Gue cuma menatap makanan yang dibawa oleh pelayan. Di depan gue Johnny lagi mainan laptop dia
"Makan" ucap dia dengan nada yang datar. Gue cuma diem, gue nggak nafsu makan
"Saya nggak pernah nyuruh orang dua kali" dia kini menatap gue dengan tajam. Gue masih diem
Dia dengan sigap mengeluarkan pistol dari bawah meja, lalu menodongkan ke gue. Gue menatap dia. Sebenarnya gue takut, tapi gue mencoba berani
"Makan, atau wajah cantik kamu penuh darah" gue tetap diam
"Aku mau pulang" gue kembali menangis. Johnny meletakkan pistolnya dan masuk ke dalam ruangan. Lalu keluar dengan membawa dasi hitamnya
Dia narik tangan gue kasar. Terus ngiket kedua tangan gue di kepala ranjang dengan dasi tadi
"Kamu perlu tahu satu hal" dia jalan, terus ngambil pistol tadi dan naik ke ranjang
"Saya benci ketika orang nggak matuhin perintah saya" Johnny nodongin pistolnya ke gue. Gue cuma malingin wajah gue sambil nangis
"Saya sudah mencoba menyuruh kamu dengan halus. Tapi kamu diam. Kamu tahu gunanya mulut?" Gue mengangguk
"Answer it"
"Bi-bicara" ucap gue dengan suara yang serak bahkan mungkin dia ga dengar
"Good girl, baby" ucap dia menurunkan pistolnya
"I'm not your baby" katakan gue bodoh, tolol, goblok, bego, idiot atau apa terserah, tapi sifat gue yang selalu menjawab keluar
Johnny natap gue. Dari atas sampai bawah. Terus natap wajah gue yang udah merah. Tatapan dia bukan mesum, apalagi suka ke gue. Tatapan dia lebih mengintimidasi, mengecek tubuh gue
"Jonathan" panggil seseorang
"There's no Jonathan here" ucap Johnny. Siapa Jonathan? Dia juga siapa? Masuk-masuk dengan wajah dingin
"Your real name is Jonathan" ucap laki-laki tadi
"JONATHAN IS GONE, TEN!" Johnny teriak. Orang yang dipanggil Ten itu ngehembusin nafas kasar. Johnny turun dari ranjang. Terus duduk di samping gue yang masih keiket
"Status" Johnny ngidupin rokoknya
"Lepasin dia dulu" Ten nunjuk gue. Johnny menatap gue dan melepaskan ikatannya. Gue sedikit geser, menjauh dari Johnny
"Her dad just died. In bathroom, with cocaine in his hand. He overdose" jelas Ten yang sama sekali nggak gue pahami. Ayah siapa? Dia siapa?
"Her sister?" Tanya Johnny
"Doing fine without her eldest sister" Ten menunjukkan sebuah foto dari tablet. Gue sempat melirik, karena dasarnya memang gue anak yang kepo
Gue membulatkan mata gue. Dia Yerin. Adik gue
"KAMU APAKAN ADIK SAYA?!" Gue berdiri dan teriak. Johnny menatap gue tajam
"Duduk" gue nggak peduli. Mau dia nodong gue pake pistol kek, basoka kek granat atau apa terserah. Yang penting adik gue nggak kenapa-napa
"Leave us alone" Ten menutup tabletnya. Kemudian menatap gue dengan tatapan sedikit iba
Johnny berdiri, kemudian mendekat ke arah gue. Johnny memainkan rokoknya. Memutar-mutarkan membuat gue mundur perlahan
"Masih kurang saya tunjukan apa yang terjadi kalau kamu nggak matuhin saya?" Johnny menarik lengan gue. Mencengkramnya dengan kuat. Lalu menempelkan rokoknya yang menyala ke tangan gue
"AKHHH" gue teriak. Sakit
Johnny narik rambut gue. Membuat gue mendongak. Johnny mendekatkan rokoknya ke leher gue
"Kamu tau kenapa perempuan dengan kulit putih lebih banyak?" Johnny mengelus leher gue
"Karena kalau mereka kena luka. Luka itu bakal kelihatan jelas dan indah" gue menangis. Dia gila, gila banget
"Beg for it honey" Johnny meniup perlahan leher gue
"I'm sorry, Johnny" gue berusaha menjauhkan rokok itu dengan menahan lengan Johnny
"I'm sorry, what did you say?"
"I'm sorry, daddy" Johnny tersenyum. Kemudian melepaskan jambakan di rambut gue dengan sedikit mendorong tubuh gue
Johnny mematikan rokoknya. Dan kemudian mengambil jasnya yang tersampir di tepi ranjang
"Istirahat. Patuhi saya. Dan kamu dapat apa yang kamu mau" ucap Johnny sambil menutup pintu
Gue terduduk. Kemudian menangis dan memukul-mukul dada gue. Sesak
Dia gila
Gue mahasiswa psikolog. Gue bisa dengan mudah baca gerak-gerik dia
Gue nggak bodoh cuma sekedar baca raut wajah dan semua yang dia lakukan
Gue menangis. Minggu depan gue wisuda. Dan gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin. Panggil polisi? Ponsel gue aja nggak tahu. Teriak? Bodoh, ini rumah besarnya hampir enam hektar, nggak mungkin ada orang yang denger kecuali pembantu dan pengawal dia
Udah lebih dari tiga jam gue duduk menatap jendela. Hamparan bunga mawar yang banyak warnanya membuat hati gue sedikit tenang
Klek!
Suara pintu ketutup nggak membuat gue menoleh. Gue masih setia menatap halaman belakang rumah Johnny
"Hani" gue diam
"Hani, saya mohon sebelum saya melakukan hal yang nggak kamu inginkan. Patuhi saya" gue menoleh, lalu menatap Johnny yang berdiri membawa kotak P3K
Johnny berjalan mendekat. Terus duduk di depan gue sambil membuka kotak itu
Dia mengambil salep, dan mengambil tangan gue. Terus ngusapin salep tadi di luka gue. Gue meringis, lalu narik tangan gue
Johnny menghela napas. Lalu memasukkan salep tadi dan menatap gue
Gue cuma menunduk. Lalu mulai menatap Johnny
"Minggu depan saya wisuda" ucap gue parau
"Terus?"
"Saya mau ikut upacaranya. Dan ngucapin ke keluarga saya kalau saya baik-baik saja"
"Keluargamu baik-baik saja tanpa kamu" Johnny melemparkan sebuah tablet yang tepampang sebuah foto
Gue berteriak histeris. Lalu menangis. Di sana, ada foto ayah gue di kamar mandi dengan kokain di tangannya. Dia overdosis
"WHY?!" Gue menatap Johnny. Kemudian terduduk di lantai
"Dia pengguna. Kamu anak psikolog harusnya tahu gimana fisik pengguna" dia bahkan udah tahu gue anak psikolog. Mungkin dia juga udah tahu latar belakang gue yang lain
Johnny merengkuh gue. Membawanya ke pelukannya. Gue memukul-mukul dada Johnny. Memberontak dan menjauhkannya
Gue menyerah. Tenaga Johnny jauh lebih besar daripada gue. Gue menangis terisak
"I wanna go home" ucap gue
"Here's your home"
Gue menggeleng. Gue benar-benar pengen pulang
"Nggak usah berontak" gue melepaskan pelukan Johnny dan berteriak ke arahnya
"KAMU GILA, PEMBUNUH" Johnny menatap gue tajam. Lalu seketika mendekat ke arah gue dan menjambak rambut gue. Dia menyeret gue ke sebuah ruangan dengan nuansa yang gelap
"T-tolong akhh" gue memukul tangan Johnny. Johnny mengunci pintu, kemudian mendorong gue hingga jatuh ke lantai
"Pelajaran nomor satu. Patuhi ayahmu. Dan kamu tidak melakukan itu" Johnny berjalan memutari gue, dan memakaikan gue penutup mata
"Kedua. Sopan. Dan saya lihat juga tidak kamu lakukan" dia mengikat tangan gue. Terus bawa gue ke atas ranjang
"Ketiga. Enjoy your punishment sweety" bisik dia di telinga gue yang membuat gue merinding. Menangis.
Plak!
Sebuah benda yang gue nggak tahu apa, mengenai perut gue. Membuat perut gue perih dan ngilu
Plak!
Lagi-lagi benda itu mengenai perut gue. Begitu seterusnya sampai kurang lebih sepuluh menit
Johnny meletakkan benda itu. Kemudia naik ke atas ranjang dan membuka penutup mata gue
Mata gue sembab. Dengan cepat dia membuka seluruh baju gue. Gue telanjang persis di depan dia
"Please. Don't" gue berusaha menjauhkan Johnny. Namun dengan segera ia memasukkan benda ke milik gue
Gue menangis dengan kencang. Hilang mahkota yang gue jaga selama dua puluh satu tahun. Dan direnggut dengan cara yang tidak baik
"Say it, honey" Johnny menatap gue
"Daddy" gue memalingkan wajah gue. Badan gue rasanya sudah hancur. Sakit dan remuk
Gue sadar. Johnny ini lebih dari sekedar gila
Oh my daddy T T