Oscillate #1: The Big Secret

By radexn

4.1M 481K 216K

[available on bookstores; gramedia, etc.] Ketika kamu baru saja bahagia lagi, sesuatu mengharuskanmu berpali... More

00 • Mula
01 • Albino
02 • Pertikaian
••• PENTING DEMI KEBERLANGSUNGAN HIDUP CERITA ADEN •••
04 • Studio
05 • Penasaran
06 • Derita
07 • Saddaru
08 • Marah
09 • Kelahi
10 • Kaget
11 • Es Krim
12 • Tangis
13 • Duka
14 • Kesal
15 • Kemampuan
16 • Syok
17 • Kaku
18 • Kesepian
19 • Takut
20 • Lidah
• TRAILER OSCILLATE •
21 • Mimpi
22 • Heran
23 • Hell
24 • Rasa
25 • Trap
26 • Muram
27 • Ambigu
28 • Rahasia
29 • Déjà Vu
30 • Perasaan
31 • Deathrow
32 • Demon
33 • Sheriff
34 • Bad News
35 • Sahabat
36 • Lagi
37 • On Fire
38 • Daredevil
39 • Bloody Sakura
40 • Oscillate

03 • Sepeda

140K 15.3K 2.1K
By radexn

Pagar tinggi itu tertutup secara otomatis tepat setelah mobil Sakura masuk ke halaman rumah. Usai memarkirkan mobil, anak itu cepat-cepat keluar dan berlarian ke dalam rumah.

Seperti biasa, keadaan rumahnya selalu sepi karena kedua orang tuanya sibuk bekerja, serta kakaknya harus berkuliah sampai sore nanti.

Suasana seperti ini selalu Sakura rasakan tiap hari. Lebih parahnya dulu, sebelum Sakura bersekolah di sekolah umum. Ia stay di rumah full dari pagi hingga malam, benar-benar di rumah, tidak ke mana-mana. Kegiatannya hanya menunggu guru privatnya datang mengajar, makan, tidur-tiduran di kamar, nonton televisi, atau sesekali ia menghabiskan waktu di taman belakang rumah dengan bermain di tepi kolam renang.

Sakura selalu sendiri tanpa seorang teman.

Dengan berjalannya waktu, kesendirian Sakura menjadi lebih baik ketika ayahnya membelikannya seekor anak anjing yang lucu dan menggemaskan. Sakura menamainya Hipu.

Hitam, kecil, lembut bulunya, dan tentu sangat lucu. Sakura begitu sayang pada Hipu dan ia tak akan siap bila sewaktu-waktu Hipu hilang bahkan pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Melihat Sakura datang, salah satu asisten rumah ini menghampiri sambil berlarian kecil. "Neng! Akhirnya pulang, Mbak khawatir, tau!"

Sakura mengulas sebuah senyuman melihat Dini, lalu membalas ucapan wanita yang usianya baru memasuki angka dua puluh tujuh itu. "Khawatir kenapa, Mbak? Sakura baik-baik aja."

"Ih, Mbak takut Neng Sakura diisengin sama anak-anak sekolahan. Kan, Neng anak baru. Takutnya dijadiin sasaran anak-anak bandel," ujar Dini.

Sakura menggeleng. "Nggak, kok, Mbak."

"Ya udah, bagus kalo gitu. Lagian, tampang sebening Neng mana ada yang berani isengin, kan? Yang ada mereka langsung pada jatuh cinta!" Kini, Dini tersenyum lebar dan semakin terlihat ceria —seperti biasa.

Diam-diam, Sakura menghela napas berat. Ia jadi teringat kejadian di kelas tadi ketika beberapa murid mengejeknya karena fisiknya yang serba 'putih' seperti ini.

"Neng Sakura udah makan? Mbak masakin makanan kesukaan Neng, lho!" Ucapan Dini membuat Sakura tersadar dari lamunan singkatnya.

"Yay! Ya udah, Sakura mau langsung makan, ya!" seru Sakura yang kemudian meninggalkan Dini ke dapur.

Sambil berjalan memasuki dapur, Sakura berseru lantang pada Dini yang berjarak lumayan jauh darinya, "Hipu udah makan, Mbak?!"

"Udah, Neng! Dia di taman belakang sekarang!" sahut Dini, setengah teriak juga seperti yang tadi dilakukan Sakura.

Mendengar itu, Sakura merasa lega. Kini ia bisa makan dengan tenang tanpa diganggu pikiran tentang Hipu yang sudah makan atau belum. Karena Hipu ia anggap seperti bayinya sendiri. Kalau Hipu belum makan, pasti Sakura pusing mendadak.

Baru saja Sakura menempatkan diri duduk di kursi meja makan, ponsel di saku roknya tiba-tiba berdering serta bergetar yang membuatnya hampir terlonjak karena kaget.

Cepat-cepat Sakura merogohnya, melihat nama penelepon di layar dan langsung mengangkat panggilan itu.

"Sakura!"

Suara Mama mendadak nyaring dan nadanya hampir membentak, tidak seperti saat ia menelepon Sakura ketika di sekolah tadi.

"Ya, Ma?" Sakura agak panik mendengar nada bicara Mama.

"Kamu bohongin Mama, ya!" seru Lira, mamanya Sakura.

"Bohongin apa?" Suara Sakura merendak, ia semakin ketakutan. Sambil bicara pun ia berpikir-pikir tentang apa yang telah ia lakukan sehingga Lira berucap seperti itu.

"Kamu tadi bilang ke Mama kalo kamu baik-baik aja di sekolah! Tapi, nyatanya kamu pingsan, kan?!" celetuk Lira, terdengar adanya rasa kecewa bercampur khawatir terhadap sang anak.

"Ngg ...." Sakura berdengung, bingung ingin berkata apa, karena sebelumnya ia tak pernah berbohong seperti ini pada Lira.

"Sakura!" panggil Lira lagi. "Kamu juga bohongin Mama! Kamu seharian nggak masuk kelas, kan? Kamu kabur sama anak lelaki! Iya, kan?!"

Sakura diam, tidak menyahut. Ia hanya menunduk dan jantungnya berdebaran sangat cepat, serta wajah dan matanya memanas. Ia seperti ingin menangis.

"Kamu baru hari pertama sekolah udah bikin masalah. Kenapa kamu kayak gini? Kenapa bohongin Mama, Sakura?!" lanjut Lira.

Menarik napas dalam-dalam, Sakura mengembuskannya perlahan agar jiwanya tenang. Dengan berusaha tegar dan tak menitikan sebutirpun air mata, Sakura mulai bicara pada Lira.

"Sakura nggak ada maksud bohongin Mama ... Sakura cuma nggak mau bikin Mama panik, karna Sakura tau Mama harus fokus kerja ...." tutur Sakura begitu lirih.

"Nggak ada yang lebih penting dibanding keluarga, apalagi anak!" balas Lira.

Sakura lagi-lagi terdiam. Tanpa sepengetahuan Lira, anaknya itu kini menangis tanpa suara. Ya, hati Sakura memang sehalus itu. Dibentak dikit saja dia akan langsung sedih, apalagi dimarahi oleh ibunya sendiri.

Setelah beberapa saat terdiam, Sakura pun mulai bersuara lagi. "Maafin Sakura. Dadah, Ma."

Usai berucap seperti itu, Sakura mematikan sambungan telepon, menghapus jejak air mata dan menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Selera makannya hilang seketika, membuatnya tak berminat lagi untuk makan. Alhasil, Sakura meninggalkan dapur ke kamarnya yang berada di lantai atas.

Melihat Sakura yang keluar dari dapur, Dini jadi bingung. Tapi, ketika ia lihat wajah Sakura yang tidak secerah tadi, Dini mengurungkan niatnya untuk bertanya karena takut mengganggu.

• • 🌸 • •

Sakura tertidur dengan seragam yang masih melekat di badannya. Mungkin ia kelelahan sehabis melanjutkan acara nangisnya hingga beberapa menit lamanya. Sakura memang seperti itu. Bila ia melakukan kesalahan, pasti ia akan menangis karena menyesalinya.

Lagian ... Sakura capek selalu diberi perhatian berlebih yang membuatnya tidak bebas melakukan sesuatu yang disukainya. Dikit-dikit larangan, dikit-dikit omelan, semua itu membuat Sakura merasa dirinya seperti robot yang hanya boleh melakukan aktivitas tertentu alias terbatas.

Sakura juga tidak tahu apa alasan yang membuatnya selalu dilarang panas-panasan, atau lebih tepatnya terkena sinar matahari secara langsung. Itu membuat Sakura tidak bisa main di luar rumah kecuali malam, itupun hanya sekitaran rumah, tidak boleh jauh-jauh.

Gadis itu merasa hidupnya tidak menyenangkan.

"Mmh...." Sakura melenguh dan menggerakan badannya untuk meregangkan otot-otot yang tegang. Ia membuka mata dan menyadari di luar jendela sudah gelap, alias ini sudah malam.

Dilihatnya jam yang menempel di dinding, menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Segera Sakura bangkit meninggalkan kasur dan ngibrit ke kamar mandi.

Beberapa menit berlalu, Sakura kini telah berganti pakaian menjadi setelan rumahan. Rambutnya sudah ia keringkan dan wajahnya telah ia poles bedak tipis serta liptint.

Rencananya Sakura ingin main ke luar rumah bersama Hipu. Maka, sekarang Sakura cepat-cepat pergi ke lantai bawah untuk menjemput Hipu.

"Hipu, Hipu!" panggil Sakura yang kemudian disambut heboh oleh makhkuk kecil berbulu hitam yang kini berputar-putar di dekat kaki Sakura.

Seperti biasa, Sakura menggendong Hipu. Ia berjalan ke pintu utama rumah sambil berbicara dengan nada yang lucu pada Hipu. Entah Hipu mengerti bahasa Sakura atau tidak.

"Sa, mau ke mana?" Suara berat itu mengejutkan Sakura.

Lantas ia menoleh ke belakang, mendapati seorang lelaki berdiri di sana sambil mengunyah sesuatu di mulutnya, yang diyakini burger karena di tangan lelaki itu ada sebuah burger ukuran besar.

"Main," jawab Sakura.

"Jangan jauh-jauh!" pesan lelaki bernama Nolan itu.

Sakura tidak menyahut. Ia kembali menghadap ke depan dan melanjutkan perjalannya keluar dari rumah. Setelah memijak lantai luar rumah, Sakura menurunkan Hipu dari gendongannya dan bukannya senang karena diajak jalan-jalan keluar rumah, Hipu malah lari masuk lagi ke rumah.

"Lho, Hipu!" seru Sakura, memanggil. Ia hendak mengejar Hipu, tapi tidak jadi dan memilih untuk jalan-jalan sendirian.

"Jalan atau naik sepeda, ya?" gumam Sakura.

Ia sempat berpikir beberapa sekon lamanya, sampai akhirnya pilihannya terjatuh pada opsi ke dua. Naik sepeda. Segera ia pergi ke garasi untuk mengambil sepeda putih miliknya, yang jarang ia gunakan. Karena sehari-harinya Sakura menggunakan mobil, atau hanya berjalan kaki bila ingin menikmati udara malam.

• • 🌸 • •

Sakura terlihat begitu menikmati dinginnya angin malam. Jaket yang ia kenakan seakan tidak mempan untuk menepis sentuhan dingin yang membuat bibirnya gemetaran. Tapi, Sakura senang. Malah sekarang ia tersenyum lebar dan wajahnya terlihat sangat cerah.

Sayangnya, senyuman itu perlahan pudar saat Sakura merasakan kayuhan pada pedal sepeda terasa sangat berat. Panik, Sakura segera turun dari sepedanya dan memeriksa kedua ban sepeda.

Sial.

Ban belakang kempes dan begitu terlihat mengenaskan. Sakura semakin terlihat panik karena di sekitarnya sangat sepi serta minim lampu penerang jalan. Ia juga baru sadar ternyata ia sudah pergi dengan jarak yang jauh dari rumah.

"Ah, gimana, nih?" Sakura bingung.

Kepanikannya makin bertambah karena dirinya sengaja tidak membawa ponsel agar tak diganggu oleh siapapun. Dan sekarang Sakura menyesal karena tidak membawanya.

Tidak ada pilihan lain. Sakura menuntun sepedanya dan mempercepat langkahnya untuk membawa sepeda itu ke tepi jalan. Sakura mencari bengkel yang ada di dekat-dekat sini, berharap ia menemukannya.

"Tin!"

Suara klakson membuat Sakura menoleh, tepat ke sebuah motor yang ada di belakangnya. Sinar lampu motor itu menyorot tajam ke wajah Sakura, membuat matanya menyipit seketika.

Kini, motor itu berganti posisi jadi tepat ke samping kiri Sakura. Sakura meluruskan pandangannya ke depan dan berusaha untuk tidak menoleh ke dua lelaki yang ada di motor itu.

"Cewek," sapa salah satu lelaki dengan genit.

Ya Tuhan, tolongin Sakura, batin Sakura berseru.

"Sombong banget, sih. Nengok, dong! Kamu cantik, deh," lanjut lelaki yang lain.

Karena tidak mendapatkan respon yang baik dari Sakura, akhirnya dua lelaki itu kesal dan dengan kasarnya satu dari mereka menendang ban belakang sepeda Sakura hingga Sakura hampir oleng dibuatnya.

"Heh!" Sakura menghardik.

"Dasar, sok cantik! Muka sama rambut serem aja belagu," cibir lelaki yang duduk di belakang.

Sakura membulatkan matanya, nampak bingung. Tadi ia dipuji cantik, sekarang diejek.

"Jangan-jangan lo titisan kunti, ya!" seru lelaki yang mengemudi motor.

Sakura tidak membalas hinaan itu. Ia diam, sampai dua lelaki kurang ajar itu pergi meninggalkannya dengan kecepatan tinggi.

Sakura menarik napas dalam-dalam, dan berusaha menghilangkan kalimat menyebalkan itu dari benaknya. Kalau tidak, ia pasti akan bersedih.

"Tin!"

Untuk yang ke dua kalinya, suara klakson memasuki telinga Sakura. Kali ini ia tak mau menoleh. Ia sudah cukup sakit hati dibuat dua lelaki tadi.

"Tin!" Lagi, klakson itu berbunyi.

"Tin, tin, tin!"

"Kok nyebelin, sih." Sakura menggerutu mendengar suara berisik klakson itu. Tapi, ia tetap tidak mau menoleh. Ia tahu pasti di belakangnya ada orang iseng sejenis dua laki-laki tadi.

Seperti kejadian tadi, motor itu bergerak maju agar setara dengan langkah Sakura yang menuntun sepeda. Lalu, si pemilik motor menghentikan laju motornya, tapi Sakura tak berhenti. Ia masih parno.

Secepat kilat cowok itu melepas helm dan menyerukan nama Sakura yang terlihat terburu-buru. "Sakura!"

Turun dari motor, cowok itu menghampiri Sakura dan menahan sepeda itu agar Sakura sulit menggerakannya. "Tunggu bentar." Cowok itu berucap.

Menyadari siapa cowok di sampingnya itu, pupil mata Sakura membesar seketika. "Saddaru?"

"Iya, ini gue. Lo kenapa panik gitu, sih?" celetuk cowok tadi.

"Aku kira kamu temennya cowok-cowok tadi," kata Sakura.

Mengernyit, Saddaru bertanya. "Cowok-cowok yang mana?"

"Itu ... tadi ada dua cowok gangguin aku. Masa aku dikatain, katanya aku titisan kunti," adu Sakura.

"Mana orangnya?" Wajah Saddaru kini terlihat serius.

"Udah pergi, ngebut." Sakura membalas. "Terus, kamu kenapa bisa ada di sini?"

"Gue mau ke temen," jawab Saddaru, "rumah lo di deket sini?"

"Iya, lumayan."

Saddaru mengangguk paham. Lalu pandangannya beralih pada sepeda yang sedaritadi Sakura tuntun. "Nggak ada bengkel di deket sini."

"Serius?!" Sakura terlonjak.

"Lah, lo orang baru? Masa nggak tau daerah sini?" heran Saddaru.

"Aku jarang keluar rumah," ucap Sakura.

"Oh? Bengkel adanya di depan sana, lo harus jalan sekitar lima belas menit biar sampe sana." Saddaru berujar. "Sanggup emangnya? Yang ada lo pingsan kayak di sekolah."

"Kamu jangan ejek aku." Sakura sedikit cemberut.

"Siapa yang ngejek? Kan kenyataan." Saddaru menahan tawa. "Ya udah, jadinya mau gimana? Mau gue anter pulang pake motor gue?"

"Terus, sepeda aku gimana?" Sakura menatap sepedanya yang malang itu.

"Tinggalin di sini," jawab Saddaru begitu enteng.

"Kalo ilang gimana ...," melas Sakura.

"Derita lo lah," sahut Saddaru.

Sakura mencebik sambil melirik sinis Saddaru. Cowok itu masih anteng berdiri di sana, padahal dirinya sudah ditunggu oleh para temannya untuk ngumpul seperti biasa.

Setelah sama-sama diam, akhirnya Sakura bicara. "Aku pinjem hape kamu, dong. Ada pulsanya, nggak?"

"Ada." Saddaru menjawab seraya mengambil ponsel dari saku jinsnya. Ia menyerahkan ponsel itu pada Sakura dan membiarkan cewek itu mengutak-atiknya.

"Aku pinjem buat telpon Abang, ya?" izin Sakura yang Saddaru balas dengan sebuah anggukan.

Sambil menunggu Sakura bertelepon dengan Nolan, Saddaru beranjak dari tempat untuk menghampiri motornya. Ia mengubah posisi helm ke atas jok, karena sebelumnya helm itu bergelayut di kaca spion.

Tak lama kemudian, Sakura memanggilnya sembari mengembalikan ponsel. "Makasih, ya. Abang aku lagi jalan ke sini."

Saddaru tidak merespons. Ia mengecek ponselnya, melihat ada pesan dari beberapa temannya yang memintanya untuk segera datang ke sana.

Bertepatan dengan itu, sebuah panggilan telepon masuk. Saddaru mendiamkannya sebentar sebelum mengangkatnya.

"Sabaran dikit, gue lagi ada urusan penting. Sekali lagi nyuruh gue buru-buru, gue ancurin motor lo semua," ketus Saddaru.

"Ya Allah, ampun, Saddaru! Belom apa-apa udah ngegas. Yaudah, iya, ditunggu ya!"

Mendengus, Saddaru langsung mematikan sambungan telepon itu. Ia pun mengembalikan posisi ponselnya ke dalam saku celana.

"Kamu ditunggu, ya? Sana gih, kasian mereka nungguin." Sakura berucap.

"Di sini sepi. Lo mau digangguin cowok-cowok kayak tadi?" Saddaru menatap Sakura begitu lekat, membuat Sakura harus berkedip beberapa kali agar tak terhipnotis tatapan cowok di hadapannya itu.

"Nggak," kata Sakura.

"Ya udah, gue temenin sampe abang lo dateng." Saddaru menyahut begitu santai.

Sakura merasa tersanjung akan ucapan Saddaru. Rasanya ia ingin melayang ke angkasa.

"Akhirnya kamu nggak jahat lagi." Sakura tersenyum, mengingat kelakuan Saddaru di sekolah ketika ia membentak seorang murid dan juga ngajak berantem Garrisco.

"Hmm, terserah," dengus Saddaru.

• • • • •

YAY BAB 3 KELAR!!!

Wahai kalian semua yang udah baca, jangan lupa SPAM COMMENT FOR NEXT CHAPT!👼🏻👼🏻👼🏻

love love dari Saddaru!

sampai jumpa lagi di chapt berikutnya!
— Raddaru (Raden-Saddaru)

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 90.3K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
24.1M 1.7K 2
#5 in kisahsma, 5 Januari 2020 #3 in fakelove, 10 Januari 2020 #1 in psycopath, 14 Januari 2020 #2 in teenfiction, 20 Januari 2020 #2 in ngakak, 21...
385 148 5
kamu amerta dalam aksara ku. start : des 27, 2023
524K 25.8K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...