Imbuh Yoochun seraya menegakkan tubuhnya di sofa.

"Tepat." Wonho mengangguk. "Aku belum sempat memeriksa orang-orang yang terlibat dalam penyelidikan kasus mereka. Mungkin besok jika memungkinkan. Untuk sekarang  hanya ini yang aku dapatkan."

"Apa Minju mengatakan nama orang yang mungkin dapat dicurigai?"

Kini Jaejoong yang bertanya.

"Tidak. Tapi aku sudah memeriksa daftar nama-nama calon yang maju disaat kasus utu terjadi. Daftar nama-nama itu aku sertakan di bagian paling belakang."

Ketika Jaejoong dan Yoochun membuka laporannya, Wonho melanjutkan. "Background masing-masing dari mereka juga sudah aku siapkan. Calon-calon yang terdaftar kebanyakan memiliki hubungan dengan Im Younghan, dari anggota partainya sendiri yang tentu maju atas rekomendasinya dan beberapa  pihak lain memiliki keterikatan kerjasama di luar urusan partai."

"Kita tidak mungkin memeriksa mereka semua tanpa ada surat perintah." Desah Yoochun.

"Ya. Kecuali jika kita mengajukan permohonan untuk membuka kasus pasangan Yoo lagi. Kurasa itu memungkinkan."

Jaejoong tetap diam sembari meneliti nama-nama itu lebih detail. Skema kasus di kepalanya semakin terang, salah satu ujung dari benang kusut telah di temukan. Kematian Kijong erat hubungannya dengan kematian kedua orang tuanya.

Ayah Kijong, Gwaksu mendapat tawaran untuk maju ke parlemen tapi ia menolak dengan alasan kemanusian tanpa mengharuskan dirinya tercebur ke dalam politik kotor yang jelas bersebrangan dengan prinsipnya. Mungkin gosip tentang Gwaksu yang mendapatkan tawaran itu telah tersebar di beberapa kalangan, terlebih Gwaksu bukanlah siapa-siapa, tanpa koneksi dan juga uang untuk bermain-main dengan politik. Tapi ia memiliki dukungan yang besar dari orang-orang yang mengenalnya.

"Apa kau menanyakan pada mereka, rekan-rekan atau orang-orang yang mengenal Gwaksu tentang pendapat mereka mengenai Gwaksu yang akan maju sebagai calon anggota parlemen?" Tanya Jaejoong.

Wonho menoleh. "Ya."

"Jawaban mereka?"

"Mereka sangat setuju. Bahkan akan dengan suka rela memberikan suara mereka untuk Gwaksu sekaligus membantu Gwaksu untuk melakukan kampanye jika diperlukan. Kepala sekolah tempat Minsu termasuk salah satu yang setuju dan Kepala sekolah tempat Gwaksu sudah berniat untuk membantu dan bahkan mendorong Gwaksu untuk menyetujui tawaran itu." Papar Wonho.

"Oh, aku pun akan melakukan hal yang sama." Timpal Yoochun.

Jaejoong kembali diam, tebakannya tepat sasaran. Pengaruh Gwaksu terlampau besar dan juga mengancam beberapa pihak semasa itu. Karena dugaannya sampai saat ini benar maka kemungkinan dugaan Kijong atas kasus kedua orang tuanya adalah benar.

Gwaksu dan Minsu bukan terperangkap di dalam kebakaran tapi sengaja dibunuh dan untuk menghilangkan jejak, mereka melakukan pembakaran untuk menyamarkan penyebab kematian dan mungkin juga waktu kematian. 

"Aku memikirkan skenario yang sangat buruk."

Ucapan Jaejoong menarik perhatian kedua rekannya. Ia mengangkat wajahnya, menjauh dari kertas laporan Wonho dan berdiri.

"Ini masih pradugaku saja tapi sampai titik ini kurasa kecurigaan Kijong tentang adanya polisi yang terlibat adalah benar."

Jaejoong berkata sambil jalan, mengambil spidol dan membuat garis melingkar di foto Gwaksu dan Minsu kemudian berbalik menatap kedua rekannya.

"Pendapatku, mereka telah mati sebelum kasus kebakaran itu terjadi. Pihak tertentu itu, yang ku asumsikan sebagai lawan politik Gwaksu semasa itu merasa terancam karena seorang Gwaksu. Mungkin kabar majunya Gwaksu menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut, mengingat banyaknya orang yang mendukungnya. Tanpa sadar dan tanpa niat buruk membicarakan hal itu dengan antusias, seperti efek domino. Satu mulut ke mulut yang lain dan akhirnya sampai ke telinga lawan politik. Dan pihak lawan yang merasa terintimidasi, mulai menekan Gwaksu dengan ancam, jika merujuk pada fakta Gwaksu yang meminta bantuan Minju untuk menjamin  keselamatan keluarganya. Tapi pihak lawan mengetahui pertemuan Gwaksu dan Minju jadi mereka membereskannya dengan membunuhnya. Tujuan utama mereka agar Gwaksu tidak sampai maju sebagai calon dan untuk menutupi penyebab kematian atau waktu kematian," Jaejoong menambahkan tanda panah di luar garis lingkaran foto pasangan Yoo dan sebaris kata. "Adalah dengan melakukan pembakaran."

"Luka bakar dapat menyembunyikan penyebab kematian utama dan juga waktu kematian. Seperti mayat yang kita temukan di rumah Kijong."

"Tepat sekali." Jaejoong menunjuk ke rah Yoochun menggunakan spidolnya. "Tapi bagian paling penting adalah mereka memerlukan polisi dan juga dokter bagian otopsi untuk menguatkan pemalsuan kematian keduanya."

Mata Wonho membelalak. "Suap?"

"Kemungkinan itu sangat besar dan itu satu-satunya yang dapat kupikirkan saat ini. Ada satu lagi, aku berpikir mereka, di sini yang kumaksud adalah para calon yang terancam dengan keberadaan Gwaksu tidak mungkin turun tangan secara langsung." Ungkap Jaejoong.

"Tunggu sebentar."

Yoochun mengangkat tangannya ke atas, meminta Jaejoong untuk berhenti bicara sementara ia mencerna dan Jaejoong pun memberi kesempatan itu untuk Yoochun.

"Jadi maksudmu ada kemungkinan pihak ketiga yang disewa oleh orang-orang kerah putih untuk melakukan pembunuhan kepada pasangan Yoo?" Tanya Yoochun dengan bulu kuduk meremang.

Jaejoong mengangguk. "Meski pihak ketiga tertangkap, orang-orang kerah putih itu akan memastikan nama mereka tidak terseret masuk ke dalam kasus. Jadi mereka akan tetap bersih dan saingan terberat mereka lenyap."

Tanpa disadari oleh Wonho dan Yoochun keduanya menelan ludah. Dugaan palimg buruk yang ingin mereka hindari justru menyerang masuk.

"Permainan apa ini?" Desah Yoochun frustasi seraya mengusap wajahnya kasar.

●●●

Sangjin menerjang masuk ke dalam sebuah kamar hotel The Palace.

"Apa yang sedang kau lakukan hah?!"

Ia langsung berteriak seperti orang kesetanan ketika masuk ke dalam kamar. Ada dua orang yeoja berada di dalam kamar itu, satu yeoja yang berdiri langsung berjingkat, menjatuhkan kuas make up yang berada di tangannya dan segera membungkuk dalam-dalam pada Sangjin dan keluar dari kamar terbirit-birit ketika Sangjin menatapnya tajam.

Sementara yeoja yang duduk di depan rias tetap santai, seolah suara bentakkan Sangjin bukanlah hal yang mengejutkan baginya. Ia melihat bayangannya di cermin, mengulas sebuah senyum tipis.

"Yeobo kau tidak perlu berteriak seperti orang gila." Katanya santai sambil menatap bayangannya di cermin.

"Apa kau tahu kebiasaanmu ini bisa menghancurkan karirku?!" Suara Sangjin kian meninggi.

Yeoja itu mengebrak meja riasnya, berdiri dengan kasar dan berbalik menghadap ke arah Sangjin dengan tangan terlipat.

"Karir?" Yeoja itu memiringkan kepalanya. "Apa kau ingat siapa orang yang pertama kali menarikmu dari pekerjaan busukmu?"

"AYEONG!!!"

"WAE?!" Ayeong balas berteriak. "JIKA KAU LUPA AKAN KU INGATKAN. AYAHKU YANG MELAKUKANNYA!! DIA YANG MENARIKMU DARI LUMPUR HANYA KARENA BALAS BUDI!!"

Ayeong mendengus. "Hanya karena balas budi ia memberi pekerjaan padamu, mengenalkanmu pada paman Im Younghan. Aku tidak percaya apa yang kau katakan pada ayahku sampai ia memaksaku menikah denganmu."

Tinju Sangjin terkepal, ia kemudian menunjuk ke wajah Ayeong dengan telunjuknya. "Kau pikir, kau lebih baik dariku. Hahahaha."

Sangjin tertawa, lalu menatap Ayeong dengan kemarahan yang berkilat di matanya.

"Kau sungguh ingin tahu apa yang ayahmu katakan padaku tentang dirimu? Dia sudah muak! Dia sudah tidak mau mengurusimu yang bertingkah seperti jalang!!! Di sini aku yang dikorbankan!! Bukan kau!! Jadi kau sebaiknya jaga sikapmu!" Ancam Sangjin.

Ayeong tertawa kering. "Oh ya?" Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Sangjin, memandang remeh Sangjin. "Memangnya apa yang akan kau lakukan hah? Mengadu pada ayah? Itu hanya akan membuat reputasimu di mata ayah menjadi buruk. Menurutmu apa yang akan dia pikirkan? Lagipula yeobo," Ayeong menyunggingkan senyum tipis yang sinis.

"Kau memang memegang kartu Ace-ku tapi ingat aku punya kartu joker. Jika aku mengeluarkannya, kau tamat." Lanjut Ayeong.

Ayeong menurunkan tangannya dari leher Sangjin, menyentuh ujung hidung Sangjin.

"Nah sekarang redakan kemarahamu dan suruh anak buahmu melakukan apa yang biasa mereka lakukan. Selama anak buahmu itu dapat melakukan tugasnya dengan baik, maka karirmupun akan aman. Sampai bertemu  denganmu di rumah besok, yeobo."

Tanpa menoleh Ayeong berjalan keluar setelah menyambar tas kecilnya dari atas tempat tidur, dan mengangkat ujung gaunnya dengan tangan yang lain.

BLAM!!

Pintu kamar tertutup dengan suara keras menggema, meninggalkan Sangjin yang melampiaskan emosinya dengan membanting barang-barang milik Ayeong. Ditemani oleh dua orang pengawal pribadi Ayeong menuju ke hall khusus, tempat di mana pestanya dihelat. Di depan pintu masuk berdiri tiga orang pengawalnya yang lain, satu orang untuk memastikan identitas dari setiap tamunya beserta undangan, yang lain memeriksa barang bawaan mereka dan yang satu menjaga pintu.

Karena pesta yang ia adakan kali ini bertema pesta topeng, jadi tidak terlalu sulit untuk menyembunyikan wajah. Meski ia tidak pernah khawatir tentang bocornya informasi pesta yang ia adakan. Pihak hotel memberikan garansi privasi penuh, tetang siapa yang mengadakan pesta, siapa yang datang dan pergi akan terkunci informasinya. Selama ia mengadakan pesta di sana semuanya berjalan sesuai keinginannya.

Ayeong berjalan memasuki hall setelah memasang topengnya, hall besar itu telah penuh oleh tamu undangannya dan beberapa orang yang mengenalinya langsung menghampiri Ayeong dan berbincang dengan sapaan dan topik ringan atau juga pujian atas pesta uang diadakan Ayeong.

Ketika ia sedang menikmati cocktail bersama para tamunya, tiba-tiba lampu hal padam.

"Oh sudah mulai." Gumam Ayeong.

Ayeong menoleh ketika ada yang menyentuh lengannya.

"Kudengar Jax tidak bisa menjadi Dj kali ini. Lalu siapa yang kau pekerjakan?"

Ayeong tersenyum tipis. "Hanya seorang namja yang tampan."

Seorang namja memakai jas hitam dengan dasi kupu-kupu melingkar di kerah kemeja dan topeng keperakan menutupi wajah tersorot oleh lampu, di balkon lantai atas.

"Good night my ladies. Selamat datang di acara pesta Nona Han Ayeong."

Lampu sorot itu menyala, tepat menyirai Ayeong yang berdiri dengan anggun. Ia pun mengangkat gelasnya tinggi, membungkuk sedikit ketika tamu-tamunya bertepuk tangan.

"Well, pesta bukan pesta tanpa musik kan?"

Pembawa acara itu menanggalkan bahasa formal dan sikap kakunya. Ruangan itu dipenuhi sorakan antusias.

"But sorry ladies Jax can't make it tonight." Ucapnya dengan senyum miring.

"BUUUUUU!!!"

"Woohoo, chill out ladies." Ia berbicara dengan mimik wajah ketakutan dengan kekecawaan mereka. "Nona Ayeong tidak akan membiarkan kalian kecewa di pestanya. Aku jamin, karena aku sudah melihatnya. Dan ehem kalian akan sangat menyukainya." Ucapnya dengan kerlingan mata.

"Are you ready my ladies?" Serunya lantang.

"YES!!!!"

"I can't hear you!!!"

Ia mengarahkan mic-nya ke arah para tamu dan mereka berteriak lebih keras.

"YEEEESSSSS!!!"

"Well, aku tahu kalian sudah tak sabar but don't to hard with him. If you know what i mean. Beri tepuk tangan yang meriah untuk Dj. H. One."

Hall kembali padam setelah mc bicara. Tak lama terdengar alunan musik yang lembut menyapa hall gelap yang tadinya di isi oleh bisik-bisik penasaran.

"Welcome my ladies. I hope you enjoy this night." Suara rendah khas seorang namja bergema di dalam kegelapan. "With me."

Plas

Lampu sorot menyinari Dj. H.one yang berdiri di belakang alat disc jockeynya. Malam itu ia mengenakan kaus hitam yang tertutup jaket kulitnya. Ia sengaja tidak diperkenankan untuk mengunakan topeng, karena Ayeong ingin memamerkan wajah tampan H.one kepada para tamunya. Dj H. One mengangkat tangannya ke udara.

"Ready?"

"YEESSS!"

Mereka menjawab dengan suara lantang seperti tak ada hari esok. Setelah mendapatkan respone yang diinginkan H. One memutar disc dan musik yang menghentak mengisi hall.

Bersamaan itu dari dua sisi hall sebaris namja namja bertelanjang dada memasuki ruangan.

●●●

_At other side_

Sudah lama Yunho tidak merasakan ketakutan hebat terhadap dirinya sendiri. Perasaan takut yang ia rasakan saat ini lebih besar dari apa yang pernah ia rasakan ketika bertemu dengan Haneul pertama kali setelah sekian lama. Bahkan rasa kebencian Haneul padanya tidak sampai membuatnya jatuh lemas, gemetar dan linglung seperti saat ini.

Luka-luka yang ada di tubuhnya pun tak dapat mengalahkan apa yang saat ini ia rasakan.

Hampir seluruh tubuhnya terluka, mengeluarkan darah dan memar. Tapi sekali lagi bukan itu yang ia rasakan.

Peristiwa-peristiwa kecil dalam bentuk lukisan yang tidak pernah diketahui olehnya seperti seekor hewan buas yang sedang membuka mulutnya lebar-lebar dengan gigi runcing tajam dan air liur menetes tak sabar menunggu Yunho untuk sampai dan mencabik-cabik jiwanya.

Pada saat itu, Yunho menyadari bahwa sesungguhnya perasaan takut akan eksistensi Haneul dan apa yang tidak bisa diingatnya masih bersemayam jauh di lubuk hatinya.

Ia ingin menjadi pengecut dan kembali tetapi ada hatinya berkata tidak.

"Ini kesempatanmu. Jangan lari. Atau kau akan menjadi pecundang untuk selamanya." Katanya pada diri sendiri.

Keadaan gelap gulita ketika ia kembali memaksa tubuhnya untuk bergerak, dan angin bertiup dengan kencang membawa kabut yang hampir membutakan pandangannya. Yunho bergerak, berpengangan pada dinding untuk menjaga tubuhnya agar tidak ambruk lagi.

Setiap jalan buntu yang ia temui memiliki satu ingatan yang tidak ia ingat. Ia kehilangan hitungan sudah berapa jalan buntu yang ia lewati dan setiap ia melihat satu lukisan akan ada yang menariknya, melewati dinding dan menghajarnya.

Ia seperti melawan angin ketika memberi perlawanan. Tahu perlawanannya sia-sia, ia memilih untuk tidak melakukan apa pun. Rasa terkejut pun sudah tidak lagi ia rasakan.

Tetapi rasa penasaran, dan takut pada apa yang akan dihadapinya di akhir menelannya.

Yunho tertawa getir. Ia tidak mengharapkan jika kenangan, potongan peristiwa dan otaknya mempermainkan dirinya sedemikian rupa.

●●●

"Kau bekerja sampai larut."

"Aku sudah terbiasa dan kau pun juga begitu. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Mencoba menawarkan tumpangan pulang pada pengacaraku." Changmin menutup pintu di belakangnya dengan satu tangan dan berjalan masuk ke ruangan Kyuhyun.

"Mereka memberiku ijin untuk masuk kemari. Aku tidak menyelinap. Mereka bilang kau sudah menyelesaikan pekerjaan utamamu untuk hari ini."

Changmin melanjutkan ketika kening Kyuhyun berkerut dan kerutan itu makin dalam ketika Changmin semakin dekat.

"Mereka menyebalkan."

"Terkadang tapi menurutku mereka cukup baik karena mengijinkanku untuk masuk dan menjemputmu sebelum kau lupa kalau kau punya rumah dan orang yang menunggumu untuk pulang."

Kyuhyun menyisir rambutnya dengan jari dan mengubah cara bicaranya menjadi lebih netral.

"Aku sudah melewati hari yang berat. Jangan memperburuk suasana."

"Aku tidak melakukannya." Changmin mengangkat alisnya. "Aku justru bisa menjadi pendengarmu jika kau mau berbagi."

Kyuhyun mengibaskan tangan ke udara kosong. "Aniya. Kau juga tahu pekerjaanku adalah menjaga privasi klienku. Aku tidak bisa membiacarakannya dengan sembarang orang."

"Jadi aku termasuk orang sembarangan?"

"Ya dan tidak juga."

Kyuhyun mulai mengemasi barang-baranya ke dalam tas. "Tapi aku perlu mampir ke rumah duka. Apa tidak ada masalah?"

"Siapa?"

"Karyawan dari firma yang menjadi klien kami. Aku ingin memberi penghormatan terakhirku untuk mereka."

"Mereka?"

"Ya ada dua orang. Ehm," Khuhyun berhenti bicara, kemudian berdiri mengambil mantelnya dari gantungan mantel. "Kita pergi sekarang."

●●●

"Hahaha. Kau ini bicara apa eoh?"

"..."

"Aniya. Itu tidak benar." 

Hyunwoo memegang ponselnya di telinga dengan satu tangan dan menjinjing tas kerjanya di tangan yang lain. 

"..."

"Jangan berlagak seperti seorang peramal."

Ia berjalan keluar dari ruangannya.

"..."

"Arraseo. Aku akan mengaturnya nanti. Besok aku akan meluangkan waktu untuk mengunjungimu. Sampaikan salamku pada paman."

"..."

"Hm. Jaga dirimu baik-baik."

Hyunwoo memasukkan ponsel ke saku dalam jasnya setelah mengakhiri panggilan, brrjalan menuju lift sampai ke lobby lantai dasar. Ia melintasi lobby yang menyisakan beberapa pegawai, mereka membungkuk pada Hyunwoo.

"Kerja bagus." Katanya pada mereka.

Di depan gedung kantornya, sekertaris Hyunwoo telah menunggu dengan mobil Hyunwoo yang telah menyala.

"Terima kasih." Ucap Hyunwoo sambil masuk ke dalam mobilnya.

Ia menaruh tasnya di kursi sampingnya, melihat jam di tangannya.

"Masih ada waktu. Sebaiknya aku ke rumah duka lebih dulu." Gumamnya.

●●●

"Jadi begitu laporanku. Untuk masalah dua rekan kita, aku belum menemukan apa pun. Hampir semua orang yang kutanyai tidak tahu jika keduanya melakukan penyerbuan ke lokasi."

Yoochun mengakhiri laporannya setelah memaparkan apa yang ia dapat dari Minwoo kepada Jaejoong dan Wonho.

Jaejoong melemparkan kertas di tangannya ke atas meja dan menyandarkan punggungnya pada sofa dibarengi dengan suara erangan frustasi dari mulutnya.

"Kepalaku hampir pecah." Ucapnya.

"Bukan hanya kau." Imbuh Yoochun yang kemudian duduk sama frustasinya dengan Jaejoong.

Lalu ketiga hening, berpikir. Mereka sangat sadar kasus yang mereka hadapi saat ini sangat pelik dan bersinggungan dengan hal yang sulit untuk mereka jamah.

Keheningan itu seketika buyar ketika tiga nada dering dari ponsel ketiga polosi itu berdering bersamaan.

"Sarangseureoun bojogae nuga jebal jom bwayo
Simgakhage gwiyeounikkayo Yeah Yeah" -Wonho

"And so hot so cool so sweet oh making in love
So hot so cool so sweet Yeah~" -Jaejoong

"Baramcheoreom sonkkeute
neukkyeojineun chueogi
eolmana sojunghanji alge doengeojyo
modeun sunganeul damgo sandamyeon 
Life is more thanever you think" -Yoochun

"Oh kamjagiya!!" Pekik Yoochun yang terlonjak di kursinya, ia mengusap dadanya dan segera mencari ponselnya di saku.

Wonho menoleh ke arah Jaejoong yang telah memegang ponselnya.

"Wae? Ada masalah?" Tanyanya sinis.

Wonho menggeleng cepat.

"Yang bermasalah itu nada deringmu." Batinnya. 

"Ya, Suie? Ada apa?" Tanya Yoochun setelah melihat caller id di layar ponselnya.

"Yeobseo?" Kata Wonho pada nomor tak dikenal yang menelfonnya dan berjalan menjauh dari Yoochun yang berbicara dengan cukup keras.

Alis Jaejoong berkerut melihat unknown number muncul di layar ponselnya.

"Yeobseo?"

"Tidak lupa pada janji makan malam kita kan?"

Bola mata Jaejoong berputar dengan otomatis ketika ia mengenali suara si penelfon.

"Mian tapi aku tidak ingat punya janji. Dan aku tidak mengenalmu. Selamat malam."

Pip

Ia memutuskan sambungan telfon setelah selesai bicara dan kemudian menaruh ponselnya asal di atas meja.

Wonho berjalan mendekatinya.

"Letnan, apa aku boleh permisi untuk pulang duluan. Aku ingin pergi ke rumah duka." Katanya ragu-ragu.

Jaejoong melihat ada rasa khawatir menyelubungi wajah rekan mudanya itu.

"Oh ya. Tentu. Aku juga ingin ke sana. Daripada kau pulang lebih baik kau mandi di sini dan kita berangkat bersama."

Jaejoong menoleh ke arah Yoochun yang masih menelfon.

"Bagaimana denganmu Yoochun?" Tanya Jaejoong dengan suara sedikit keras.

Yoochun menoleh dan mengangguk.

"Kau membawa baju gantikan?" Tanya Jaejoong sambil berdiri.

"Ne. Aku sudah menyiapkannya." Jawab Wonho.

"Kalau begitu ikut aku."

●●●

Kihyun berdiri di samping partisi tempat para pelayat akan melakukan penghormatan terakhir kepada kakaknya.

Ia memakai setelan jas hitam dengan arm-band rami di lengan serta pita hitam yang tersemat di jas bagian dada. Ia sendirian.

Setelah pertengkarannya dengan Minhyuk mereka melakukan semuanya sendirian dan menyambut para pelayat sendirian. Ia dibantu oleh beberapa orang dari pihak perusahaan sewa rumah duka untuk melancarkan prosesi sehingga Kihyun bisa fokus pada tugasnya sebagai sangju.

Mereka menyatakan duka mereka setelah melakukan penghormatan terakhir kepada Kijong, membungkuk kecil pada Kihyun, yang dibalas Kihyun dengan bungkukan lebih dalam serta mengucapkan terima kasih sekilas. Ia memaksa dirinya untuk tersenyum ketika bicara pada mereka tetapi gagal. Wajahnya kaku oleh kesedihan, bibirnya tersenyum namun terkesan getir.

Tubuh Kihyun menjadi makin kaku ketika Minhyuk masuk, mereka bertemu mata tetapi Kihyun segera memalingkan wajahnya. Minhyuk mengulum ludah, berjalan ke partisi dan melakukan penghormatan terakhirnya dalam kebisuan. Ia kemudian berbalik, membungkuk dalam pada Kihyun.

"Mianhae." Ucapnya saat ia menegak lagi.

Kihyun hanya membalas bungkukan Minhyuk tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

"Ki?"

Ia hendak meraih bahu Kihyun tapi Kihyun berpaling dan memanggil salah satu pembantu acara.

"Cheosonghamnida, tolong antarkan tamu kita ke ruang perjamuan." Ucap Kihyun.

"Ne." Namja itu menoleh pada Minhyuk. "Silakan tuan."

Tangan Minhyuk terkepal, namun ia mencoba mengerti dan pergi mengikuti pembantu acara. Ia tidak ingin menciptakan kekacauan di sini. Ketika ia mengikuti pembantu acara, ia berpapasan dengan Wonho, Jaejoong dan Yoochun. Ia membungkuk pada mereka dan berlalu.

Jaejoong menoleh pada Wonho. "Perasaanku atau sepertinya dia agak berbeda dari yang tadi?"


Wonho mengedikkan bahunya. "Aku tidak terlalu mengenalnya jadi yah,,, tapi memang aku merasa sedikit aneh."

"Mungkin karena ini pemakaman." Sahut Yoochun sambil menuliskan namanya dibuku tamu.

"Mungkin juga." Jaejoong mengangguk.

Ketiganya melakukan penghormatan bergantian, sambil menunggu Wonho yang paling terakhir melakukan proses penghormatan Jaejoong mengajak Kihyun berbincang sebentar, menyatakan dukanya.

"Terima kasih sudah bersedia datang kemari." Ucap Kihyun sambil membungkuk dalam.

"Tidak perlu sungkan padaku. Tapi maaf kami belum bisa menangkap pelakunya."

Ada penyesalan tersirat di wajah Jaejoong.

Kihyun menggeleng. "Tak apa Jaejoong-ssi. Aku mengerti."

Kihyun menoleh dan membungkuk dalam kepada Wonho dan Wonho balas membungkuk. "Aku turut berduka."

Kihyun mengangguk lemah, meski ia mencoba untuk tersenyum tetapi senyumnya tak dapat menyembunyikan kesedihan dan kehilangan yang terlalu besar.

Wonho menahan keinginannya untuk memeluk Kihyun yang sedang bersedih dengan mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ia merasa tak berdaya.

"Aku akan perlu bicara padamu setelah prosesi ini selesai jika kau tidak keberatan." Ucap Jaejoong.

"Ne. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih."

"Kami permisi kalau begitu. Sampai jumpa."

Ketiganya mengambil jalan menuju ruang perjamuan seperti yang diarahkan oleh pembantu acara yang bertugas. Jaejoong tidak pernah menyukai suasana di ruang jamuan acara pemakanan, terlalu banyak orang mondar-mandir di sana. Suara percakapan yang saling berdengung dan berbenturan, makanan dan minuman yang berlimpah untuk menemani mereka membicarakan kebaikan atau pun mengenang mendiang. Jika bukan karena ia ingin menggali informasi sudah pasti ia akan melewatkan acara perjamuan itu secepatnya.

"Aku melihat beberapa wajah familiar." Ungkap Yoochun.

Mereka memilih salah satu meja yang baru saja yang baru saja kosong.

"Pegawai kantor firma." Kata Jaejoong memperjelas. "Dan juga rekan pengacara Kyuhyun." Imbuhnya ketika matanya menangkap sosok Bogum dan juga Dongwook.

"Atasan Kijong dan Jihyun juga hadir." Timpal Wonho.

"Mungkin mereka datang bersama-sama." Tebak Yoochun.

"Bisa saja." Jaejoong berkata, matanya mengedar ke penjuru ruangan. "Aku berharap bisa menangkap gossip lain di sini."

"Kita butuh telinga yang sangat tajam." Kata Yoochun menanggapi.

"Atau kau bisa diam dan mulai menguping." Ralat Jaejoong.

Jaejoong kehilangan kemampuannya untuk berbicara sejenak saat ia melihat namja besar yang baru saja datang, Hyunwoo.

"Letnan?"Tanya Wonho kebingungan ketik Jaejoong menggeser posisi duduknya dan kini berada tepat di depannya.

"Jangan bertanya dan jangan memanggil namaku. Angap saja aku tidak ada di sini." Perintahnya dengan suara berbisik.

Meski kini ia mengecilkan badannya dengan cara meringkuk dan memposisikan tubuhnya segaris lurus dengan Wonho, tak mampu mengubah apa pun karena tadi mereka sudah terlanjur melakukan kontak mata.

"Kau kemari juga?" Tanya Hyunwoo yang kemudian mengambil tempat di sebelah Jaejoong tanpa permisi.

"He-he"

Senyum di bibir Jaejoong terlihat sangat aneh dan tidak wajar. Sementara Yoochun yang baru pertama kali bertemu Hyunwoo, menatap namja yang baru datang itu seperti tatapan seseorang yang baru saja menemukan idolanya. Mulutnya terbuka lebar dengan kedua mata melotot. Ia baru menutup mulutnya ketika Jaejoong menyikutnya.

"Mianhae." Yoochun menggeleng, menyadarkan diri dan mengulurkan tangannya. "Aku Park Yoochun. Dan kau?"

Hyunwoo menyambut tangan Yoochun. "Son Hyunwoo."

"Kau tampak...tampak familiar untukku."

"Mungkin saja kau melihat wjahku di koran atau majalah."

Yoochun mengangguk, meski ia yakin bukan dari kedua media itu ia pernah melihat Hyunwoo. Tetapi ia juga tidak bisa ingat di mana dan kapan.

"Jadi,,,"

Hyunwoo mengalihkan perhatiannya pada Jaejoong. "Ini alasanmu menolak ajakan makan malamku?"

"Mu-mungkin." Jawab Jaejoong.

"Maaf, aku permisi." Kata Wonho sambil berdiri.

"Errr,,, sebaiknya---"

Yoochun hendak berdiri menyusul Wonho yang telah melarikan diri lebih dulu, namun tangan Jaejoong bergerak lebih cepat menarik dasinya sehingga ia kembali terduduk.

"Berani pergi, maka akan kupastikan kau dimutasi." Bisik Jaejoong lirih dengan mata yang mengandung ancaman.

"Oh,,," Jawabnya.

Bukan hanya untuk melarikan diri dari kecanggungan yang diciptakan oleh kehadiran Hyunwoo tetapi ia melihat Minhyuk yang duduk sendirian, di sudut ruang jamuan sambil menangis. Ia baru sadar ketika ia cukup dekat engan tempat Minyuk duduk.

"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya mencoba menarik perhatian dari Minhyuk.

Minhyuk mengedarkan pandangannya.

"Asal kau tidak mengangguku." Jawabnya datar dan kembali menekuri minumannya.

"Terjadi sesuatu antara kau dan Kihyun?"

"Selama kau hidup, pasti akan ada kejadian."

"Ah,,,"

Minhyuk menatap bibir gelas bening yang digenggamnya. Menghirup kasar udara dari hidungnya.

"Apa kau menyukai Kihyun?"

"Ne?"

Mata Wonho membelalak, kaget dengan pertanyaan Minhyuk.

Kepala Minhyuk tetap menunduk, sehingga Wonho tidak dapat melihat wajah Minhyuk yang penuh dengan penyesalan.

"Jika kau memang menyukainya tolong jaga dia dan juga segera tangkap bajingan yang telah membunuh Kijong." Ucapnya.

"Akan kuusahakan." Jawab Wonho mantap.

***

Namja pirang itu mengamati dari luar rumah duka dari atap sebuah gedung, melihat siapa yang masuk dan keluar dari rumah duka menggunakan teropongnya. Namja itu tak sendirian di sebelahnya, berdiri seorang namja berpakaian formal serba hitam dengan tangan terlipat dan terlihat tak sabar memunggungi rumah duka.

"Sampai kapan aku harus tertahan di sini?"

Namja pirang menoleh dan tersenyum menanggapi keluhan namja berpakaian formal.

"Sabar sebentar hyung. Target utama kita belum terlihat."

"Cih." Namja berpakaian formal itu mendecih.

Bukan hanya menunggu yang membuatnya tak sabar tetapi juga hal lain yang tidak bisa ia rasakan di dalam dirinya.

"Di mana kau Yunho? Apa yang kau lakukan di dalam sana?"

*****

-at other side-

Karena takut kesadarannya akan menghilang karena kegelapan yang menyerangnya, Yunho merapatkan tubuhnya ke dinding, menekan luka lebar di lengan kanannya dan berusaha untuk terus berlari. Ia berlari di tenagh kegelapan di dalam labirin yang membingggungkan dan menyesatkan, menghindar dari kejaran anjing besar di belakangnya.

Ia berbelok ke kanan, entah ke mana, ia hanya mengikuti bentuk dinding yang menjadi sandarannya. Kakinya terluka tapi tak ia hiraukan lebih jauh. Bahkan ia tak sempat melihat atau pun kaget saat melewati jajaran kuburan dan juga yeoja-yeoja yang tergantung di atas pohon.

Napasnya semakin terdengar kasar dan berat. Pandangannya kini semakin mengabur.

Yunho berhenti, mengatur napas dan terbatuk. Suara gonggongan anjing-anjing itu makin mendekat. Terdengar sangat dekat. Duri-duri sulur rambat yang menutupi dinding menggiris-iiris kulitnya. Namun Yunho tidak perduli, yang ia pikirkan hanya berlari. Anjing-anjing itu sedang memburu nyawanya. Ia panic, ia tidak bisa berhenti berlari dan juga tidak bisa berpikir.

Ia melirik sebentar ke belakang. Dilihatnya anjing-anjing itu sedah terlihat mengikutinya. Mata mereka menyorot kuning terang di dalam gelapnya malam. Kakinya terus berlari, tetapi tanpa arah.

Anjing – anjing itu berhasil menangkapnya. Anjing yang bertubuh paling besar dari pada yang lainnya mempimpin kawanannya, menyeret tubuh Yunho kea rah kawannannya. Mereka menggigit, merobek dan mencakarnya. Ia bergerak tak waras demi menyelamatkan diri namun setiap tangannya terayun aka nada gigi tajam yang menyambutnya.

"AAARRRGGGHHHHHHH!!!!!!!"

Ia mengerang keras. Ia mencoba untuk tidak memikirkan rasa sakit, tetapi suara gigitan, kunyahan dan terkaman yang mengenai tulang terdengar sangat mengerikan.

Di tengah suara geraman dan gigitan, Yunho bisa mendengar suara teriakannya sedniri di dalam kepalanya.

"AAAAARRRGGGGHHHHHH!!!!"

Terdengar jauh, melengking dan tanpa akhir.

Nafasnya tersengal, nyaris putus ketika anjing-anjing itu mendadak pergi. Berlarian seolah kabur dari sesuatu. Ia tak bisa bereaksi, darah mengalir semakin banyak gelap dan pekat.

Ia melihat sesosok bayangan hitam menghampiri, berdiri menjulang seperti menara angkuh.

"Kau keras kepala, Jung Yunho..." Kata sosok itu.

"Nu...gu..."

*****

"Ah itu dia."

Jooheon menarik lengan Haneul dan memberikan teropongnya, Haneul menerimanya dengan malas dan megarakan teropong ke arah yang ditunjuk oleh Jooheon.

"Han Sangjin baru saja keluar dari mobil kedua dari belakang." Jooheon menjelaskan.

Dia memperhatikan seorang namja berpakaian formal sebar hitam keluar dari sebuah mobil sedan, di depannya ada dua orang lain yang juga baru saja keluar dari mobil.

Ia mengembalikan teropong kepada Jooheon.

"Aku dengan senang hati akan membunuhnya di tempat."

"Bukan itu perintah dari Tuan Lee, hyung."

"Tipe orang seperti dia tidak akan buka mulut jika tidak melihat bagaimana rasanya kematian."

"Di dalam juga ada Jaejoong dan dua rekannya. Kita tidak bisa mengambil resiko lebih dari ini." Kata Jooheon ketika menyadari wajah Haneul yang memplester seringai dan menunjukkan kesungguhan ucapannya.

Jooheon merogoh sakunya dan memberikan dua buah alat penyadap ke tangan Haneul.

"Hyung hanya perlu memasang ini pada Sangjin dan juga kendaraannya dan ingat hyung kau bukan lagi Jung Yunho."

Haneul melemparkan alat penyadap itu ke udara dan menangkapnya.

"Got it."

"Josimhae."

"Mereka yang harusnya berhati-hati. Bukan aku." Kata Haneul sambil berlalu.

Jooheon mengamati punggung Haneul yang makin menjauh lalu menghela nafas.

"Semoga tidak terjadi masalah." Gumamnya.

*****

Jaejoong suka memancing tetapi ia tidak suka dipancing. Terlalu menyebalkan baginya untuk duduk diam dan mendengarkan ocehan Hyunwoo, meski kini Hyunwoo tak lagi memusatkan perhatiannya pada Jaejoong tetapi keadaan tak menjadi lebih baik karena Bogum dan Dongwook ikut bergabung di meja mereka. Ia bisa saja pergi tetapi firasatnya menyuruhnya untuk tinggal lebih lama dan ia mempercayai firasatnya. Lagipula ia tertarik untuk mendengarkan percakapan antara Hyunwoo, Bogum dan Dongwook tentang Kijong.

"Aku hampir tidak dapat datang kemari hari ini." Bogum berkata. "Banyak hal yang terjadi dalam satu hari ini."

"Hari yang panjang bukan hanya terjadi pada kita." Hyunwoo menoleh ke arah Jaejoong. "Benarkan?"

"Ya, hariku sangat panjang dan melelahkan."

Ia melirik ke arah Dongwook yang tersenyum singkat dan lemah.

"Jika anda masih tidak senang dengan perbuatanku dan ucapanku tadi siang. Saya minta maaf." Jawabnya.

"Tidak. Aku bukan tipe pendendam. Hanya sulit untuk lupa." Jaejoong tersenyum penuh arti.

"Orang-orang menyukai Kijong karena sifatnya yang ramah dan juga baik." Bogum mengalihkan topic. "Aku tak mengerti kenapa ini terjadi padanya. Dia dan Jihyun. Aku masih berpikir kalau ini adalah sebuah kesalahan dan dia akan muncul ke kantorku dan mengatakan bisa menganggu waktu anda sebentar."

Bogum menghela nafas, mencoba tersenyum sebelum mengangkat gelasnya lagi.

"Apa kau tahu kalau Kijong dan Jihyun memiliki hubungan yang special?"

Kini Yoochun pun ikut bicara.

"Tentu saja. Hampir semua orang yang mengenal mereka tahu hubungan mereka berdua."

"Mereka menjalin hubungan secara terbuka. Lagipula firma tidak memiliki aturan jika pekerja tidak boleh menjalin hubungan special dengan rekan kerja yang lain." Tutur Hyunwoo menjelaskan.

Hyunwoo tiba-tiba berdiri. "Maaf aku permisi sebentar."

Yoochun menepuk paha Jaejoong beberepa kali, ketika Jaejoong menoleh Yoochun memberi isyarat mata padanya. Mereka melihat Hyunwoo menghampiri seseorang dan dari cara Hyunwoo bersikap terlihat jika seseorang yang dihampirinya itu orang penting.

"Dia Han Sangjin." Kata Dongwook.

"Rekan bisnis?" Tanya Jaejoong.

"Semacam itu."

Dongwook melihat jam di pergelangan tangannya. "Maaf Tuan-tuan aku juga harus permisi. Istriku pasti sedang menungguku untuk pulang."

"Hati-hati Hyung." Kata Bogum.

"Kalian juga."

Dongwook membungkuk sebelum akhirnya berbalik meninggalkan ruang perjamuan. Setelah Dongwook pergi, Jaejoong kembali memperhatikan Hyunwoo yang sekarang sedang berbincang dengan Sangjin dan juga seorang lainnya. Jika Hyunwoo bersikap sangat sopan pada Sangjin, maka ia memperlakukan namja tua lainnya dengan rasa hormat dan juga terkesan akrab.

"Jika anda bertanya padaku siapa mereka maka aku akan menjawab." Kata Bogum.

Pandangan Jaejoong dan Yoochun berpindah pada Bogum. Bogum meletakkan kedua tangannya di atas meja saling bertautan.

"Aku tahu selain untuk menyampaikan penghormatan terakhir pada mendiang Kijong kalian juga pasti mencari info dari gossip yang beredar. Aku benar kan?"

Bogum menunjukkan senyum manis namun senyum itu membuat Jaejoong merinding. Kepekaan Bogum lebih tajam dari yang ia duga.

"Seperti yang dikatakan Dongwook hyung namja yang itu adalah Han Sangjin, salah satu calon anggota parlemen dan yang di sebelahnya adalah Im Younghan, paman pimpinan firma Son Hyunwoo. Seorang ketua partai."

Mendengar penuturan Bogum, jaejoong tidak dapat menyembunyikan keterkejutan mereka. Mereka sama sekali tidak menduga Hyunwoo memiliki hubungan dengan IMm Younghan. Jaejoong dan Yoochun bertukar pandang.

"Dari wajah kalian sepertinya aku telah menekan tombol yang seharusnya tidak ku tekan."

"Oh, tidak. Bukan begitu." Jawab Jaejoong sedikit tergagap.

Sebuah ketukan di bahunya membuat Jaejoong menoleh.

"Ada apa Wonho?" tanyanya.

Wonho membungkuk dan membisikan sesuatu di telinga Jaejoong. Mata Jaejoong terbuka lebar sebentar lalu kembali seperti semula sebelum ada yang menyadarinya. Ia kemudian berdiri.

"Maaf, Bogum-ssi. Kami rasa kami harus perhi sekarang. Terima kasih sudah mau berbincang dengan kami."

Sebelum Bogum menjawab, Jaejoong telah mengalihkan pandangannya ke Yoochun. "Kajja."

Bogum mengangguk dan tersenyum tipis kepada mereka.

"Ada apa?" Tanya Yoochun ketika mereka cukup jauh dari Bogum.

"Kita tidak bisa membicarakannya di sini." Jawab Jaejoong.

Yoochun menoleh ke arah Wonho tetapi namja itu juga menggeleng.

Ketiganya berjalan dengan cepat dari ruang perjamuan, tak menyadari sepasang mata yang mengawasi gerak mereka sejak tadi.

Kaki Jaejoong berhenti ketika indera penciumannya dihinggapi wangi yang sangat ia kenal. Ia menoleh ke belakang, mengedarkan pandangannya.

"Ada apa Jaejoong?" Tanya Yoochun yang terlihat sangat khawatir dengan perubahan drastic di wajah Jaejoong.

Jaejoong tidak menjawab, sekali lagi ia mengedarkan pandangannya lebih tajam dan detail.

"Halusinasi?" Batinnya.

Ia menghela nafas panjang kemudian menggeleng. "Bukan apa-apa. Hanya perasaanku saja."

Jawaban Jaejoong tidak memuaskan rasa ingin tahu Yoochun. Ia terlalu memahami sahabatnya itu. Wonho dan Jaejoong kembali berjalan namun ia tetap tinggal dan menyapu penjuru ruangan dengan matanya. Matanya memicing ketika matanya bertumbuk pada sosok punggung seseorang yang berdiri menghadap partisi Kijong. Ia diam di tempat untuk waktu yang cukup lama, memerhatikan punggung itu. Nafasnya seolah berhenti ketika namja itu berbalik dan membungkuk pada Kihyun. Ia memang hanya melihat sosok samping namja itu tetapi ia sangat mengenali orang itu.

Satu tepukan di bahu cukup membuatnya terkena serangan jantung mendadak.

Kening Jejoong mengkerut. "Apa kau baru saja melihat hantu?"

"A-Aaa..."

Karena kaget dan gugup Yoochun tak mampu mengkontrol gerakan tubuhnya dan justru menoleh berkali-kali ke arah Kihyun berdiri dan itu cukup membuat Jaejoong penasaran dan mengarahkan pandangan ke arah Kihyun.

Jaejoong merasa seperti tersambar petir di siang hari.

"Y-Yu.."

Yoochun mengambil satu langkah menghalangi pandangan Jaejoong dengan tubuhnya.

"Kita pergi dari sini." Ucapnya dengan tegas.

"Tidak!"

Tanpa sadar Jaejoong meninggikan nada bicaranya ketika menjawab. Terdengar sangat kasar sehingga mengundang minat dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Yoochun mencengkram kedua bahu Jaejoong, meremasnya.

"Kita pergi dari sini. Ini bukan tempat yang tepat untuk ini." Katanya dengan nada meyakinkan.

Kedua mata Jaejoong memandang mata Yoochun seolah mencari jawaban yang dia inginkan tetapi mata itu menunjukkan ketegasan pada keputusan yang telah diambil oleh pemiliknya. Wonho yang sejak tadi berada di belakang Jaejoong hanya bisa mengerutkan keningnya, tidak paham apa yang sedang terjadi di antara kedua atasannya.

"Nal mideo. Ini bukan yang tepat. Kau harus berpikir jernih. Oke?"

Jaejoong menghalau tangan Yoochun yang masih berada di bahunya. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk menyingkirkan kabut tebal dari pikirannya. Lalu mengangguk lemah.

"Bagus. Kita keluar dari sini."

Yoochun menghampiri Wonho, menepuk bahu anggota mudanya. "Aku akan menjelaskannya nanti."

"N-ne."

Di dalam mobil Jaejoong tidak bisa menghentikan gerakan kakinya yang terus menghentak ke lantai mobil. Ia juga menggigiti buku-buku jarinya dan di saat yang lain ia menepuk-nepuk pahanya yang terus bergerak.

Pikirannya di penuhi oleh sosok namja yang dilihatnya di rumah duka Kijong. Ia sangat yakin itu adalah Yunho atau mungkin juga Haneul. Tetapi ia tak tahu alasan di balik munculnya Yunho di sana. Karena besarnya rasa penasaran dan juga rasa rindu yang kini mnyergapnya, ia mematahkan semua pendapat Yoochun dan akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal dan menunggu sampai Yunho keluar dari rumah duka.

Di luar, Yoochun berdiri bersama Wonho. Yoochun menceritakan rentetan kejadian yang berhubungan dengannya dan juga Jaejoong tentang kasus pembunuhan berantai atas yeoja-yeoja di beberapa tahun lalu, secara runtut. Dan ia tak lupa menjelaskan pada Wonho tentang hubungan Jaejoong dan juga Yunho. Ia memutuskan untuk memberitahu Wonho karena Wonho sekarang adalah bagian dari timnya dan juga Jaejoong serta dirinya mempercayai Wonho. Akan lebih sulit menyembunyikan sesuatu dari anggota tim yang mengharuskan mereka bertemu setiap hari. Alasan lainnya adalah Yoochun membutuhkan seseorang untuk mengkontrol emosi manusiawi Jaejoong yang mungkin akan meledak ketika bersinggungan secara langsung dengan Yunho saat ia tak bersama Jaejoong. Dan Wonho adalah orang yang ia percaya dapat mengingatkan Jaejoong.

"Mengejutkan bukan?"

Yoochun mengakhiri ceritanya dengan helaan nafas panjang frustasi.

"Err---"

"Tidak perlu buru-buru untuk mencerna situasinya. Aku pun juga membutuhkan waktu yang lama untuk memahami hubungan mereka yang rumit."

"Aku semakin mengagumi Letnan Kim." Ucapnya akhirnya.

"Dia memang hebat. Tapi juga bodoh." Yoochun mendengus. " Dia yang biasanya berhati baja bisa seperti orang gila hanya karena seorang Yunho."

Yoochun menegakkan tubuhnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. " Tapi ingat ini rahasia tim kita. Jangan katakan pada siapa pun."

"Baik. Aku mengerti."

Mata doe Jaejoong bergerak nyalang, terpatri di pintu keluar rumah duka. Ia segeram melesat keluar dari mobil ketika orang yang ditunggunya akhirnya menampakkan diri.

BLAM!!!

Yoochun dan Wonho sontak menoleh ketika menderas suara pintu mobil yang dibanting dan segera mengikuti Jaejoong yang berlari menuju ke satu namja yang sedang berjalan santai ke mobilnya.

"Jamkkanman!!!" seru Jaejoong sambil berlari.

Namja itu menoleh, memiringkan kepalanya ketika Jaejoong bergerak makin dekat.

"Mueos-eul dowa deulilkkayo? / (Ada yang bisa kubantu?) " Tanya namja itu dengan ekspresi kebinggungan.

"Neo yeogiseo mwohago issni? / (Apa yang kau lakukan di sini?) "

"Ahh," Namja itu mengangguk paham. "Aku saudara jauh Kihyun dan Kijong. Karena itu aku kemari untuk menyampaikan rasa dukaku."

"Mworago?"

Alis Jaejoong menyatu.

"Kau sedang bercandakan?" Tanya Jaejoong lagi.

"Mwo?"

Namja itu kian tak paham dengan tindakan Jaejoong. Ia semakin terkejut saat Jaejoong meraih tangannya dan menariknya.

"Kita pulang dan aku akan mendengarkan ceritamu di rumah."

Namja itu mendengus dan segera mengibaskan tangannya hingga pegangan tangan Jaejoong padanya terlepas. Ia mengabaikan ekspresi terkejut di wajah Jaejoong, melicinkan lagi pakaiannya.

"Sepertinya kau salah orang, Tuan." Kata namja itu dengan sikap tenang. "Aku tidak keberatan kalau kau mencoba untuk merayuku tetapi aku tidak suka cara yang kau gunakan."

"Mwo?!"

Sebelum keadan di antara keduanya makin buruk, Yoochun dan Wonho yang sejak tadi menjaga jarak akhirnya mendekat, tanpa di sadari oleh Jaejoong mereka berdiri di belakang Jaejoong.

Namja itu terkekeh. "Lihat, kau sudah punya dua namja. Kenapa masih merayu orang lain?"

Jaejoong menatapnya, tidak percaya dan menolak percaya dengan semua ucapan dan tindakan si namja yang ia yakin adalah kekasihnya.

Yoochun dengan sangat terpaksa mengeluarkan lencananya. "Aku Detektif Park Yoochun dan kedua orang ini adalah rekanku."

Namja itu mendekatkan wajahnya ke lencana milik Yoochun, menaikkan kacamata yang dipakainya lalu menjauh setelah melihat dengan jelas dan Yoochunn pun menyimpan lencananya lagi.

"Oh, jeongmal mianhae."

Namja itu menunjukkan penyesalannya.

"Aku tidak tahu kalian adalah polisi." Lanjutnya.

"Tidak masalah, bisa aku melihat kartu identitasmu?"

"Oh. Tentu. Sebentar."

Namja itu merogoh saku celananya, mengambil dompet kulit berwarna coklat tua dan menarik sebuah kartu dari dalamnya.

"Ini." Katanya sambil menyerahkan kartu identitasnya pada Yoochun namun disambar oleh Jaejoong.

"Apa ada masalah?" Tanya namja itu semakin kebingungan.

"Yoo Eun-ho?"

Jaejoong membaca lambat nama yang tertera di kartu identitas itu. Ia mengangkat kepalanya untuk memandang si pemilik kartu identitas.

"Ne, geuge nae ileum-iya. / (Ya, itu namaku.) "

Yoochun masih mengunci namja itu di matanya, memperhatikan detail fisik wajah dan posturnya. Dari sudut mana pun ia melihat namja itu jelas adalah Yunho, meski penampilannya agak berbeda sedikit lebih kutu buku dengan kacamata tebal yang bertengger di hidungnya.

"Wonho, tolong cek lagi kartu identitasnya." Perintah Yoochun tanpa mengalihkan pandangannya dari Eunho.

"Hei di mana sopan santun kalian? Aku tahu kalian polisi tetapi aku punya hak untuk tahu kenapa kalian menghentikan aku dan memperlakukanku seperti ini." Ujar Enho dengan nada jengkel.

Yoochun menarik sebuah senyum tipis.

"Maafkan aku. Kami polisi yang bertanggung jawab untuk kasus Kijong jadi yang kami lakukan ini adalah bagian dari tugas." Yoochun berbicara makin tegas dan tenang.

"Kartu identitas ini asli." Kata Wonho setelah melakukan pengecekan.

"Kembalikan kartu identitasnya."

Eunho menerima kartu identitasnya lagi, sambil memasukkan kartunya ia berkata.

"Jadi kalian polisi yang bertugas menyelidiki kasus Kijong?"

"Ne." JawabYoochun.

"Kalau begitu kalian harus segera menangkap pelakunya. Secepatnya."

"Kami sedang berusaha. Dan jika anda tidak keberatan kami ingin bertemu anda lagi di kondisi yang lebih baik untuk mengajukan beberapa pertanyaan."

"Dang-yeonhaji."

Eunho mneyepakatinya tanpa berpikir dua kali. Ia kemudian mengeluarkan lagi dompetnya untuk mencari kartu nama.

"Ini kartu namaku. Kalian bisa datang kapan pun untuk mencariku di rumah atau juga tempat kerjaku."

Yoochun menerimanya dan mengopernya pada Wonho untuk di simpan.

"Terima kasih atas kerja sama anda, Eunho-ssi."

"Kapan saja."

Yoochun dan Eunho berjabat tangan, setelah itu Eunho pun pamit undur diri.

"Kau sudah dengarkan?"

Yoochun menoleh pada Jaejoong. Mencoba untuk bersikap tenang meski ia tidak tega melihat Jaejoong yang seperti kehilangan pegangannya.

"Dia bukan Yunho tapi Eunho."

Wonho memilih untuk diam, tak berani berkata-kata.

"Selidiki latar belakang dan riwayat Eunho. Aku menginginkannya." Perintah Jaejoong.

Yoochun menghela nafas panjang, berpaling pada Wonho yang tengah menatapnya seolah meminta persetujuan darinya.

"Lakukan saja perintahnya. Buat dia puas."

---TBC---









Continue Reading

You'll Also Like

173K 15.6K 30
"သူက သူစိမ်းမှ မဟုတ်တာ..." "..............." "အဟင်း..ငယ်သူငယ်ချင်းလို့ပြောရမလား..အတန်းတူတက်ခဲ့ဖူးတဲ့ အတန်းဖော်လို့ ပြောရမလား...ဒါမှမဟုတ်..ရန်သူတွေလို...
268K 40.4K 103
ပြန်သူမရှိတော့ဘူးဆိုလို့ ယူပြန်လိုက်ပြီ ဟီးဟီး ဖတ်ပေးကြပါဦး
409K 5.5K 28
Emmett loves to be a rebel. He skips school to hang out, drink, and smoke with his two friends when suddenly he and his best friend are cornered and...
5.3M 46.3K 57
Welcome to The Wattpad HQ Community Happenings story! We are so glad you're part of our global community. This is the place for readers and writers...