[Para] Tentara Langit

By DHoseki

44.2K 8K 3.2K

Kalian bisa pergi dari tempat itu. Tetapi dengarlah, kalian tidak akan mudah untuk kembali. Dan kalian datang... More

Bagian 1 - Sang Tuan Putri
1.1
1.2
1.3
Bagian 2 - 'Predator'
2.1
2.2
2.3
Bagian 3 - Gadis Jepang
3.1
3.2
3.3
4.1
4.2
4.3
Bagian 5 - Zeebonia
5.1
5.2
5.3
Bagian 6 - Perompak
6.1
6.2
6.3
Bagian 7 - Bocah Akhir Jaman
7.1
7.2
7.3
Acacio Academy
001- Acacio Academy
002 - Acacio Academy
003 - Acacio Academy
004 - Acacio Academy
005 - Acacio Academy
006 - Acacio Academy
007 - Acacio Academy
008 - Acacio Academy
009 - Acacio Academy
010 - Acacio Academy
011 - Acacio Academy
012 - Acacio Academy
013 - Acacio Academy
Pojok Cerita

Bagian 4 - Fisikawan Gila

1.1K 193 131
By DHoseki

Piringan-piringan yang dilengkapi semacam tongkat setinggi orang dewasa saling beterbangan cepat di udara. Menimbulkan suara wuss wuss pelan yang kabur bersama angin. Anak-anak maupun orang dewasa yang mengendarainya terlihat santai meski terburu-buru bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya.

Gedung-gedung pencakar langit yang transparan terus mengubah gambar yang terpampang melalui layar canggih yang menjadi dinding gedung, mengganti gambar iklan satu menuju gambar iklan selanjutnya. Balon-balon udara yang sungguhan berbentuk balon dengan ukuran raksasa, mengambang tenang dengan semacam tali panjang yang mengubungkan mereka ke bumi, menjaga balon-balon itu tetap berada di tempatnya. Drone-drone dengan berbagai macam bentuk dan ukuran jua beterbangan, entah milik siapa entah digunakan untuk apa.

Dunia ini penuh dengan kesibukan. Di tengah ingar-bingar kemewahan berkat kemajuan teknologi yang tak terbendung, pekerjaan setiap orang semakin padat. Mereka harus bekerja dengan rajin dan cepat jika tidak ingin digeser atau tergeser dari eksistensi yang mereka punya. Orang-orang menjadi budak teknologi, meski di saat bersamaan juga memperbudak teknologi, menciptakan keadaan yang seimbang tanpa timpang di salah satu sisi.

Sama seperti seluruh benda lainnya, sebuah motor hitam bergerak dengan tak kalah cepat di bawah sana. Motor besar itu melaju di atas lintasan berwarna biru langit yang bening, sangat cepat hingga roda-roda di motornya tampak seolah tidak bergerak. Motor itu lincah meliuk menghindari mobil-mobil minimalis yang terbang rendah di atas lintasan, mengabaikan gemuruh samar suara kereta bawah tanah yang tanpa sengaja melewati lintasan tak jauh dari permukaan, bisa dibilang berpapasan meski mereka terpisah dalam jarak satu kilometer di dalam tanah.

Pengendara motor itu memakai jaket serta helm hitam yang serba tertutup, tampaknya sangat serius mengendarai motor, mengejar waktu, hingga dia bahkan tidak mengurangi kecepatan ketika mulai mencapai lintasan yang menanjak naik. Dia bahkan tak acuh pada kereta terbang yang baru saja melintas di atas kepalanya, tetap fokus pada keseimbangan motor jenis kuno yang dia bawa.

Motor itu terus melaju sampai akhirnya memasuki sebuah gedung yang setengah terbenam di bawah tanah, hingga yang tampak di permukaan hanya bangunan setengah lingkarannya—itu adalah atap. Setelah bermeter-meter menuruni jalanan yang berputar menurun, motor itu akhirnya berhenti di areal parkir. Tidak cukup berhenti, motor itu menimbulkan bekas gesekan yang cukup panjang sebagai akibat dari aksi mengerem dadakan yang dilakukan pengendaranya.

“Tepat waktu, Jaac.”

Seorang laki-laki berbaju serba putih, dengan mengenakan jas laboratorium yang juga berwarna  putih, berjalan menjauhi pintu lift yang perlahan menutup di salah satu sisi areal parkir. Dia meniti garis panjang bekas gesekan motor, kemudian menatap pelakunya yang kini sedang akan melepas helm.

“Dan ya, sepertinya hobimu bukan kebut-kebutan, melainkan merusak areal parkirku,” ucap si laki-laki berbaju putih dengan sinis.

Jaac—pengendara motor yang dia sindir, dengan wajah tanpa dosa meletakkan helmnya di jok, kemudian turun dari motor, mengibaskan rambut panjangnya yang mulai apek karena tertutup helm entah berapa lama. “Kamu punya cukup banyak uang untuk memuluskannya lagi,” katanya.

Laki-laki itu menatap ban motornya, mengerutkan bibir tak suka. “Bahan apa yang bisa menggantikan karet? Baru saja kupakai sudah seaus ini,” kata Jaac sembari menendang ban.

Si laki-laki berbaju putih kembali menatap bekas gesekan. “Setuju. Bekasnya terlalu dangkal. Merasa seperti akan terpeleset?”

“Tepat. Tapi aku masih selamat.” Jaac memutar kepala, membiarkan tulang lehernya bergemeletak.

“Tapi suatu hari kamu akan terpeleset kalau terus bermain-main dengan ini.”

“Kurasa aku harus mencari tahu dulu dari apa lintasannya sebelum membuat roda baru,” kata Jaac—yang dengan tidak sopannya—mengabaikan kawannya yang sedang berbicara.

Temannya yang masih memakai jas laboratorium itu mengembuskan napas menahan dongkol, meski akhirnya dia tetap menimpuk kepala Jaac dengan kepalan tangannya sendiri saking kesalnya.

“Aww, Bon, sakiitt!” Jaac mendelik dengan kedua tangan otomatis melindungi kepala dari kemungkinan serangan kedua.

Bon, si pria berjas lab, ikut melotot, “pernah dengar ungkapan kalau diabaikan itu lebih menyakitkan dari cubitan?!”

“Tidak! Lagipula kamu tidak mencubitku! Kamu memukulku! Tidak adil!” seru Jaac.

“Argh!” Bon menggeram. Jaac sialan. Dia memang jagonya berakting kekanak-kanakan, karena pada dasarnya itu bukanlah akting, melainkan ketololan sungguhan.

“Sudahlah, cepat masuk. Stresmu sudah hilang ‘kan karena berkendara selama dua jam?” kata Bon sembari berbalik, menuju lift.

Jaac segera menyentuh bahu kanannya, menekan tombol kecil di sana. Kemudian, baju ketat serba hitam yang melilit tubuhnya dengan segera menghilang, menyisakan baju putih longgar dengan bahan sintetis yang tahan dari bakaran, bahan yang hampir sama dengan bahan jas laboratorium, hanya saja lebih tipis dan ringan, juga nyaman dikenakan. Dia bergegas mengejar Bon, menyamai langkah pria itu sembari mengikat rambutnya menjadi gelungan kecil di tempurung kepala.

“Apa kabar?” kata Jaac.

Bon menghela napas. “Underdetermined system, again. Muncul lagi variabel tidak diketahui. Dan aku khawatir kali ini kita benar-benar tidak akan menemukan jalan keluar.”

Jaac berhenti di depan lift, membiarkan Bon memencet tombol untuk membukanya.

“Oh, Man. Kenapa bukannya membaik, aku merasa jadi tambah stres sekarang?” kata Jaac sembari merotasi bola mata.

Lift yang dimasuki keduanya menutup perlahan, kemudian bergerak membawa mereka menuju ruang yang berada semakin dalam di tanah, lalu memasuki lintasan tabung panjang berwarna bening yang meliuk dan berkelok-kelok di sepanjang ruangan, membuatnya tampak seperti kapsul yang dikirim dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan selang.

“Kurasa rasa stres itu justru menunjukkan kalau kamu masih cukup waras, Jaac. Profesor Tanaka kelihatannya sudah mencapai batas kewarasan terakhir kulihat tadi,” ujar Bon, menyambung percakapannya dengan Jaac.

“Tentu saja! Dari awal Profesor memang sudah tidak waras! Untuk apa dia berusaha menyelesaikan Theory of Everything? Oh, what the hell! Dia itu merasa sebagai titisan Einstein atau bagaimana?” kata Jaac dramatis.

Well, sebenarnya, itu hampir selesai dan mungkin akan selesai kalau saja kamu mau benar-benar menyumbangkan seluruh isi otakmu untuk membantunya, ketimbang kebut-kebutan tidak jelas di jalanan,” ucap Bon sembari memiringkan kepala.

“Hanya kelihatannya akan selesai. Tapi sebenarnya aku bisa melihat persamaan-persamaan itu masih akan akan berputar jauh sampai bertemu dengan titik akhirnya. Aku yakin Profesor pasti sadar juga tentang hal itu. Dan daripada terus berputar di lingkaran setan bersamanya, lebih baik aku memanfaatkan waktu untuk menyelesaikan Laplace’s Demon-ku, yang hampir selesai,” kata Jaac sembari bersandar di dinding lift, memperhatikan percobaan-percobaan yang dia lewati seolah tengah melihat pameran.

“Kuralat ucapanku yang sebelumnya. Sebenarnya, Jaac, tidak ada satupun dari kalian yang waras. Orang sehat mana yang berpikiran untuk menciptakan iblis? Kamu ini keturunan Mr. Laplace atau bagaimana? Kalau orang lain tahu, kamu bisa dalam bahaya karena berusaha menyalahi aturan Tuhan. Mr. Laplace, Frankenstein, dan kamu. Kalian semua di luar akal manusia.”

Jaac mencebik, “Frankenstein hanya tokoh fiksi, okay? Jangan samakan aku dengan fiksi itu. Akan lebih baik kalau kamu menyamakanku dengan penciptanya, Mary Shalley, itu jauh lebih menyanjungku. Wanita itu, benar-benar memiliki ide yang brilian. Andai saja dia tidak mewujudkan isi kepalanya hanya dalam tulisan. Aku yakin kita bisa melihat mayat-mayat yang hidup sungguhan sekarang.”

“Hei!” Bon memukul kepala Jaac. “Kau tahu 'kan akhirnya makhluk yang diciptakan Frankenstein berubah menjadi monster? Itu adalah bukti kalau kita tidak bisa melampaui Tuhan, menyalahi hukum alam. Berhenti berpikir dengan otak yang penuh konspirasi.”

“Itu berubah menjadi monster karena itulah yang dikehendaki Mary Shalley dalam novelnya. Andai dia ilmuwan dan sungguhan melakukan percobaan itu, siapa yang tahu kalau hasilnya akan berbeda?

“Ini gila, kenapa kamu masih terus memuja Tuhan? Lihat orang-orang di sekitarmu, apa ada yang masih berdoa sepertimu? Apa tempat ibadahmu masih ramai seperti saat orang-orang tidak bekerja dan hanya pasrah dengan yang namanya Tuhan? Oh, Man. Kau katakan isi kepalaku adalah konspirasi, tapi sesungguhnya kepalamulah yang terisi penuh dengan konspirasi tolol tentang adanya Tuhan. Hei, tunggu, ini robotmu?” Jaac menolehkan kepala seiring berlalunya mereka dari sebuah robot besar yang tinggi menjulang, tampak seperti kingkong di antara berbagai penemuan belum sempurna lain yang dikerjakan di aula raksasa ini.

Bon mengembuskan napas, memilih melupakan perdebatan gilanya dengan Jaac barusan. Toh, bukan sekali dua kali mereka melakukannya.

“Ya, masih belum jadi. Aku masih berpikir bagaimana dia  bisa menjadi sedikit lebih fleksibel dengan ukurannya yang tidak kecil. Dia akan banyak membantu para pembuat roket nantinya,” kata Bon.

Jaac menggeleng. “Sudah kubilang ada badai elektromagnetik di luar sana. Jauh memang, tapi roket kalian tidak akan bisa ke mana-mana. Planet yang kalian tuju semua ada di luar wilayah badai, kecuali kalau kebetulan muncul lubang cacing di atas bumi,” katanya sinis.

Bon melipat kedua tangannya, menatap Jaac dengan tak kalah sinis. “Sepertinya mulutmu butuh obat, Jaac? Aku bisa menghubungi Areta untuk dibuatkan sebuah obat yang bisa membungkam mulutmu,” katanya.

“Ha, Areta sedang sibuk dengan Paedocypis progenetyca-nya yang katanya menggemaskan. Tunggu! Kamu berusaha membodohiku atau bagaimana? Areta itu bioligi dan bukannya farmasi. Kenapa kamu minta obat padanya?”

Bon tersenyum miring, menguraikan lipatan tangannya. “Sudahlah. Kita sudah sampai.”

|°|°|

Fun fact:
Jaac bener-bener rombak besar-besaran. Jaac versi lawas bikin bosen 😂😂😂

Dan karena saya baru sekali ini bikin fiksi sains (dua kali kalo diitung bikin Jaac versi sebelumnya, tapi itupun sainsnya nggak jelas banget), maka buat kakak-kakak yang sekiranya lebih paham, mohon buat bantuin koreksi (✿´‿')

040319-rev

Continue Reading

You'll Also Like

12.6K 769 20
SEASON 2 ~ Takut Orang Mati ••• Setelah meninggalnya ki Jono, bukan lah akhir cerita. Melainkan cerita Gina akan di mulai! Bagaimana kisahnya? Bantu...
116K 4.2K 196
Adalah sebuah project rutin grup kepenulisan FLC. Yaitu member akan membuat sebuah karya cerpen dalam jangka waktu 10 hari. Cover spektakuler dari sa...
243K 9.9K 32
Nakala Sunyi Semesta Setelah tragedi di rel kereta api malam itu Kala di buat heran dengan hal aneh yang terjadi pada nya, kala pikir malam itu dia m...
961K 140K 62
Sebagai seseorang dengan kekuatan supernatural, Ametys tentunya sudah terbiasa dengan beberapa hal mistis yang terjadi. Namun, tidak disangkanya jika...