Promises

By ScottStephenie

383 191 0

Karena aku bermain bukan untuk sebuah kemenangan. Aku bermain untukmu. Aku mencurahkan seluruh isi hatiku mel... More

1. Gran [ 3rd POV ]
2. That bad news [ Ana's POV ]
3. Unexpected
4. Lala
5. "Lo keren!" [ Ana's POV]
6. Terbongkar [ Ana's POV ]
7. Tidak terduga [ Ana's POV ]
8. Luka Nicole [ Ana's POV]
9. Lampu Hijau [ Ana's POV]
10. Amarah [ Nicole's POV]
11. Luka itu [ Ana's POV]
12. That Bad Side [ Ana's POV]
13. Tekad [ 3rd POV]
14. That Storm[ 3rd POV]
15. Sisi Terbuka[ 3rd POV]
16. The Nightmare in the middle of the Night ( Flashback)[ 3rd POV]
17. Those Threes[ 3rd POV]
19. Nicole's Crime [ 3rd POV]
20. Arrested and Lost Everything[ Ana's POV]
21. Vanilla[ 3rd POV]
22. Pengakuan[ 3rd POV]
23. The Red, Red Rose[ 3rd POV]
24. The Angel[ 3rd POV]
25. The Ballerina[ 3rd POV]

18. Waltz[ 3rd POV]

8 6 0
By ScottStephenie


Bulan Desember...

Ana menatap gambar tuts- tuts piano yang ada di sekelilingnya. Alat musik yang selalu membuatnya dikucilkan, dipojokkan dan tersiksa, kini akan menemani Ana untuk menghibur hati setiap penonton yang datang untuk melihat kompetisi ini. Kompetisi ini diselenggarakan oleh pihak sekolah dengan beberapa pihak luar yang menjadi sponsor.

Banyak saingan Ana yang sangat bagus dan akurat dalam memainkan piano. Ana tau tujuan mereka semua memainkan piano seakurat itu adalah untuk memenangkan kompetisi dan mendapat beasiswa ke London untuk memperdalam musik, khususnya piano.

Ana sendiri bermain bukan untuk memenangkan kompetisi. Alasannya selama ini berjuang untuk belajar mencintai piano dan mengerahkan seluruh pikiran serta tenaganya untuk piano adalah karena dia ingin orang- orang yang ia sayangi melihat bahwa Ana bukan lagi Ana yang penakut dan bodoh.

Ana ingin belajar untuk mencintai piano. Dan sejak Ana sembuh dari rumah sakit, Ana sudah memantapkan hatinya untuk berlatih piano sampai dia bisa. Waktu yang biasa Ana luangkan untuk balapan dengan Davis, Dimas, dan beberapa anggota gengnya, sudah diganti dengan berlatih piano sampai bisa. Diam- diam, Ana meminta Nicole mengajarinya karena Nicole juga sangat pandai bermain piano.

Nicole sudah menceritakan semuanya kepada Ana dan mereka berdua telah berbaikan. Reza juga sudah mereka datangi ke penjara dan Reza juga sudah menceritakan semuanya kepada Ana. Nicole dan Reza juga sudah berbaikan. Kini, mereka bertiga telah menjadi sahabat dekat.

Satu- satunya yang menghilang dari mereka adalah Jordan. Jordan kini jauh lebih dekat dengan Dinda dan setiap waktu selalu bersama Dinda, tampaknya.

" Ingat ya Na, lo harus tenang dan enggak usah gugup. Jadi seorang pianis bukan juara yang dibutuhkan tapi seberapa besar keberhasilan lo menghibur hati para penonton. Cukup bermain dengan kemampuan terbaik lo. Urusan kalah dan menang, itu belakangan," ucap Dinda mengacungkan jempol sambil tersenyum lebar.

Ana balas tersenyum, meskipun hatinya masih sedikit gugup.

" Eh, Ana! Nicole!" suara teriakan Calvin masih bisa terdengar oleh Ana dan Nicole hingga mereka berdua menoleh ke arah Calvin yang berlari mendekati mereka. Calvin memeluk Ana dan juga Nicole.

" Gue yakin lo bisa lakukan yang terbaik, Na. Gue mendukung lo dan lo harus tau kalo Papa dan Mama bakal datang ke sini buat nonton kompetisi lo. Khusus karena lo," ucap Calvin lembut dan mengusap kepala Ana dengan sayang.

" Makasih, bang. Gue janji bakal berusaha sekeras mungkin. Gue enggak mau jadi satu- satunya anggota keluarga Astonbelt dan Mackenzie yang terbuang," ucap Ana dengan penuh tekad.

Dan gue mau Jordan buat liat permainan gue. Gue sadar kalo gue sayang sama dia, meskipun mungkin terlambat. Gue hanya butuh dia tau kalo perasaan gue bakal tersampaikan melalui permainan ini, lanjut Ana dalam hati.

Calvin menepuk kepala Ana dengan sayang.

" Good luck, deh adek gue yang paling gue sayang," ucap Calvin hangat. Calvin mengajak Nicole ke ruang penonton sedangkan Ana berjalan ke ruang hijau. Di sana sudah banyak peserta- peserta yang sibuk menghafal partitur juga mendengar rekaman permainan mereka saat sedang berlatih.

Ana merasa sangat gugup tentunya.

" Lo gugup?" tanya Bian, anak kelas XI IPA- 10. Ana menoleh ke arahnya. Bian, si bintang panggung opera, sedang berbicara kepada Ana. Tentu Ana sangat senang. Bian terkenal sebagai pianis muda sampai ke kancah internasional.

" Iya, gue gugup. Lo?" tanya Ana balik. Bian tersenyum miring lalu duduk di samping Ana.

" Yah, semua orang pasti punya rasa gugup sebelum tampil di depan semua orang. Tapi gue sih stay cool aja. Karena kalo gugup berkepanjangan, gue entar lupa semua isi partiturnya," jawaban Bian membuat Ana tersenyum kecil. Keduanya mulai berbicara dan semakin akrab. Ana sangat kagum pada Bian.

Bian sendiri sebenarnya sama sekali tidak menyukai piano. Namun karena mengikuti keinginan orangtuanya yang ingin salah satu anak mereka menjadi seorang pianis, akhirnya Bian pun berlatih keras menjadi pianis.

Sepanjang Bian dan Ana mengobrol, banyak peserta- peserta yang sudah menampilkan permainan mereka.

Tak terasa sekarang adalah giliran Bian untuk menampilkan permainan pianonya dengan lagu Nocturne Op.9 No.2 karya Chopin.

" Sukses, Bi!" seru Ana dengan senyuman lebar dan mengacungkan jempol. Bian balas mengacungkan jempol dan tersenyum kecil lalu berjalan ke panggung melalui connecting door.

Ana melihat suasana di luar ruang hijau begitu senyap, dan lantunan piano Bian mengalir begitu saja. Permainan Bian sangat akurat dan Ana tidak mengerti bagaimana cara Bian menghafal seluruh isi partitur. Benar- benar jenius!

Ana terbawa oleh permainan Bian dan tampaknya para penonton juga. Tak terasa permainan Bian pun berakhir. Setiap nada yang dihasilkan dari piano Bian begitu kaya. Tak heran jika Bian menerima sambutan menyenangkan dari semua penonton. Saat Bian kembali dari panggung, Bian langsung bergegas menuju Ana dan terlihat sangat tidak tenang. Sebagian besar mungkin karena dia lega dan sebagian lagi karena sedikit cemas.

" Gimana permainan gue? Bagus enggak?" tanya Bian dengan cepat kepada Ana. Ana mengangguk.

" Bagus banget! Gue yakin lo yang bakal menangin kompetisi ini," puji Ana dengan tulus. Bian perlahan mulai lebih tenang dan tersenyum lebar kepada Ana.

" Giliran lo buat berjuang di atas panggung, Christia. Sukses!" dukung Bian mengepalkan tangannya ke udara. Ana ikut mengepalkan tangannya ke udara dan menjadi semangat.

Tak lama kemudian, nama Ana dipanggil oleh juri. Dengan hati yang sudah mantap, Ana melangkahkan kakinya ke luar dari ruang hijau menuju panggung. Begitu Ana berada dekat dengan kursi piano, Ana menghadap ke arah juri dan membungkukkan badan. Ana dapat melihat kedua orangtuanya, Calvin, Yosafat, Yohana, Nicole, kedua orangtua Nicole, kakak Nicole, Om Darwin, Tante Aurelia, dan... Jordan.

Kenapa dia disini sendirian? Dimana Dindanya? batin Ana. Dengan pikiran yang masih berkecamuk, Ana berjalan ke arah piano dan duduk di kursi yang berada di depan piano. Untung saja, tinggi kursinya sudah sesuai sehingga Ana tidak perlu menyetel tingginya lagi.

Ana memejamkan mata, menarik nafas dalam- dalam lalu mulai memainkan jarinya secara perlahan di atas tuts piano. Begitu memasuki bagian awal dari lagu utama, tangan Ana mulai menari- nari di atas tuts piano.

Untuk lagu, Ana memilih lagu The Waltz of Sleeping Beauty karya Tchakoivsky. Lagu ini tergolong sangat sulit karena sebenarnya pengaturan dinamika dan temponya cukup rapat. Jika terjadi suatu kesalahan saja, maka lagu yang menyenangkan ini akan menjadi sumbang.

Saat memainkan piano, Ana menjadi teringat akan beberapa bulan terakhir yang ia habiskan mati- matian demi sebuah piano. Selain tidak pernah lagi ikut balapan liar, kadang- kadang Ana muntah saat mau berlatih karena dia sama sekali tidak memperhatikan jam makannya.

Apa motivasi lo bermain, Ta? Kalo orang lain motivasinya bermain biar menang, apa motivasi lo? Apa motivasi lo juga memenangkan kompetisi piano? suara Nicole terngiang- ngiang di telinga Ana. Ana memainkan pianonya dan mencurahkan jawaban atas perasaannya melalui piano.

Motivasi gue bukan menang, batin Ana dalam hati.

Gue seneng lo berubah, Na. Kalo ada masalah, cerita ke gue, ke Yohana atau ke Nicole. Gue pasti bakal ngelakuin apapun ke lo. Sukses, Na! kini suara Calvin yang terngiang- ngiang di telinga Ana. Ana kembali mencurahkan jawaban atas perasaannya kepada Calvin melalui piano.

Makasih karena selalu dukung gue, bang! Gue enggak tau mau harus ngungkapin gimana yang jelas piano gue yang curahin semua perasaan gue, batin Ana.

Kalo lo mau benci sama gue, mau jauhin gue, itu terserah lo, kini suara Jordan yang terngiang- ngiang di telinga Ana. Tiba- tiba saja Ana merasa marah. Ana tidak ingin Jordan memintanya untuk membenci Jordan. Bahkan jika Jordan mungkin menyukai Dinda, Ana akan tetap mempertahankan perasaannya.

Gue enggak akan pernah benci sama lo! Gue sayang sama lo, Jo! Gue enggak bisa ngomongin perasaan gue ke lo, tapi gue udah curahin seluruh hati dan tenaga gue buat bermain piano! Lo orang yang menyadarkan gue betapa dekatnya hubungan gue dengan piano. Gue sayang lo, gue sayang sama lo, Jordan! batin Ana dalam hati sementara tangannya terus memainkan piano.

Semua penonton merasa terbawa dengan permainan piano Ana. Gadis itu seolah sedang menyanyikan seluruh isi hatinya melalui piano. Sebagian besar orang yang menonton menangis terharu karena permainan Ana.

Sementara itu, Nicole menggeleng- gelengkan kepala dan tersenyum miris. Ia melirik ke arah Jordan yang terpaku.

Perasaan yang lo sampaikan ke Jordan melalui piano itu luar biasa, Ta. Enggak heran kalo banyak yang terbawa sama permainan lo. Segitu sayangnya lo sama Jordan, batin Nicole dalam hati.

Gue enggak peduli menang atau enggak. Gue hanya mau menghibur orang lain dengan permainan gue selama mereka masih menonton, dan gue mau lo tau kalo gue enggak akan pernah berhenti sayang sama lo , Jo, batin Ana dalam hati. Setiap nada yang dimainkan Ana, berasal dari perasaan pemainnya sendiri.

Gue mau suatu saat nanti, kita bakal waltz berdua, Jo, batin Ana dan mengakhiri permainan pianonya.

Ana menghembuskan nafas lega. Ana bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke arah juri lalu membungkukkan badan, tanda hormat. Saat kembali berdiri tegap, mata Ana bertubrukkan dengan mata Jordan yang tengah menatapnya.

Semoga musik gue bisa sampai ke hati lo, Jo, bisik Ana dalam hati. Setelah melemparkan senyuman ke arah penonton yang masih bertepuk tangan riuh hingga nyaris merobohkan ruangan auditorium sekolah, Ana berjalan kembali ke arah ruang hijau.

Sementara itu, Jordan yang duduk di bangku penonton hanya bisa terpaku. Jordan sendiri bisa memahami musik Ana. Dari cara gadis itu bermain, dan dari cara gadis itu menatapnya, Jordan tidak salah menafsir.

" Ma, Jordan ke toilet dulu," ucap Jordan terburu- buru lalu keluar dari ruangan itu dan berjalan ke ruang hijau melalui ruangan alternatif yang berada di luar auditorium. Jordan membuka pintu ruang hijau dan hampir semua pasang mata di situ menoleh ke arah Jordan. Jordan mencari- cari Ana yang tengah duduk sendirian di sudut ruangan.

Jordan melangkahkan kakinya menuju Ana. Ana mendongakkan kepalanya dan terkejut saat melihat Jordan yang sudah berdiri di hadapannya.

" L- lo?" lirih Ana yang jelas sekali sangat terkejut. Jordan sendiri terlihat dingin dan tanpa ekspresi seperti biasanya. Namun sebenarnya di dalam hati, Jordan memuji Ana yang terlihat sangat cantik dalam gaun birunya.

Tanpa permisi, Jordan menarik Ana keluar dari ruang hijau hingga keduanya kini berada di dekat pintu gedung. Di situ tidak terlalu banyak orang.

" Sejak kapan lo main piano?" serbu Jordan dengan pertanyaan. Ana menelan ludah.

" Well, sejak gue sembuh dan pulang dari rumah sakit," jawab Ana seadanya. Jordan terlihat berpikir.

" Kenapa? Apa permainan gue bagus?" tanya Ana dengan nada penuh harap dan tersenyum lebar. Jordan melirik tajam ke arahnya.

" Lo terlalu banyak ngikutin perasaan lo. Enggak akurat dan sesuai sama partitur," Lo bagus banget, La. Gue salut sama lo, lanjut Jordan dalam hati. Senyuman di wajah Ana mulai memudar.

" Main piano itu ngikutin partitur bukan ngikutin perasaan. Gue enggak yakin lo bakal menang," tukas Jordan lalu hendak berbalik meninggalkan Ana. Ana sendiri sudah meneteskan air mata.

" Tapi gue bermain piano bukan buat menang. Gue enggak peduli jadi pemenang atau enggak," jawaban Ana membuat Jordan menghentikan langkahnya.

" Gue bermain piano hanya untuk menghibur penonton selama gue masih punya penonton dan gue mencurahkan seluruh isi hati gue ke permainan gue," lanjut Ana membuat Jordan lagi- lagi terpaku. Ana mulai terisak.

" Gue enggak tau apa permainan gue bagus di mata juri, Jo. Gue enggak tau, enggak berharap dan enggak peduli sama mereka. Tapi gue punya dua harapan," Jordan menarik nafas dalam- dalam, mendengarkan setiap kata yang dilontarkan Ana dengan seksama.

" Pertama, gue harap perasaan gue mencapai hati orang yang gue sayang," ucap Ana lalu perlahan berjalan mendekati Jordan yang membelakanginya. Ana terisak lalu menutup kedua mukanya.

" Selama ini gue tinggalin semua yang gue suka demi belajar buat piano. Gue belajar buat menyukai piano meskipun awalnya gue benci," tutur Ana lalu membalikkan tubuh Jordan ke arahnya. Kini mereka berdua berdiri saling berhadapan. Ana mengusap kasar air mata di pipinya.

" Gue enggak bisa turutin mau lo buat benci sama lo, Jo. Karena..." jantung Ana berdetak lebih kencang karena ia tahu dan sadar bahwa hal yang mungkin ia akan lakukan sangat aneh.

" Gue sayang sama lo," jantung Jordan mencelos saat mendengar pernyataan Ana akan perasaannya.

Ana masih menundukkan kepalanya. Ia terlalu malu untuk mengungkapkan perasaannya sambil menatap Jordan.

" Jadi permainan gue tadi khusus buat lo," ujar Ana yang kini berani menengadahkan kepalanya dan ternyata mata kelabu Jordan memberikan pandangan yang sulit diartikan. Perlahan, Ana memajukan dirinya dan memeluk Jordan sangat erat lalu tak berapa lama, Ana melepas pelukannya.

" Gue enggak berharap lo bisa balas perasaan gue," lirih Ana. Sejujurnya hati Ana akan sangat sakit jika saat ini juga Jordan menyatakan penolakannya.

" Tapi gue berharap suatu hari nanti kita bisa waltz berdua. Gue mau waltz sama lo dan itulah harapan kedua gue," lanjut Ana lalu setelahnya, Ana pergi meninggalkan Jordan sendirian. Ana berusaha berlari sejauh mungkin dari Jordan.

Sementara itu, Jordan sendiri masih memikirkan perkataan Ana dan entah mengapa permainan musik Ana masih terngiang- ngiang di telinga Jordan. Jordan tersenyum sendu saat memikirkan perkataan Ana.

" Gue sendiri sayang sama lo, Lala bego. Gue janji bakal kelarin dulu semua masalah lo. Dan gue janji suatu hari nanti, kita pasti waltz berdua. Hanya kita,"

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 706K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
2.5M 126K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...