Detektif Roy : Ritual Pemengg...

By A-Sanusi

175K 20K 1.2K

Kota Bandung digegerkan dengan penemuan mayat seorang wanita. Tidak hanya itu, tetapi kepala mayat wanita itu... More

0. Catatan Penulis
1. Pilot
2. Deduksi
3. Force of Will
4. P̷̡͈͇̟͎̭̗̱̬̹̊̀̚̕u ̵́͆̓̊̑̈́̋̄̀̌̚͠͠z̬̆z ̷̨͕̣̈́͋́͋̈͌̚l ̶̢̨̬͇̼͈̠̲̫̓̐̌͝e͉̞̼
5. Rebirth
6. Shadow Jumpers
7. Prank
8. Dark Room
9. Wonderwall
11. Smooth Criminal
12. Return Zero
13. ̴̙͈̰͖̜̥̮͙̗͉̞̠̣̦̈́̋͑̄͋̾͜͝ ̴̛̮̪͋̌͋̂̓͛̎͆͝ ̵̲͈͔͙̣͓͖̩̜̣̓̈̒̏̒͊̒̿̃̈́̋̕̚
14. Delirium
15. Mayat Keempat
16. Departure
17. Hurt
18. Farthest closest
19. Paralyzer
20. Criminal Mind
21. Dark Symphony
22. Between Humanity
23. Ending
Sedikit Tambahan

10. Dark Roof

6K 769 39
By A-Sanusi


Bulan penuh yang tergantung dalam gelapnya malam seolah-olah mengajakku untuk menemaninya, membuatku tak dapat tidur dengan nyaman. Aku terbangun, secara tiba-tiba pukul dua pagi tanpa alasan yang jelas. Tubuhku masih terbaring di sofa yang empuk ini, tetapi pikiranku meracau, membuat seluruh saraf motorikku terbangun, beraksi, mendudukkan tubuhku. Ada sesuatu yang tak beres dan aku tahu itu. Namun, apa?

Ini sudah hari kedua sejak penangkapan dokter Ryan yang masih belum kutetapkan sebagai tersangka karena alibi yang begitu kuat. Walaupun aku masih berusaha untuk mencari tahu bagaimana caranya berada di dua tempat sekaligus, hatiku ragu akan kemampuanku. Kurasa aku akan kalah, membiarkannya bebas, dan itu artinya hanya tersisa sedikit waktu bagiku sebelum dokter Ryan harus dilepaskan dan terpaksa kubersihkan namanya.

Trik apa yang ia gunakan?

Aku baru saja bangun dari tidur, dalam waktu yang tak lama, tetapi aku tidak merasakan kantuk sama sekali akibat otak yang bekerja lebih keras dari seharusnya. Kesadaran yang sepenuhnya langsung bergelayut di dalam diriku.

Aku tidak menyukai ini.

Akhirnya, kuputuskan untuk berganti baju, menuju kamar dan mengambil kaus berwarna putih dengan celana kain panjang berwarna hitam. Tanpa berpikir panjang, kukenakan pakaian itu, bagaikan seorang petani yang hendak memacul. Sebagai tambahan, aku menggunakan jaket wol yang telah lama kumiliki dengan warna merah yang sedikit terdistorsi, membuatnya terlihat kusam dan tak baru lagi.

Aku berencana untuk melakukan penyelidikan tambahan, mempercepat proses penyelidikan.

Dalam susuran lantai yang dingin, kuseret kakiku, membuat gesekan yang seharusnya tak diperlukan.

Aku tak berpamitan dengan Loka, aku tahu dia telah tidur. Jadi, aku hanya mengambil ponsel serta power bank yang biasanya kusimpan di dalam kamar. Tentu tak lupa dengan kabel USB-nya. Lalu, aku keluar tanpa mengunci pintu rumah—dengan harapan rumahku akan baik-baik saja.

Membuka pintu gerbang, menyalakan mesin mobil, berkendara di tengah malam, bukan kebiasaanku.

Aku mengambil jalur yang sama seperti yang kuambil ketika kubuntuti dokter Ryan, menuju rumah kosong itu. Namun, betapa terkejutnya diriku karena ternyata suasana perjalanan tidak sepenuhnya sepi. Beberapa kios pedagang tetap buka biarpun sejauh mata memandang hanya terdapat satu dua pelanggan yang datang mengunjungi—orang-orang yang kelaparan di tengah malam. Mereka menyalakan televisi, radio, membuat suasana yang ramai, hingga akhirnya kumasuki daerah Siliwangi yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sebelumnya.

Sepi, kosong, dingin, menakutkan, seolah-olah aku dapat mendengar suara burung hantu yang berkukuk di sekitar sini. Memang, kawasan ini terkenal dengan suasana angkernya. Bulu kudukku langsung berdiri, aku sedikit menggigil, benar-benar dingin, padahal aku berada di dalam mobil.

Namun, seluruh perasaan itu tak kuhiraukan, aku kembali pada rumah yang bermasalah—yang terlihat lebih angker dari sebelumnya—dalam gelapnya malam. Aku seperti berada dalam film horror, menjadi orang bodoh dengan rasa penasaran yang tinggi, mengakhiri hidupnya dalam sebuah kutukan akibat memasuki rumah terlarang itu.

Tanpa petugas yang berjaga, aku tetap dapat memasuki rumah itu dengan leluasa.

Suasananya benar-benar berbeda dengan pagi hari. Pikiran tololku selalu memberikan gambaran buruk mengenai makhluk tak kasat mata, yang mungkin muncul tiba-tiba di mukaku. Kunyalakan senter dari ponselku, menerangi beberapa bagian rumah ini dan berharap kejadian menakutkan itu—seperti yang kupikirkan—tak akan terjadi.

Aku merasa masih ada sesuatu yang belum kutemukan dari rumah ini.

Langkah kakiku yang pelan terdengar begitu keras akibat ruangan yang luas serta suasana yang sangat sepi ini, aku benar-benar seperti berada dalam sebuah mansion besar yang ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa alasan yang jelas. Setiap langkahku selalu kusertai dengan rasa takut, ngeri, tak tahu apa yang akan terjadi. Namun, aku sendiri tidak ingin menjadi seorang pengecut yang segera pergi dari tempat ini hanya karena takut. Aku terus melangkah, melaju, berusaha kembali menyusuri berbagai ruangan yang ada di rumah ini.

Ketika aku melapor bahwa rumah ini memiliki ruang bawah tanah, aku yakin para petugas langsung menuju ruangan itu, mengambil barang-barang yang bermasalah, tetapi kurasa tak lebih dari itu. Kurasa mereka tak berusaha mencari tahu lebih jauh mengenai ruangan yang lain, eksistensi akan ruang-ruang tersembunyi pada bagian lain. Tentu aku tak dapat menyalahkan mereka juga, karena itu adalah tugasku. Walaupun sialannya, aku terlalu terpengaruh akan alibi dokter Ryan yang sempurna, mencari tahu terlebih dahulu trik apa yang digunakannya walaupun pada akhirnya tak membuatku mengakhiri seluruh penyelidikan itu dengan sebuah kesimpulan.

Jadi, di sinilah aku, kembali di dalam rumah yang mengerikan.

Kakiku tergerak untuk kembali ke dalam ruang bawah tanah yang bermasalah, mengajak diriku untuk sekali lagi berada dalam kegelapan yang luar biasa, hanya ditemani oleh sinar lampu dari ponselku serta power bank yang telah kusiapkan seandainya baterai ponselku habis.

Ruangan ini lebih dingin dari sebelumnya.

Menyusuri setiap sisi ruangan ini, aku belum mendapatkan apa-apa, hanya batu bata yang disusun rapi membentuk sebuah kubus. Lampu-lampu, matras, serta buku itu telah diambil, mengakibatkan ruangan kosong yang sepi. Dadaku terasa sesak, hampir kesulitan bernapas akibat rasa takut yang seolah semakin menjalar, otak tololku seolah-olah menggambarkan suatu makhluk yang tak berbentuk berbisik padaku. Namun, sekali lagi, kucoba untuk menghiraukannya.

Aku telah mengelilingi ruangan ini sebanyak empat kali, meraba seluruh dinding dan mencari ruangan rahasia seperti yang biasanya dimiliki oleh bangsawan kaya. Namun, semuanya nihil, aku tak menemukan apa-apa selain tumpukan batu bata yang dingin. Aku menggerutu untuk sekian kalinya, tetapi hal itu tak mengubah keadaan.

Akhirnya, sedikit menyerah, aku menuju ruangan lain, ruangan-ruangan kosong tanpa lampu, mengelilinginya seperti aku mengelilingi ruang bawah tanah itu. Namun, tak kudapatkan kesan aneh.

Rumah ini bergaya eropa, setiap kamar memiliki kabin yang terhubung langsung dengan ruangan, bagaikan tempat untuk menyembunyikan mayat yang sempurna. Atap yang miring tetapi tinggi pun menambah kesan mengerikan rumah ini, seperti rumah-rumah tua eropa. Namun, dalam pemikiranku yang sederhana itu, muncullah pertanyaan besar. Apakah rumah ini memiliki ruang pada atapnya?

Biasanya, di rumah bertipe seperti ini, mereka memiliki atap yang sengaja dibuat sebagai alternatif gudang, menyimpan benda-benda lama mereka di atap—benda-benda tak terpakai.

Di balik jaket ini, tubuhku tergerak untuk mencari jalan menuju atap—jika memang ada. Kususuri lantai dua, mengadahkan kepala ke atas sambil menyoroti atap dengan senter ponselku, mendapatkan sebuah kenop pintu yang janggal. Sebuah pintu yang terletak di atas dengan tinggi sekitar tiga meter, berbentuk kotak dan tertutup rapat.

Langkahku terhenti, memikirkan bagaimana caraku menggapai kenop itu. Rumah seperti ini sangat jarang di kota Bandung, tak aneh jika kami—aku beserta rekan-rekanku yang lain—tak memikirkan hal seperti ini, terlebih lagi perhatian kami hanya tertuju pada ruang bawah tanah itu yang sejatinya menyita perhatian kami.

Dengan percaya diri, kuletakkan, ponselku pada lantai. Kemudian, menggapai ornamen kayu yang melintang di sepanjang dinding, menggapainya untuk mengayunkan tubuhku ke atas. Umurku tidak muda lagi—aku tahu—tetapi setidaknya aku masih memiliki tenaga.

Kakiku berayun, untuk sesaat aku merasa akan jatuh, gapaian tanganku terasa tergelincir, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk merekatkan kedua lenganku, mengayunkannya pada ornamen kayu kedua yang lebih tinggi, membuat tubuhku melayang lebih jauh. Setidaknya, jika aku jatuh pada ketinggian ini, aku tak akan mati, jadi tak ada alasan bagiku untuk tak menggapai benda itu.

Akhirnya, setelah bertahan beberapa lama, beserta napasku yang tertahan untuk mengumpulkan kekuatan, aku dapat menggapai kenop itu, membukanya dan memperlihatkan kegelapan lain di ruangan yang lain. Sialnya, lenganku yang lain, yang bertahan pada ornamen kayu itu tergelincir, membuatku terjerembap dan terjatuh, menimbulkan kegaduhan yang tak kuinginkan.

Punggungku sakit, tentu saja, tetapi seperti yang kukatakan tadi, setidaknya aku tidak mati.

Aku bangkit dengan mengusap punggungku, sedikit mengeluh sambil memejamkan sebelah mataku. Namun, segera kuseimbangkan kembali tubuhku, berdiri dengan tegap pada kedua kakiku sambil menatap ruangan yang baru saja terbuka itu. Kuambil ponselku, menyorotinya. Tak ada sesuatu yang aneh kecuali kulihat atap lain di seberang sana.

Pertanyaannya, bagaimana caraku masuk ke dalam sana? Pintu vertikal itu dapat dimasuki oleh satu orang—kurasa—tetapi aku memerlukan tangga untuk naik ke atas, kecuali aku dapat melakukan hal luar biasa seperti tadi, tanpa tergelincir tentu saja.

Duh!

Merasa tak ada pilihan, akhirnya kembali kulakukan aksi heroik itu, bergelantungan pada ornamen kayu dengan sedikit improvisasi. Ponselku tak kuletakkan kembali di lantai, tetapi kutaruh di saku karena kurasa aku membutuhkannya di atas sana. Posisi kakiku lebih kumantapkan, bertumpu pada ornamen kayu yang pertama agar aku dapat menaruh beban tubuhku pada dinding. Kemudian, dalam waktu yang singkat, kulemparkan tubuhku, melepaskan kedua lenganku untuk menggapai pinggiran pintu itu.

Aku berhasil, membuat diriku bergelantungan di tengah lorong. Sialnya, sendi-sendiku terasa hampir putus. Bebanku terlalu berat, otot-otot lenganku tak mampu menarik tubuhku. Sekali lagi, aku terjatuh, menimbulkan suara gaduh dalam kesunyian. Kemudian, menggerutu sekali lagi.

Kurasa aku haru mulai olahraga mulai dari sekarang.

Tak ingin menyerah pada keadaan, kulakukan kembali hal yang sama—berulang kali. Kembali terjatuh, tetapi kuapksakan diriku untuk bangkit lagi, hingga akhirnya kurasa aku mulai menguasai seluruh pergerakanku, berhasil menarik tubuhku ke atas.

Kutaruh lengan kananku sebagai penahan beban tubuhku, menarik kakiku ke atas dan menaikkan tubuhku. Napasku terengah-engah, tak kuasa menahan rasa letih. Aku terbaring, mengambil napas segar yang tak kudapatkan. Kurasakan perutku yang naik dan turun akibat pertukaran udara yang kulakukan dengan cepat. Kurasa metabolisme tubuhku sedikit terganggu.

Setelah mengatur napasku agar kembali menjadi normal, akhirnya aku kembali berdiri sambil menepuk beberapa bagian pakaianku yang kotor. Lalu, kuraih ponselku dan kembali mengedarkan penerangan di atap ini. Seperti yang kuduga, sebuah ruangan yang lain khas rumah Eropa.

Bebauan tak lazim tercium, menusuk hidungku. Sebenarnya, bau seperti ini sedikit kurasakan ketika di lantai bawah, tapi tidak setajam sekarang. Bau obat-obatan yang tak pernah kusukai.

Kusorotkan lampu senterku menuju seluruh penjuru walaupun beberapa kali terhalang oleh penyangga atap rumah. Kotak kardus tergeletak di setiap sisinya, membuat diriku tertarik untuk mengambil sampel dan mencaritahu isi dari kardus-kardus itu. Namun, seperti yang kuduga, sebagian besar dari mereka berlabel anestesi biarpun ada di antaranya yang bukan, seperti methamphetamine. Walaupun aku belum pernah menyelidiki kasus-kasus yang berkaitan dengan narkotika, tetapi kurasa aku pernah mengetahui nama itu di internet. Sebuah obat yang disalahgunakan oleh banyak orang.

Kubuka kardus itu, mendapati suntikan kosong serta gelas ukur dalam berbagai ukuran. Tabung erlenmeyer dan berbagai kaca lainnya, khas labolatorium tak terlepas dari genggamanku. Selain itu, aku dapat melihat toples-toples plastik kecil dengan label yang tertempel di badannya. Nama-nama yang sungguh asing di mataku. Namun, sebagian besar dari tempat-tempat itu kosong, hanya menyisakan sedikit bahan yang bahkan bisa dibilang hampir tak ada.

Kegiatanku terus berlanjut, mengambil beberapa kardus dengan isi yang ternyata tak jauh berbeda. Umumnya, mereka berisi jarum suntik bekas pakai serta berbagai alat instrumen. Namun, tak jarang pula dapat kutemukan sarung tangan karet yang tampaknya telah dipakai. Kerutan tak wajar seolah-olah memperlihatkan bekas tangan yang terlalu besar telah memasukinya.

Pertanyaanku selanjutnya, bagaimana mungkin seseorang dapat menyimpan barang-barang seperti ini ke atas sini? Lazimnya menggunakan tangga, kan? Apakah seseorang sengaja membawa tangga ke sini lalu memanjat dan menyimpan seluruh benda yang tak diperlukannya ke tempat ini? Apakah jangan-jangan dokter Ryan kala itu ingin menyimpan seluruh barang tak terpakainya ke tempat ini tetapi sialnya terpergok oleh diriku? Namun, seingatku dia tak membawa apa-apa. Selain itu, jika ia melakukannya tepat setelah membuatku pingsan, bukankah artinya waktu yang dimilikinya sangat sedikit karena orang-orang langsung mengerumuniku?

Tunggu, bagaimana jika ternyata waktu itu ia bersembunyi di balik sini sehingga aku tak menemukannya? Duh, kau benar-benar tolol, Roy! Bisa-bisanya kau seteledor itu. Brengsek, kenapa waktu itu aku terlalu bersemangat menangkapnya hingga meninggalkan ruangan yang bisa kuekspedisi ini? Penyesalan memang selalu datang terlambat, ya? Uh, kurasa itu pula yang mengakibatkanku tak naik pangkat selama bertahun-tahun ini. Namun, walaupun begitu, cara apa yang ia gunakan hingga ia dapat berada di dua tempat sekaligus?

Penjelajahan kulanjutkan, mengunjungi kotak-kotak yang sama dengan isi yang sama pula. Kurasa, dokter Ryan benar-benar telah melakukan pekerjaannya ini dalam waktu yang lama, mungkin bertahun-tahun. Masalahnya, di mana ia mengubur seluruh korbannya?

Apakah dia benar-benar pembunuhnya? Atau ini semua hanya pengaturan dari sang pembunuh sebenarnya untuk menuduh dokter Ryan? Tapi semua tempat ini benar-benar menunjukkan dialah pelakunya. Uh, aku tidak menyukai kerumitan kasus ini.

Akhirnya, setelah merasa cukup, kuhentikan pencarianku terhadap kotak-kotak itu, mencari sesuatu yang lebih menarik lagi. Namun, tak kutemukan benda-benda mencolok lainnya selain alat-alat kedokteran itu. Dalam kegelapan ini, aku berjalan menyusuri susuran lantai yang dipenuhi debu. Kotor, seolah-olah tak pernah ada yang membersihkannya.

Dalam 10 tahun terakhir ini, memang beberapa kasus kehilangan dilaporkan. Namun, jalan buntu pada penyeidikan memaksa mereka—orang-orang yang berkepentingan pada kasus itu—tak melanjutkan penyelidikan. Tak ada jejak, tak ada perkembangan lebih lanjut, semuanya berhenti begitu saja dan mereka pun seolah tak peduli. Namun, melihat semua ini, apa mungkin dokter Ryan telah melakukan seluruh pekerjaannya itu selama sepuluh tahun terakhir? Gila, kenapa tak pernah ketahuan?

Akhirnya, pikiranku teralihkan ketika aku mendapati tumpukan map yang tergeletak begitu saja di atas lantai, berisikan kertas-kertas yang tampak telah termakan usia. Aku berlutut, meraih tumpukan map yang cukup tebal itu sambil tetap menggenggam ponselku, menerangi kertas-kertas itu.

Ternyata, tak hanya album foto itu yang membuatku terkejut. Map ini berisi arsip yang tak kuinginkan. Beberapa berkas berisi nama beserta foto, kegiatan yang biasa merek lakukan. Pagi, siang, malam, lengkap dengan hari-harinya. Sebagian besar dari orang-orang ini adalah gadis berumur kurang dari 15 tahun. Siapapun yang membuat arsip seperti ini, pasti telah menguntit korban-korbannya dengan cara yang mengerikan.

Arsip pertama dimulai sekitar lima tahun lalu, hingga beberapa bulan sebelumnya.

Kubuka lembaran demi lembaran. Seluruh gadis serta beberapa wanita yang berada dalam arsip ini. Tersenyum gembira, beberapa foto kegiatan mereka terlihat seperti itu.

Gila.

Tunggu dulu, bukankah dokter Ryan bilang dia tak pernah mengunjungi tempat ini dalam lima tahun terakhir? Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Atau memang ada sesuatu di tahun itu? Dokter Ryan bilang dia menjualnya pada seseorang, melalui orang ketiga. Ia tak pernah tahu siapa orang itu. Bagaimana jika dokter Ryan itu tak berbohong?

Ahh, brengsek! Kalau begitu siapa orang yang kuikuti itu!? Jelas-jelas itu dia, kan!?

Kusibakkan rambutku sambil menggerutu. Sialan, sialan, sialan. Apakah mataku yang salah?


Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 142K 74
Banyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum la...
S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

329K 17.3K 32
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...
8.6K 1.3K 14
pada hari yang hampir gelap, aku terus menimang dua hati yang kini sudah genap.
564K 32.3K 102
Bisakah kamu menemukan kejanggalan di cerita ini? Bisakah kamu menjawab teka teki berikut? Tuang semua pikiranmu untuk menjawab nya! End.