[Para] Tentara Langit

By DHoseki

44.2K 8K 3.2K

Kalian bisa pergi dari tempat itu. Tetapi dengarlah, kalian tidak akan mudah untuk kembali. Dan kalian datang... More

Bagian 1 - Sang Tuan Putri
1.1
1.2
1.3
Bagian 2 - 'Predator'
2.1
2.2
2.3
Bagian 3 - Gadis Jepang
3.1
3.2
3.3
Bagian 4 - Fisikawan Gila
4.2
4.3
Bagian 5 - Zeebonia
5.1
5.2
5.3
Bagian 6 - Perompak
6.1
6.2
6.3
Bagian 7 - Bocah Akhir Jaman
7.1
7.2
7.3
Acacio Academy
001- Acacio Academy
002 - Acacio Academy
003 - Acacio Academy
004 - Acacio Academy
005 - Acacio Academy
006 - Acacio Academy
007 - Acacio Academy
008 - Acacio Academy
009 - Acacio Academy
010 - Acacio Academy
011 - Acacio Academy
012 - Acacio Academy
013 - Acacio Academy
Pojok Cerita

4.1

760 178 55
By DHoseki

“Ini gila!”

“Jaac, dari mana?” Bon bergegas mengikuti Jaac yang berjalan cepat dan dengan tak acuh melalui dirinya begitu saja, tampak berantakan dan tidak karuan. Keduanya keluar dari lorong berdinding alumunium, tiba di salah satu jembatan-jembatan transparan yang bermuara pada lantai bening yang luas, tempat kantin berada. Di bawah mereka, alat-alat elektronik yang masih dalam tahap percobaan tampak semrawut memenuhi aula lantai satu, dan alat-alat lainnya tampak terbang bersliweran—itu juga masih uji coba.

“Mana Areta?” gumam Jaac, masih tidak menghiraukan keberadaan Bon yang berusaha membersamai langkahnya.

“Jaac!”

Jaac dan Bon berhenti saat terdengar suara seorang perempuan yang mereka kenal. Perempuan itu berlari mendekat, kemudian menyerahkan sebuah sebuah suntikan yang terisi cairan. “Ini bius yang kamu mau,” katanya.

Jaac langsung menyambar benda itu, menyuntikkannya ke pergelangan tangan kirinya. Dia lalu mengeluarkan sebuah pisau kecil, membuka kulitnya sendiri, mengambil chip di sana, kemudian menjatuhkannya, menginjaknya hingga muncul listrik dan membuat chip itu gosong.

“Jaac! Apa-apaan?!” seru Bon. Sementara Areta segera menarik tangan kiri Jaac, memekik tertahan.

“Kamu membukanya terlalu dalam. Oh, sial.” Areta bergegas menyentuh pergelangan tangan kiri tempat chipnya tertanam, memuncul semacam layar hologram kecil di telapak tangannya. Perempuan itu segera memberi perintah kepada robot yang sudah dia tandai agar segera datang.

“Jaac, kamu sudah tidak waras?!” Bon menarik bahu Jaac, membuatnya berbalik sehingga keduanya berhadapan.

“Aku?! Tidak waras?! Tanyakan saja pada ayahku! Kenapa dia membuatku repot-repot datang ke gedung astronomi divisi tiga bagian barat hanya untuk memintaku menghitung jejak radar yang berhasil mereka rekam?! Aku ini fisikawan! Fisika! Kenapa aku harus ikut-ikutan dengan misi konyol mereka menghitung kecepatan cahaya dari ledakan bintang yang aku bahkan tidak tahu apa namanya?!” sembur Jaac dengan mata penuh emosi.

Earphone yang terpasang di daun telinga Jaac tiba-tiba berkedip dan terdengar suara bunyi bip. Bola mata Jaac bereaksi, bagian luar korneanya berputar setelah menyala biru, kemudian dari pupil, muncullah hologram biru di hadapan Jaac dan menampakkan sesosok laki-laki.

Halo, Jaac. Apa kabar? Sedang sibuk? Kami butuh bantuan.”

Jaac menggeram. “Aku tidak tertarik pergi ke belahan bumi lain!” teriaknya, lalu melepas earphone di telinga, juga segera mengeluarkan softlens yang melapisi bola matanya. Laki-laki itu mengembuskan napas kesal, memutar bola mata, tampak menahan amarah.

Suara bip pelan yang terdengar di telinga Bon membuat Bon segera mengejapkan mata. Setelah softlens-nya otomatis memulai sistem, muncul sosok Profesor Tanaka dalam layar hologram milik Bon, membuatnya segera menunduk untuk memberi salam.

Kenapa Jaac tidak bisa dihubungi?” tanya Profesor Tanaka tanpa basa-basi.

“Katakan pada tua bangka yang satu itu kalau aku sudah muak!” Salah satu tangan Jaac bergerak cepat memotong layar hologram di depan wajah Bon, membuat sang kawan tersentak. Layar hologram kacau sesaat, sebelum kemudian tertata ulang dengan cepat.

“Err, maaf, Prof. Sepertinya Jaac sedang emosi sekarang ini,” kata Bon sembari menggigit bibir. Beruntung dia selalu mematikan fitur yang membuat orang lain bisa ikut terlibat dalam obrolannya, membuat Profesor Tanaka tidak perlu mendengar ucapan mengerikan yang baru saja Jaac lontarkan. Bon melirik, menatap pemuda itu yang kini tengah marah-marah dengan Areta yang berusaha mengobati luka di tangan Jaac setelah sebuah robot terbang mendekat.

Ck, bocah tengil itu. Katakan padanya untuk segera kembali setelah makan siang. Kepalaku bisa meledak kalau dia tidak juga segera datang.

Bon tertegun saat Jaac tiba-tiba menoleh, menatap dirinya dengan pandangan tajam.

“Aku berdoa agar kepalamu benar-benar meledak! Dengan begitu aku akan hidup tenang selama-lamanya!” seru Jaac, kemudian melenggang pergi bersama Areta memasuki area kantin.

Untuk sesaat, Bon mengira ucapan itu ditujukan untuknya, sebelum dia sadar bahwa yang dimaksud dalam perkataan Jaac adalah Profesor Tanaka. Bon cepat-cepat mengembalikan fokus. Setelah mengiyakan saja permintaan profesor dan mohon undur diri, dia segera menutup panggilan. Laki-laki itu kemudian berlari, mengejar Jaac dan Areta yang  belum jauh dari pandangan.

Baru akan menyebut nama Jaac untuk bertanya apa yang telah membuatnya begitu emosi, Areta sudah lebih dulu mendelik, memperingatkan Bon agar tidak berkata macam-macam. Jaac sendiri tampak terus menggerutu di sepanjang jalan, bahkan hingga mereka duduk di sekitar meja bundar dari kaca tipis dengan kursi-kursi tanpa sandaran yang mengambang, satu set dengan meja bundar. Medan elektromagnetik antara kursi dengan meja yang tidak terlalu kuat membuat kursi-kursi itu tidak bisa dibawa terlalu jauh.

Areta segera menghidupkan meja bundar, membuat kacanya yang bening menampilkan berbagai menu yang tersedia. Setelah membiarkan Jaac dan Bon juga dirinya sendiri memilih, dia mengirimkan pesanannya dengan menekan tombol order yang tersedia, kemudian membuka artikel-artikel setelah menghubungkan meja bundar dengan chip di pergelangan tangan.

“Areta, bahkan kamu masih bekerja ketika makan siang?” kata Jaac sinis.

Areta mengangkat salah satu alis. “Ya. Ada masalah? Bukankah kamu juga biasanya begitu?” katanya tak kalah sinis.

Jaac mendengkus. Dia meletakkan kepalanya ke lengan yang dia jadikan sandaran di atas meja, terus menatap sinis ke arah Areta yang memilih untuk mengabaikannya. Hingga sebuah robot datang, membawa nampan berisi minuman. Jaac segera mengambil kaleng pesanannya sementara Areta dan Bon juga melakukan hal yang sama.

“Tunggu. Kamu minum alkohol?” Bon yang baru saja akan minum, mendadak mendelik ke arah kaleng yang digenggam Jaac.

Areta yang sudah menenggak air langsung tersedak, terbatuk-batuk sambil menatap Jaac dengan tidak percaya.

“Kamu minum alkohol?!” tanya Areta syok.

Jaac mengangkat bahu. “Ya, kenapa? Biasanya kalian juga minum ini.”

“Tapi kamu tidak biasa! Ini pertama kalinya kamu minum alkohol, bukan? Kenapa harus alkohol? Ini masih jam kerja,” kata Bon.

“Aku hanya ingin sedikit mabuk, apa salahnya?!” Jaac tiba-tiba kembali emosi, mengerutkan keningnya dengan cepat. Bon dan Areta hanya mampu saling pandang, kemudian dalam diam saling setuju untuk membiarkan Jaac selama beberapa saat.

Robot lain datang tidak lama kemudian, membawakan nampan berisi tiga buah mangkuk steril sekali pakai yang berisi makanan. Setelah ketiganya menghabiskan makanan itu dalam diam, Bon melirik ke arah Areta sekali lagi, meminta persetujuan untuk mengajak Jacc berbicara.

Tapi Areta hanya memundurkan tubuhnya hingga bersandar ke punggung kursi yang otomatis muncul karena gerakannya. Dia melipat tangan dan mendahului Bon untuk berbicara dengan Jaac.

“Jadi, mau ceritakan apa yang terjadi?” tanya perempuan itu tenang. Dia sudah cukup lama mengenal Jaac, jauh lebih lama dari pertemanan Bon-Jaac yang sudah berlangsung kurang lebih lima tahun. Dia cukup paham bagaimana menangani Jaac.

Jaac mengembuskan napas keras sambil melepas ikatan yang menggelung rambut sebahunya.

“Ayah mencari gara-gara denganku.”

“Dan gara-gara itu adalah?”

“Dia menyuruhku datang ke gedung astronomi divisi tiga bagian barat. Meski itu memang adalah rumahku, tapi tahu sendiri kan di mana letak gedung sialan itu? Tiga jam perjalanan dengan kapal layang—padahal itu kendaraan tercepat jaman ini. Dan itu cuma agar aku menghitung jarak bintang apalah yang baru saja meledak, atau mungkin sudah puluhan tahun lalu meledak, tapi baru sekarang cahayanya sampai ke radar bulukan Ayah yang cuma di pinggiran galaksi itu,” keluh Jaac.

Perusahaan tempat Jaac bekerja adalah sebuah perusahaan universal, pusat segala macam penelitian dilakukan, dan itu tidak terfokus hanya pada bidang sains. Cabangnya ada di seluruh dunia, dan perusahaan induknya sendiri memiliki luas hampir satu wilayah negara kecil.

Bangunan-bangunan perusahaan sebagian besar milik donatur besar, termasuk para profesor yang malas pergi ke gedung pusat, memilih membangun gedung dan menjadikan rumahnya sebagai cabang perusahaan. Milik Bon misalnya, bangunan setengah lingkaran yang terbenam di dalam tanah, itu adalah areal parkir super luas dan aula di bawahnya merupakan salah satu tempat percobaan robotik. Ayah Bon adalah salah satu contoh donatur besar.

Lalu, rumah Jaac misalnya. Bangunan yang lebih pantas disebut laboratorium raksasa itu menjadi gedung astronomi divisi tiga bagian barat. Segala jenis penelitian astronomi di bawah pengawasan dan kekuasaan pemilik rumah dilakukan di sana. Ayah Jaac adalah salah satu contoh profesor yang malas pergi ke gedung pusat.

Sementara Jaac sendiri, dia bekerja di gedung pusat dan menghabiskan waktu di tempat itu. Ruang penelitiannya adalah rumah keduanya. Hampir setahun sekali dia benar-benar pulang ke rumah, kecuali jika ayahnya memanggilnya atau keponakannya menanyakan sesuatu yang Jaac perlu datang langsung untuk menjelaskan. Sekadar info, keponakan Jaac adalah seorang jenius di umur yang begitu muda. Jaac senang berinteraksi dengan keponakannya yang satu itu.

“Terus, tadi itu apa? Waktu kamu berteriak tidak mau pergi ke belahan bumi lain?” Areta melanjutkan wawancara.

“Itu ... aku di suruh ke gedung fisika divisi 36 untuk entahlah apa. Hell yeah, dalam minggu ini saja aku sudah keliling benua selama lima hari. Mana sudi aku pergi ke belahan dunia lain hanya untuk pekerjaan tidak penting.” Jaac memundurkan badan, meneladani Areta yang menyandarkan tubuh ke punggung kursi yang transparan.

“Belum lagi Profesor Tanaka memintaku memahami otaknya seolah-olah aku ini bagian lain dari dirinya, saja. Arrgh, aku benar-benar muak mengurus Theory of Everything. Bahkan pekerjaanku sendiri sampai terbengkalai,” lanjut Jaac frustrasi.

Bon dan Areta lagi-lagi hanya bisa melempar tatapan pada satu sama lain. Bukan hal yang rahasia lagi kalau Jaac memang sangat sibuk. Bagaimana tidak jika dia memang genius padahal umurnya masih berkepala dua. Pekerjaan puluhan tahun Profesor Tanaka tentang Teory of Everything saja—yang mana merupakan pekerjaan besar untuk semua fisikawan juga, Jaac secara langsung direkrut oleh beliau menjadi asisten utama.

Itu baru satu hal.

Jaac juga sering disuruh keluyuran ke bidang sains lain dan mengunjungi banyak gedung divisi di berbagai tempat lain. Berkat kejeniusan Jaac menciptakan benda-benda aneh tapi punya manfaat luar biasa, dia jadi sering dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan.

Tapi Bon dan Areta sama-sama tahu, keadaan ini sebenarnya jauh lebih baik ketimbang jika Jaac tidak sibuk, yang itu berarti Jaac akan fokus pada proyek yang ditekuninya sekarang. Laplace’s Demon. Jaac mencoba bermain-main dengan takdir Tuhan.

"Sebaiknya setelah ini kamu pergi ke kantor untuk meminta penanaman chip ulang, Jaac. Aku punya firasat akan ada banyak pekerjaan terbengkalai kalau kamu tidak segera memasangnya lagi dalam sehari," kata Areta.

Jaac mengangkat kedua tangannya, meregangkan tubuh.

“Justru sepertinya sekarang waktu yang bagus karena aku tidak punya chip dan earphone dan softlens lagi.”

Bon mengejap, kemudian menelan ludah, “waktu yang bagus untuk apa?”

“Menyelesaikan Laplace’s Demon,  apalagi?”

|°|°|

Fun facts:

Jadi gini, kita akan masuk pelajaran fisika bentar yaaa '-')/

Ada empat macam gaya fundamental di dunia ini: gaya nuklir kuat, gaya nuklir lemah, gaya elektromagnetik, dan gaya gravitasi.

Nah, banyak fisikawan berambisi menggabungkan keempat gaya fundamental itu menjadi satu, di mana itu sebenernya bisa dibilang salah satu mimpi Einstein—menggabungkan elektromagnetik dengan gravitasi.

Masalahnya adalah, gaya gravitasi itu enggak cocok sama tiga gaya lainnya. Sementara tiga gaya lain udah berhasil disatuin berkat Teori Medan Kuantum, si gravitasi ini masih aja ngeyel nggak mau disatuin.

Ketiga gaya yang udah berhasil nyatu inilah yang dinamakan Grand Unified Theory, sementara penyatuan keempat gaya fundamental itu disebut Theory of Everything.

Sebenarnya Theory of Everything ini udah banyak berkembang, dan jauh lebih rumit lagi pembahasannya, soalnya nanti nyambung ke Teori Dawai yang mana itu njlimet banget. So, saya bikin seadanya aja, ya 😅

(Mohon koreksinya dong, kalau ada yang lebih tau dan mendapati ada yang salah atau kurang di penjelasan saya, sankyuu)

Untuk Laplace's Demon sendiri, saya usahain untuk jelasin di fun facts chapter selanjutnya.

Btw, di sini sainsnya jadi lebih kerasa tyda sih '-')? Aneh tyda sih '-')? Bikin puyeng nda sih '-')? Nggak cuma alurnya, karakternya Jaac kayaknya ikutan kerombak banyak '-')/

100619-rev

Continue Reading

You'll Also Like

13.5K 735 27
Cerita ini dimulai dari perjalanan tiga mahasiswa tingkat akhir yang ingin melakukan pendakian sekali lagi sebelum melepas status mahasiswa mereka. T...
2.4M 170K 49
Ketika Athena meregang nyawa. Tuhan sedang berbaik hati dengan memberi kesempatan kedua untuk memperbaiki masa lalunya. Athena bertekad akan memperb...
27.7K 2.1K 40
Kisah cinta dari pembantaian yang terjadi di Hutan Pengatingan adalah sumber utama dari semua teror yang menimpa keluarganya. **** Margono makin khaw...
31.7K 2.2K 26
Terinspirasi dari kisah cinta dan patriotisme salah seorang pahlawan Revolusi Indonesia, Kapten Czi Pierre Andries Tendean. cerita ini hanya fiktif...