C R U E L [EXO] (Publish Juga...

By Chika_Kim

436K 29.8K 24.4K

Kesalahan terbesar Kim Nara adalah mengagumi sosok Oh Sehun. Setelah tahu betapa buruk kelakuan Sehun, Nara m... More

00
01
02
03
04
05
06
07
08
Attention
10 [Private]
Info
With Love, A
11 [Private]
Promote
12
13
14
15
New Introduction (edited)
Explanation
Please Answer ;))
Response
Yena
Prétendant
From Chika_Kim
Reading Planet
ALLEGRO
COVER

09

10.5K 1.3K 1.2K
By Chika_Kim


Sejak kecil Kim Nara selalu bermimpi akan pergi berlibur ke Jepang bersama ayah dan ibunya. Gadis itu sangat menyukai Jepang—khususnya Tokyo— karena ada Disneyland di sana. Menurut Nara, Jepang itu indah dari segala aspek. Gadis itu menyukai segala hal berbau Jepang seperti bahasa, kebudayaan, dan makanannya. Namun, semenjak ayahnya tiada seketika itu juga impian Nara untuk pergi ke Negeri Sakura bersama dengan keluarga kecilnya sirna. Walaupun begitu, Nara tidak lantas mengubur dalam-dalam keinginannya untuk pergi ke sana kendati hanya bersama dengan ibunda tercinta.

Nara acap kali merengek pada sang ibunda agar di ajak pergi ke negara impiannya. Dalam beberapa tahun ini Sora memang sering sekali berkunjung ke Tokyo untuk mengurus bisnisnya di sana. Sayang, Nara sama sekali tidak pernah di ajak karena faktanya Sora pergi bukan untuk sekedar berlibur. Namun Nara tak perlu merasa khawatir sebab Sora selalu membawakannya bermacam-macam oleh-oleh khas Negeri Matahari Terbit itu. Bahkan Sora berjanji kalau mereka pasti akan mengunjungi negara itu jika Sora sedang punya waktu luang.

Kali ini, impian Nara untuk mengunjungi Jepang pun akhirnya tercapai. Kaki rampingnya sudah menapaki Bandara Narita bersama Sehun. Bukannya merasa gembira, gadis itu tampak bersimbah air mata alih-alih tersenyum lebar. Hal itu bukan tanpa alasan mengingat kepergiannya ke Tokyo untuk pertama kali bukan untuk berlibur, melainkan untuk mengunjungi rumah sakit di mana Sora di rawat atas kecelakaan yang menimpa dirinya.

Rupanya kedatangan Sehun dan Nara sudah dinantikan oleh Sekretaris Jang yang mendampingi Sora selama lawatannya ke Tokyo. Sekretaris Jang tidak turut menjadi korban dalam kecelakaan yang dialami atasannya karena saat itu mereka berada di dalam mobil yang berbeda. Pria itu pula yang semalam mengabari Nara perihal kondisi Sora.

Saat ini Nara dan Sehun sudah duduk di jok belakang Mercedes Benz yang disopiri oleh Sekretaris Jang menuju rumah sakit. Isakan Nara belum juga usai sejak turun dari pesawat tadi. Bahkan sejak pesawat yang mereka tumpangi mulai lepas landas dari Bandara Incheon beberapa jam yang lalu, pipi Nara sudah mulai basah oleh sungai air mata. Membuat Sehun hanya mampu terdiam melihatnya.

Sehun bingung harus bersikap bagaimana. Tak hanya Nara, ia juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan yang gadis itu rasakan. Pemuda itu tak sanggup membayangkan kondisi Sora saat ini. Membayangkan rasa sakit yang sedang Sora alami sekarang saja sudah mampu membuat hatinya terasa nyeri.

Bagaimana bisa Sehun menenangkan Nara kala hatinya sendiri merasa tak tenang?

Kuda besi yang mereka tumpangi berhenti di depan lobi rumah sakit yang digadang-gadang menjadi tempat Sora menjalani perawatan. Nara dan Sehun segera keluar dari mobil lalu dengan setengah berlari mereka mulai menerjang masuk ke gedung rumah sakit. Sebelum keluar dari mobil tadi, mereka sudah lebih dulu diberi petunjuk soal ruangan tempat Sora dirawat. Jadi tak heran kalau mereka bisa langsung berlari masuk tanpa harus bertanya pada perawat atau bagian resepsionis terlebih dulu.

Setelah sekian waktu berlalu, Nara dan Sehun pun sampai di depan ruangan yang dituju. Sambil meredakan detak jantung yang menggila serta deru napas yang tidak beraturan, tangan ramping Nara perlahan menjangkau kenop pintu, memutarnya kemudian mendorongnya pelan. Kepalanya mengintip sedikit untuk memastikan kalau ruangan itu memang benar ruangan yang ditempati Sora.

Nara tercekat sesaat setelah melihat siapa yang terbaring dengan lemah di atas ranjang. Tanpa perlu waktu waktu lama, Gadis Kim itu kembali terisak keras sambil menerobos masuk ruangan bernuansa putih itu. Hati Nara teriris perih melihat kondisi sang ibu yang tampak menyedihkan. Bagian tubuh Sora masih lengkap, Nara bersyukur atas hal itu. Namun, perban yang melilit di beberapa bagian tubuh sang ibu tetap membuatnya hancur.

Sehun muncul sedetik kemudian dengan gurat keterkejutan yang nyaris sama dengan yang anak tirinya rasakan. Dadanya yang sudah terasa nyeri menjadi semakin nyeri melihat betapa parahnya kondisi sang istri. Pelan-pelan lelaki itu merajut langkah mendekati ranjang. Matanya enggan lepas dari wajah tidur sang istri yang tampak begitu cantik walaupun dahinya terlilit perban. Diamatinya sekali lagi kelengkapan bagian tubuh sang istri dari ujung rambut hingga hingga ujung kaki. Semuanya masih lengkap, tapi Sehun belum bisa memastikan apakah semuanya baik-baik saja atau tidak. Dari luar Sora-nya memang masih sempurna, tapi entah bagaimana di dalam.

“Ibu ....”

Suara Nara yang begitu lirih tapi begitu menyayat hati terdengar di telinga Sehun ketika lelaki itu mendekat. Rongga dadanya kian terasa nyeri. Sakit sekali mendengar tangis lirih Nara yang dipadukan dengan pemandangan menyakitkan kondisi Sora saat ini.

Punggung Nara bergetar hebat, begitu pula dengan tangannya yang saat ini menggenggam lembut tangan ramping sang ibu. Hal itu tanpa sadar membuat Sehun mengulurkan tangannya guna menjangkau bahu Nara dan menarik gadis itu ke dalam dekapan hangatnya. Usahanya tak berbuah penolakan. Dengan pasrah, kepala Nara kini terkulai di bahu lebarnya. Sehun menggumam serta mengusap bahu Nara, berusaha memberinya kekuatan dan ketabahan.

“Ekhem ....”

Satu dehaman pelan sukses membuat kedekatan Sehun dan Nara merenggang. Dua anak manusia itu secara sigap menggulirkan fokus pada sosok gagah Sekretaris Jang yang entah sejak kapan berdiri beberapa langkah di belakang punggung mereka. Pria jangkung yang hampir berusia setengah abad itu tampak canggung melihat dekapan hangat yang Sehun berikan pada putri atasannya.

“Ada apa, Paman?” tanya Nara dengan suara seraknya. Itu adalah kalimat terpanjang yang lolos dari bibir mungil Nara terhitung sejak mereka menjejakkan langkah di Tokyo.

Lagi-lagi pria paruh baya itu berdeham pelan sebelum menjawab, “Dokter ingin menemui kalian berdua. Beliau hendak membicarakan soal kondisi Presdir.”

Dengan sigap Nara menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi pipi pualamnya lalu membalas, “Baik, aku akan ke sana.” Gadis itu menoleh pada Sehun. Tatapan matanya seakan mengajak Sehun agar turut bersamanya.

Sehun mengangguk singkat sebagai jawaban. Lantas, Sekretaris Jang mulai berbalik pergi dari ruang rawat Sora diekori oleh Sehun dan Nara di belakang punggungnya.

*****

Hari itu matahari bersinar begitu terang di Tokyo. Udara di kota itu juga cukup bersahabat; tidak ada panas terik. Bunga-bunga sakura yang mulai tumbuh menghiasi taman rumah sakit tempat Nara berada saat ini. Berbanding terbalik dengan suasana menyenangkan di sekitarnya, suasana hati gadis itu justru sedang mendung. Gadis itu menangis dalam diam. Diagnosa Dokter Sakuramoto beberapa saat yang lalu berhasil membuatnya berduka atas kehilangan yang Sora rasakan.

Kesempurnaan Sora sebagai seorang wanita harus sirna. Kecelakaan parah yang dialaminya membuat Sora harus merelakan rahimnya diangkat dari tubuhnya. Itu artinya, sampai menghembuskan napas terakhirnya nanti, wanita itu tidak akan pernah punya anak lagi.

Nara menghembuskan napasnya dengan sangat berat. Batinnya kembali teriris luka ketika mengingat perkataan Dokter Sakuramoto yang sempat Sehun terjemahkan padanya tadi. Ya, Nara memang tidak mendengar secara langsung diagnosa yang disampaikan oleh dokter gagah itu sebab ia tak mengerti bahasa Jepang sama sekali. Sambil menahan luka hatinya, Sehun-lah yang menyampaikan berita duka itu kepada dirinya.

Awalnya Nara merasa sedikit takjub mendengar kefasihan Sehun saat berbicara dalam bahasa Jepang tadi. Namun, rasa kagumnya itu tak bertahan lama sebab apa yang Sehun sampaikan padanya sukses membuatnya terkejut bukan main. Sebagai sesama perempuan, tentu saja Nara merasa sedih atas apa yang ibunya rasakan. Sebenarnya tidak apa-apa jika Sora memang sudah tidak bisa memiliki anak lagi. Toh, sudah ada Nara dalam hidup wanita itu.

Masalahnya, di dalam kasus ini bukan hanya Sora yang merasa terluka. Sehun, suami baru ibunya itu juga ikut terluka dengan apa yang menimpa wanitanya. Bayangkan saja, Sora dan Sehun baru menikah selama hampir dua minggu. Tetapi kini ibu dan ayah tirinya harus menerima kenyataan bahwa di antara mereka tidak akan pernah ada keturunan. Sungguh ironis, bukan?

“Nara,” bariton lembut menyapa rungu gadis berkulit putih yang sedang duduk di atas bangku taman.

Nara menoleh lalu dengan sigap berdiri saat mendapati senyuman hangat Sekretaris Jang. Rautnya sedikit menunjukkan keterkejutan saat bertanya, “Ada apa, Paman? Apakah Ibu sudah sadar atau—“

Gelengan pelan Sekretaris Jang berikan. “Belum, Nara. Presdir sama sekali belum sadar. Aku kemari hanya untuk menemanimu.”

Nara bergumam pelan sebagai respon. Gadis cantik itu mempersilakan pria yang sudah ia anggap seperti pamannya sendiri agar duduk di sampingnya.

“Ini.” Seketaris Jang menyodorkan sekaleng soda untuk diminum oleh Nara.

Nara memberikan senyum tipisnya lalu mengambil soda itu. “Terima kasih, Paman.”

Sekretaris Jang menganggukan kepalanya sebagai respon.

Sekian waktu berlalu hanya dilalui oleh kebisuan masing-masing raga yang kini sibuk dengan minuman bersodanya. Baik Nara maupun Sekretaris Jang tak ada yang mau memulai percakapan hangat yang biasa mereka lakukan saat bersua. Keindahan taman rupanya menarik minat mereka lebih banyak daripada objek di samping mereka.

“Kau tidak ingin menunggu di sana saja bersama Sehun?” bariton Sekretaris Jang memecah keheningan di antara mereka.

Tanpa menoleh, Nara menggeleng sedih. Sejak keluar dari ruangan Dokter Sakuramoto tadi, Nara lebih memilih untuk pergi ke taman guna mengurangi kesedihan yang dialami olehnya. Bukannya tidak sayang pada Sora dan tidak ingin menunggunya hingga siuman, hanya saja Nara tidak sanggup menyampaikan pada sang ibu perihal kemalangan yang menimpanya.

“Paman kasihan melihat Sehun tadi.”

Perkataan Sekretaris Jang kali ini berhasil membuat Nara menoleh. Dahinya berkerut penasaran. Namun, gadis itu tak lekas menyuarakan isi pikiran dan lebih memilih untuk tetap diam, mendengarkan.

“Sehun tampak begitu terpukul. Paman bisa merasakan kekhawatirannya terhadap reaksi ibumu nanti. Sepertinya dia memang tulus mencintai Presdir.”

“Benarkah?” tanya Nara lirih. Teramat lirih hingga suaranya tersamarkan oleh hembusan angin.

Nara menarik kembali seluruh atensinya dari Sekretaris Jang. Setengah hati ia masih meragukan apa yang pria itu lihat dari tatapan Sehun. Namun, di sisi lain ia juga ikut merasakan apa yang sekiranya Sehun rasakan saat ini. Nara sendiri juga tidak tahu kenapa ia tiba-tiba bisa merasa seperti itu. Yang jelas ia merasa sedih atas kejadian yang menimpa ibunya.

Setelah sekian lama duduk di taman, Nara dan Sekretaris Jang memutuskan untuk kembali ke ruangan Sora. Berbeda seperti saat di taman tadi, mereka berdua kini hanyut dalam obrolan singkat mengenai banyak hal, seperti sekolah Nara, keluarga Sekretaris Jang, dan lain sebagainya.

Akan tetapi Nara dan Sekretaris Jang langsung terkejut saat suara jerit pilu terdengar dari dalam ruang rawat Sora. Untuk sesaat mereka saling bertatapan sebelum akhirnya kompak berlari menuju ke asal suara. Mereka langsung kehabisan kata-kata saat melihat Sora sedang menangis menangis histeris dalam dekapan erat Sehun. Tanpa perlu banyak bertanya mereka pun tahu kalau Sora pasti sudah mendapat kabar soal kenyataan pahit yang harus ia terima.

Air mata Nara kembali tumpah dan dengan sigap Sekretaris Jang menarik bahu gadis ke dalam rangkulan menenangkan.

Dan untuk pertama kalinya, Nara melihat sorot terluka yang teramat dalam terpancar dari netra Sehun.

*****

Setelah dirawat selama hampir seminggu di rumah sakit, akhirnya Sora diperbolehkan untuk pulang ke Seoul. Selama menjalani perawatan di Negeri Sakura, Nara dan Sehun tak pernah absen menemaninya. Bahkan Nara sampai harus izin tidak masuk sekolah demi dirinya. Sehun beda lagi, lelaki itu hanya masuk kuliah selama tiga hari dalam seminggu. Jadi bolos kuliah pun tidak terlalu masalah baginya.

Saat ini, ia bersama anak dan suaminya sudah tiba di istana mereka setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan dari Tokyo. Malam telah menjelang. Tubuh mereka tidak hanya pegal, netra mereka pun juga sudah terasa berat kendati sempat terpejam selama beberapa saat. Karena itu mereka memilih untuk langsung pergi ke kamar masing-masing demi menyapa keempukkan ranjang.

Dengan bantuan Sehun, Sora mulai menapaki anak tangga guna menuju ke kamar. Nara mengekori ia dan Sehun di belakang. Gadis itu hendak pergi ke kamarnya sendiri. Sehun dan Sora sudah berada di ambang pintu kamar saat Nara bertanya, “Apa Ibu butuh sesuatu? Jika iya, aku akan mengambilkannya untuk Ibu.”

Sora menatap Nara dengan senyum manis yang mengambang di wajahnya. “Tidak ada, Sayang. Pergilah ke kamarmu dan istirahatlah. Besok kau harus pergi ke sekolah. Kalau Ibu butuh sesuatu, Ibu bisa meminta tolong pada Sehun atau Bibi Jung.”

Nara balas tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu aku tidur duluan."

Sora mengangguk. Nara beranjak dari depan kamar Sora dan Sehun ke kamarnya sendiri. Sementara itu, Sehun hanya menatap kepergian Nara dalam diam. Perasaan aneh kembali menghantuinya bahkan saat ia hanya menatap punggung gadis itu. Membuat pikirannya sedikit teralihkan dari pemilik pinggang dalam rengkuhan posesifnya.

“Ayo!”

Suara Sora yang mengalun lembut ke gendang telinganya membuat Sehun lekas menoleh. Lelaki itu tersenyum tipis lalu menuntun sang istri memasuki kamar mereka.

Dengan cekatan Sehun membaringkan tubuh Sora di ranjang. Luka akibat kecelakaan yang Sora alami belum benar-benar sembuh, maka dari itu Sora masih merasa kesulitan saat harus melakoni beberapa hal. Karena itulah ia butuh bantuan Sehun dalam melakukan aktivitas tertentu.

“Mau kuambilkan sesuatu? Atau kau mau ganti baju dulu sebelum tidur, mungkin?” tawar Sehun dengan suara selembut kapas. Mengundang gelengan pelan disertai senyum merekah di paras istri tercinta. Sehun duduk di pinggir ranjang sambil mengusap kepala Sora dengan penuh kasih sayang.

Perlahan tapi pasti tangan Sora menjangkau tangan Sehun yang ada di puncak kepalanya. Sementara tangannya yang lain meraih tangan Sehun satunya. Sehun tak dapat menutupi raut bingungnya saat melihat Sora tengah asyik menggenggam kedua tangannya sambil memainkannya pelan.

Seulas senyum tak kunjung hilang dari wajah cantik Sora ketika wanita itu menatap jalinan tangannya dan tangan Sehun. Namun, semakin lama senyum itu terasa janggal di matanya. Senyum itu lebih menyerupai senyum sendu.

Sehun hendak membuka mulutnya saat Sora sudah lebih dulu berkata, “Terima kasih atas perhatianmu selama ini, Sehun. Aku beruntung memilikimu.” Kristal bening yang entah sejak kapan mulai mengumpul, kini menetes secara perlahan dari hazel Sora.

Sehun terkesiap. Lelaki itu menarik tangannya dari genggaman Sora untuk menghapus sungai air mata yang mengaliri pipi wanitanya semakin deras. “Sst, Sora ... apa yang kaubicarakan ini? Kenapa kau menangis?”

Sora menggeleng di sela isakannya. “Aku masih merasa bersalah padamu, Sehun. Melihat begitu besarnya perhatianmu padaku membuatku semakin merasa tak berguna sebagai seorang istri. Aku tidak bisa membahagiakanmu. Aku tidak sempurna. Aku tidak bisa memberikanmu keturunan. Aku—“

“Hei, hei, Sora ... apa maksudmu bicara seperti itu?” Nada suara Sehun terdengar tegas. Kedua tangannya merangkum wajah Sora. Netranya menatap hazel Sora dengan sangat dalam. Tatapan Sehun yang begitu tajam mampu membuat Sora kehilangan kata-kata dan berakhir membisu.

“Bukankah aku sudah bilang padamu bahwa aku mencintaimu tanpa syarat? Tidakkah kau paham dengan arti kata-kata itu? Aku mencintai apa adanya dirimu, Yoon Sora. Tidak masalah jika sampai kapan pun kita tidak akan memiliki buah hati.” Sehun menjeda sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering saat melanjutkan, “Lagi pula, kita sudah memiliki Nara. Dia putri kita. Tidak peduli walaupun dia bukan darah dagingku, aku tetap akan menyayanginya seperti aku menyayangi putri kandungku sendiri. Bukankah aku sudah pernah bicara begitu padamu?”

Sora mengangguk pelan. Tangisnya masih belum reda. “Tapi aku ingin memberimu seorang anak hasil dari pernikahan kita, Sehun. Aku ingin memberikanmu kebahagiaan dengan menjadikanmu seorang ayah dari bayi yang aku lahirkan nanti.”

“Tanpa hadirnya seorang keturunan di antara kita, aku pun sudah merasa bahagia. Yang penting kita saling mencintai. Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Bisa melewati masa tua bersama dirimu nanti merupakan anugerah terindah bagiku. Tidakkah itu cukup untukmu?”

Sora masih saja membisu. Hazelnya masih menatap lurus pada Sehun. Sungai air mata yang mengaliri pipi pualamnya masih belum menunjukkan tanda-tanda akan surut. Sedetik kemudian wanita itu berpaling dari sorot tajam yang sang suami tujukan pada dirinya.

“Aku takut, Sehun,” lirih Sora kemudian.

Alis Sehun menukik tajam. Takut? beonya dalam hati. Apa yang ditakutkan oleh istrinya itu?

Sora kembali memusatkan atensi pada sang suami tercinta. Tangannya terulur demi merasakan lembutnya kulit wajah Sehun di telapak tangannya. Ia berhenti lama di sana. Tak sampai lima detik kemudian Sora menegakkan tubuhnya secara tergesa lalu menarik tubuh Sehun ke dalam dekapan. Wanita itu menangis cukup keras di sana sehingga membuat Sehun bretanya-tanya dalam hati.

Bibir Sora kembali bergerak perlahan, “Aku takut kau meninggalkanku, Sehun. Aku takut kau berpaling pada wanita lain karena ketidaksempurnaanku. Aku sudah terlalu banyak mengalami kehilangan yang teramat dalam. Aku tidak ingin hal itu terulang padamu—“

Sehun mencengkeram bahu Sora dan mendorongnya sedikit kasar. “Cukup, Yoon Sora! Hentikan semua ini!” bentakkan Sehun membuat Sora berhenti meracau. Pelan-pelan Sehun mengatur napasnya yang mulai memburu karena adanya marah yang membuncah di rongga dadanya. Lelaki itu merasakan nyeri pada dadanya saat mendengar racauan Sora. Hal itu menyebabkan emosinya meluap.

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Sora. Aku berjanji padamu. Aku akan mencintaimu sampai maut memisahkan kita.” Kata-kata Sehun yang terlontar dengan penuh keyakinan disertai penekanan membuat Sora sedikit tampak lebih tenang. Namun, tatapan yang dipancarkan dari sorot mata wanita itu menegaskan ketakutan dan kecemasan.

Kedua tangan Sehun merangkum wajah Sora dan membuainya dalam sebuah ciuman putus asa. Bibirnya bergerak tergesa di atas bibir sang istri. Sehun kira Sora tak akan merespon ciumannya, tapi yang ia dapati justru sebaliknya. Sora membalas dengan sama putus asanya dengan dirinya. Bahkan tangannya secara perlahan merangkul mesra bahu suaminya.

Kini Sehun menjadi enggan mengakhiri ciumannya dan justru semakin memperdalamnya. Ia menahan tengkuk Sora agar bisa mengeksplorasi candunya lebih leluasa. Mereka terus bertahan dengan posisi itu hingga akhirnya Sehun menarik diri sambil menahan geramannya.

“Sekarang kau sudah tahu seberapa dalam cintaku, bukan?” Sehun bertanya di sela-sela ia mengatur napas. Ditatapnya dalam hazel cantik sang istri tercinta. Kedua tangannya masih setia merangkum wajah jelita wanitanya.

Sora menatap kedua netra Sehun bergantian sambil mengangguk perlahan. Tatapannya menyiratkan rasa haru yang mendalam.

Sehun kembali beringsut untuk membuai dahi mulus Sora dengan bibirnya. Lama sekali ia mencium dahi wanitanya. Saking terbuainya dengan sikap manis Sehun, Sora sampai memejamkan kedua matanya demi menikmati kelembutan pada dahinya.

“Sehun ....”

Suara Sora menghentikan kegiatan Sehun. Lelaki itu menarik diri demi menyelami hazel yang kini tengah menatapnya lembut.

“Ada apa?” Sehun mengusap pipi Sora lembut dengan ibu jarinya.

“Kau bilang kau benar-benar mencintaiku. Benar begitu?”

Sehun mengangguk dengan penuh keyakinan.

Sora tersenyum cukup lebar. “Kalau begitu kau tidak akan menolak jika aku meminta sesuatu darimu, ‘kan?”

Kali ini Sehun tidak langsung menjawab. Dahinya mengernyit penasaran. Keraguan tampak jelas terpatri di wajah rupawannya. Ia tidak terlalu yakin, tapi entah kenapa ia merasa ada yang tidak beres di balik pertanyaan yang Sora ajukan.

Sora sedikit berdecak. “Sehun, jawab aku! Kau akan melakukan apa pun untukku, ‘kan? Kau bilang kau mencintaiku, jadi—“

“Memangnya apa yang kauinginkan, Sora? Kalau aku sanggup melakukan apa yang kauinginkan, pasti akan aku penuhi.”

“Benarkah? Kau janji akan melakukan apa pun? Kau tidak akan menolaknya?”

Sehun tampak sedikit ragu. Lelaki itu meneguk salivanya sedikit kepayahan saat ia mengangguk. “Katakan saja apa yang kauinginkan. Akan aku penuhi jika aku memang bisa.”

Sora tersenyum lebar mendengar perkataan Sehun. Wanita itu menarik Sehun ke dalam sebuah pelukan erat. “Terima kasih, Sehun. Aku sangat mencintaimu.”

Sehun mengangguk dalam dekapan Sora, tetapi hatinya masih merasa was-was. Ia takut keinginan Sora adalah sesuatu yang akan membuatnya dalam posisi sulit.

Sora menarik diri. Kedua tangannya merangkum wajah Sehun saat berkata, “Aku ingin ....”

*****

Pagi ini Nara sudah bersekolah seperti biasa. Setelah mandi dan berpakaian, gadis cantik itu segera pergi ke ruang makan untuk sarapan. Namun, saat sudah sampai di ruang makan, gadis itu merasa heran sebab porsi makanan yang Bibi Jung siapkan tidak sebanyak biasanya.

“Tuan dan Nyonya sudah makan lebih dulu, Nona. Mereka sedang pergi sekarang,” jelas Bibi Jung saat melihat tautan heran di alis sang anak majikan.

“Pergi ke mana?”

Bibi Jung tersenyum meminta maaf. “Saya tidak tahu, Nona.”

Nara mengalihkan pandangannya dari Bibi Jung. Gadis itu tampak penasaran. Akan tetapi rasa penasarannya tidak bertahan lama. Gadis itu mengedikkan bahunya tak acuh kemudian menyantap masakan Bibi Jung demi mengisi tenaganya. Mungkin saja ibunya dan Sehun sedang pergi ke rumah sakit guna memeriksakan kondisi Sora, bukan? batinnya.

Setelah menghabiskan makanannya, Nara segera beranjak dari ruang makan dan bersiap pergi ke sekolah. Ia hendak berjalan kaki ke halte kemudian naik bus menuju sekolah. Biasanya ada Mingyu yang mengajaknya pergi ke sekolah bersama, tapi akhir-akhir ini tidak lagi.

Akhir-akhir ini Nara jarang bertukar kabar dengan Mingyu. Gadis itu sempat mengabari Mingyu perihal kepergiannya ke Tokyo. Namun setelah itu mereka tidak saling berhubungan lagi. Berbeda dengan sang kekasih, Jaehyun justru lebih sering menghubunginya lebih dulu untuk menanyakan kabarnya maupun kabar Sora. Jujur, hal itu lumayan membuat Nara sedih. Rasa cemburu dan khawatir kembali menghantuinya setelah beberapa hari ini sempat menghilang. Nara tidak siap menerima kenyataan bahwa apa yang ia lihat di kafe tempo hari adalah sebuah pertanda buruk bagi hubungannya dengan Mingyu.

Baru saja Nara hendak membuka pintu rumahnya, tapi suara pesan masuk sudah lebih dulu menyapa gendang telinganya. Membuatnya dengan enggan mengambil ponsel di saku jasnya. Begitu membuka pesan itu, Nara sama sekali tidak dapat menahan rasa terkejutnya. Dengan bersemangat gadis itu lekas menarik daun pintu agar terbuka.

Senyum manis Mingyu yang sedang bersandar di jok motornya membuat Nara berbinar gembira. Gadis itu setengah berlari saat menghampiri pujaan hatinya.

“Mingyu ....”

Surprise!” Mingyu tertawa melihat raut gembira di wajah kekasihnya. Tanpa perlu waktu lama, pemuda tampan itu menarik tubuh Nara ke dalam dekapan posesifnya. Nara membalasnya dengan suka cita.

“Aku rindu sekali padamu,” desah Mingyu pelan di rambut Nara. Pemuda itu tampak sekali begitu merindukan sang kekasih.

Nara mengangguk dalam dekapan Mingyu. “Aku juga.”

Sepasang sejoli itu saling menarik diri dan tersenyum manis pada satu sama lain.

“Kenapa kau tidak bilang kalau ingin menjemputku?” tanya Nara. Senyuman masih setia terpatri di bibirnya.

Mingyu mengapit ujung hidung Nara gemas sebelum menjawab, “Ini ‘kan surprise, kalau aku bilang padamu lebih dulu bukan surprise lagi namanya.”

Kekehan pelan Nara berikan sebagai respon. “Benar juga, ya?”

Mingyu balas terkekeh. “Ya sudah, ayo kita berangkat!”

Nara mengangguk dengan semangat. Mingyu mengambil helm untuk Nara dan langsung memakaikannya di kepala cantik gadis itu.

Setelah selesai bersiap-siap, Mingyu langsung naik ke motornya disusul oleh Nara. Beberapa saat kemudian, Mingyu pun melajukan motor kesayangannya dengan kecepatan sedang.

Rupanya tak lama setelah kepergian mereka, sebuah mobil berhenti di depan rumah Nara. Di dalam mobil tersebut, ada seseorang yang sedang menatap tajam ke arah kepergian sepasang sejoli itu.

*****

“Kau tampak senang. Ada apa?” tanya Jaehyun setelah mendudukkan pantatnya di samping Nara duduk. Tidak biasanya Jaehyun datang lebih lama ke kelas daripada Nara. Melihat raut berbinar yang ditunjukkan Nara saat berbincang dengan Yeri membuat rasa penasaran Jaehyun terusik. Bagaimana tidak? Nara baru saja pulang dari Tokyo setelah menemani ibunya yang sedang menjalani perawatan, tapi rautnya justru terlihat senang alih-alih sedih. Aneh sekali, bukan?

“Sahabat kita yang satu ini sedang berbunga-bunga setelah berangkat sekolah bersama kekasihnya,” Yeri menjawab sambil sesekali mengerling jahil pada Nara. Nara tersipu malu.

Jaehyun tampak terkejut. “Begitu? Tapi apa yang spesial dari hal itu? Bukankah mereka memang sering berangkat bersama?’ Jaehyun sedang berusaha tidak menunjukkan kecemburuannya.

Raut tersipu Nara perlahan memudar, digantikan oleh wajah masam. “Akhir-akhir ini aku merasa hubunganku dengan Mingyu sedikit merenggang. Kau tahu, ‘kan kenapa? Namun pagi ini Mingyu melakukan hal sederhana yang membuat keraguanku padanya terkikis secara perlahan. Karena itulah aku merasa senang.”

Jaehyun menggumamkan ‘oh’ pelan sebagai respon. Senyum kaku terlukis di wajah tampannya yang untungnya tidak disadari oleh kedua sahabatnya. Namun dalam hati ia cukup bersyukur karena akhirnya Nara sudah tampak ceria lagi. Akhir-akhir ini Nara mengalami cukup banyak masalah dengan hadirnya Haesang—mantan kekasih Mingyu— dan kecelakaan yang menimpa ibunya. Jaehyun tidak suka melihat kesedihan di wajah Nara. Ia ingin selalu melihat sahabatnya itu bahagia walaupun bukan karena dirinya.

Semoga saja praduga dan keraguanku terhadap Mingyu tidak benar, batin Jaehyun penuh harap.

“Hm, aku pergi ke toilet dulu, ya?”

Nara meringis sambil beranjak dari kursinya. Yeri dan Jaehyun hanya menyunggingkan senyum tipis lalu mengangguk.

Nara pun pergi dari kelas menuju toilet yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari kelasnya. Gadis itu membuang isi kantung kemihnya yang telah penuh di salah satu bilik toilet. Setelah selesai, Nara keluar dari bilik yang baru saja ia pakai hendak mencuci tangan di wastafel. Namun, kehadiran seseorang di sana membuatnya terkejut.

“Oh, Kim Nara kau sudah pulang dari Tokyo?” sapaan halus itu disuapkan ke telinga Nara sedetik kemudian. Senyum ramah yang dibuat-buat khas Shin Haesang memenuhi fokusnya. Gadis itu sepertinya baru selesai mencuci tangannya.

Nara tersenyum sedikit kaku saat menjawab, “H-Hai, Shin Haesang! Mm, ya ... aku tiba kemarin di Seoul.” Nara tersenyum sekali lagi sambil mengulurkan tangannya di bawah keran. Air keran langsung membasahi tangan ramping Nara.

“Kebetulan sekali kita bertemu. Aku ingin bicara denganmu.”

Nara terkesiap pelan dan menoleh pada Haesang yang menatapnya disertai senyum miring andalannya. Nara segera mematikan keran dan menghadap sepenuhnya pada Haesang.

“Apa yang ingin kaubicarakan padaku?”

Haesang bertepuk tangan sekali. Wajahnya tampak berbinar saat menjelaskan, “Jadi Sabtu malam nanti aku dan teman-teman dekat Mingyu selama di SMP akan mengadakan pesta kejutan untuknya. Kau tahu ‘kan kalau hari itu adalah hari ulang tahun Mingyu? Nah, maka dari itu kami ingin mengadakan sesuatu untuk merayakan hari ulang tahunnya. Kurasa akan lebih menyenangkan jika kau ikut andil dalam acara itu. Bagaimana?”

“Mingyu akan berualang tahun?” Nara tampak terkejut.

Haesang mengernyit lalu memicing curiga. Matanya melebar tak percaya sambil berkata, “Jangan bilang kau tidak tahu kalau Mingyu akan berulang tahun!”

Nara menggeleng dengan polosnya. Haesang langsung terbahak tak percaya.

“Ya ampun, Kim Nara! Kau ‘kan kekasihnya, masa kau tidak tahu?” Haesang menggeleng tak habis pikir. Nara sedikit merengut karena hal itu.

“Oke, sekarang itu tidak penting. Yang penting sekarang kau mau tidak ikut ke acara itu?”

Nara sudah tidak merengut lagi. Sebaliknya, gadis itu kini sibuk berpikir. Haesang terus menatap Nara, menunggu jawaban.

“Oke, aku mau.”

Jawaban Nara membuat senyum Haesang terkembang. “Baik, nanti akan aku hubungi lagi untuk membicarakan soal itu. Ingat, jangan bilang apa pun pada Mingyu atau acara kejutannya bisa berantakan. Oh ya, dan jangan beritahukan soal hal ini pada siapa pun termasuk pada kedua sahabatmu. Mengerti?”

Nara mengernyit heran saat mendengar himbaun Haesang, tapi tak lama kemudian ia mengangguk mengerti sebagai jawaban.

Haesang tampak tersenyum puas mendengar jawaban yang Nara berikan. “Sampai nanti, kalau begitu!”

Nara bergumam pelan sebagai respon. Tak lama setelah itu, Nara ikut keluar dari toilet saat mendengar bel masuk berbunyi.

*****

“Kau yakin akan berpakaian seperti itu?” tanya Haesang dengan nada tak percaya yang terselip jelas di setiap kata-katanya. Gadis itu menilai penampilan Nara dari ujung kepala hingga ujung kaki. Saat ini Nara memang berada di rumah Haesang. Haesang sendiri yang menyuruh Nara untuk datang ke rumahnya agar mereka bisa pergi ke tempat acara bersama-sama.

Dahi Nara berkerut heran. Gadis itu merasa tak ada aneh dari cara berpakaiannya. Ia memakai sweater bergaris-garis biru dan putih yang ia padukan dengan celana jeans pendek. Sneakers kesayangannya ia jadikan sebagai alas kaki. Itu adalah gayanya sehari-hari, jadi Nara sama sekali tak merasa ada yang janggal dengan gaya berbusananya.

Atau mungkinkah tempat tujuan mereka adalah tempat yang cukup formal maka dari itu Haesang terkejut melihat penampilan Nara?

“Apakah aku salah kostum?” Nara bertanya disertai ringisan pelan. Haesang mendengus sambil memutar bola matanya malas.

“Tentu saja, Kim Nara! Kau benar-benar salah kostum.” Haesang mendengus sekali lagi sambil menarik pergelangan tangan Nara agar mengikutinya ke kamar.

“Untung saja aku menyuruhmu datang ke rumahku dulu,” desis Haesang sedikit kesal sambil membuka pintu kamarnya. Nara merengut.

Haesang pun menyuruh Nara untuk duduk di ranjang sementara ia memilihkan pakaian untuk gadis itu. Haesang menghilang di walk in closet dan kembali beberapa menit kemudian dengan membawa beberapa potong pakaian dan meletakkannya di ranjang.

“Ayo pilih salah satu!”

Nara tampak begitu terkejut saat melihat jenis pakaian apa yang sedang disodorkan Haesang pada dirinya. Gadis itu tampak membelalakkan matanya sambil menatap Haesang.

“Kenapa pakaiannya seperti ini?” tanya Nara tak mengerti. Bagaimana tidak kaget? Semua pakaian yang Haesang keluarkan berpotongan cukup terbuka dan, err ... seksi. Sungguh bukan gaya Nara sama sekali dan ... bukankah pakaian-pakaian seperti itu tidak cocok dikenakan oleh anak seusia mereka?

Haesang mendecih. “Sudah, pakai saja salah satu pakaian yang sudah kuberikan padamu! Orang-orang di tempat yang akan kita kunjungi juga berpakaian seperti itu. Kalau masih mau bertahan dengan pakaianmu, aku yakin pasti kau akan ditertawakan.”

“Tapi, apakah tidak ada pakaian yang lebih ... tertutup? Lagi pula, sebenarnya kita mau kemana? Kenapa kita harus berpakaian seperti itu?”

Haesang tertawa. Tawanya terdengar meremehkan. “Ya ampun, Kim Nara ... kau itu ternyata sangat polos, ya? Sudahlah, lebih baik kau pakai saja salah satu pakaian yang kuberikan ini. Nanti kau juga akan tahu ke mana kita akan pergi.”

Sambil merengut, Nara pun memilah-milah pakaian yang sudah Haesang pilihkan. Pilihannya jatuh pada baju longgar yang berpotongan cukup tinggi di bagian pinggang yang cocok bila dipadukan dengan celana jeans nya.

Tanpa Nara sadari, Haesang menyeringai licik sambil memperhatikan Nara yang masih tampak risih dengan pakaian yang ia pilih.

*****

Nara duduk dengan tidak nyaman di sofa kelab tempatnya berada kini. Haesang dan teman-teman SMP-nya sedang sibuk mengobrol sambil menari mengikuti irama musik yang menghentak ke seluruh penjuru kelab. Sesekali Nara tampak menarik-narik pakaian yang ia kenakan. Gadis itu merutuk. Sungguh, pakaian itu membuatnya risih. Pusarnya terekspos sempurna berkat pakaian itu. Belum lagi pahanya juga sedang terekspos. Nara memang sudah sering memakai celana jeans pendek seperti itu jika sedang bepergian, tapi ia tidak pernah merasa risih sebab pakaian yang ia pakai tidak terbuka. Tetapi kali ini lain urusannya dan Nara sungguh merasa menyesal telah mengikuti saran Haesang.

Nara menggerutu sambil melongok ke sana ke mari. Sudah hampir satu jam ia berada di kelab, tapi Mingyu tak kunjung datang. Berulangkali ia bertanya pada Haesang kapan sekiranya Mingyu akan datang. Namun, Haesang juga tidak tahu dan menyuruh Nara untuk menunggu saja.

“Ini, minumlah selagi kau menunggu kedatangan Mingyu!” Jun, salah satu teman SMP Mingyu menyodorkan segelas minuman pada Nara.

Nara sedikit terkesiap lalu mengarahkan fokus pada minuman yang disodorkan kepada dirinya. Ia tersenyum meminta maaf. “Tidak usah, aku—“

“Ambillah! Minuman ini tidak mengandung alkohol. Ini hanya jus jeruk biasa.”

Nara mengernyit tak yakin sambil menatap jus jeruk itu dan Jun secara bergantian. “Ini benar hanya jus jeruk biasa, ‘kan?” tanyanya memastikan.

Jun mengangguk. “Aku tidak bohong. Coba saja kau minum sedikit demi sedikit.”

Nara mengangguk perlahan sambil menyunggingkan senyum tipis. Gadis itu menggumamkan ucapan terima kasih seraya mengambil segelas jus jeruk yang Jun tawarkan padanya. Setelah memberikan jus itu pada Nara, Jun pun enyah dari hadapan gadis itu untuk melanjutkan tariannya bersama teman-temannya.

Nara menyesap jus jeruk itu pelan-pelan. Setelah yakin bahwa jus itu hanya jus biasa, barulah Nara meneguknya.

Tak terasa, jus yang ia minum pun sudah habis. Bersamaan dengan itu, Mingyu pun datang menyapanya.

“Nara, kau di sini?’ tanya Mingyu dengan nada bicara yang sarat akan keterkejutan.

Nara tersenyum lebar. Gadis itu tiba-tiba saja merasa teramat senang saat melihat Mingyu. Ia pun segera bangkit dari sofa dan beringsut memeluk Mingyu dengan begitu erat.

“Mingyu, kenapa kau baru datang? Kau tahu, aku sudah menunggumu sejak tadi.” Nara mengerucutkan bibirnya, merajuk.

Kerutan muncul di dahi Mingyu melihat sikap aneh yang Nara tunjukkan. Sambil terkekeh pelan ia bertanya, “Nara, kau kenapa? Oh ya, bagaimana caranya hingga kau bisa ada di sini?”

Nara menarik diri. Ia tersenyum lebar saat menatap Mingyu. “Selamat ulang tahun!”

Lantas, Nara pun mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Mingyu dengan begitu mesra. Mingyu tampak terkejut dengan tindakan Nara yang terkesan agresif dan tiba-tiba. Akan tetapi, alih-alih menolak Mingyu justru dengan senang hati membalas pergerakan bibir Nara pada bibirnya. Tangannya dengan begitu erat memeluk pinggang polos Nara yang terasa halus di telapak tangannya.

Tubuh Mingyu kian berdesir saat tubuhnya semakin menempel dengan tubuh ramping Nara. Kulit pinggang Nara yang terasa sangat halus di telapak tangannya membuat reaksi tubuh Mingyu semakin menggila. Tanpa sadar, tangan Mingyu semakin naik meninggalkan kelembutan pinggang Nara untuk menyusuri halusnya kulit sang kekasih di bagian tubuhnya yang lain. Namun, sebelum niatannya terlaksana, Mingyu harus merasakan kehilangan saat tubuhnya ditarik paksa oleh seseorang. Membuat tautan tubuhnya dan tubuh Nara terlepas begitu saja.

“Sudah cukup kau menikmati hadiah ulang tahunmu, Sayang.” Itu suara Haesang yang mengalun.

Mingyu menatap Haesang terkejut. “Kau yang membawa Nara kemari? Untuk apa?”

Haesang mengangkat bahunya tak acuh. Senyum miring yang terkesan licik tercetak di bibirnya. “Aku hanya ingin mengajak Nara ke tempat di mana kita sering bersama, Mingyu. Apalagi, hari ini kau ‘kan sedang berulang tahun. Siapa tahu kedatangan Nara bisa membuatmu senang? Ya, kau bisa melakukan apa yang kita lakukan minggu lalu di sini dengan Nara juga, bukan?”

Perkataan Haesang membuat rasa penasaran Nara tergelitik. Di tengah kadar kesadarannya yang kian menipis ia bertanya, “Melakukan apa maksudmu?”

Mingyu tampak gelagapan. Ia lebih dulu menjawab, "Bukan apa-apa, Nara—"

"Aku tidur dengan Mingyu, Nara. Aku dan Mingyu sudah melakukan hubungan intim."

"Shin Haesang!"

Bagai tersambar petir di siang bolong, Nara tampak terkejut. Gadis itu menatap Mingyu dan Haesang bergantian dengan tatapan tak percaya. Sedetik kemudian, Nara tertawa. Gadis itu terbahak-bahak.

"Nara, aku bisa menjelaskannya padamu. Aku dan Haesang—"

"Ya ampun ... kalian itu jahat sekali ya padaku? Yang berulang tahun 'kan Mingyu, tapi kenapa aku yang kalian kerjai seperti ini?" Sudut mata Nara berair karena saking gelinya.

"Tapi aku serius, Nara. Ini bukan candaan. Aku dan Mingyu melakukannya minggu lalu saat kau masih berada di Tokyo."

Perkataan Haesang yang terdengar serius membuat tawa Nara perlahan mereda. Nara menatap Haesang pias. Lalu tatapannya beralih kepada Mingyu yang kini justru menunduk dalam. Dada Nara terasa nyeri. Sakit sekali rasanya. Sepertinya ia mulai sadar bahwa apa yang disampaikan oleh Haesang adalah suatu kebenaran melihat sikap yang ditunjukkan oleh sang kekasih.

"Kalian brengsek!" Nara mendesis kemudian beranjak pergi dengan sempoyongan dari tempatnya berada kini. Mingyu berusaha menangkap pergelangan tangannya.

"Nara, kumohon—"

"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Nara meledak. Pipinya entah sejak kapan sudah basah oleh banjir air mata. "Hubungan kita berakhir, Kim Mingyu."

Nara berbalik lagi. Tapi Mingyu kembali menarik tangannya. "Lepaskan, ak—"

"Lepaskan tangannya!"

Nara terkejut saat bariton tak asing menyapa rungunya. Tak hanya itu, sebuah tangan lain kini sedang mencengkeram tangan Mingyu yang sedang terulur memegang pergelangan tangannya. Mata Nara membulat menemukan wajah keras Sehun sedang terarah pada Mingyu. Tak lama setelah itu, tubuh Nara terasa lemas dan tak sadarkan diri dalam dekapan Sehun.

*****

Setelah memberi sedikit pelajaran pada Mingyu dengan bantuan ketiga sahabatnya, Sehun pun menggendong tubuh lemas Nara ke jok depan mobilnya. Lelaki itu meloloskan desisan kesal saat melihat betapa laknatnya pakaian yang dikenakan oleh anak tirinya. Batinnya sibuk mendumal. Tak tahukah Nara bahwa pakaian yang dipakai olehnya bisa membangkitkan sisi binatang dalam diri setiap laki-laki yang melihatnya?

Sehun sungguh terkejut tadi saat Yoongi meneleponnya dan mengatakan bahwa Nara sedang berada di Octagon bersama teman-temannya. Awalnya Sehun tak ingin percaya sebab ia tahu betul bagaimana tabiat Nara. Gadis itu adalah gadis baik-baik, jadi mana mungkin ia pergi ke kelab bersama teman-temannya? Apalagi teman-teman Nara yang ia ketahui hanyalah Jung Jaehyun, Kim Yeri, dan kekasih sialannya yang bernama Kim Mingyu—yang baru saja ia tonjok pipinya.

Sehun melepaskan jaket bomber yang ia pakai dan menjadikannya selimut untuk menutupi tubuh Nara. Setelah jaketnya dirasa cukup menutupi kulit mulus Nara yang terekspos, barulah Sehun beranjak ke kursi di belakang kemudi.

Sehun baru saja masuk ke mobil dan memasang sabuk pengamannya saat ia mendengar Nara meracau, "Sebenarnya apa salahku? Kenapa setiap aku bertemu dengan sosok lelaki yang kukagumi, pasti dia brengsek?"

Sehun menaikkan sebelah alisnya. Entah apa yang Nara minum, tapi sepertinya gadis itu mabuk. Terbukti dari cara gadis itu bicara serta bagaimana ia bersikap. Bukannya segera melajukan mobilnya menuju rumah, Sehun justru lebih tertarik untuk mendengarkan racauan Nara. Ia penasaran dengan 'kejujuran' apa yang akan Nara sampaikan.

"Tidak kau, tidak juga Mingyu. Kenapa kalian semua brengsek? Mingyu yang kukira baik ternyata tidak ada bedanya dengan dirimu. Kalian menjijikkan!"

Sehun semakin terkejut sekaligus penasaran saat Nara tiba-tiba menyebut namanya. Kenapa gadis itu menyamakan Mingyu dengan dirinya? Kenapa harus dia? Mungkinkah karena gadis itu pernah mengaguminya? Kapan? Bagaimana bisa? Lantas kenapa sekarang gadis itu justru membencinya?

Hm, sepertinya Sehun akan mendapatkan semua jawaban atas pertanyaannya itu sebentar lagi.

Nara mengalihkan fokusnya pada Sehun. Gadis itu tertawa sebelum melanjutkan, "Dulu aku menganggumimu karena kau mengingatkanku pada ayahku. Kau menolongku dan bersikap begitu lembut padaku. Sungguh, kau benar-benar memperlakukanku seperti yang dulu ayahku sering lakukan padaku."

"Tapi kau tahu apa yang membuatku muak padamu, Sehun?" Nara bertanya. "Karena kau seorang pemerkosa. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat kau memperkosa teman satu sekolahmu. Itulah yang membuatku mengecapmu sebagai lelaki brengsek dan begitu membencimu. Itu juga yang membuatku tidak rela kau menikahi ibuku. Karena kau brengsek."

Berbanding terbalik dengan raut terkejut dan penasarannya beberapa saat lalu, kini raut Sehun justru mengeras. Fakta yang Nara beberkan padanya barusan berhasil mengorek luka lamanya yang telah mengering. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Satu pertanyaan terlintas di pikiran Sehun. Namun, ia berusaha sekuat tenaga tidak menyuarakannya di depan gadis mabuk di samping ia duduk.

Sialnya, mulut Sehun justru berkhianat pada pikirannya. Sambil menahan emosi yang tiba-tiba memuncak ia bertanya, "Apakah kau yang melaporkanku pada polisi dulu?"

Nara menatap Sehun lama lalu terkekeh geli. Setelah sekian lama tertawa, gadis itu menjawab dengan nada menantang. "Benar, aku yang melaporkanmu. Kenapa? Kau terkejut, ya?"

Sehun membuang napas kasar. Wajahnya kian mengeras. Lelaki itu menggeram tertahan di tempatnya. Darahnya mendidih dengan seketika. Ia murka. Namun, ada sesuatu dalam hatinya yang justru membuatnya terasa sesak. Rongga dadanya terasa nyeri.

.

.

.

.

.

Sehun terluka entah karena apa.

To be continued.....

Author's note:

Hai hai! Balik lagi nih aku dengan chap 09 hehe. Wahh sebentar lagi kita udah masuk konflik utama lhooo. Harap bersiap-siap yaa hehe.

Btw, gimana chapter ini?? Kasih vomment yaa.

Kalo ada EYD kurang, kalimat rumpang, dan segala macam, koreksi aja gpp kok. Kasih krisar sekalian juga gpp wkwk.

Makasih buat vommentnya selama ini. Maaf kalo ada bagian yang kurang berkenan hehe.

Ketemu lagi Jumat/Sabtu/Minggu yaa. Minggu depan banyak tugas nih huhu. Jadi kalo misal telat up nya, maafkan aku yaa.

Sekian,

Chika_Kim (Sehun' wifey)

Continue Reading

You'll Also Like

Mom? [ch2] By yls

Fanfiction

99.1K 10.3K 31
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
148K 9.2K 18
Versi lengkap ada di playstore dan Dreame. Cuzz cek *** Abigail Hart adalah agen khusus di mana dia harus terbunuh oleh pengkhianatan kekasihnya send...
149K 24.3K 45
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
29.9K 1.3K 70
[Novel terjemahan] 🔞 "Aku dapat membantumu menjadi apa pun yang kau inginkan. Apa yang paling kau inginkan?" dia bertanya dengan suara lembut sambil...