DARKNESS

By Shinjukyuu

4.7K 671 110

Follow untuk baca ^^ ♡♡♡♡♡♡ Kunjungan klub biologi dari Black Campus ke ibu kota lama Estonial, Dominion, men... More

Bulir 1 : Celosia Leene
Bulir 2 : Visibly
Bulir 3 : Caught
Bulir : 4 Attack
Bulir 5 : Telltale
Bulir 6 : Unwanted Guest
Bulir 7 : The Hidden Girl
Bulir 8 : Heilige's Tribe
Bulir 9 : First Day
Bulir 10 : Feeling
Bulir 11 : Cloudy Morning
Bulir 13 : Resolve and Dauntless
Bulir 14 : Lost
Bulir 15 : Black Horse Prince
Bulir 16 : Back
Bulir 17 : Dark Night
Bulir 18 : Empty Heart
Bulir 19 : The Same Feeling
Bulir 20 : Primosa Forsythia
Bulir 21 : Show Time
Bulir 22 : Falsehood
Bulir 23 : The King of Stealth
Bulir 24 : Behind The Light
Bulir 25 : Her Decision
Cerita Baru
Bulir 26 : Against of The Darkness
Chapter 27 Empty Soul And The King Of Darkness

Bulir 12 : The Symptoms

127 24 1
By Shinjukyuu

Yuhuuu Darkness balik lagi .. semalat membaca ya. Dan selamat malam Jumat hihihi ヾ(*´∀ ˋ*)ノ

Sia membuka matanya perlahan. Rasa sesak dan dingin masih dapat dirasakannya. Dia menarik napas lalu membuangnya pelan. Begitu matanya terbuka sepenuhnya, birunya langit menjadi tangkapan pertamanya. Perlahan ingatannya akan dirinya yang tenggelam di sungai menyeruak. Sia bangun dengan panik. Rasa dingin yang terasa di bawah tubuhnya membuat Sia terperanjat. Dia tengah terduduk di atas permukaan air. Tubuhnya basah tapi tubuhnya mengambang seakan dia tengah duduk di tanah. Sia meraba-raba air di bawahnya yang aneh ini. Sama seperti air biasa, bahkan Sia dapat mencelupkan tangannya ke dalam air dan juga basah. Tapi, dia tetap mengambang di atas air.

Dilanda kebingungan, Sia mencoba berdiri. Kaki telanjangnya memijak permukaan air. Sia memandang takjub pada kakinya yang terapung. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilakukannya, dia mencoba berjalan. Kakinya basah tapi tetap saja dia merasa seperti berjalan di atas tanah.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" gumamnya sembari mengedarkan pandang. "Apa aku sedang bermimpi lagi? Tidak-tidak. Bukankah aku terseret arus sungai dan mulai tenggelam tadi? Lalu di mana aku?" Sia terperanjat kaget karena kakinya besentuhan dengan sesuatu. Sia mengangkat sebelah kakinya dan melihat bunga Carnation mengapung di bawahnya. Bukan hanya satu, tapi banyak sekali bunga Carnation yang tiba-tiba bertebaran di permukaan air.

Sia menutup mulutnya dengan wajah pucat pasi. "Jangan-jangan aku sudah mati? Armenia tidak bisa menyelamatkanku. Aku mati? Benarkah?"

"Itu pemikiran yang sangat lucu, Forsythia." Terdengar suara lembut disusul dengan cekikikan renyah.

Sia membalikkan tubuhnya. Mulutnya terbuka. Terkejut dan takjub. Di depannya tengah berdiri seorang wanita cantik berpakaian layaknya seorang bidadari dengan tubuhnya yang memendarkan cahaya. Tapi, seperti ada yang mengganjal. Forsythia?

"Kau belum mati, Forsythia," ujar wanita itu lagi.

Nama itu lagi.

"A-aku bukan Forsythia. Aku Sia. Celosia Leene. Dan kalau aku belum mati, aku ada di mana?" Mendadak Sia merasa kesal. Dia tidak lupa jika nama Forsythia adalah nama orang lain, nama orang yang dikatakan berenkarnasi menjadi dirinya.

"Forsythia, Celosia. Itu hanyalah nama. Tetap saja kalian orang yang sama. Lihat!" Wanita itu menunjuk air di bawah Sia.

Sia reflek menunduk. Matanya membulat lebar melihat bayangan wajah seorang wanita yang jelas-jelas bukan dirinya. Wanita itu sangat cantik dengan senyuman lembutnya. Tidak ada kemiripan sama sekali dengan Sia.

"Benar, kan?" Wanita itu tersenyum lembut.

"Sebenarnya kau ini siapa?" Sia memandang berani pada wanita yang kini melangkah mendekat padanya. Sia hanya bisa takjub karena melihat di setiap langkah wanita itu meninggalkan bunga-bunga Carnation yang beragam warna.

"Aku?" Wanita itu malah tertawa kecil. "Menurutmu?"

"Jika aku tahu aku tidak akan bertanya," gumam Sia.

Wanita itu kini berdiri dihadapannya hanya berjarak setengah meter dari tempat Sia. Wanita itu mengumbar senyuman sementara Sia menatap kaku.

"Apa kau kesal padaku?"

Iya. Pakai tanya lagi.

"Ya ampun kau benar-benar kesal padaku," ujar wanita itu seolah dapat membaca pikiran Sia.

"Nona kau ini siapa? Penunggu sungai? Atau Stealth?"

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Sia menggigit bibir dengan tangan terkepal. Merasa dipermainkan oleh wanita cantik bak bidadari ini.

"Ulurkan tanganmu."

Sia tak bergeming.

"Kita tidak memiliki banyak waktu. Kau tidak bisa berlama-lama di dalam air. Kau bisa benar-benar mati. Apa kau tidak takut?"

Wajah Sia langsung memucat karena mengingat apa yang terjadi padanya. Dia membuang napas putus asa. "Kenapa aku harus mengalami kejadian yang tak kumengerti seperti ini?" gerutunya sembari mengulurkan tangan.

Wanita itu menaruh sesuatu di atas telapak tangannya. Sia membuka lebar matanya, menatap tidak percaya pada benda di telapak tangannya.

"Ini?" Sia menatap penuh tanya pada wanita itu. "Bagaimana bisa?"

"Sampai jumpa, Forsythia ... um ... Celosia." Bersamaan dengan ucapan wanita itu, Sia merasakan tubuhnya langsung terjun bebas ke dalam air. Sia menahan napas dengan panik sembari melihat ke atas di mana wanita itu terlihat tengah tersenyum dan melambaikan tangan padanya.

Sia berusaha berenang naik, tapi tubuhnya seolah tertarik gravitasi. Sekuat apapun tangannya menyapu air, tubuhnya terus meluncur turun ke bagian yang gelap. Dadanya terasa nyeri karena semakin menipisnya oksigen. Dia menutup matanya pasrah. Tangannya menggenggam erat benda yang diberikan wanita tadi.

Dalam keputusasaannya, samar-samar Sia dapat melihat seseorang berenang ke arahnya. Sia tersenyum hingga mulutnya mengeluarkan beberapa gelembung. Dia tidak ingin mati sekarang. Tapi, keinginan tak berjalan lurus dengan kekuatan tubuhnya. Dia bahkan tidak tahu berapa lama sudah terombang-ambing di dalam air. Sia menggunakan sisa kekuatannya untuk mengulurkan tangannya berharap siapapun yang dilihatnya bisa meraih tangannya.

Tubuh Sia terhentak ketika matanya hendak tertutup. Tidak begitu jelas, namun Sia melihat seseorang berusaha menariknya naik. Tubuhnya yang sudah lemas hanya mengikuti tarikan itu. Berharap dia segera dapat melihat daratan. Dia akan sangat berterima kasih pada penyelamatnya ini.

***

Armenia tak bisa berhenti mondar-mandir di tepi sungai. Dia takut, teramat takut membayangkan hal buruk akan menimpa Sia, gadis yang sudah membawa cahayanya. Andai dia dapat berenang, tentu semuanya tidak akan seperti ini. Sayangnya dia tak memiliki kemampuan selain yang berhubungan dengan obat-obatan.

Sudah beberapa menit lewat, namun belum ada tanda-tanda Sia bisa terselamatkan. Armenia hanya bisa menghapus air matanya yang sudah lama sekali tidak singgah di matanya. Merasa sangat bersalah membuatnya nekat melangkahkan kaki menuju air. Namun, baru beberapa langkah di atas bebatuan kecil hendak ke air, dua manusia muncul dari dalam air.

"Kak Holkay! Sia!" pekiknya dengan napas lega.

Holkay terengah sembari mengangkat tubuh Sia ke atas bebatuan kecil yang hanya tergenang sedikit air.

"Hei, bangun!" Holkay menepuk-nepuk pipi Sia kemudian memberi tekanan pada dadanya. Sia terbatuk-batuk mengeluarkan air dari mulutnya. Kelopak matanya bergerak-gerak tapi tak terbuka. Terdengar deru napas pendek-pendek dari mulutnya.

"Sia!" Armenia bersimpuh di samping Sia dan memegangi lengannya. "Tubuhnya dingin sekali. Kita harus segera membawanya pulang," ujar Armenia panik.

Holkay menatap Sia yang tak berdaya. Diusapnya asal air pada wajahnya. Sedikit lagi dia akan terlambat menyelamatkannya.

"Bantu aku menaikannya di punggung," ujar Holkay kemudian.

"Iya."

Armenia mengerahkan seluruh tenaganya menyangga tubuh Sia sampai Holkay dapat menggendongnya di punggung. Sesuai perintah Holkay, dia mengikat kedua tangan Sia yang sudah lemas mengalung di leher pria itu.

Holkay berlari cepat menyusuri sungai menuju undakan naik ke arah perkampungan. Di belakangnya Armenia ikut berlari dengan keranjang rotan berisi pakaian yang dicucinya tadi. Sementara pakaian Sia hanyut tak terselamatkan.

Antara sadar dan tidak, Sia merasakan tubuhnya berguncang-guncang, seperti tengah menaiki kuda. Rasa geli di pipinya membuat matanya terbuka sedikit. Ternyata itu rambut seseorang yang tengah menggendongnya. Sia tersenyum tipis mengetahui siapa yang telah membuatnya serasa naik kuda.

"Kau .... menyelamatkan keledai i-ini. Terima kasih," gumam Sia sebelum akhirnya kegelapan kembali merenggut kesadarannya.

"Gadis bodoh," balas Holkay melirik ke arah Sia yang sudah memejamkan mata di bahunya. Dia berdecih. Memperkuat penyanggan tubuh Sia yang dia gendong dan menambah kecepatn larinya. Sampai Armenia dibuat kesulitan mengejarnya.

Sesampainya di perkampungan, beberapa orang melihat mereka dengan penuh tanda tanya. Tapi. Tak ada satupun yang berani mengutarakan pertanyaan. Holkay segera membawa Sia ke rumahnya dan menyuruh Armenia untuk mengganti pakaian Sia sementara dia mengurus dirinya terlebih dulu.

Armenia segera melakukan perintah Holkay. Dia melucuti pakaian basah Sia. Ketika menarik lengan bajunya, sebuah benda terjatuh dari genggaman Sia. Armenia memungut benda lalu segera menaruhnya di atas meja. Bukan tidak peduli benda apa itu, tapi sekarang dia harus cepat melakukan perawatan pada tubuh Sia.

"Kak, aku akan mengambil ramuan dulu di rumah. Tolong beri Sia selimut lagi," ujar Armenia setelah selesai mengganti pakaian Sia.

"Ya," sahut Holkay yang sudah selesai berganti pakaian juga.

Armenia berlari keluar dari rumah Holkay. Sementara Holkay mencari-cari selimut yang ada untuk menghangatkan tubuh Sia.

Holkay menata dua lembar silumut tebal yang dia punya di atas tubuh Sia. Matanya menulusuri bagian wajah Sia yang memucat, terutama bibirnya. Biasanya Sia menggunakan itu untuk bicara sesuka hatinya, sekarang gadis itu tak berdaya. Kalau dia tadi tidak menyusul ke sungai, Sia pasti sudah mati.

"Kau tidak bisa mati sebelum menyelesaikan tugasmu, gadis bodoh." Holkay duduk di tepi ranjang sembari menyentuh kening Sia yang dingin dengan telapak tangannya. Disalurkannya energi spiritual miliknya pada Sia. Dengan berkonsentrasi, mencoba melihat apa yang sudah dialami gadis itu, tapi hasilnya nihil. "Jika bukan Stealth yang melakukannya lalu siapa? Ini jelas bukan karena kecerobohannya," gumam Holkay penasaran. Tak terlihatnya Pao Pao juga membuatnya bertanya-tanya. Sepertinya tidak ada pilihan lain selain menunggu Sia tersadar.

Armenia tak lama datang. Dia sudah berganti pakaian dan membawa satu keranjang obat-obatan. Dengan cekatan dia meracik sebuah ramuan dan memaksa Sia untuk meminumnya meski sebagian ramuan itu mengalir keluar dari mulut Sia. Kemudian dia memulai pengobatan dengan kekuatan spiritualnya. Digosoknya tubuh Sia dengan dedauanan yang dia rebus dengan air hangat sembari menyalurkan energi spiritualnya. Untuk pertama kalinya, Armenia bersyukur karena mempelajari pengobatan seumur hidupnya.

Kabar Sia yang mengalami insiden terseret arus sungai dan hampir tenggelam sampai juga pada Gladiolus yang baru saja kembali dari menyiapkan persiapan ritual di danau Porte. Marsala yang lebih suka menghabiskan hari di dalam ruangan kecilnya di dalam aula besar pun sampai melihat keadaan Sia yang masih tidak tersadar sampai malam hari.

"Aku juga tak bisa melihat apa yang terjadi padanya," ujar Marsala sembari meletakkan kembali tangan Sia yang lemas namun sudah mulai hangat.

"Mungkin hanya kecelakaan biasa. Dia seorang gadis kota, sungai tentu saja bukan tempatnya bermain," simpul Gladiolus.

"Untuk gadis ini, kita tidak bisa mengatakan kejadian seperti hanya sebuah kecelakaan. Jangan lupa siapa dirinya. Tapi, tak perlu khawatir juga. Berkat Holkay dan Armenia, gadis ini bisa terselamatkan," ujar Marsala. "Lain kali pikirkan lagi untuk melakukan hal yang tidak biasa kau lakukan, Armenia," sindir Marsala dengan sebuah senyuman.

Armenia merasakan tubuhnya bergetar saat Marsala melewatinya untuk keluar kamar Sia. Dia tadi sudah dimarahi habis-habisan oleh guru pengobatannya dan sekarang Marsala terasa mengintimidasinya. Perasaan senang saat berlari bersama Sia langsung tersapu habis karena rasa bersalahnya. Kalau dia tetap menjadi dirinya yang suram dan membosankan, kalau dia mematuhi kata-kata gurunya untuk menjaga jarak dengan gadis itu, tentu sekarang Sia tidak akan terbaring tak berdaya seperti sekarang.

Tepukan pelan di bahunya, membuat Armenia menoleh terkejut. Candles entah sejak kapan berdiri di sampingnya.

"Jangan menyalahkan dirimu," ujar Candles.

"Karena aku Sia ..." gumam Armenia.

"Jangan biarkan rasa bersalahmu menguasai dirimu. Bukan berarti sepenuhnya tidak bersalah, hanya saja ini sudah takdirnya. Dia gadis yang kuat dan melihat sifatnya, dia tidak akan suka melihatmu terus menyalahkan dirimu." Candles tersenyum tipis sekilas. Bukan senyum tanpa perasaan seperti biasanya.

Tak berapa lama Gladiolus keluar dari kamar Sia, diikuti Holkay dan Candles. Aremenia sendirian menunggui Sia sembari sesekali menyalurkan energi spiritualnya. Berharap Sia akan segera tersadar.

Di lantai bawah nampak Gladiolus yang berbincang singkat dengan kedua pemuda itu sebelum keluar dari rumahnya.

"Aku berharap ini bukan salah satu perbuatanmu, Bos," ujar Candles setelah mereka hanya berdua.

Holkay menoleh pada Candles dengan alis mengkerut sekilas. "Sepertinya otakmu tidak bisa memikirkan hal lain, Candles," sahut Holkay.

"Lalu apa yang terjadi? Stealth?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi. Bahkan Marsala juga tak bisa melihatnya. Mengkhawatirkan sekali."

Candles tersenyum. "Kau mengkhawatirkannya?"

"Apa maksudmu?" Holkay bukan tidak tahu maksud pertanyaan itu.

"Bukankah dia gadis yang menarik?"

"Kau sudah terlalu jauh, Candles. Apa yang sedang kau pikirkan itu sama sekali tak pernah kupikirkan. Gadis itu hanya renkarnasi Primosa Forsythia dan dia tak bisa mati sebelum menyelesaikan tugasnya. Kita dan seluruh Estonial kini bergantung padanya."

"Apa benar hanya seperti itu? Mungkin jauh di lubuk hatimu terdalam kau sedang mati-matian menyangkal semuanya. Aku cukup tahu seperti apa dirimu, Bos. Mungkin sekarang kau belum menyadarinya," ujar Candles.

"Kau terlalu banyak bicara Candles."

"Aku mengkhawatirkanmu."

"Ha? Kau bertingkah aneh setelah membantu persiapan di danau Porte. Apa kekuatan spriritualmu tercemar di sana? Biar kulihat." Holkay meletakkan telapak tangannya di kening Candles. "Hmmm, tidak juga." Holkay menarik tangannya.

"Aku tidak perlu tercemar dulu untuk mengatakan hal ini. Aku benar-benar khawatir kalau kau nanti akan menyesal nanti, Bos. Tiga hari dari sekarang, waktu tidak akan bisa diputar lagi nanti. Kuharap kau segera menyadarinya. Untukmu sendiri. Apa kau tadi merasakan sedikit saja perasaan takut jika gadis itu tak terselamatkan?"

"Sebaiknya kau kembali ke rumahmu. Nampaknya kau cukup lelah." Holkay membelokkan arah pembicaraan.

"Aku akan di sini. Kepala suku menyuruh kita menjaga Nona Sia bersama-sama." Candles tersenyum lebar. "Aku bisa terjaga semalaman mengorek apa yang kau sembunyikan. Tapi, lebih baik kau mengeluarkannya secara suka rela padaku. Aku pakarnya melihat isi hati tersembunyi," ujar Candles seenak hatinya.

"Terserah padamu." Holkay meninggalkan Candles di ruang depan sementara dia melangkah menuju salah satu ruangan yang menjadi kamar sementaranya.

Dihempakannya tubuhnya ke atas ranjang kayu sempit di kamar sementaranya itu. Dipandangnya lilin kecil yang memendarkan cahaya remanang.

Kau .... menyelamatkan keledai i-ini. Terima kasih.

Holkay berdecak kesal teringat ucapan Sia. Perkataan Candles berhasil mengganggunya. Dia menggelengkan kepala menyangkal semua penuturan Candles yang tak berdasar itu. Tapi, dia tak bisa memungkiri bahwa terbersit rasa aneh ketika dia tanpa pikir panjang melompat ke dalam air untuk menyelamatkan Sia. Terbersit rasa tidak nyaman melihat gadis itu tak diam tak berdaya.

Tidak. Aku tidak mengkhawatirkannya karena menyukai gadis itu. Tidak. Omong kosong.

***

08 Maret 2018
Shinjukyuu

Baca juga BaNS chapter 9 di webcomics ya ya. Terbit tiap hari Kamis щ(˚ ▽˚ щ)


Continue Reading

You'll Also Like

271K 23.2K 22
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
1.1M 105K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
1.2M 87.7K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
338K 19.4K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...