CINDER - ELLA

By jasendradee

1.5M 152K 12K

Bagaimana jika dua gadis kembar identik bertukar tempat untuk menyelamatkan diri dari masalah masing-masing... More

PROLOG
Part 1 - Ini Cinder dan Kafka
Part 2 - Ini Ella dan Revas
Part 3 - Rasa Yang Berbeda
Part 4 - Luka Yang Terungkap
Part 5 - Pengakuan Ella dan Ide Cinder
Part 6 - The Show Time (Cinder's Side)
Part 7 - The Show Time (Ella's Side)
Part 8 - Cinder Yang Baru?
Part 9 - Ella Yang Baru?
Part 10 - Nada-nada Kafka
Part 11 - Angin Sore Revas
Part 12 - Perjanjian Baru
Part 13 - Setelah Kemarin
Part 14 - Aroma Ajaib
Part 15 - Tawaran Ella
Part 16 - Senyum Candu
Part 17 - Hari Bersamanya
Part 18 - Pertaruhan Cinder
Part 19 - Kegelapan Untuk Ella
Part 20 - Penyesalan Kafka
Part 21 - Keresahan Revas
Part 22 - Lain Sekali
Part 23 - Something In Between
Part 24 - Sebuah Rasa (bagian A)
Part 25 - Sebuah Rasa (bagian B)
Part 26 - Seolah Belum Cukup
Part 27 - Kembali
Part 28 - Sekali Lagi
Part 29 - Maaf
Part 30 - Fall For You
Part 31 - What If
Part 32 - I'm Here For You
Part 33 - Stay With Me
Part 34 - Thank You
Part 36 - Kau Adalah...
Part 37 - Bukan Dia
Part 38 - Cukup Sampai Di Sini
Part 39 - Karena Seharusnya Begini, bukan?
Part 40 - When You Love Someone
Part 41 - How Can I Say
Part 42 - What Can I Do
Part 43 - Nobody Knows
Part 44 - Somehow
Part 45 - It's Only
Part 46 - Seperti Seharusnya
Part 47 - More Than This
Part 48 - Heartbeat
Part 49 - A 'Good' Way (END)

Part 35 - The Truth Untold

39.9K 3.3K 1K
By jasendradee

Chapter ini agak panjang, hati-hati kleyengan wkwkwk

SO, ENJOYYYYY ^_^

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ella kembali tiga puluh menit kemudian setelah berkeliling sendirian tanpa tujuan dan saat berjalan menuju tempat ia meninggalkan Kafka sebelumnya, keningnya berkerut. Hanya ada Kafka di sana, duduk terpekur sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. Ella buru-buru mempercepat langkah.

"Kafka, hei?" Ella menyentuh pundak cowok itu hati-hati.

Kafka mengangkat pandangan dan Ella tahu ada sesuatu yang terjadi selama ia pergi. Ekspresi Kafka berubah dari sebelumnya.

"Ayo, kita pulang," ajak Kafka tanpa intonasi.

Ella menahan tangannya. "Kamu baik-baik aja?"

Kafka mengangguk.

Kening Ella berlipat dalam. Sekali lagi ia menahan tangan Kafka. "Gimana kalau kita ke game center dulu? Udah lama aku nggak main di sana, gimana?" Ella tidak benar-benar ingin menghabiskan waktu di tempat itu. Ia hanya berusaha mengembalikan suasana hati Kafka karena cowok itu kelihatan seperti baru saja mengalami kekalahan besar.

Kafka kelihatan berpikir, kemudian mengangguk. Cowok itu mengekori Ella dari belakang dengan langkah gontai. Pikirannya melayang ke mana-mana. Setiap kata yang tadi didengarnya, berputar-putar dalam kepala.

"Sebelumnya saya minta maaf karena datang tiba-tiba ke sekolah tanpa memberi kabar dan mengganggu waktu istirahat kamu. Tapi ada sesuatu yang perlu saya jelaskan dan ini tentang mama kamu yang sebenarnya."

Kafka hanya mengangguk kecil saat Ella menariknya ke hadapan beberapa permainan. Tubuhnya bergerak tanpa tenaga dan hanya mengikuti semampunya. Pikirannya berkecamuk dan dadanya sesak. Bahkan ia tidak sadar saat Ella menariknya menjauhi game center dan mencari tempat yang tidak begitu ramai.

"Harusnya saya menjelaskan ini dari dulu, tapi Papa kamu nggak mengizinkan. Dan saya terpaksa menunggu sampai kamu siap mendengar semuanya. Tetapi pertemuan kita waktu itu malah bikin semuanya runyam. Saya minta maaf."

Kafka mengusap wajah sambil mengembuskan napas frustrasi. Dia pasti sudah gila dan yang tadi didengarnya adalah lelucon. Tuhan tidak mungkin selucu ini menuliskan hidupnya. Tuhan pasti sedang bercanda.

"Mama kamu yang sebenarnya bukan saya, Kafka, tapi kakak saya, namanya Kamila. Kamu boleh nggak percaya, tapi itu lah kenyataannya. Kamu bisa tanya Papa kamu untuk membenarkan penjelasan saya...."

Bukan ibu kandungnya? Kafka mendengus geli. Lantas di mana ibu kandungnya? Atau jangan-jangan dia anak pungut? Anak yang tertukar? Sial! Dia pasti sedang masuk dalam game virtual atau opera menggelikan yang dikendalikan orang-orang sinting.

"Kafka?"

Panggilan itu menyentaknya. Ketika Kafka mengerjap dan mengamati sekitar, ia baru sadar sudah tidak di arena game center lagi. Dan saat melihat Ella tersenyum hangat padanya, sesuatu seolah memukul dada Kafka keras-keras. Ia memejamkan mata dan mengembuskan napas lelah. Tidak seharusnya ia mengabaikan seseorang.

"Maaf, Cinder, gue..."

"Aku paham, kok," senyum Ella mengembang. "Hari ini nggak mudah buat kamu dan kamu nggak perlu memaksakan diri," katanya.

"Sori. Gue nggak maksud..." Kafka mengusap wajah frustrasi, pikirannya benar-benar kacau.

Ella menggeleng masih dengan senyum di bibir. "Jangan dipaksain, Ka... kita masih punya banyak waktu dan kamu bisa cerita saat kamu ngerasa siap. Aku nggak akan ke mana-mana," ucapnya.

Kafka menatap Ella beberapa saat, lalu perlahan sudut bibirnya terangkat tipis. Ia bersyukur anak perempuan itu ada di sini, di sampingnya. Kalau saja Ella tidak menemaninya saat ini, mungkin Kafka tidak akan punya kekuatan untuk berdiri.

"Kita langsung pulang aja, gimana?"

Kafka mengangguk tanpa melepas pandangan dari Ella. Lalu, tiba-tiba ia menderap maju dengan langkah lebar yang membuat Ella terkejut. Cewek itu refleks mundur.

"Kamu mau apa?" tanya Ella, waspada.

"Menurut lo?" Kafka menaikkan sebelah alis.

Ella mengerjap panik, menatap sekitar dengan cemas. "Jangan macam-macam. Ki-kita di tempat umum, oke?"

"Emangnya lo pikir gue mau ngapain?" Kafka terus mendekat dengan wajah bingung. Ia hanya ingin mengambil tasnya. Apa yang salah dari itu? Bukannya mereka mau pulang?

Ella tergagap panik dan terbelalak saat merasakan besi pembatas menyentuh punggungnya. Ia refleks memejamkan mata erat-erat dan menunduk dalam. Kedua tangannya meremas kencang rok seragam.

Kafka mengerjap linglung. Sesaat ia menatap ekspresi ketakutan Ella, memikirkan banyak kemungkinan, lalu tiba-tiba tawanya menyembur kencang saat menyadari sesuatu.

Ella praktis membuka mata. "Kenapa kamu ketawa?"

"Harusnya lo liat ekspresi lo barusan," sahut Kafka, tersenyum geli melihat reaksi Ella.

"Bu-bukannya tadi kamu mau...."

"Mau apa?" Kafka menyeringai lebar. "Meluk lo?"

Ella gelagapan. "M-memangnya... bukan?" tanyanya ragu, pipinya bersemu.

Kafka tertawa. "Ya bukan lah. Kepedean lo," katanya.

Rona pink di wajah Ella langsung lenyap. Ia mengangguk-angguk canggung sambil menggaruk tengkuk. "Oh."

Kafka mendengus senyum. Perlahan-lahan kedua tangannya terulur melewati punggung Ella dan bertumpu pada besi pembatas sambil merunduk.

Ella terbelalak, panik, jantungnya mau copot. Tubuhnya semakin mengkeret takut. "K-ka...."

Kafka tersenyum geli. "Kalau lo ketakutan gitu, gimana gue bisa ngambil tas gue?"

Ella refleks mengangkat pandangan dan matanya membesar mendapati wajah Kafka berada tepat di depan mukanya. Hidung mereka nyaris bersentuhan.

"Ka-kamu mau ngambil tas?" Ella tergagap parah, wajahnya merah padam.

"Lo pikir apa lagi?" Kafka menahan tawa.

Ella tergagap malu. "A-aku pikir..."

Kafka tergelak keras, wajahnya memerah. Sebelah tangannya menggusak kepala Ella.

Ella diam memerhatikan. Walau Kafka tertawa tetapi sorot matanya tidak berubah, tetap sendu dan wajahnya kelihatan seperti tidak tidur tiga hari. Rasanya seperti bom waktu, tinggal menunggu saja maka Kafka akan meledak dengan sendirinya.

"Ayo, balik...," ajak cowok itu, menggusak kepala Ella gemas.

Ella menahan tangan Kafka di atas kepalanya, senyumnya terpoles lembut. Lalu, tanpa pikir panjang kedua tangannya terulur melewati punggung Kafka, memeluk cowok itu hati-hati. Kafka membeku seketika, kedua matanya membesar maksimal dan sebelah tangannya yang bebas menggantung di udara. Ella bisa merasakan tubuh Kafka menegang, tetapi ia tidak berniat melepas rengkuhan.

Beberapa detik tidak ada yang bergerak sampai Kafka melihat beberapa anak lelaki berseragam putih abu-abu melewati mereka sambil pura-pura tidak melihat. Kafka berdeham rikuh. "Cin, orang-orang ngeliatin kita."

Ella mengangkat pandangan tanpa melepas pelukan. "Gimana rasanya dibikin malu di depan orang? Kamu sering lakuin itu ke aku; di kelas, di ruang musik, di pesta ultahnya Nola, terus tadi di depan Bunga dan Ranu. Jadi sekarang gantian aku bikin kamu malu biar kita impas," paparnya, nyengir lebar.

Kafka mengerjap, kehilangan kata. Ia berusaha mencerna kata-kata Ella, lalu sedetik kemudian mendengus geli. "Jadi sekarang lo balas dendam?" tanyanya.

Ella mengangguk. "Bukan cuma kamu yang bisa nyebelin, aku juga bisa," katanya.

Kafka tertawa tanpa suara. "Yah, what will happen, happened," balasnya. "Udah telanjur dibikin malu juga kan, gue?" sambungnya. Kedua tangannya terangkat, balas merengkuh Ella.

Tawa Ella berderai dalam dekapan Kafka. Cewek itu memejamkan mata sambil menghirup udara banyak-banyak. Wangi Kafka selalu bisa jadi favoritnya.

"Cinder?" panggil Kafka setelah beberapa menit terdiam. Ella menyahut dengan gumaman. "Thanks's karena lo beneran balik setengah jam kemudian," lirih Kafka.

Rasanya Ella ingin menangis. Tubuh Kafka gemetar, suaranya bergetar, dan napasnya tertahan. Cowok itu sedang berusaha mati-matian agar tidak tumbang. "Aku nggak mungkin ngebiarin kamu gila sendirian, kan?" ucapnya.

Kafka mendengus, namun dekapannya mengerat. Ingatannya kembali melayang ke beberapa puluh menit sebelumnya.

"Maafkan saya, Kafka... tapi alasan kenapa saya nggak bawa kamu pergi bersama saya karena saya nggak punya hak, saya bukan ibu kandung kamu. Selain itu, Papa kamu bisa lebih gila dari sebelumnya. Kamu putranya satu-satunya dan dia sangat menyayangi kamu melebihi nyawanya. Dia bisa kehilangan saya tapi nggak bisa kehilangan kamu. Kamu nyawanya....

"Papa kamu sangat mencintai Kamila, tetapi ia meninggal setelah mengalami kecelakaan mobil dan harus melahirkan kamu sebelum waktunya. Hal itu mengguncang hebat Papa kamu. Dia syok. Sehari setelah Kamila dimakamkan, keadaan Papa kamu semakin parah. Dan karena kami punya wajah yang mirip, Papa kamu mengira saya adalah Kamila hingga dia terus menerus memeluk dan nggak mau melepaskan saya. Percayalah, Papa kamu benar-benar terguncang sampai kestabilan jiwanya terganggu saat Kamila pergi. Dan saya menikah dengannya karena tidak ingin dia lebih gila dan terus menerus menyakiti dirinya sendiri atau bahkan membunuh kamu dengan tangannya sendiri.

"Dia sangat terpuruk setelah kakak saya meninggal dan nyaris seperti orang gila. Kewarasan dan rasionalitasnya terganggu, bahkan dia sempat tidak mengenali anggota keluarga Hadinata yang lain karena terlalu terguncang. Hingga kemudian pihak keluarga Papa kamu tidak bisa membiarkannya dan memohon agar saya mau membantunya sampai dia sembuh atau minimal keadaan jiwanya stabil, dan saya melakukannya.

"Jangan salah paham. Saya sangat menyayangi Kamila dan kamu, Kafka, itu lah kenapa saya bersedia membantu. Setiap melihat Kamila menatap kamu saat masih dalam kandungan, saya merasa dia sanggup menukar apa pun hanya untuk kamu, bahkan nyawanya sendiri. Kamila lah yang membuat saya maju dan bertahan, namun Papa kamu yang membuat saya pergi.

"Di usia pernikahan kami yang ke tujuh, dia mulai menyadari bahwa saya bukan Kamila seperti yang selama ini dia pikir. Dia kembali merasa marah dan kecewa; karena dibohongi, ditinggalkan, dan miris pada dirinya sendiri. Dia kembali menghukum dirinya dengan melakukan banyak pekerjaan di luar kota, menenggelamkan diri dengan pekerjaan sampai tidak pernah pulang. Hingga akhirnya di usia kamu yang ke delapan, dengan tiba-tiba Papa kamu melepaskan saya namun dengan syarat tanpa membawa serta kamu atau bahkan mengengok kamu sesekali, serta tidak boleh menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia takut kamu akan lebih memilih saya jika saya mengatakan akan pergi secara terang-terangan."

Kafka mengeratkan pelukannya, membenamkan wajahnya di rambut Ella. Pikirannya terus memutar pembicaraannya dengan wanita yang kemudian ia tahu sebagai adik ibunya.

"Percayalah, Kafka, Papa kamu adalah lelaki paling kuat sekaligus paling lemah yang pernah saya temui. Cintanya terlalu besar untuk Kamila hingga tidak ada hal lain yang bisa membuatnya bangkit sekali pun bertahun-tahun sudah berlalu. Tabiatnya yang suka memukul merupakan pelampiasan rasa bersalah, kecewa dan marah karena tidak pernah bisa menerima kehilangan. Dia salah, saya mengakui itu. Tetapi dia hanya melakukannya setiap kali orang-orang di dekatnya menyinggung Kamila hingga mengingatkannya pada sakitnya kehilangan yang belum sembuh.

"Dia terlalu mencintai Kamila dan tidak pernah siap akan kepergiannya. Kehadiran orang-orang di sekitarnya tidak berarti sebesar kamu dan Kamila. Orang-orang di sekelilingnya hanya menjadi penunda kejatuhannya yang lebih hebat, termasuk perempuan yang dinikahinya setelah saya pergi. Percayalah, perempuan itu dia pilih karena dia merasa perempuan itu bisa membantunya membesarkan kamu agar kamu tetap merasakan kehadiran seorang ibu dalam masa pertumbuhan, bukan bermaksud menggantikan posisi Kamila atau meyuruh kamu menganggapnya ibu. Kamila tidak pernah tergantikan sampai kapan pun. Papa kamu tidak mau kamu merasakan kehilangan seperti kehilangan yang dirasakannya. Kamila memang pergi, tetapi Papa kamu menghidupkannya dalam hatinya, dalam jiwanya yang paling dalam dan itu sanggup membuatnya bertahan sampai sekarang. Kamila adalah kekuatan sekaligus kelemahannya.

"Jadi, Kafka, saya mohon maafkan saya, maafkan Papa kamu karena menyembunyikan kebenaran selama ini. Tapi kalau boleh saya meminta, saya mohon bertahanlah. Bertahanlah sampai kamu bisa membantu Papa kamu menerima kehilangan dan berdamai dengan dirinya sendiri. Bertahanlah sampai kamu bisa mengembalikannya pada sosok Wira Hadinata yang mencintai dan dicintai Kamila. Hanya kamu yang bisa melakukannya, karena kamu dan Kamila adalah nyawanya, napasnya. Kalau kamu nggak bertahan, Papa kamu nggak akan punya kekuatan lagi untuk melewati semuanya, dan kamu akan benar-benar kehilangan kedua orangtua kamu tanpa pernah bisa melihatnya kembali."

Kafka memejamkan mata erat-erat, dadanya sesak. Berbagai rasa menyergapnya dalam sekejap; sedih, menyesal sekaligus senang. Selama ini ia pikir ayahnya tidak pernah menyayanginya. Selama ini ia pikir ia telah ditinggalkan. Tetapi ia salah. Kedua orangtuanya justru mencintainya lebih dari apa pun, terutama ayahnya. Lelaki itu tidak membencinya sedikit pun, dia hanya sedang sakit.

"Kafka?" Ella memanggil. Ia bisa merasakan Kafka menarik napas dalam di sela-sela helaian rambutnya dan mendekapnya makin erat.

"Gue salah. Gue pikir bokap benci gue, tapi ternyata selama ini dia sayang banget sama gue, Cinder, cuma caranya salah," ucap Kafka, suaranya bergetar.

Kening Ella berkerut, bingung, tetapi tidak mengatakan apa pun, hanya tangannya yang terus bergerak mengusap punggung cowok itu. Ia yakin Kafka masih punya banyak kata yang ingin disampaikan karena Kafka berulang kali menarik napas dalam dan mengembuskannya berat.

Setelah beberapa menit, Kafka melepaskan pelukan. Ia menatap Ella dalam-dalam, kedua tangannya menangkup wajah cewek itu. "Gue tau gue bukan cowok baik. Gue nggak pinter. Gue juga bandel dan ngeselin. Tapi gue bakal perbaiki semuanya setelah hari ini. Dan kalau suatu hari lo udah nggak bisa terima kelakuan gue yang nyebelin, suka ngerusuh dan bikin lo sakit kepala, lo harus bilang. Kasih tau gue cepat-cepat biar gue bisa mempersiapkan diri."

Kedua alis Ella bertaut lucu. "Kamu ngomong apa, sih, aku nggak—"

"Jangan tinggalin gue," potong Kafka, menatap Ella lekat-lekat, suaranya parau parah. "Jangan pernah tinggalin gue...,"lirihnya. Namun sedetik kemudian ia menggeleng. "Bukan. Lo boleh pergi suatu hari nanti, lo boleh ninggalin gue kalau udah nggak kuat bertahan, tapi kasih tau gue sebelumnya. Kasih gue penjelasan. Jangan mendadak pergi, jangan tiba-tiba menghilang. Gue nggak suka ditinggalin gitu aja. Jangan kayak Mama dan jangan bikin gue kayak bokap...."

Ella mengerjap bingung, namun ia mengangguk tanpa sanggup bergerak lebih. Ia bisa mendengar nada sedih dalam suara Kafka serta sengal napasnya yang berat seolah menahan sesuatu.

Kafka memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan. Ella menatapnya sedih, lalu perlahan sebelah tangannya terangkat, mengusap pelipis Kafka dengan kedua tangan. Kafka membuka mata dan Ella tersenyum menatapnya.

"Kamu ngomong apa, sih? Siapa yang mau ninggalin kamu? Aku nggak bakal ke mana-mana, nggak bakal ninggalin kamu. Aku nggak akan pergi kalau bukan kamu yang minta," kata Ella, senyumnya mengembang.

Kafka memeluknya lagi, mendekapnya lebih erat. "Gue sayang lo... tolong jangan pernah tinggalin gue...."

Bola mata Ella membesar, tubuhnya membeku, terkejut. Namun sesaat setelahnya ia tersenyum lebar, balas memeluk Kafka dengan erat. "Aku juga sayang kamu, Kafka...."

-----------------------------------

Cinder menatap sepasang sepatu yang telah dihias di atas meja kecil tepat di hadapannya. Ia melirik hasil karyanya tanpa semangat, berharap Revas tidak akan bertanya macam-macam kenapa ia menghiasnya seperti itu. Cinder tidak punya jiwa seni sama sekali. Menggambar dan dirinya tidak pernah berada dalam satu garis lurus.

"Bukan salah gue kalau dia nggak suka. Ke sini bukan ide gue," gumam Cinder, memasukkan kembali sepatu Revas yang telah dihiasnya ke dalam kotak sepatu. Ia mengerling Revas yang sedang mendekat ke arahnya.

"Nih, sepatu kamu," Revas mengangsurkan kotak sepatu yang berukuran lebih kecil pada Cinder.

Cinder menerimanya dan menyodorkan milik Revas. "Sori kalau lo nggak suka hasil karya gue," katanya, dalam hati sedikit berdebar menunggu reaksi Revas.

Revas tersenyum kecil, membuka kotak sepatunya dengan semangat dan matanya berbinar senang. Cinder tidak menggambar banyak, bahkan terkesan sederhana. Cewek itu hanya menghias sepatunya dengan tempelan-tempelan lucu dan ada gambar bola basket di bagian depan. Namun deretan angka yang tertera di bagian samping membuatnya mengernyit. "1 4 3? Apa artinya?" tanyanya.

"Nggak ada artinya. Itu cuma susunan angka favorit gue," jawab Cinder, berdeham dua kali. Ia berharap Revas percaya dan tidak mencari tahu lebih jauh.

Revas mengangguk-angguk senang. "Jadi aku termasuk ke dalam susunan angka-angka favorit kamu?" ulangnya, berbinar.

Cinder mengangguk.

"Angka mana yang paling kamu suka?"

"Tiga," jawab Cinder.

"Kenapa 3?" tanya Revas penasaran.

Cinder mengedik bahu. "Nggak ada alasan khusus. Suka aja," jawabnya.

Revas kelihatan berpikir. Alasan Cinder terlalu sederhana. Rasanya angka-angka itu punya arti lebih dari itu. "Kalau digabung hasilnya jadi delapan..."

"Bukan delapan," penggal Cinder, cepat.

Kening Revas berlipat. "Terus apa?"

"Lo."

"Aku?" Revas melongo.

Sejenak Cinder ingin tertawa melihat reaksi Revas, tetapi ia tahan dan hanya mengangguk tanpa ekspresi.

Revas menganggaruk tengkuknya asal. "Aku cari tau nanti, deh."

"Bagus," Cinder mengangguk mantap. "Mending sekarang kita pulang. Gue ngantuk," katanya, cepat-cepat merapikan tas dan bersiap balik badan. Tetapi Revas menahan lengannya.

"Kamu nggak mau lihat hasil karyaku?"

Cinder mengerling kotak sepatu di tangannya, lalu membukanya perlahan. Sepatu itu berwarna putih awalnya, tetapi entah apa yang dilakukan Revas, sepatu itu berubah warna nyaris abu-abu dan cowok itu hanya menghias yang sebelah kiri.

Sebelah alis Cinder terangkat tinggi. Ternyata Revas lebih parah daripada dirinya dalam hal menghias sesuatu. "Lo cuma ngehias yang kiri doang?"

Revas mengangguk.

Cinder mendengus, memutar-mutar sepatu di tangannya. "Ternyata hasil karya lo lebih ancur dari..."

Kata-kata Cinder terhenti saat melihat tulisan tangan Revas di bagian samping sepatu sebelah kanan. Terlalu sederhana dan dilukis dengan cat warna hitam tanpa hiasan apa pun lagi selain pola melingkar menyerupai bola basket, namun berhasil mencuri detak jantung Cinder dalam sekejap.

'You enter in and become love'

Cinder mengerjap, dentam jantungnya berubah cepat. Sesaat ia tertegun, lalu perlahan mengangkat pandangan dan menemukan Revas sedang menatapnya sambil tersenyum. Cinder merasakan wajahnya memanas.

"Gimana hasil karyaku? Lebih bagus dari kamu, kan?" tanya Revas, menyeringai lebar.

Cinder mengedip cepat, mendapatkan kembali kesadarannya. Ia berdeham keras dan kembali berekspresi datar. "Not really," jawabnya, mengedik bahu ringan.

Revas tertawa geli. "Ayo, pulang," ajaknya, berjalan keluar duluan.

Beberapa detik Cinder memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu mengekori Revas dengan langkah malas sambil menggerutu sebal. "Yeah, boy. You enter in and become my disaster. Shit!"

------------------------------

"Tunggu di sini bentar, ya, aku ke toilet dulu."

Cinder mengangguk. "Hm," jawabnya pendek, lalu menyandarkan diri di pilar terdekat sambil memainkan telepon genggam. Ia mengernyit samar saat tidak menemukan balasan pesan dari Ella. "Kenapa Ella nggak bales pesan aku?" gumamnya, bermonolog, kemudian menghela napas dan mengangkat pandangan.

Tepat ketika itu, Cinder melihat seseorang berdiri membelakangi tidak jauh dari posisinya. Seseorang itu menunduk, fokus memainkan telepon genggam di tangan. Sosok itu mengenakan jaket jins yang menutupi seragam sekolahnya, namun bukan itu yang membuat Cinder menyipitkan mata. Ia mengenali sosok itu, rambut panjangnya serta sepatu yang dipakainya. Itu sepatunya. Dan hanya satu figur yang punya kemungkinan melakukannya.

Penasaran, Cinder buru-buru mendekati sosok itu, menepuk pundaknya pelan. Sosok itu berbalik cepat dan mereka sama-sama terkejut.

"Cinder?!"

"Ella?!"

"Ngapain kamu di sini?!" jerit keduanya bersamaan.

Ella buru-buru menekap mulut.

Cinder menggeretnya cepat ke tempat yang agak tersembunyi. "Kenapa kamu ada di sini?" ulangnya, agak panik. Tatapannya waspada menatap sekitar.

"Aku nemenin Kafka," jawab Ella, jujur. Suaranya sedikit tergagap.

Bola mata Cinder membesar. Rahangnya mengetat. "Apa?! Kamu di sini nemenin si Kunyuk? Kenapa kamu bisa nemenin dia?!" tanya Cinder, galak.

Ella memegangi lengan Cinder. "A-aku bisa jelasin. Tolong kamu jangan marah dulu, oke?"

"Gimana aku nggak marah! Udah aku bilang, kamu nggak boleh deket-deket dia! Kamu dengar omongan aku nggak, sih, La?" Cinder kalap. Pembicaraannya bersama Azka saat di sekolah tadi berputar di kepala. Azka pasti tahu sesuatu yang tidak ia ketahui.

Ella tergagap, berusaha menenangkan Cinder. "Cinder, please, aku punya penjelasan, dan asal kamu tau, Kafka nggak seburuk itu. Dia baik sama aku..."

Cinder ternganga tak percaya, lalu tertawa sinis. "Baik? Baik apanya? Perusuh kayak gitu nggak ada baik-baiknya sama sekali, Ella! Kamu jangan mau—"

"Cinder? Ngapain di situ?"

Cinder dan Ella sama-sama terkejut, bola mata keduanya membesar maksimal. Itu Kafka.

"La, ayo, pu—Ella? Kamu ngapain di situ?"

Cinder dan Ella terkejut lagi, bola mata keduanya terbelalak lebar. Itu Revas.

Ella menelan ludah panik. "Ja-jangan berbalik. Kafka berdiri nggak jauh di belakang kamu," katanya, memegangi lengan Cinder.

Cinder mengangguk. "Kamu juga jangan berbalik. Revas di belakang kamu," balasnya.

Cinder dan Ella sama-sama memejamkan mata, was-was. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Bagaimana kalau Kafka dan Revas mendekat?

"Kita harus gimana?" tanya Ella takut, nyaris seperti bisikan.

Cinder mengembuskan napas. "Jangan berbalik dan jangan nengok. Hitungan ke tiga, kamu cepat-cepat jalan ke Kafka, dan aku ke Revas, oke?"

Ella mengangguk.

"Kamu hutang penjelasan sama aku," ujar Cinder, sebelum mulai menghitung.

"Kamu juga hutang cerita sama aku," balas Ella.

"Nanti malam aku ke rumah Papa," tukas Cinder.

Ella mengangguk lagi. "Kita harus cepet. Kafka mulai jalan ke sini."

"Inget, jangan nengok atau berbalik, paham? Langsung seret Kafka jauh-jauh," titah Cinder sebelum kemudian menghitung cepat sampai tiga.

Ella mengangguk kilat dan buru-buru menubruk Kafka serta menyeretnya menjauh tanpa menoleh sedikit pun.

"Apaan, sih? Lo kenapa, lagi?" tanya Kafka, curiga, beberapa kali mencuri pandang ke belakang. Ia merasa familier pada anak perempuan yang ditemui Ella tadi.

Ella menggeleng. "Bukan apa-apa. Aku laper. Ayo burun jalan!"

--------------------------------

"Kayaknya aku kenal cewek yang ngobrol sama kamu tadi. Dari fisiknya kayak nggak asing. Temen kamu, ya?" tanya Revas begitu sampai di parkiran. Ia mengingat-ingat pernah melihat figur itu kapan dan di mana. Ia benar-benar merasa familier pada sosoknya.

Cinder mengangguk. "Saudara," jawabnya, cepat.

"Oh? Beneran? Kok nggak dikenalin ke aku?"

"Nggak penting," sahut Cinder. "Lagian tadi dia buru-buru."

"Aku nggak penting buat kamu?" ulang Revas.

Cinder memutar bola mata, lalu berkata dengan gemas, "Perkenalannya yang nggak penting, Revas."

Revas nyengir. "Jadi aku penting buat kamu? Sepenting apa?"

Ya Tuhan... Cinder pengin sekali menubrukkan kepala Revas ke tembok.

"La?" tegur Revas saat Cinder belum juga menjawab.

Cinder berdecak. "Lo cari tau aja arti tulisan di sepatu lo dan lo bakal tau sepenting apa lo buat gue," cetusnya, sebal, tapi pipinya menghangat.

Revas mengangkat kedua alis, menahan tawa geli. "Jadi bener, kan, tadi itu nggak sekedar angka delapan?"

"Bawel," dengus Cinder.

Tawa Revas berderai. "Yang kamu temui tadi siapa namanya?"

Tatapan Cinder menyipit sesaat, namun ia tetap menjawab. "Cinder."

Kening Revas mengernyit. "Cinder?" gumamnya. "Aku kayak pernah dengar namanya."

Cinder berdeham. "Dengar di mana? Lo pasti salah," ujarnya.

"Nggak," Revas menggeleng. "Cinder itu... bukannya kakak kamu, ya, yang pernah kamu ceritain ke aku? Yang jago basket itu. Ya, kan?"

Cinder pura-pura tidak dengar.

"La?" tegur Revas.

"Iya, iya. Lo cerewet banget, sih, hari ini," komentar Cinder, ketus.

Revas malah tertawa. "Kalau cowok yang tadi itu siapa? Pacarnya?"

"Bukan," Cinder menjawab cepat.

"Mereka anak Athalea bukan, sih?" Revas terus mengingat-ingat sambil menyerahkan helm pada Cinder.

Gerakan tangan Cinder terhenti. Ia mendongak menatap Revas. "Lo tau dari mana mereka anak Athalea?"

"Aku sempet liat atribut sekolahnya," balas Revas. "Sebenarnya sebelum hari ini aku pernah ketemu cowok itu di depan rumah mama kamu waktu aku antar kamu pulang," paparnya.

Mata Cinder membesar. "Apa? Lo pernah ketemu dia?"

Revas mengangguk.

"Kok lo nggak cerita ke gue?" tembak Cinder.

"Memangnya penting, ya? Maksudku, aku nggak tau dia siapa dan—"

"Dia kapten tim inti basket Athalea, lawan lo di pertandingan nanti," potong Cinder.

Revas mengerjap. "Apa? Dia kapten tim basket Athalea?"

Cinder mengangguk. "Namanya Kafka Hadinata. Dari kelas satu udah masuk tim inti dan jadi salah satu pemain terbaik Athalea. Dia punya konsenterasi penuh saat di lapangan dan nggak mudah diprovokasi. Gerakannya cepat dan nggak gampang dilewati."

Kening Revas mengerut dalam. Dari mana Ella tau semua info itu?

"Dan kalau di pertandingan nanti lo sampe berhadapan sama dia, lo harus fokus. Jangan terburu-buru tapi juga jangan terlalu santai, dan hati-hati setiap kali dia udah pegang bola. Lo harus siap-siap di bawah ring buat rebound. Dia nggak segan bikin lawannya malu dengan skor timpang luar biasa."

Cinder memejamkan mata rapat-rapat, pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan pertemuannya dengan Ella barusan, menebak-nebak ada hubungan apa Ella dengan Kafka, dan pembicaraannya dengan Azka tadi pagi, serta pertandingan Revas di akhir pekan. Bagaimana kalau Ella benar-benar punya hubungan dengan Kafka dan bagaimana kalau Revas sampai berhadapan langsung dengan Kafka di pertandingan nanti? Astaga... kepala Cinder rasanya mau pecah!

Sementara itu, Revas terus menerus menatap Cinder, memindai figurnya dari kaki sampai kepala sambil terus berpikir. Ia sempat membandingkannya dengan sosok yang tadi bersama cewek itu, dan rasanya mereka punya fisik yang hampir sama. Revas sempat memerhatikan figur belakang sosok tadi. Dia seperti Ella yang dikenalnya selama ini, yang rapi dan selalu menggerai rambutnya, bukan Ella yang mengikat rambutnya tinggi seperti yang ada di hadapannya saat ini dan dari mana cewek sosok di depannya ini bisa tahu begitu banyak tentang cowok bernama Kafka tadi? Revas merasa perlu mencari tahu sesuatu.

-TBC-

Ada beberapa komentar yang bilang lebih suka Cinder-Kafka dan Ella-Revas karena mereka satu line, satu aliran wkwkwk saya jadi kepikiran bikin CINDER-ELLA ANOTHER VERSE *plakk nggak ding hihihi

Oke, ditunggu reviewnyaaa

p.s : CINDER-ELLA bakal tamat dalam beberapa chapter ke depan, tapi saya belum bisa memastikan berapa chapter tepatnya, tapi semoga nggak sampe 10 :D

well, sampai ketemu di chapter selanjutnyaaaa

[13 Juni 2018]            

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 145K 30
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
6.5M 330K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
395K 15.7K 33
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
2.4M 19.9K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...