Detektif Roy : Ritual Pemengg...

By A-Sanusi

182K 20.5K 1.2K

Kota Bandung digegerkan dengan penemuan mayat seorang wanita. Tidak hanya itu, tetapi kepala mayat wanita itu... More

0. Catatan Penulis
1. Pilot
2. Deduksi
3. Force of Will
4. P̷̡͈͇̟͎̭̗̱̬̹̊̀̚̕u ̵́͆̓̊̑̈́̋̄̀̌̚͠͠z̬̆z ̷̨͕̣̈́͋́͋̈͌̚l ̶̢̨̬͇̼͈̠̲̫̓̐̌͝e͉̞̼
5. Rebirth
6. Shadow Jumpers
7. Prank
8. Dark Room
10. Dark Roof
11. Smooth Criminal
12. Return Zero
13. ̴̙͈̰͖̜̥̮͙̗͉̞̠̣̦̈́̋͑̄͋̾͜͝ ̴̛̮̪͋̌͋̂̓͛̎͆͝ ̵̲͈͔͙̣͓͖̩̜̣̓̈̒̏̒͊̒̿̃̈́̋̕̚
14. Delirium
15. Mayat Keempat
16. Departure
17. Hurt
18. Farthest closest
19. Paralyzer
20. Criminal Mind
21. Dark Symphony
22. Between Humanity
23. Ending
Sedikit Tambahan

9. Wonderwall

6.1K 780 38
By A-Sanusi

Aku membuka lembaran demi lembaran album foto itu. Semuanya menyimpan benda yang sama, sebuah pemandangan mengerikan yang tak patut untuk dipublikasikan. Sebuah fotografi mengerikan akan orang-orang yang disekap, diikat, dibunuh dengan mengerikan. Aku tak melihat adanya sebuah kesengajaan sama sekali, foto-foto ini diambil secara natural. Rasa takut objek foto menggambarkan perasaan yang tidak dibuat-buat.

Aku menatap tak percaya.

"Berapa banyak sebenarnya korban yang telah ia bunuh?" Aku menutup album itu, kembali memberikannya pada Wijaya.

"Yang pasti lebih dari dua."

Aku berdecak ngeri, menggelengkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. "Kita harus menangkapnya sekarang."

Wijaya mengembalikan buku itu pada tempat sebelumnya, menatanya dengan rapi setelah mengambil beberapa foto yang ada dan menyimpannya di dalam saku. "Pak, Anda tadi mengatakan bahwa dokter Ryan menyerang Anda, kan?"

Aku mengiyakan pertanyaan Wijaya.

"Bagaimana jika sebelumnya ia akan mengeksekusi korban di sini, tetapi Anda mengganggunya, kemudian dia kabur membawa korban?"

"Tapi dokter Ryan selalu membunuh di malam hari, kan? Setidaknya berdasarkan dua korban yang kita temui. Bukan di pagi hari seperti ini."

"Tapi Anda melihat foto-foto yang tadi, kan?" tukasnya dengan cepat. "Kurasa memenggal kepala korban bukan satu-satunya kegemaran dokter Ryan."

Aku meneguk ludah. Bagaimana jika ternyata ia sudah membunuh ratusan orang? Bagaimana jika ternyata ia baru memublikasikan dua pembunuhannya saja? Bagaimana jika ternyata ia hanya memublikasikan pembunuhan terbaiknya?

Aku segera berlari keluar, diikuti oleh Wijaya. Kuhubungi rekan-rekanku, meminta bantuan mencari dokter Ryan. Jantungku berdegup dengan sangat kencang.

Apakah aku lengah? Apakah aku tak mengintai dengan baik? Kenapa aku dapat ditipu olehnya, tak melihat penculikan yang dilakukannya? Kenapa dia bisa lepas dari pengawasanku? Apakah aku membuntutinya terlalu dekat sehingga dia menyadari bahwa aku mengikutinya selama ini, membiarkanku mengikuti jejaknya dan menyerangku?

===

Tak perlu menunggu waktu yang lama, pencarian kami terhadap dokter Ryan selesai dengan cepat. Aku tak menyangka orang itu masih dapat bekerja, mendatangi rumah sakit tempatnya bekerja ketika ia tahu aku sudah selangkah berada di belakangnya.

Sebuah penangkapan yang tiba-tiba menggemparkan rumah sakit. Dengan cepat berita itu menjadi obrolan hangat di dunia maya. Beberapa dari mereka menceritakan kejadian yang langsung mereka lihat, sedangkan beberapa di antaranya hanya mengomentari—padahal tidak berada di lokasi.

Aku sengaja tak memberitahukan alasan penangkapan, bukan gayaku untuk membesar-besarkan semua masalah yang ada. Namun, selama kejahatannya dapat terbukti dan aku merasa perlu untuk membesar-besarkannya, maka konferensi pers akan menjadi pilihanku.

Dokter Ryan diborgol dan digiring menuju kantor polisi, menuju ruang interogasi yang telah diisi olehku sebelumnya, berjalan tak tentu arah karena rasa tegang yang melanda diriku. Namun, mengingat aku harus terlihat lebih berkuasa dari dokter itu, kumantapkan diriku, membusungkan dada, bersandar pada dinginnya tembok hingga dokter Ryan dapat duduk dengan tenang pada kursi. Aku mengatakan bahwa ia duduk dengan tenang, tetapi tidak dengan mulutnya. Berkali-kali ia berteriak, menanyakan dasar penangkapannya, yang tentu saja tak kujawab. Dia pintar, kan? Seharusnya ia telah mengetahuinya.

Kemudian, di saat yang sama, Wijaya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu beserta seorang pria berseragam kepolisian yang menunggu di depan pintu, menemaniku. Untuk sesaat, Dokter Ryan menghentikan ocehannya, seolah-olah terpana akan kedatangan Wijaya yang begitu mendadak. Namun, bukannya bersikap ramah, Wijaya memberikan foto yang ia ambil pada ruang bawah tanah kala itu, menyodorkannya dengan kasar sehingga aku dapat mendengar suara gesekan antara kertas foto dan meja kayu.

Wijaya tak berkata apa-apa, tetapi aku yakin wajahnya mengintimidasi dokter Ryan hingga orang itu tak berbicara apa-apa, sedangkan aku masih bersandar di belakang.

"Apa?" tanya dokter Ryan, seolah tak mengerti maksud dari sodoran foto itu. Wajahnya seolah-olah terlihat bingung.

"Ingat foto ini?"

Dokter Ryan kembali memperhatikan foto itu sekali lagi. Namun, reaksinya tetap tidak berubah. "Itu menjijikkan."

"Ya, kecuali Anda yang melakukannya."

"Hah?"

"Hah, heh, hah, heh."

Sekali lagi, dokter Ryan kembali memperhatikan foto itu. Ia mengambilnya, dengan kedua tangan yang masih terikat. Matanya memicing. Seketika, ia melepaskan genggamannya itu.

"Kalian menuduhku melakukan penculikan?"

"Bukan menuduh, kami tahu," aku menyela.

"Ini tidak lucu."

"Kami tidak sedang membuat lelucon."

"Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu."

"Tapi kami memiliki bukti."

Dokter Ryan membuat ekspresi yang bagus. Mimik keterkejutannya luar biasa, seolah-olah dia tak melakukan apapun.

"Sekarang jawab pertanyaan saya, Pak," Wijaya mengambil alih. Aku tahu dia ahli dalam melakukan hal ini. Pertanyaannya selalu tepat sasaran. Selain itu, biarpun mungkin dia kurang lihai dalam memutuskan tindakan, tapi dia dapat mengobservasi secara tepat apa yang mungkin bisa dilakukannya. "Apa yang Anda lakukan di rumah itu?"

"Rumah itu?" Dokter Ryan terbata-bata.

"Rumahmu dulu, tempat orang tua Anda meninggal."

"Bicara apa kau!?"

Wijaya sedikit berlebihan, tetapi aku yakin ia hanya ingin membuat Dokter Ryan emosi.

"Pagi ini Anda mengunjungi rumah itu, menyerang rekan saya dan meninggalkannya. Sekarang yang saya tanyakan hanyalah mengapa Anda mengunjungi rumah itu, tidak perlu menjawab lebih dari itu."

"Aku tidak pernah mengunjungi rumah itu lagi dalam lima tahun terakhir."

"Itu lucu, karena saya melihat dengan jelas pagi ini, Anda mengunjungi rumah itu, Dok," selaku lagi, membuat pandangannya kini mengarahku.

Aku dapat mendengar napasnya, keras dan bertubi-tubi. Ia tidak menyukai perlakuan kami, tetapi itu terpaksa kami lakukan untuk mengorek informasi darinya.

"Pukul berapa?"

"Enam pagi."

Kemudian, dalam suara napasnya yang terdengar mengesalkan, Dokter Ryan berkata, "Itu tidak mungkin!"

"Kenapa menurut Anda tidak mungkin, Dok?"

"Pagi ini ada operasi, bahkan aku sudah mempersiapkan diri dari pukul enam pagi."

Mendengar pernyatan itu, Wijaya mendekatiku, memastikan pada pukul berapa aku melihatnya. Sialnya, aku yakin kejadian itu terjadi sekitar pukul enam. Aku mengingatnya, sebab aku mengirimkan pesan pada Wijaya, memberitahunya untuk menyelidiki tentang dokter Ryan bersama-sama, biarpun dia tak segera enjawab panggilanku.

"Akan saya cek kebenarannya." Wijaya menulis catatan pada ponselnya.

Tak ingin kekosongan terjadi, aku melanjutkan interogasi, ketika Wijaya sibuk memainkan ponselnya.

"Di mana mayat lain yang Anda kubur?"

"Mayat apa?"

"Mayat-mayat yang Anda bunuh,"

Dokter Ryan terbelalak, alisnya menggantung tak percaya. Ia sedikit berteriak, "Astaga! Saya tak pernah melakukan hal itu!"

Wijaya mendekati sang petugas, membisikkan sesuatu yang tak dapat kudengar. Namun, aku terlalu sibuk memandangi dokter ini, memicingkan mataku, memastikan tubuhnya tak menghilang dari pandanganku, jadi aku tak peduli apa yang Wijaya perintahkan pada petugas itu.

Petugas itu pergi beberapa detik setelah ia menerima perintah Wijaya. Sedangkan aku masih tetap teguh pada ragaku, diam mematung, menatap dokter itu dengan tajam, membuat ketakutan pada dirinya. Sang dokter bergetar hebat, kakinya mengayung ke kiri dan ke kanan walaupun ia tetap memaksakan tubuhnya untuk tak bergerak di luar kendali—walapun gagal, sih.

"Dengar, Dok, saya sudah bekerja bertahun-tahun di kepolisian, saya tahu benar seluruh pergerakan Anda itu."

Terpatah-patah, sang dokter membalas, "Ka-kalau begitu kau salah kali ini, Pak!" Dokter itu mengepalkan kedua lengannya. "Selalu ada untuk yang pertama kali, kan? Kau mungkin salah untuk pertama kalinya kali ini. Aku berani bersumpah aku tidak pernah membunuh siapapun!"

Aku terdiam untuk sesaat, menurunkan kedua tanganku, melepaskan beban berat dadaku, memasukkannya ke dalam celana.

"Akan kita lihat situasinya ketika kami menemukan bukti dari dalam rumahmu, Dok."

Aku berjalan keluar, meninggalkan lelaki itu berdua bersama Wijaya. Bukan tanpa sebab aku keluar, tetapi aku merasakan suatu kesalahan atas penangkapannya. Aku jelas-jelas memberitahu bahwa pengalaman yang kumiliki sudah memumpuni untuk melihat pergerakannya, membuktikan dia jujur atau berbohong. Namun, hal itulah yang menjadi kendala bagiku.

Dokter Ryan terlihat jujur.

Ketakutannya bukan diakibatkan dari dalam dirinya, merasa seluruh pekerjaannya terbongkar dan tak dapat beraksi lebih jauh lagi. Orang itu takut akan pertanyaanku—juga Wijaya—yang tak diketahuinya. Ia merasa terpojokkan, tak memiliki kesempatan untuk menang. Matanya tidak berbohong, yang artinya hanya ada dua kemungkinan, dokter itu adalah aktor yang baik atau dia memang tak berbohong.

Namun, sekeras apapun otakku berpikir, aku tak dapat membohongi logikaku. Kala itu, aku benar-benar melihat dokter Ryan mengemudikan mobilnya, menuju rumah itu, rumah dengan ruang bawah tanah dengan album foto yang tersimpan di dalamnya, serta sebuah matras yang terletak di tengah-tengah ruangan. Ruangan yang tidak begitu luas.

Tunggu, apakah dari ruangan seperti itu, tak ada benda lain yang dapat digunakannya untuk menyiksa korban?

Aku berpikir dengan keras hingga Komisaris Yudha memanggilku ke ruangannya. Aku telah menguatkan hatiku, sejumlah cacian pasti akan ditujukannya padaku. Telat ke kantor, pistol yang dicuri serta penyelidikan seenaknya, membahayakan nyawa tanpa memberitahunya terlebih dahulu.

Aku memasuki ruangan Komisaris Yudha, melihatnya tengah duduk dengan tegap di atas kursi, melihatku tajam sebelum akhirnya melakukan apa yang sebelumnya telah kutebak. Mulai dari pertanyaan mengenai perkembangan kasus, hingga kecerobohanku sehingga senjata api itu dicuri. Berulang kali ia menceritakan nasihatnya, membuat telingaku panas. Namun, aku tak dapat memotong perkataannya, keluar dengan seenaknya, atau aku akan dimarahi sekali lagi.

Entah sudah berapa permintaan maaf kuberikan padanya, tetapi pria itu tak peduli. Ya, aku mengakui jika itu memang kesalahanku. Namun, jika memang Dokter Ryan pelakunya, artinya dia menyembunyikan pistol itu di suatu tempat, kan? Karena saat penyergapannya, aku tak mendapati pistol milikku. Jika tidak berada di rumah sakit, kemungkinan besar di rumahnya.

Akhirnya, ceramahnya itu diakhiri dengan nasihat agar aku lebih berhati-hati, dan aku hanya dapat berterima kasih, kemudian keluar dari ruangannya, mendapati Wijaya yang telah menungguku di luar, duduk di atas kursi yang tak pernah kusentuh lagi setelah merasakan pegal yang luar biasa akibat duduk di kursi itu.

"Pasti gara-gara tadi pagi, ya, Pak?" tanyanya dengan segera.

"Iya, brengsek memang," balasku ketus. Aku benar-benar tak ingin membahas kejadian itu dan Wijaya malah memulainya.

"Ngomong-ngomong, Pak, saya sudah mendapatkan keterangan atas pengakuan Dokter Ryan bahwa ada operasi pagi ini."

"Lalu?"

"Memang ada operasi, pukul tujuh pagi. Pasien penderita kanker payudara, sudah dijadwalkan dan dokter Ryan ada di sana."

"Tidak mungkin. Aku tidak salah lihat. Aku yakin sekali orang yang kuikuti itu adalah dirinya."

"Tidak mungkin pula dokter Ryan muncul di dua tempat dalam waktu yang bersamaan, Pak."

Aku menghela napas. Brengsek, kenapa bisa seperti ini? Aku yakin benar aku tak salah lihat, tetapi tidak mungkin juga rekan-rekan dokter Ryan berbohong, memberikan kesaksian palsu untuk melindunginya. Maksudku, atas dasar apa mereka melindunginya? Toh mereka pun tidak tahu keterlibatan dokter Ryan pada pembunuhan itu, kan? Kurasa tidak mungkin pula ia mengatakan, "Hei, aku membunuh banyak orang, beberapa mayat kuganti kepalanya dengan manekin! Kalau ada polisi menangkapku, mohon lindungi aku dengan membuat keterangan palsu, ya."

"Jadi, apakah kita harus melepaskannya, Pak?"

"Jangan dulu," kataku. "Masih ada beberapa hal yang ingin kuselidiki, jangan biarkan dia lepas dulu."

Aku tidak tahu apakah aku harus mengikuti perasaanku atau logikaku. Terpampang secara nyata dalam benakku bahwa pelakunya adalah dokter itu, tetapi perasaanku tak menyetujuinya.

Selain itu, kemungkinan lain yang mungkin terjadi adalah sang pelaku yang berada di luar daftar calon tersangka kami—kuharap tak seperti itu. Namun, jika kenyataannya seperti itu, artinya aku harus mengulang dari awal, menyusun seluruh kemungkinan tersangka mulai dari nol. Brengsek, jika memang seperti itu.

Uh.

===

Pencarian telah dilakukan dalam beberapa lama, mengunjungi lokasi penemuan mayat lagi, rumah kosong yang mewah itu, hingga rumah dari dokter Ryan, menimbulkan pertanyaan besar dari benak sang istri—mungkin juga anaknya. Namun, seluruh pencarian berakhir dengan sia-sia. Tak ada senjata apiku, tak ditemukan kemungkinan korban selanjutnya. Selain itu, Dokter Ryan tak mengungkapkan sedikitpun arti dari R3 ataupun rebirth yang kuduga—atau mungkin lebih tepatnya Wijaya—ada hubungannya dengan kasus ini.

Pada akhirnya, aku mengambil matras dan album foto itu sebagai barang bukti. Sialnya, aku masih belum dapat menyangkal alibinya. Sempurna dan masuk akal, tidak mungkin dia berada di dua tempat sekaligus, kecuali jam pada ponselku menunjukkan waktu yang salah—tetapi sayangnya tidak.

Kuurut keningku sambil bersandar pada sofa yang empuk. Langit-langit rumahku seolah berputar, mengelilingi ragaku dengan riangnya.

Kumohon, jangan mengulang dari awal lagi.

Pilihanku kini benar-benar hanya ada dua. Menetapkannya sebagai tersangka, tetapi tak mungkin menangkapnya karena alibi yang kuat, atau mengulang seluruh pekerjaan dari nol, dan artinya itu akan memuakkan.

Apakah Wijaya sedang melakukan hal yang sama denganku, berbaring seperti ini, memijat kening, pelipis hingga mengusap wajah di tengah rasa bingung?

Tiba-tiba, pintu rumahku berdecit, Loka masuk ke dalam kemudian menyimpan sepatunya pada rak. Pukul sembilan malam, itu kebiasaannya untuk pulang selarut ini. Dan seperti kebiasaannya akhir-akhir ini, dia tak menyapaku sama sekali. Ia berjalan begitu saja, melewatiku yang sedang pusing, sebelum akhirnya kucegah ia untuk melakukan itu.

"Loka." Aku berusaha menggapai lengannya dengan tangan kananku yang tergantung. Namun, walaupun gagal, Loka tetap berhenti, menunggu apa maksudku memanggilnya. Aku mencium bau rokok dari tubuhnya.

"Kamu nggak ngerokok, kan?"

Loka menjawab, dengan nada sedatar pertanyaanku, "Nggak, ini temenku kok, Pak."

"Udah makan?"

"Udah lah."

Sunyi, canggung, aku tak tahu harus bertanya apa lagi hanya untuk berbicara dengannya. Aku sendiri tak pandai untuk memulai percakapan—kecuali dalam kewajiban—untuk menarik perhatian.

"Kenapa?" Loka akhirnya bertanya. Namun, aku sendiri tak dapat menemukan jawaban yang tepat. Apakah aku harus mengatakan bahwa seorang psikopat gila baru saja tertangkap, tetapi dia bisa membelah diri menjadi dua? Apakah aku harus memberitahunya bahwa aku benar-benar ingin meluangkan waktu bersamanya, membuat kedekatan dan keterikatan yang lebih kuat? Ataukah ada sesuatu yang lain yang lebih baik untuk kuucapkan?

Namun, seolah tak setuju dengan pergelutan dalam otakku, mulutku terbuka. "Nggak apa-apa."

Akhirnya, Loka kembali melewatiku, tanpa menjawab sama sekali, menuju kamarnya.

Terkadang, di samping pekerjaanku, aku sendiri merasakan kegundahan atas keluargaku. Apakah aku telah menjadi figur yang baik bagi dirinya? Apakah istriku melihatnya dan dia kecewa padaku? Aku tidak tahu, perasaan ini lebih sulit diterka daripada menebak jawaban seorang tersangka—berbohong atau jujur.

Akhirnya, setelah tidur-tiduran dalam waktu yang cukup lama, mataku menjadi berat. Namun, tubuhku terasa begitu berisi, seolah-olah beban seberat 100 kilogram menimpa tubuhku. Aku tak dapat bergerak. Jadi, aku lebih memilih untuk tertidur di sini, terlelap dalam mimpi, berharap hari esok akan lebih baik.

Continue Reading

You'll Also Like

163K 13K 40
Delapan anggota sepupu memutuskan untuk menginap di rumah nenek di pedalaman desa selama liburan. Jawad sebagai ketua geng persepupuan, menyetir sela...
12.8K 769 20
SEASON 2 ~ Takut Orang Mati ••• Setelah meninggalnya ki Jono, bukan lah akhir cerita. Melainkan cerita Gina akan di mulai! Bagaimana kisahnya? Bantu...
514K 32.9K 43
Berisi tentang kekejaman pria bernama Valter D'onofrio, dia dikenal sebagai Senor V. Darah, kasino, dan kegelapan adalah dunianya. Tak ada yang dapat...
2.1K 113 12
Kembar, bukan berarti sama. Banyak hal yang belum pernah kita ketahui tentang apa artinya kembar. Sebuah tantangan yang dilalui, perasaan yang berbed...