C R U E L [EXO] (Publish Juga...

By Chika_Kim

436K 29.8K 24.4K

Kesalahan terbesar Kim Nara adalah mengagumi sosok Oh Sehun. Setelah tahu betapa buruk kelakuan Sehun, Nara m... More

00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
Attention
10 [Private]
Info
With Love, A
11 [Private]
Promote
13
14
15
New Introduction (edited)
Explanation
Please Answer ;))
Response
Yena
Prétendant
From Chika_Kim
Reading Planet
ALLEGRO
COVER

12

13.7K 1.2K 1K
By Chika_Kim

"Sora ingin bicara denganmu."

Mendengar Sehun berkata bahwa Sora ingin bicara dengannya membuat tubuh Nara seolah luruh di tempatnya duduk kini. Keringat dingin membasahi telapak tangannya yang sedang memegang sendok. Seketika perasaan bersalahnya pada sang ibu menyeruak. Mengakibatkan rasa sesak tak berperi menggerogoti benaknya. Namun, rasa bersalah yang ia rasakan kini berperang dengan rasa lain yang mulai menyusup ke dalam hatinya.

Kekecewaan.

Nara menggigit bibirnya dan mencengkeram sendok tanpa sadar. Tangannya yang lain mengepal kuat. Rasa kecewa dalam hatinya terasa kian nyata saat ia ingat apa yang telah Sora lakukan; menyerahkan seluruh harta mereka pada iblis di seberang ia duduk. Catat! Harta yang telah dikumpulkan oleh keluarga mendiang ayahnya dengan darah dan air mata. Betapa gilanya sang ibu, bukan?

Setelah Nara pikir ulang, tak ada gunanya ia merasa bersalah pada sang ibu. Toh karena Sora-lah Nara terpaksa menuruti kemauan Sehun. Bukannya Nara lebih sayang pada harta ketimbang tubuhnya, hanya saja ia tidak rela jika hasil jerih payah kakek dan ayahnya jatuh ke tangan manusia biadab seperti Sehun. Sora tidak bisa seenaknya memberikan kekayaan mereka pada lelaki itu. Nara sungguh tidak terima dengan hal tersebut.

"Aku tidak mau bicara dengan Ibu," ujar Nara mantap. Gadis itu justru melanjutkan kegiatan makannya walau sebetulnya terpaksa. Nara terus menunduk sambil menahan air matanya agar tidak jatuh ke makanannya. Sungguh, sebenarnya Nara merasa sakit bicara seperti itu soal ibunya. Namun rasa sakit yang ditorehkan oleh sang ibu secara tidak langsung jauh lebih menyiksa daripada itu.

Sehun mengangkat sebelah alisnya, heran. Tak lama kemudian pemuda bermarga Oh itu mendengus. "Ambil ponselku dan bicaralah padanya, Kim Nara! Jangan buat Sora curiga padamu," Sehun berbisik sambil menjauhkan ponselnya agar Sora tidak dapat mendengarkan pembicaraannya dengan Nara. Nada bicaranya penuh peringatan.

Alih-alih merasa takut, Nara justru berhenti menyuapkan nasi ke dalam mulutnya lalu mendongak untuk menatap Sehun. Tatapannya seolah menantang. Sehun sempat tertegun, tapi bukan karena tatapan penuh permusuhan yang ia dapatkan dari gadis itu, melainkan karena melihat hazel Nara yang memerah akibat menahan tangis.

"Aku tidak mau lagi bicara dengan Ibu. Sampaikan itu padanya!" Nara bangkit dari kursinya dengan kasar. Gadis itu menghentakkan kakinya meninggalkan ruang makan begitu saja. Membuat Sehun membelalakkan matanya tak percaya seraya memandang punggung mungil Nara yang bergetar hebat.

Sehun sudah hampir membuka mulutnya untuk berteriak memanggil Nara dan mengejar gadis itu. Namun hal itu urung ia lakukan begitu ingat bahwa Sora masih menunggu di ujung sambungan. Sial! Kenapa jadi begini situasinya?

Sambil menahan emosinya yang hampir memuncak pada Nara, Sehun kembali menempelkan ponsel ke telinganya. "Sora ... Nara—"

"Dia tidak mau bicara padaku, ya?" Sora bertanya dengan nada sedih.

Sehun menghela napas pelan lalu bergumam, mengiyakan.

"Aku paham, dia pasti masih merasa sakit hati karena kemarahanku padanya. Tidak apa-apa, Hun. Akan kuhubungi dia nanti. Yang penting aku sudah tenang karena dia aman bersamamu."

Tanpa sadar Sehun mengepalkan tangannya kuat setelah mendengar ucapan Sora. Aman? batinnya mengolok. Anak gadismu sudah kuperawani, Yoon Sora! Dia jelas-jelas sama sekali tidak aman bersamaku.

Sehun mengatur napasnya yang tiba-tiba saja memburu. Dada Sehun terasa sesak seolah ada yang meremasnya kuat. Oh, apakah ia merasa bersalah karena telah tanpa sadar menyakiti hati wanita tercintanya? Entahlah, tapi yang pasti ia sama sekali tidak merasa bersalah pada sang anak tiri yang kini—mungkin saja— tengah sibuk meratapi nasib sialnya.

"Akan kusampaikan salam darimu untuknya," ujar Sehun sejurus kemudian. Pemuda itu sudah menata perasaannya yang tadi sempat kacau.

"Terima kasih, Hun. Ya sudah, kalau begitu aku istirahat dulu. Badanku lelah sekali."

"Kau benar. Istirahatlah dan jangan sampai sakit di sana."

Setelah saling melayangkan kalimat perpisahan dengan sang istri, Sehun pun mengakhiri panggilan. Senyum tipis yang tadinya tersungging di bibir tipis Sehun berubah dalam sekejap. Lelaki itu menghela napas berat sambil mengepalkan tangannya kuat. Tak lama setelah itu, teriakan frustrasi ia loloskan. Sehun mengacak kasar rambutnya sambil merapalkan berbagai macam umpatan.

Lantas, Sehun pun mengarahkan tatapan tajamnya ke arah perginya Nara. Sambil melangkahkan kakinya geram, Sehun pun pergi menyusul anak tirinya.

*****

Nara duduk di atas ranjangnya sambil memeluk lutut. Gadis itu sibuk merenung. Sesekali tatapannya jatuh ke pigura yang terpajang di dinding kamar. Foto keluarga terakhir bersama Junmyeon dan Sora yang diambil beberapa tahun silam terpasang di sana. Nara menghembuskan napasnya berat. Kerinduannya pada sang ayah kembali menyeruak.

Pelan-pelan, Nara menjejakkan telapak kakinya di atas lantai marmer yang dingin. Gadis itu berjalan menuju pigura foto keluarganya dengan tatapan kosong. Begitu sampai di depan pigura itu, tatapan Nara enggan lepas dari wajah sang ayah yang tampak tersenyum bahagia sambil memeluk ia dan ibunya. Nara tersenyum sendu. Lelehan air mata menuruni pipi pualamnya tanpa ia sadari.

Tatapan Nara bergulir pada Sora yang juga sedang tersenyum begitu bahagia di sana. Bukannya senyum sendu yang ia tampilkan sebelumnya, melainkan kekecewaan yang begitu dalam yang tersirat dari tatapan gadis itu.

Nara berdecih sinis seraya berujar, "Dulu Ibu berkata bahwa hanya Ayah-lah yang Ibu cintai setengah mati. Mana buktinya? Setelah ada Sehun, Ibu bahkan rela menyerahkan hasil jerih payah Ayah padanya hanya karena ingin membuatnya tetap berada di sisi Ibu. Tidak tahukah Ibu kalau Sehun justru menggunakannya demi membalaskan dendamnya padaku?" Nara mulai terisak keras. "Dia menghancurkanku dengan kepercayaan yang Ibu berikan padanya, Bu." Dengan cukup keras Nara memukul dadanya yang terasa sesak dan nyeri. Gadis itu tampak putus asa.

Belum hilang rasa sakit di dadanya, Nara menghentikan pergerakannya. Gadis Kim itu menyeka kasar air mata yang mengaliri pipinya lalu kembali menatap wajah sang ibu dengan sorot tajamnya.

"Jika suatu saat nanti terjadi sesuatu yang buruk padaku, jangan pernah salahkan aku, Bu. Sebab secara tak langsung, Ibu sendiri yang membuatku harus mengalami semua itu."

Nara hendak berbalik dari tempatnya berdiri kini untuk kembali naik ke ranjangnya. Namun suara derit pintu menghalangi niatannya dan membuatnya harus menoleh ke asal suara.

Sehun berdiri di sana dengan raut kerasnya.

Dengusan sedikit kasar Nara berikan sebagai sambutan. "Untuk apa kau kemari? Kau hendak menceramahiku soal sikapku tadi? Atau kau mau menjamah tubuhku lagi?"

Sehun membalas pertanyaan Nara dengan senyum sinis. Lelaki itu melangkahkan kakinya dengan santai ke arah Nara yang bergeming di tempatnya. Tatapan tajam enggan beralih dari hazel Nara yang balas menatapnya.

"Aku hanya ingin memperingatkanmu agar kau bersikap sewajarnya pada Sora. Aku tidak mau Sora curiga padamu."

Nara berdecih. "Jadi kau takut perbuatanmu diketahui oleh ibuku?" Nara membuang napasnya jengah sambil berpaling dari Sehun. Tak lama kemudian ia kembali menghunuskan tatapan tajamnya pada lelaki itu. "Karena dirimu aku tidak bisa lagi bersikap sewajarnya pada Ibu. Tidak hanya karena kau, aku juga merasa tersakiti oleh sikap Ibu. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk bersikap seperti dulu lagi padanya. Tapi kau tenang saja, aku akan tetap menuruti keinginanmu atas nama ayahku. Dan aku tidak akan pernah bilang pada Ibu soal perlakuanmu padamu."

Sehun menyunggingkan senyum miring di wajahnya. "Baguslah kalau begitu. Aku tidak menyangka kalau kau akan berpasrah diri secepat ini." Sehun tertawa sinis di akhir kalimat. Pemuda tampan itu mendekatkan wajahnya ke wajah Nara lalu berbisik, "Kupegang kata-katamu. Tapi kalau sampai semuanya terbongkar dari mulutmu, siap-siap saja menerima kejutan dariku."

*****

Nara menatap lelah pemandangan yang terpampang jelas dari kaca mobil. Saat ini Gadis Kim itu berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Sehun. Pagi ini lelaki itu mengantar Nara ke sekolah seperti titah Sora dua hari yang lalu. Nara sama sekali tidak menolak karena, well, ia memang tidak punya kuasa untuk itu. Percuma saja menolak sebab Sehun pasti punya sejuta cara untuk mengancam dan memaksanya.

Kuda besi milik Zitao itu berhenti di depan gerbang SMA Hannam. Tanpa banyak kata, Nara langsung mengulurkan tangannya guna membuka pintu mobil. Tetapi niatannya harus tertunda tatkala Sehun tak kunjung membukakan kunci.

"Apa yang ingin kau katakan padaku?" Nara bertanya lelah seraya menoleh pada Sehun yang masih fokus menatap depan.

Perlahan, fokus Sehun bergulir pada Nara. Dengan wajah serius ia berujar, "Ingat, mulai sekarang jangan pernah biarkan lelaki lain menyentuhmu! Kau adalah milikku terhitung sejak aku menidurimu. Jadi tidak ada yang boleh menyentuhmu kecuali aku. Paham?"

Nara memutar bola matanya sambil mengangguk malas. "Ya, ya, ya aku tahu. Kau tidak perlu memperjelas semuanya karena aku pun sudah paham akan hal itu." Tak lama kemudian, senyum masam terukir di wajah Nara sebelum melanjutkan, "Toh aku sudah tidak lagi berharga untuk dimiliki oleh siapapun jadi kau tidak perlu khawatir."

Sejenak, Sehun tercenung setelah mendengar perkataan Nara. Ada sesuatu yang menelusup ke dadanya. Mengantarkan rasa nyeri tak kasat mata yang membuatnya segera mengalihkan pandangan dari wajah cantik Nara. Entah kenapa Sehun menjadi tak sanggup memandangi wajah gadis itu lama-lama.

Sehun pun membuka tombol pintu agar Nara bisa segera keluar dari sana. "Pulang sekolah aku akan menjemputmu. Jangan terlambat karena aku tidak suka menunggu."

Nara menggumam pelan sebagai balasan sebelum melangkahkan kaki keluar dari mobil mewah yang membawanya. Lagi-lagi Sehun tak mau menatap Nara dan hanya mampu melirik sekilas saat gadis itu menutup pintu.

Sehun pun menghembuskan napasnya secara perlahan kemudian melajukan kembali kuda besi milik Zitao menuju kampus.

*****

"Aku senang kau sudah masuk lagi, Nara."

Nara hanya mampu tersenyum tipis sebagai balasan atas ucapan Jaehyun pada dirinya. Gadis itu melepas tas punggungnya lalu meletakkan pantatnya di kursi.

“Kemarin kau sakit apa? Kenapa tidak cerita padaku?”

Nara berubah kikuk. “Oh, ak-aku hanya sakit biasa kok. Kau tidak perlu khawatir, Jae. “ Usai berkata seperti itu, Nara tanpa sadar menggigit bibirnya. Rasanya begitu menyesakkan saat ia harus berbohong soal keadaannya pada sang sahabat. Namun ia juga tidak mungkin menceritakan kejadian sebenarnya pada Jaehyun. Nara tidak tahu apa yang akan sahabatnya  pikirkan nanti mengenai dirinya. Apakah pemuda itu akan jijik padanya karena ia tak ubahnya sampah sekarang? Nara harap tidak karena Jaehyun satu-satunya yang ia punya saat ini. Sungguh, Nara malu pada Jaehyun. Sangat malu.

“Nara, kau kenapa?”

Sentuhan lembut pada bahunya membuat Nara terkesiap pelan. Refleks, Nara menjauhkan bahunya dari jangkauan Jaehyun. Tatapannya menujukkan keterkejutan luar biasa yang disertai rasa ... takut? Reaksinya yang terlihat berlebihan membuat dahi Jaehyun berkerut tajam.

Sadar akan kebingungan yang melanda sang sahabat, Nara pun buru-buru menjelaskan, “Ma-Maaf, aku ... terkejut. Jadi ....”

Anggukan tanda mengerti Jaehyun berikan sambil tersenyum maklum. “Tidak apa-apa, Nara. Untuk apa kau meminta maaf?” Jaehyun terkekeh.

Nara tersenyum canggung lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Entah kenapa dirinya merasa aneh saat berdekatan dengan Jaehyun seperti ini. Rasanya sangat canggung. Nara seperti berada jauh dari pemuda jangkung itu. Padahal Jaehyun tidak pernah beranjak dari sisinya sama sekali.

“Nara?”

Panggilan Jaehyun membuat Nara tersadar dari lamunannya. Gadis itu mengalihkan fokus pada Jaehyun lalu mengangkat sebelah alisnya, bertanya.

Jaehyun tampak ragu. Pemuda bermarga Jung itu mengusap tengkuknya sebelum bertanya, “Mm, apa kau sedang ... ada masalah? Kulihat hari ini kau tampak sedikit berbeda.”

Bola mata Nara melebar mendengar pertanyaan itu. Nara segera mengalihkan atensi ke atas meja. Tatapan Nara menjadi tak fokus. Gadis itu tertawa hambar saat berkata, “Kau ini bicara apa? Aku baik-baik saja. Aku—“

“Kim Nara, jangan bohong! Aku tahu kalau kau bersikap seperti ini itu artinya kau sedang menutupi sesuatu. Katakan, apa masalahmu?” Jaehyun memutar tubuh Nara agar mau menghadapnya. Tatapan mereka bertemu. Jaehyun bisa merasakan dengan jelas sorot terluka yang terpancar dari hazel Nara. Jaehyun menghela napas khawatir.

“Nara, jujurlah padaku! Kau sedang ada masalah, ‘kan? Katakan, apa itu?”

Desakan Jaehun membuat Nara yang tadinya diam menjadi semakin bisu. Gadis itu menatap bola mata Jaehyun dalam, tapi enggan berkata-kata. Satu sudut dalam hatinya mendorong Nara untuk menceritakan segala macam kesulitan yang sedang ia alami saat ini. Namun, sudut hatinya yang lain menghalangi. Perjanjian bodohnya dengan Sehun menjadi pokok permasalahan yang diributkan oleh batinnya.

Jengah, akhirnya Jaehyun terpaksa melayangkan praduga, “Apa ini ada hubungannya dengan Mingyu dan Haesang?”

Deg!

Tiba-tiba saja tubuh Nara menegang. Gadis itu membeku di bangkunya. Memang hal itu bukanlah masalah utama yang ia alami saat ini, tapi tentu Nara juga tidak akan lupa akan hal menyakitkan yang menimpa dirinya itu. Rasa sakit akibat dikhianati oleh sang mantan kekasih masih membekas di memorinya.

Lelah menanti jawaban, akhirnya Jaehyun dapat menyimpulkannya dari reaksi yang ditunjukkan oleh gadis di hadapannya. “Jadi benar ini semua soal mereka?” Jaehyun menggeram marah. Pemuda itu sudah hampir bangkit dari bangkunya saat tiba-tiba tangan Nara meraih lengannya, menghalangi.

Nara menggeleng cukup keras. “Jangan, Jae. Sudah, biarkan saja mereka. Aku sudah tidak apa-apa. Percayalah padaku.”

“Tidak apa-apa bagaimana? Kau sampai jatuh sakit seperti kemarin karena masalah mereka, bukan? Dan aku juga bisa merasakan luka yang kau alami saat ini. Tapi apa katamu? Kau tidak apa-apa? Jangan bergurau!”

Tapi aku jauh lebih terluka karena hal lain yang tidak dapat kuceritakan padamu, Jung Jaehyun! “Tapi aku sungguh tidak apa-apa sekarang, Jae. Aku sudah memutuskan hubungan kami. Sekarang rasa sakitku sudah jauh berkurang. Kumohon jangan lakukan apa yang ingin kau lakukan saat ini.”

Jaehyun tampak begitu emosi. Napasnya sampai memburu. “Tapi aku tidak bisa diam saja, Kim Nara! Dia telah menyakitimu, maka aku harus melakukan sesuatu yang bisa membuatnya jera. Bukankah aku sudah pernah bilang padamu apa yang akan kulakukan jika dia sampai menyakitimu? Maka itulah yang akan kulakukan sekarang.”

Jaehyun menarik lengannya sedikit kasar dari kuasa Nara dan hendak beranjak pergi dari kelas. Namun, suara bel tanda masuk kelas yang berbunyi nyaring memaksanya untuk tetap tinggal. Jaehyun berdecak. Pemuda itu menatap Nara yang masih setia menatapnya penuh harap. Gadis itu menggeleng. Bibirnya masih setia melancarkan permohonan agar Jaehyun tidak jadi menemui Mingyu.

Jaehyun menghela napas sedikit kasar. Dengan sangat terpaksa, pemuda itu mendudukkan pantatnya kembali. Diam-diam Nara menghembuskan napas lega.

“Jangan harap setelah ini urusanku dan Mingyu sudah selesai, Nara. Aku masih merasa kecewa padanya, asal kau tahu saja.”

Nara hanya bisa menunduk lesu mendengar perkataan Jaehyun yang terdengar sangat serius. Dalam hati gadis itu hanya bisa berdo’a agar kemarahan Jaehyun pada Mingyu akan segera reda.

*****

Jam pelajaran masih berlangsung dan baru akan selesai lima menit lagi, tapi Nara sudah lebih dulu keluar dari kelasnya karena hendak ke toilet. Well, sebenarnya ia tidak benar-benar harus ke toilet sekarang juga. Akan tetapi, gadis itu merasa jenuh berada di dalam kelas. Belum lagi, keterdiaman Jaehyun dan aura kemarahan yang menguar dari tubuh pemuda itu terasa mengintimidasinya. Nara tak pernah melihat seorang Jung Jaehyun semarah itu sebelumnya. Pemuda itu terbiasa bersabar dan menghadapi segala sesuatunya dengan kepala dingin. Entah apa yang membuat Jaehyun begitu murka pada mantan kekasihnya.

Nara baru saja akan masuk ke dalam toilet perempuan saat tiba-tiba saja tangannya dikuasai oleh cengkeraman seseorang. Tak hanya itu, tubuhnya pun dipaksa menjauh dari tempatnya berada kini. Nara menoleh dan matanya membeliak terkejut saat wajah tampan sang mantan kekasih memenuhi hazelnya. Secepat kilat Nara merubah ekspresi wajahnya menjadi keras.

“Lepaskan!” Nara berusaha menghempaskan tangan Mingyu dari pergelangan tangannya. Bukannya terlepas, Mingyu justru semakin mengeratkan kuasanya.

“Kim Mingyu, lepaskan ak—“

“Kim Nara, dengarkan dulu penjelasanku!” Mingyu meraih tangan Nara yang satunya lagi. Nara semakin berusaha memberontak.

“Aku tidak mau dengar apa pun lagi dari mulutmu!”

“Tapi kau harus tahu satu hal, Kim Nara; aku dan Haesang tidak sengaja melakukannya. Kami mabuk, jadi—“

“Terserah apa katamu, yang pasti aku tahu kalau kau masih menyukainya, bukan? Kaupikir aku tidak tahu?” Air mata mengumpul di pelupuk mata Nara. Membuat Mingyu terpekur menatapnya. “Sejak dia hadir kembali ke dalam hidupmu, kau sedikit berubah. Tidakkah kau merasa kalau hubungan kita seakan menjauh akhir-akhir ini?”

Namun, Mingyu dengan cepat bangkit dari keterdiamannya untuk kembali menjelaskan, “Nara, apa yang kaupikirkan itu salah. Aku sudah tidak menyukai Haesang lagi. Baiklah, awalnya kupikir aku memang masih menyukainya. Tapi, setelah kejadian ‘itu’, aku justru tak bisa hidup tenang. Kalau aku memang masih menyukainya, harusnya aku merasa senang, bukan? Nyatanya tidak sama sekali, Nara. Aku terus memikirkanmu. Aku merasa bersalah padamu. Itu sebabnya aku tidak menghubungimu selama kau di Tokyo. Itu juga sebabnya aku tidak berusaha menemuimu selama beberapa hari ini. Rasa bersalah membuatku malu untuk sekedar meneleponmu atau bahkan menemuimu. Tapi, aku sadar bahwa aku harus menjelaskan semuanya padamu. Maka dari itu sekarang aku—"

Bugh!

“Mingyu!”

Belum sempat Mingyu menyelesaikan untaian kata yang sudah terbungkus rapi di pita suara, pipinya dipukul keras oleh seseorang hingga ia jatuh tersungkur. Darah mengaliri sudut bibir pemuda jangkung itu.

"Jaehyun, kumohon hentikan!"

Dengan sigap Nara menerjang tubuh Jaehyun lewat sebuah dekapan saat pemuda itu hendak menyerang Mingyu lagi. Sejatinya Nara tampak ketakutan melihat wajah sahabatnya mengeras, tapi ia juga tidak mau melihat Jaehyun maupun Mingyu terluka karena dirinya. Maka dari itulah Nara berusaha sekuat tenaga melerai keduanya.

"Kau!" Jaehyun mulai bersuara sambil menunjuk Mingyu yang masih tersungkur di lantai tanpa berniat untuk melawannya. "Sudah kubilang bahwa aku merestuimu menjalin kasih dengan Nara asal kau tidak menyakitinya, bukan? Kau sudah berjanji tidak akan main-main dengannya. Tapi apa yang kudapati sekarang? Kau menyakitinya, Bodoh! Kau berselingkuh di belakangnya."

"Aku tidak berniat untuk berselingkuh dengan Haesang, Jaehyun. Kami—"

"Kami memang saling menyukai, tapi status Mingyu dan Nara menjadi penghalangnya."

Nara, Jaehyun, dan Mingyu kompak menoleh ke asal suara feminin yang menyapa gendang telinga mereka. Nara sedikit membelalak terkejut saat menyadari bahwa murid-murid lain sudah mengerumuni mereka dengan raut penasaran yang terpatri di wajah masing-masing. Namun, tidak ada hal lain yang lebih mengejutkannya dibandingkan kehadiran Haesang di tengah-tengah mereka. Gadis yang sedikit lebih pendek dari Nara itu berjalan cepat menuju Mingyu yang belum beranjak dari dinginnya lantai marmer.

Nara harus menekan rasa sesak di dadanya saat melihat perhatian yang dicurahkan oleh Haesang kepada Mingyu. Tak dapat dipungkiri, rasa sayang gadis itu pada sang mantan kekasih memang masih ada walaupun sudah banyak terkikis oleh rasa kecewanya.

“Kalian berdua memang tidak tahu malu,” desis Jaehyun dengan nada sinis.

Haesang menoleh pada Jaehyun dan menatap pemuda itu sengit. Gadis Shin itu bangkit dari posisinya untuk menghampiri Jaehyun dan—

Plakk!

— sebuah tamparan keras bersarang di pipi pemuda jangkung itu.

“Shin Haesang!” Dua pekikan nyaring terdengar dari dua mulut berbeda. Yang satu disertai nada terkejut sedangkan yang lain disertai rasa marah dan tidak terima. Pekikan tertahan dari mulut berpasang-pasang manusia yang juga ada di sana pun ikut terdengar.

“Itu adalah harga yang harus kau bayar karena telah memukul Mingyu,” desis Haesang. Jaehyun menatapnya geram. Pun dengan Nara yang juga ikut merasa kesal pada gadis perusak hubungannya dengan Mingyu.

Nara hendak angkat bicara, “Shin Haesang, kau—“

Sebelum Nara sempat berkata-kata, orang lain sudah lebih dulu menegur perbuatan Haesang. Dengan sedikit kasar, Mingyu yang kini sudah bangkit berdiri menarik paksa tangan gadis bermarga Shin itu. “Apa yang kaulakukan, hah?!” bentaknya pada Haesang yang tampak biasa saja setelah menampar Jaehyun.

Haesang menatap Mingyu kebingungan. “Apa? Aku ‘kan hanya membalas tindakan memalukannya pada dirimu?”

“Tindakan memalukan, katamu?” sentak Jaehyun tak terima. Pemuda itu menatap Haesang tak percaya lalu mendecih sinis. “Asal kau tahu saja, tindakanmu dan Mingyu di belakang Nara itu jauh lebih memalukan. Sebagai perempuan apakah kau tidak malu telah merebut kekasih orang lain?”

Haesang membuka mulutnya, hendak menimpali. Tapi bisik-bisik murid lain yang mengatainya sebagai perusak hubungan orang lain membuat Haesang membungkam mulutnya rapat-rapat. Wajah Haesang memerah karena rasa malu dan marah yang melebur jadi satu. Gadis itu mengepalkan tangannya sekuat tenaga.

“Kau tidak berhak ikut campur dalam masalah ini, Jung Jaehyun. Kau tidak tahu apa-apa soal aku dan Mingyu jadi kau tidak berhak menghakimiku seperti ini,” Haesang menggeram marah. “Lagi pula kenapa harus kau yang merasa tersakiti dalam masalah ini? Kau bukanlah siapa-siapa. Nara yang terlibat saja tidak sampai bersikap berlebihan seperti dirimu—“

“Karena aku menyukai Nara dan aku menyesal telah mempercayakannya pada Mingyu! Aku menyesal telah mengizinkan Mingyu mendekati dan mengencani Nara. Perselingkuhan kalian membuatku secara tidak langsung telah menyebabkan Nara terluka.”

Pengakuan mengejutkan Jaehyun membuat semua mata dan mulut membuka sempurna. Semua orang yang sejak tadi berkumpul demi menyaksikan pertengkaran dua pasang anak manusia itu kaget setengah mati. Tak terkecuali Nara yang menjadi tokoh utama dalam drama picisan anak remaja itu.

Tanpa sadar Nara menarik kedua tangannya yang melingkar di perut Jaehyun. Tatapan tak percaya tersirat dengan begitu jelas dari sorot mata gadis itu. Nara berkaca-kaca.

Sadar telah kelepasan bicara, Jaehyun pun mengerjap panik. Refleks, pemuda bermarga Jung itu menoleh pada Nara dan hendak menjelaskan semuanya, tapi tangan Nara dengan sigap terangkat di udara. Tepatnya di depan dada.

Jaehyun terkesiap pelan saat Nara menunduk dalam sambil menggelengkan kepalanya kuat. Seketika Jaehyun mencelos setelah mengerti apa arti di balik gelengan kepala dan sikap menjaga jarak yang dilancarkan oleh gadis yang merupakan sahabat karibnya itu.

“Kim Nara!” Jaehyun hendak mengejar Nara yang tiba-tiba saja berlari meninggalkan tempat itu. Sayangnya, suara Mingyu lebih dulu menyapa rungunya.

“Jadi selama ini kau juga menyukai Nara, huh?” tanya Mingyu disertai nada tak percaya dalam setiap suka kata yang ia muntahkan. Pemuda itu lantas menggeleng bar-bar sambil mendengus kasar. “Pantas saja selama ini kau over protective padanya. Jadi itu alasannya?”

“Benar, itulah alasanku. Aku ingin melindunginya dari lelaki brengsek seperti dirimu. Kukira kau memang bersungguh-sungguh menyukainya, tapi—“

“Aku memang sungguh-sungguh menyukai Nara, Jaehyun! Tapi sesuatu harus terjadi di luar kendaliku sehingga aku dan Haesang—“

“Apa maksudmu bicara begitu, Mingyu?” Haesang menarik paksa lengan Mingyu agar pemuda menatap wajahnya. “Sesuatu di luar kendalimu? Kita melakukan semua itu atas dasar saling suka—“

“Tidak, Haesang. Itu semua terjadi di luar kendali kita. Dan sejujurnya aku juga merasa bersalah setelah kejadian itu. Saat itulah aku sadar bahwa gadis yang sukai saat ini hanyalah Nara, bukannya kau.”

“Tapi waktu itu kau bilang—“

“Tidak, Haesang. Pikiranku saja yang berpendapat seperti itu, hatiku tidak. Aku sudah tidak menyukaimu seperti dua tahun yang lalu.”

Haesang terperangah tak percaya. Gadis cantik itu menggeleng sambil menggigit bibirnya, menahan genangan air mata di netranya agar tidak jatuh. Tak lama setelah itu, tangan kanannya melayang di udara dan mendarat dengan begitu mulus di pipi kiri Mingyu.

“Brengsek!” makinya sebelum pergi menghentakkan kaki dari tempat itu.

Sementara itu, senyum sinis menghiasi wajah rupawan Jaehyun saat menyaksikan adegan dramatis yang baru saja terjadi di hadapannya. Beberapa saat kemudian pemuda itu beralih pada Mingyu yang masih meringis pelan akibat tamparan di pipi. Jaehyun mendekat ke arahnya.

“Jangan pernah dekati Nara lagi karena akan kupastikan kelak kau akan menyesali perbuatanmu padanya,” desis Jaehyun penuh peringatan.

“Ada apa ini?”

Pertanyaan yang terdengar sangat lantang membuat murid-murid membubarkan diri dengan segera, kecuali Jaehyun dan Mingyu yang masih saling bertatapan sinis. Kedua pemuda tampan itu hanya bisa menoleh ke asal suara dan membelalak terkejut begitu tahu siapa sang empunya nada tegas itu.

Kepala Sekolah Han.

Jaehyun dan Mingyu langsung menjauh dari satu sama lain saat wanita paruh baya dengan gurat wajah yang penuh ketegasan itu mendekat ke arah mereka. Kepsek Han berhenti kurang dari satu meter dari kedua murid andalan sekolahnya itu. Wajahnya tampak angker saat menatap Jaehyun dan Mingyu secara bergantian.

“Kalian berdua, ikut ke ruanganku sekarang juga!”

Tepat setelah mengatakan hal itu, Kepsek Han pun berbalik pergi ke ruangannya. Jaehyun dan Mingyu sama-sama menghela napas lesu kemudian kembali mengarahkan tatapan menusuk pada satu sama lain.

Jaehyun menjadi orang pertama yang menarik diri lalu berjalan mendahului Mingyu ke ruangan Kepsek Han. Mingyu menyusul beberapa detik kemudian.

Namun, tanpa mereka berdua sadari ada seorang gadis bertubuh mungil yang masih tertegun akibat pengakuan Jaehyun beberapa saat lalu. Gadis itu terluka dan patah hati pada saat yang sama.

*****

Kabur bukanlah hal favorit yang kerap kali Nara lakukan jika sedang mengalami suatu masalah. Namun akhir-akhir ini kabur menjadi opsi terbaik yang bisa gadis itu lakukan demi menghindar. Sama seperti saat ini, Nara memilih untuk kabur ke atap sekolah demi menenangkan diri.

Nara merasa terguncang akibat pengakuan Jaehyun tadi. Sungguh, ia tak menyangka bahwa selama ini Jaehyun menaruh hati padanya. Mungkin Nara yang tidak peka atau malah gadis itu yang terlalu bodoh karena tak bisa menangkap kode dari pemuda itu.

Akan tetapi selama ini Nara juga menilai bahwa Jaehyun selalu melakukan hal yang sewajarnya pada dirinya. Tidak ada perlakuan berbeda yang ia dapatkan dari pemuda itu. Jaehyun tetap bersikap layaknya seorang sahabat seperti yang pemuda itu lakukan sejak kecil pada dirinya.

Tapi sepertinya memang Nara-lah yang tidak peka dengan perasaan Jaehyun sama seperti pemuda itu yang tak kunjung peka terhadap perhatian Yeri padanya.

Astaga, Yeri! Serta merta Nara menepuk jidatnya. Apakah tadi Yeri juga ada di sana saat Jaehyun mengakui perasaannya? Ya Tuhan ... jika benar Yeri juga berada di sana, maka tamatlah riwayat Nara. Pasti Yeri langsung patah hati setelah mendengarnya. Dan itu menyebabkan Nara merasa bersalah pada sahabat perempuannya.

“Ya Tuhan ... aku harus bagaimana?” gumam Nara frustrasi sambil menyugar rambutnya kasar. Sungguh Nara begitu bingung sekarang. Air mata yang sejak tadi mati-matian ia tahan akhirnya luruh juga. Nara terisak pelan sambil memeluk lututnya.

Kenapa masalah dalam hidupnya tak kunjung selesai dan justru bertambah? Nara membatin pilu. Tangis dan kepedihannya tak kunjung reda hingga membuat Nara memilih untuk membolos kelas saja. Toh, ia sudah kehilangan muka di hadapan Jaehyun maupun murid-murid lainnya. Pergi ke kelas hanya akan membuatnya kembali tertekan. Nara benar-benar tidak sanggup menerimanya.

Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Setelah menguatkan diri, akhirnya Nara pun beranjak dari atap sekolah menuju kelas untuk mengambil tasnya. Namun, Nara tidak dapat menahan rasa terkejutnya saat melihat bahwa Jaehyun sudah berdiri di depan kelas sambil membawakan tasnya. Gadis itu membeku di tempatnya berdiri kini. Ia segera mengalihkan tatapan ke arah lain selain netra pemuda di hadapannya.

Tubuh Nara semakin menegang tatkala Jaehyun mengambil langkah mendekat. Tetapi Nara tetap bertahan di tempatnya alih-alih mengambil langkah untuk mundur.

“Ini tasmu,” Jaehyun berujar sambil mengulurkan tas dalam genggamannya.

Nara melirik sejenak pada Jaehyun sambil meraih tasnya ragu-ragu. "Terima kasih," ujarnya lirih. Nara hampir berbalik pergi, tapi tangan Jaehyun sudah lebih dulu menguasai lengannya dengan begitu lembut.

"Tolong jangan pergi dulu, Nara. Ada yang harus kubicarakan denganmu."

Perkataan Jaehyun membuat tubuh Nara kaku. Gadis itu bingung harus merespon bagaimana. Setelah memikirkannya cukup lama, Nara pun mengangguk menyanggupi.

Sepuluh menit kemudian, sepasang sahabat itu sudah berada di taman bermain dekat sekolah. Mereka duduk bersebelahan di ayunan.

"Maaf ...." Jaehyun duluan bicara. Nara menoleh ke arahnya dengan dahi berkerut heran, tapi tidak berniat untuk menyela.

Jaehyun menghembuskan napas pelan sebelum melanjutkan, "Aku tahu kau pasti merasa tak nyaman berada di dekatku setelah mendengar pengakuanku tadi. Tapi kalau boleh jujur, aku pun merasa seperti itu."

Hening lagi. Nara masih urung mengeluarkan suara. Gadis itu lebih memilih untuk berteman dengan kebisuan.

"Inilah alasan kenapa aku tidak mau menyatakan perasaanku padamu." Suara Jaehyun mengalun lagi. Kali ini Nara memilih untuk tidak menoleh dan hanya diam mendengarkan untaian kata yang hendak pemuda itu lancarkan.

"Aku tidak mau hubungan kita menjadi canggung seperti sekarang. Aku ingin hubungan kita berjalan seperti biasanya. Apalagi kau juga baru saja putus dari Mingyu. Aku tahu kalau kau pasti masih memendam luka saat ini."

"Maaf, Jae ...."

Ucapan Nara yang begitu lirih membuat Jaehyun harus menoleh ke arahnya. Nara menundukkan wajahnya dalam. Jaehyun menatap Nara penasaran.

"Maaf karena aku tidak bisa membalas perasaanmu. Maaf karena aku tidak peka dengan segala perasaanmu. Sungguh, aku tidak menyangka kalau—"

"Tidak apa-apa, Nara," Jaehyun menukas lembut sambil memegang kedua bahu Nara. Dihadapkannya tubuh gadis itu kepadanya. Senyum maklum menghiasi wajah rupawan Jaehyun saat menatap Nara yang berkaca-kaca. "Dengan status kita yang sekarang saja aku sudah merasa bahagia, Kim Nara. Kau tahu, sejak awal aku memang tidak berharap banyak dari perasaanku ini.  Ya, awalnya aku berharap kau akan membalas perasaanku. Tapi seiring berjalannya waktu, aku sudah bisa menerima semuanya walau kadang aku juga merasa sakit saat kau bersama dengan orang lain. Puncaknya saat kau dan Mingyu berpacaran. Aku benar-benar merasa sakit saat itu, tapi saat melihatmu bahagia dengannya aku pun ikut bahagia. Dan sekarang saat kau sakit karena dirinya, aku pun juga ikut merasakannya—"

Jaehyun tiba-tiba mematung saat Nara beringsut memeluknya dengan begitu erat. Namun rasa terkejutnya dikalahkan oleh rasa khawatir saat merasakan bahwa punggung mungil dalam dekapannya bergetar hebat.

"Nara—"

Nara menggeleng. "Jangan pernah terluka lagi karena diriku, Jae. Kumohon hilangkanlah perasaanmu padaku! Aku tidak pantas disukai oleh dirimu. Aku—"

"Sst, Nara! Ada apa denganmu? Kenapa kau bicara seperti itu?" Jaehyun menarik diri dari dekapan Nara dengan sedikit terpaksa. Pemuda bermarga Jung itu menatap Nara yang masih sibuk menggeleng.

Jaehyun menghela napas sedikit kasar. "Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tidak mengharapkan balasan darimu? Aku tidak apa-apa—"

Nara menghempaskan tangan Jaehyun yang bertengger di bahunya dengan sedikit kasar. "Tapi aku yang tidak baik-baik saja dengan perasaanmu, Jae! Aku merasa bersalah karena tidak bisa membalas rasa sukamu. Di balik semua itu, aku merasa tidak pantas disukai oleh dirimu."

"Apa yang membuatmu tidak pantas, Kim Nara? Apa salahnya jika aku menyukai dirimu?"

"Aku ko—" Tiba-tiba saja Nara tercekat. Kata-kata yang hampir saja keluar dengan tidak sengaja dari mulutnya mulai tertelan kembali. Dia hampir saja bilang pada Jaehyun bahwa ia sudah tak lagi berharga sebagai seorang perempuan. Ia kotor. Ia tak ubahnya sampah. Jalang.

"Kau apa? Jawab aku, Kim Nara!" Jaehyun mendesak.

Nara masih setia terdiam hingga akhirnya pada detik ketiga ia menggeleng keras dan bangkit dari ayunan.

"Mulai sekarang jangan pernah dekati aku lagi jika kau masih memiliki rasa padaku. Sebelum perasaanmu padaku hilang, aku tidak mau lagi bicara denganmu, Jung Jaehyun. Maafkan aku."

"Kim Nara!"

Nara beranjak pergi dari taman bermain dengan derai air mata yang membasahi pipi. Awalnya Nara tidak terlalu kencang berlari meninggalkan tempat itu. Namun begitu menyadari kalau Jaehyun ternyata turut mengejarnya, Gadis Kim itu segera mempercepat langkah.

Baru beberapa meter ia berlari, kedua tungkainya harus terpaksa berhenti saat melihat sebuah mobil sudah menunggunya tak jauh dari tempat ia berada saat ini. Nara membulatkan matanya terkejut saat melihat siapa sosok yang ada di dalam mobil itu ketika kacanya diturunkan.

Oh Sehun.

Nara menelan salivanya susah payah saat menyadari raut angker yang terpatri di wajah tampan pemuda itu. Sepertinya Sehun sedang marah entah karena apa. Apakah itu karena dirinya? Kalau iya, maka celakalah Nara.

"Nara!"

Panggilan serta langkah Jaehyun yang semakin mendekat membuat Nara tersadar dari situasi yang ada dan kembali merajut langkahnya yang tertunda. Gadis itu segera berlari ke mobil yang Sehun tumpangi lalu melompat ke dalamnya sesaat setelah Sehun membukakan pintu untuknya.

"Kau terlambat," desis Sehun tak suka.

Nara menganggukkan kepalanya cepat. "Aku tahu, maka dari itu cepat jalankan mobilnya!" Nara berseru panik saat melihat Jaehyun yang sudah hampir menjangkau mobil.

Tanpa memusingkan sikap aneh Nara dan Jaehyun, Sehun pun segera melajukan mobilnya dengan kecepatan kilat. Masa bodoh dengan sikap aneh yang ditunjukkan kedua remaja itu sebab Sehun sudah menyiapkan 'hadiah' spesial untuk Nara karena telah berani membuatnya menunggu lama serta memerintahnya.

*****

Brakk!

Dengan kasar Sehun membuka pintu rumah megahnya sambil menyeret Nara agar ikut bersamanya. Nara memberontak dan berteriak agar Sehun melepaskan tangannya. Cengkeraman kuat tangan Sehun pada tangannya membuat Nara kesakitan. Seolah tuli, Sehun masih saja sibuk menarik kasar tangan gadis itu menuju ruang tamu.

"Aw!" Nara berteriak kesakitan saat punggungnya menyapa sandaran sofa setelah Sehun menghempaskan tubuhnya secara kasar ke sana.

"Kau ini ken—Apa yang akan kaulakukan?!" Nara mengerjap panik saat Sehun mulai membuka kemeja hitam yang membalut tubuh atletisnya.

Sehun menyeringai dan membuang asal kemejanya. "Apa yang akan kulakukan? Tentu saja menghukummu, Sayang!" Kini Sehun mulai membuka kancing celana jeans-nya lalu mendekati Nara.

"Hukuman ap—hmmph!"

Nara memberontak saat Sehun langsung menyambar bibir ranumnya dan mendesak tubuhnya agar semakin terhimpit ke sofa. Kedua tangan Nara diangkat ke atas kepalanya oleh tangan kanan Sehun sementara tangan kiri pemuda itu sibuk membuka kancing kemejanya. Setelah kancing kemeja sekolah Nara tanggal semua, tangan Sehun yang bebas pun bergerilya menyentuh kulit telanjang gadis itu.

Setelah puas menghabisi candunya, Sehun pun menarik diri. Disertai senyum puas, ia menatap wajah kacau Nara yang berada di bawahnya.

"Ini adalah hukumanmu karena telah membuatku menunggu, memerintahkanku, dan membiarkan Jaehyun menyentuhmu."

Mulut Nara membulat tak percaya. Gadis itu menggeleng tak terima. "Tunggu dulu! Bukan Jaehyun yang menyentuhku duluan, tapi aku yang—"

"Sama saja, Bodoh! Menyentuh ataupun disentuh oleh lelaki lain selain diriku haram hukumnya bagimu!"

"Tapi Jaehyun sahabatku, apa tidak boleh jika aku—"

"Ternyata kau masih saja bodoh, ya?" Sehun meloloskan tawa bernada ejekan. "Jaehyun itu tidak lagi menganggapmu sebagai seorang sahabat! Dia jelas-jelas menyukaimu, Bodoh!"

"Dari mana kau ... tahu?" Nara tampak terkejut. Gadis itu mulai berpikir kalau Sehun mendengar pembicaraannya dengan Jaehyun di taman tadi.

Sehun tergelak pelan. "Tentu saja aku tahu. Tatapan Jaehyun padamu menyiratkan semuanya. Jelas sekali kalau pemuda itu menyukaimu."

Nara merasa tertohok mendengar perkataan Sehun. Bahkan Sehun yang tidak kenal secara pribadi dengan Jaehyun saja bisa mengetahui perasaan pemuda itu pada dirinya. Ternyata memang benar bahwa selama ini Nara-lah yang terlampau bodoh untuk menyadarinya.

Nara terkesiap pelan saat Sehun mulai membalik tubuhnya secara kasar dan menyuruhnya untuk berpegangan pada sandaran sofa.

"Kau mau apa?" pekiknya dengan nada panik saat Sehun mulai menyingkap kasar rok sekolahnya dan menurunkan celana dalamnya dengan tidak sabaran. Nara berusaha membalikkan badannya kembali, tapi Sehun menahannya.

"Sekarang, jangan banyak bertanya dan nikmati saja hukumanmu, Jalang Kecil!"

"Argh!"

Nara tak kuasa menahan teriakan kesakitannya saat Sehun tanpa hati menghujam tubuhnya dengan kasar dari arah belakang. Dan kejadian itu pun semakin menegaskan seberapa tak pantasnya seorang Kim Nara untuk dicintai dan dimiliki oleh siapa pun, termasuk sahabatnya sendiri; Jung Jaehyun.

To be continued.....

Author's note:

Halo semuanya!! Pertama-tama mau minta maaf karena chapter ini ngarettt banget up nya. Real life lagi sibuk sekali jadi waktu nulis pun ikut tersita. Sekali lagi maafkan aku yaaa :((( Dan kayaknya next chap juga bakal ngaret nih soalnya real life masih sibuk huhuhu. Tetap tunggu aja kapan lanjutnya yaa walaupun nanti kemungkinan besar bakal di luar jadwal upnya.

Gimana nih kesan kalian tentang chapter ini?? Maaf ya kalo misal ada EYD nggak pas, kalimat rumpang, feel yang nggak nggak kerasa, dsb. Makasih buat yang udah ngedukung ff ini dari awal sampe sekarang. Kehadiran kalian tuh mood booster banget buatku ;)))

Buat yang dari kemaren nanya up nya kapan, makasih ya buat kalian yang udah rajin nagih di line maupun boardku. Sumpah, aku terharu lhoo karena kalian perhatian banget ke ff ini. Padahal isinya asdfghjkl wkwk. Makasih juga buat yang udah ngasih semangat ke aku dan pengertian banget ke aku yang emang lagi sibuk dan waktu nulisnya juga sedikit. Pokoknya makasihh yaa ;))

See you next chapter yaa. Pokoknya kalo pas jadwalnya aku belum up, tagih aja nggak papa kok. Sekalian buat penyemangatku hehe.

Sekian,

Chika_Kim (Sehun' wifey)

Continue Reading

You'll Also Like

148K 9.2K 18
Versi lengkap ada di playstore dan Dreame. Cuzz cek *** Abigail Hart adalah agen khusus di mana dia harus terbunuh oleh pengkhianatan kekasihnya send...
109K 9.4K 15
[MATURE CONTENT] Oh Taehyung, merasa dirinya adalah pria malang yang hidupnya penuh kekangan sejak kecil. Dia pria dingin, tak acuh, mendekati apati...
192K 17.6K 30
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
Mom? [ch2] By yls

Fanfiction

99.1K 10.3K 31
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...