Oscillate #1: The Big Secret

由 radexn

4.1M 481K 216K

[available on bookstores; gramedia, etc.] Ketika kamu baru saja bahagia lagi, sesuatu mengharuskanmu berpali... 更多

00 • Mula
01 • Albino
02 • Pertikaian
••• PENTING DEMI KEBERLANGSUNGAN HIDUP CERITA ADEN •••
03 • Sepeda
04 • Studio
05 • Penasaran
07 • Saddaru
08 • Marah
09 • Kelahi
10 • Kaget
11 • Es Krim
12 • Tangis
13 • Duka
14 • Kesal
15 • Kemampuan
16 • Syok
17 • Kaku
18 • Kesepian
19 • Takut
20 • Lidah
• TRAILER OSCILLATE •
21 • Mimpi
22 • Heran
23 • Hell
24 • Rasa
25 • Trap
26 • Muram
27 • Ambigu
28 • Rahasia
29 • Déjà Vu
30 • Perasaan
31 • Deathrow
32 • Demon
33 • Sheriff
34 • Bad News
35 • Sahabat
36 • Lagi
37 • On Fire
38 • Daredevil
39 • Bloody Sakura
40 • Oscillate

06 • Derita

95.6K 12.3K 1.5K
由 radexn

Tepat jam satu lewat empat puluh lima menit, Saddaru baru tiba dan memarkirkan motornya di depan rumah. Ia mematikan mesin motor, melepas helm, dan menyabut kunci dari motor sebelum meninggalkan kendaraan tersayangnya itu.

Dilihat dari celah jendela-jendela, rumah besar di hadapan Saddaru dalamnya gelap, hanya lampu luar yang menyala. Berjalan ke pintu utama yang lumayan besar, Saddaru menyentuh handle dan mencoba membuka pintu. Sayangnya, tak berhasil. Orang-orang di dalam rumah pasti sudah terlelap.

Saddaru yang tak banyak bicara itu hanya mencebik dan memukul permukaan pintu dengan satu tangan. "Babi!"

Sebal, Saddaru akhirnya menggedor-gedor pintu sampai terdengar sangat berisik. Padahal, tombol bel tersedia tepat di samping kiri pintu. Ini bukan yang pertama kali Saddaru pulang pada dini hari seperti ini. Hampir setiap hari Saddaru melakukannya dan berakhir dengan menggedor-gedor pintu seperti ingin ngajak ribut semua orang yang ada di dalam rumah.

Lebih dari sepuluh menit Saddaru berada di luar rumah, menunggu pintu dibuka. Sampai akhirnya yang ia harap pun terwujud. Pintu putih itu bergerak ke belakang dan muncullah figur seorang lelaki dari dalam sana.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Saddaru langsung menerobos masuk ke dalam rumah dan tidak peduli akan kehadiran Garrisco di sana. Bahkan, Saddaru menabrak keras bahu Garrisco sampai adiknya itu mundur secara spontan.

"Bang!" panggil Garrisco seraya berbalik badan dan menatap Saddaru yang berjalan ke arah dapur.

Setelah mengunci pintu, Garrisco kini mengejar Saddaru. Cowok itu terus memanggil sang kakak tapi Saddaru enggan menoleh sama sekali.

"Bang! Lo kebiasaan banget pulang jam segini! Inget waktu, Bang!" seru Garrisco sambil terus mengikuti langkah Saddaru yang kini sudah tiba di dapur.

Garrisco memerhatikan Saddaru yang tengah membuka kulkas, mengambil sekaleng minuman soda dan langsung membuka penutupnya. Kemudian, Saddaru menempatkan diri di kursi seraya meletakkan minuman tadi di atas meja makan.

"Bang," panggil Garrisco lagi ketika tangan Saddaru merogoh saku celana untuk mengambil sesuatu.

"Bang!" Garrisco semakin panas. Apalagi saat Saddaru mengeluarkan sebuah benda kecil yang sangat anti bagi Garrisco.

Beberapa detik setelah mengeluarkan benda tadi, Saddaru mulai menghisap satu ujung benda itu dan mengembuskan asap putih di udara.

Bau rokok yang menyiksa hidung membuat Garrisco berdecak. Ia berkata lagi, "Lo nggak inget apa yang Ayah bilang ke lo? Berenti ngerokok!"

"Nggak." Saddaru menyahut tanpa sedikit pun melirik Garrisco.

"Lo udah gila, Bang? Lo udah terlalu sering nyusahin Ayah Mama dan sampe sekarang lo tetep nggak sadar diri?!" papar Garrisco dengan nada bicara yang meninggi.

Saddaru masih diam, tak ingin terpancing dengan kata-kata yang Garrisco lontarkan untuknya. Walau ucapan anak itu bagai godam yang menampar keras Saddaru, dia tetap mencoba untuk tidak peduli.

"Lo tau Ayah masuk rumah sakit gara-gara apa?" Garrisco bersuara lagi. "Gara-gara lo! Pusing mikirin lo sampe Ayah stroke kayak sekarang!"

Mendengar ujaran yang membuat telinga Saddaru terasa ingin meledak, akhirnya lelaki itu bangkit dari kursi dan berdiri tepat di hadapan Garrisco. Ia mengembuskan asap tepat ke wajah Garrisco, kemudian maju selangkah yang membuat Garrisco refleks mundur.

"Lo ngomong apa tadi?" Saddaru mengangkat dagu, memandang Garrisco dengan kilat mata penuh rasa benci. "Lo bilang gue yang bikin Ayah stroke? Mikir! Ayah emang udah sakit dari lama! Nggak ada hubungannya sama gue!"

"Lo yang harusnya mikir, Bang! Lo harusnya sadar kalo lo penyebab Ayah sakit! Lo selalu bikin Ayah kepikiran sampe depresi dan akhirnya Ayah separah sekarang!" balas Garrisco.

Marah, Saddaru dengan gerakan cepat meremas kerah baju Garrisco sampai cowok itu jinjit karena Saddaru lebih tinggi darinya.

"Lepas!" Garrisco meronta sambil mencoba membebaskan diri dari Saddaru.

"Dari awal gue dateng gue udah berusaha ngehindarin lo karna gue tau lo selalu mancing gue buat marah." Saddaru berkata dengan suara rendah dan tatapannya menghunus retina Garrisco. Ia lalu mengambil napas panjang sebelum melanjutkan. "Lo nyari mati? Mau gue bunuh sekarang? Mumpung kita di dapur. Pisau ada di belakang gue."

Glek. Garrisco tanpa sadar menelan salivanya dengan susah payah dan semakin berusaha melepaskan cengkaram kuat Saddari dari kaus yang ia kenakan.

"Gue cuma pengen lo sadar kalo apa yang lo lakuin itu salah, Bang!" ujar Garrisco dengan wajah yang memerah karena cengkraman Saddaru semakin menggila, membuat kerah baju Garrisco menyempit di leher.

"Hidup gue yang jalanin gue, bukan lo. Nggak usah ikut campur," desis Saddaru.

"Gue cuma mau lo—"

Belum sempat Garrisco menyelesaikan kalimatnya, Saddaru telah berhasil membuatnya bungkam dengan sentuhan maut di wajahnya. Garrisco meringis, menyentuh tulang pipinya yang mati rasa.

Dengan wajah marah, Saddaru menekan bara api rokoknya di permukaan meja makan sampai rokok itu mati. Ia kemudian berbalik badan dan mendekati meja yang berisikan berbagai alat dapur, mencari benda tajam yang tak sabar ingin ia gunakan untuk menyentuh kulit adiknya itu.

"Bang!" Garrisco memekik melihat Saddaru yang berhasil meraih benda tersebut.

Rasa panik semakin menyelimuti Garrisco saat Saddaru jalan menghampirinya. Sekarang, kakaknya itu terlihat seperti iblis.

"Bang, sadar!" Garrisco kepalang panik. Matanya juga berkaca-kaca, tidak menyangka Saddaru akan bersikap semenyeramkan itu padanya.

Entah setan apa yang merasuki Saddaru sampai ia kehilangan kendali seperti itu. Tak peduli dengan wajah super takutnya Garrisco, cowok itu terus mendekat dan makin mendekat.

Sekarang, Garrisco telah keluar dari dapur dan mencoba untuk kabur. Saddaru yang hendak mengejarnya mendadak langkahnya terhenti saat dirinya menabrak tubuh seseorang. Pisau yang biasa digunakan untuk memotong sayuran itu hampir saja menyentuh perut wanita yang ditabraknya tersebut.

"Ah!" ringis Irene spontan dan langsung menyentuh perutnya itu. Ia semakin kalap saat ia melihat apa yang ada di genggaman Saddaru.

"Ya Tuhan, Saddaru!" Mata Irene membulat, terkejut dengan apa yang ia lihat.

Saddaru terpaku di tempat. Matanya masih terus menguntit pergerakan Garrisco yang kini berjarak beberapa meter jauh darinya. Irene yang panik itu segera meraih pelan-pelan pisau itu dari tangan Saddaru.

"Lepas, Dar," pinta Irene, suaranya sedikit getir.

"Nggak." Saddaru lantas menggerakan tangannya ke belakang, menyembunyikan pisau itu di balik punggungnya.

"Kamu mau apain Isco?" Sekarang, mata Irene mulai berkaca-kaca. "Jangan main pisau. Bahaya, Sayang!"

"Diem." Tatapan tajam Saddaru kini berpindah ke Irene.

Irene hanya bisa menyentuh dadanya, juga melindungi perutnya yang lumayan besar itu. Saat Saddaru kembali bergerak untuk menghampiri Garrisco, Irene berusaha menahan anak itu, tapi sayang Irene tak mampu.

"Saddaru!" Irene hampir menangis.

Untungnya, seseorang datang dan mencegah pergerakan Saddaru. Juga dengan gerakan cepat dia menghempaskan pisau tadi dari tangan Saddaru.

"Mas, jangan! Ya Allah, bahaya, Mas!" seru Idah, wanita yang merupakan asisten rumah tangga keluarga Saddaru.

Ingin rasanya Saddaru melayangkan pukulannya pada siapapun yang menghalanginya. Tapi, Idah yang terus memohon padanya untuk membuat Saddaru menahan keinginannya tadi.

Garrisco yang awalnya berlari menghindari Saddaru, sekarang berhenti dan menoleh untuk melihat apa yang terjadi. Dengan kesempatan ini, Garrisco memilih untuk masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Walau sebenarnya ia khawatir dengan keadaan Irene yang tentu sangat ketakutan akan sikap garang Saddaru. Tapi, Garrisco takut Saddaru makin menggila kalau dia menghampiri Irene sekarang. Karena posisi Irene ada di dekat Saddaru.

"Saya mohon, Mas, jangan!" pinta Idah, memohon agar Saddaru berhenti mengejar Garrisco.

Perlu waktu banyak untuk meredam amarah Saddaru. Dia melirik sinis Idah, kemudian Irene, lalu beranjak dari tempat ke arah pintu utama rumah. Anak itu membuka pintu tanpa menutupnya kembali dan menghampiri motornya yang terparkir halaman.

Pikiran Saddaru amat kacau sekarang. Mood-nya yang sejak tadi tidak baik kini semakin memburuk. Dia menyalakan mesin motor dan melajukan motornya tanpa tujuan yang jelas.

• • 🌸 • •

Sebenarnya, Saddaru tidak akan semenyeramkan itu bila Garrisco berhenti mengusiknya. Sayang, Garrisco sulit mengerti perasaan kakaknya itu. Dia hanya melontarkan apa yang ingin ia katakan tanpa berpikir bahwa ucapannya mampu memberi efek fatal bagi Saddaru.

Bukan hanya Garrisco, tapi hampir semua orang yang memiliki hubungan dengan Saddaru sulit memahami apa yang cowok itu rasakan.

Dini hari seperti ini bukan hal menyeramkan bagi Saddaru untuk berkunjung ke tempat sepi yang berisikan berbagai nisan dengan ukiran nama yang berbeda-beda. Hanya ada beberapa lampu yang sedikit remang sebagai penerangan tempat ini.

Tanpa membawa bunga ataupun air mawar, Saddaru mengunjungi sebuah makam yang menjadi tempat peristirahatan terakhir seseorang yang amat sangat ia cintai.

Sunyi, seram, ditambah semilir angin dingin yang menusuk kulit, Saddaru terus berjalan memasuki area pemakaman hingga langkahnya berhenti di sebuah makam cantik yang ia cari.

Saddaru berjongkok di sisi kanan makam, memandang lembut nisan yang terpasang di sana. Tatapan selembut itu sangat jarang Saddaru berikan pada orang lain. Hanya orang-orang tertentu yang bisa merasakannya.

Perlahan Saddaru menunduk, matanya terpejam, dan deru napasnya terdengar berat. Satu tangannya menyentuh rumput pendek yang menghiasi makam itu, dan yang satu lagi menyentuh wajahnya.

Kening Saddaru mengerut, bibirnya tertutup rapat dengan gigi atas menggigit bibir bawah, dan ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis.

Bahunya kini mulai bergerak naik turun secara perlahan dan air mata itu turun walau tidak banyak. Saddaru tak kuasa mengeluarkan suara. Ia terlihat begitu emosional sekarang.

Sampai beberapa menit berlalu, Saddaru akhirnya kembali menengadah dan menatap makam di hadapannya itu. Ia mengusap nisannya, membaca sederet nama yang terukir jelas di sana.

"Bunda, maaf, Daru kecewain Bunda." Dia berucap lirih.

"Daru belom bisa terima semuanya, Daru nggak bisa ...," lanjutnya.

Masih terus menatap nisan itu, Saddaru mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Napasnya terengah, kepalanya juga terasa begitu pening. Wajahnya yang lelah itu menambah kemalangan yang dideritanya.

"Daru nggak suka Irene, Daru maunya Bunda," ungkap Saddaru pilu.

"Maaf kalo sikap Daru bikin Bunda sedih. Daru nggak tau harus gimana lagi. Daru capek, Bun," lirih Saddaru.

Kesendirian Saddaru tak berangsur lama. Tanpa diduga, seseorang datang menghampirinya dengan sedikit tergesa-gesa. Kehadiran orang itu jelas mengejutkan Saddaru.

Beranjak dari posisi jongkok, Saddaru kini berdiri dan menghadap orang tadi. Kalau Saddaru masih dalam keadaan marah, mungkin orang itu akan ia usir sekarang juga.

"Lo ngapain jam segini kemari? Lo kenapa sih, Man?" Alan yang terlihat begitu khawatir.

Saddaru tak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke lain arah, memutuskan kontak matanya dengan Alan.

"Garrisco tadi nelpon gue. Dia bilang lo abis ngamuk, mainin pisau, dan bikin nyokap lo hampir celaka." Alan berujar. "Apa sih yang ada di otak lo sampe lo keluar jalur gitu? Sebenci itu lo sama keluarga lo sendiri, sampe lupa diri?"

Tidak suka dengan situasi seperti ini, Saddaru mengacak rambutnya sambil mendesah keras seperti orang frustrasi.

Walau hubungan Saddaru dan Alan hanyalah sahabat, tapi ikatan mereka bagaikan saudara. Alan selalu bisa menjadi kakak yang baik untuk Saddaru di saat Saddaru membutuhkan sosok seperti itu.

"Ayo, balik. Lo tidur di rumah gue aja. Kalo lo pulang ke rumah lo, gue yakin lo bakal ngamuk lagi." Alan berujar seraya menyeret Saddaru untuk pergi dari tempat ini. Tapi, Saddaru malah bergerak lambat seakan bimbang untuk ikut Alan atau menetap di makam ibunya.

"Cepet, Dar, gue ada kelas jam delapan! Gue perlu tidur." Alan berucap tegas.

Untuk kali ini, Saddaru tak banyak protes dan memilih untuk menurut.

• • • • •

yash double update!!! COMMENT YAAAA YANG BANYAK 💜💜💜

👆🏻 bang daru yang tadi abis kesetanan 👆🏻

– Raden si pelaut tut tut👩🏻‍🍳

繼續閱讀

You'll Also Like

2.7K 616 58
[VAMPIR] [Tamat] [13+] "Aku mencintai salah satu jenis dari mereka yang disebut vampir. Makhluk rupawan yang memiliki bentuk tubuh seperti malaikat...
13.7K 1.6K 11
Gadis berusia 18 tahun dikenal karena sifat sosiopatnya yang langka dan hanya ada satu di SMA Erudite, Nayanika Ilunga namanya. Gadis cantik tetapi...
1.8M 104K 20
Menikah diusia muda dengan sahabat sendiri? Hal itu tak pernah dibayangkan oleh Ara sebelumnya. Leo-orang yang ia percaya akan menjaganya, malah mela...
MARSELANA 由 kiaa

青少年小說

985K 53.3K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...