CINDER - ELLA

By jasendradee

1.5M 152K 12K

Bagaimana jika dua gadis kembar identik bertukar tempat untuk menyelamatkan diri dari masalah masing-masing... More

PROLOG
Part 1 - Ini Cinder dan Kafka
Part 2 - Ini Ella dan Revas
Part 3 - Rasa Yang Berbeda
Part 4 - Luka Yang Terungkap
Part 5 - Pengakuan Ella dan Ide Cinder
Part 6 - The Show Time (Cinder's Side)
Part 7 - The Show Time (Ella's Side)
Part 8 - Cinder Yang Baru?
Part 9 - Ella Yang Baru?
Part 10 - Nada-nada Kafka
Part 11 - Angin Sore Revas
Part 12 - Perjanjian Baru
Part 13 - Setelah Kemarin
Part 14 - Aroma Ajaib
Part 15 - Tawaran Ella
Part 16 - Senyum Candu
Part 17 - Hari Bersamanya
Part 18 - Pertaruhan Cinder
Part 19 - Kegelapan Untuk Ella
Part 20 - Penyesalan Kafka
Part 21 - Keresahan Revas
Part 22 - Lain Sekali
Part 23 - Something In Between
Part 24 - Sebuah Rasa (bagian A)
Part 25 - Sebuah Rasa (bagian B)
Part 27 - Kembali
Part 28 - Sekali Lagi
Part 29 - Maaf
Part 30 - Fall For You
Part 31 - What If
Part 32 - I'm Here For You
Part 33 - Stay With Me
Part 34 - Thank You
Part 35 - The Truth Untold
Part 36 - Kau Adalah...
Part 37 - Bukan Dia
Part 38 - Cukup Sampai Di Sini
Part 39 - Karena Seharusnya Begini, bukan?
Part 40 - When You Love Someone
Part 41 - How Can I Say
Part 42 - What Can I Do
Part 43 - Nobody Knows
Part 44 - Somehow
Part 45 - It's Only
Part 46 - Seperti Seharusnya
Part 47 - More Than This
Part 48 - Heartbeat
Part 49 - A 'Good' Way (END)

Part 26 - Seolah Belum Cukup

25.3K 2.4K 62
By jasendradee

Yup, saya tau, fiksi ini sudah cukup lama saya diamkan. So, enjoy!

Happy readingggggg ^^

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Langkah lebar Kafka menuju kelas terhenti seketika saat melihat Cinder melangkah malas melewati gerbang sekolah. Anak perempuan itu berjalan pelan sambil memegangi tali tas dengan malas-malasan. Satu telinganya tersumbat earphone bervolume tinggi. Hari ini Cinder berpenampilan seperti dulu; rambutnya diikat satu serupa ekor kuda dan seragamnya tidak diselipkan dengan rapi. Bahkan sepasang tungkainya seperti tidak mengenakan kaus kaki.

Kening Kafka berkerut dalam, tatapannya menyipit tajam. Sejenak, ia melirik jam di tangan dan alisnya terangkat tinggi. Jarum panjang menuding angka sebelas dan jarum pendek di angka tujuh. Seharusnya, cewek itu sudah duduk manis di kelas, seperti beberapa minggu belakangan. Bukannya malah berjalan santai tanpa takut ditegur guru piket dan berlagak seperti sekolah milik sendiri.

Penasaran, Kafka berjalan mendekat, menjajari langkah Cinder, ingin tahu akan seperti apa reaksi Cinder. Anak perempuan itu praktis meliriknya, tapi tidak ada sapaan dan senyum seperti sebelumnya, yang ada malah kerlingan sambil lalu yang tidak ramah sama sekali. Cinder menatapnya malas dengan sebelah alis terangkat, lalu gegas memasuki kelas tanpa mengucapkan apa-apa, seolah Kafka tidak ada di sampingnya.

Sesaat Kafka melongo, keningnya berkerut lagi. Dia menatap punggung Cinder yang mulai hilang di balik pintu kelas. Ada yang aneh, pikirnya. Cewek itu kelihatan lebih tenang dan diam daripada kemarin. Cara berjalannya pun normal-normal saja. Kakinya tidak kelihatan terluka walau jelas-jelas kemarin jalannya masih terpincang.

"Kafka, cepat masuk kelas!"

Seruan guru piket memaksa Kafka mempercepat langkah. Dia berlari kecil memasuki kelas dan langkahnya terhenti lagi. Di depan meja Cinder, Didot berdiri gemetar sambil membenahi letak kacamata dengan gugup. Anak lelaki itu menatap Cinder takut-takut sambil mendekap buku catatan.

"A-aku... mau minta ajarin Fisika, Cinder," ucap Didot dengan suara bergetar.

Satu alis Cinder terangkat tinggi. Dia menatap Didot tanpa minat. "Ajarin Fisika? Lo nggak salah minta ajarin sama gue?" balas Cinder.

Didot menggeleng. "Ke-kemarin... kamu udah janji mau ajarin aku Fisika...."

Cinder mengerling Ranu dan Bunga, dan kedua sahabatnya itu mengangguk kompak.

"Lo yang janji sendiri kemarin," ujar Bunga.

Ranu mengangguk setuju. "Gue saksinya," katanya, menambahkan.

Cinder mengembuskan napas berat. Pasti kerjaan Ella, pikirnya. "Gue lagi nggak mood belajar. Nanti aja gue ajarin lo Fisikanya, oke?" ujarnya.

Lagi, Didot membenahi letak kacamata. "Ta-tapi, Cinder..."

Didot tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Cinder menatapnya dengan tatapan malas yang menyebalkan, seolah menjelaskan bahwa dia benar-benar sedang tidak ingin diganggu.

Kafka buru-buru mendekat, menepuk pelan pundak Didot. "Si Cinder lagi kumat gilanya. Lo nurut aja daripada kena semprot," penggalnya.

Didot menatap Kafka, lalu Cinder bergantian, kemudian mengangguk dan berlalu ke tempat duduknya dengan ekspresi kecewa.

Cinder menatap Kafka yang balas menatapnya dengan tatapan lekat yang sulit diartikan. Satu alisnya kembali terangkat tinggi. "Kenapa? Nunggu gue bilang 'terima kasih, Kafka'?" tanyanya, sarkas.

Kafka tidak menggubris. Tatapannya malah beralih pada kaki Cinder yang kelihatan baik-baik saja. "Kaki lo... udah sembuh?" tanyanya balik.

Kening Cinder berlipat dalam, ikut melirik kakinya yang memang baik-baik saja. Lalu tatapannya terangkat. "Kenapa nanyain kaki gue, mau ngajak one-on-one?" cetusnya, datar.

Kafka tidak menyahut, tapi tatapannya belum lepas dari wajah Cinder.

Lama-lama Cinder merasa gerah. "Stop staring me, Kafka Hadinata. Lo nggak cukup menarik buat gue lirik, ngerti?"

Hanya kedikkan bahu pelan yang diberikan Kafka sebagai sahutan. Selanjutnya, anak lelaki itu berlalu begitu saja tanpa berkata apa pun, meninggalkan Cinder yang mengerutkan kening penuh tanya.

Ketika Cinder menoleh ke kanan, Ranu dan Bunga juga sedang menatapnya dengan sorot yang sama persis seperti Kafka, lekat dan penuh selidik, seolah-olah memastikan bahwa dia memang Cinder yang selama ini mereka lihat.

"Apa? Ada yang salah di muka gue?" tembak Cinder, kentara sekali tidak suka dengan tatapan dua sahabatnya.

Bunga menggeleng. "No. Cuma lo kelihatan... beda, lagi," ucapnya.

"Beda gimana?" sahut Cinder.

"Kayak bukan lo. Someone... else," lanjut Bunga, terdengar ragu.

Dahi Cinder berlipat. Tatapannya beralih pada Ranu dan anak perempuan itu mengangguk setuju.

"Mungkin gue dan Bunga salah, tapi lo kelihatan kayak bukan Cinder yang kemarin ada di kelas ini," ungkap Ranu tanpa basa-basi. "And yeah, harusnya jalan lo masih pincang, karena ajaib banget keseleo bisa sembuh dalam semalam," tukasnya lancar, lalu berbalik memunggungi Cinder.

Sepersekian detik Cinder terdiam, otaknya berusaha memproses cepat. Dia baru akan menyahut tapi Pak Erlangga—guru Matematika—sudah memasuki kelas dan menutup pintunya dari dalam. Suasana kelas langsung berubah senyap. Dan Cinder hanya bisa mengembuskan napas tanpa suara.

Katakan dia bodoh, tolol, atau apapun, dia mengakui semuanya. Dia tidak mengikuti bagaimana Ella bersikap sebelumnya di dalam kelasnya sendiri. Tidak tidur semalaman membuat fokusnya berantakan. Kepalanya pening dan perasaannya tidak enak. Pikirannya melayang dan sedikit kacau. Cinder lupa jika cara jalan Ella memang terpincang saat kemarin mereka bertemu. Dia juga lupa menanyakan sebabnya. Dia hanya fokus pada Mama dan gagasan Ella untuk berhenti bertukar tempat.

Jujur saja, sebagian hatinya tidak percaya sepenuhnya pada Ella, ditambah kondisi kaki adik kembarnya yang bisa kapan saja dilukai oleh Donna. Dia jadi tidak tenang. Mungkin Ella bisa menjaga diri, tapi Donna adalah anak perempuan yang punya penyakit kejiwaan mendasar, yang bisa melakukan apa saja pada orang lain hanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa banyak berpikir. Dan memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi, membuat Cinder menggaruk kepalanya frustasi.

Kalau saja Ella menurutinya....

Beberapa bangku dari tempatnya duduk, Cinder tidak sadar jika Kafka terus menatapnya tanpa putus. Anak lelaki itu mengawasi setiap pergerakan Cinder tanpa ada yang terlewat. Ada sesuatu yang mengganjal bagi Kafka. Menemukan sikap berbeda anak perempuan itu saja sudah membuatnya bertanya-tanya. Ditambah keadaan kakinya yang membaik dalam semalam. Juga tentang insiden 'Cinder-menghubungi-Cinder'. Rasanya lucu jika seseorang menghubungi dirinya sendiri. Kalau bukan memiliki dua ponsel, kemungkinan pemiliknya lah yang ada dua. Tetapi, masa iya?

----------------------------

Selesai memarkirkan motor besarnya, Revas berjalan keluar area parkir sekolah. Senyumnya terkembang begitu melihat Ella berjalan melewati lapangan upacara menuju kelas. Untuk sesaat, langkah Revas terhenti, mengamati Ella yang hari ini kembali membiarkan rambutnya tergerai menutupi bahu. Bandana berwarna hijau toska menghiasi rambutnya. Seragamnya terselip rapi di balik rok dan ikat pinggang dan kaus kaki menutupi sampai betis. Sinar keemasan matahari pagi menimpa sosoknya yang menarik, membuat dada Revas berdesir sampai tidak bisa mengalihkan pandangan pada hal lain. Ella selalu punya cara membuat Revas benar-benar hanya melihatnya. Tanpa bisa dicegah, langkah Revas gegas mendekat, menjajari langkah Ella.

"Hei," sapa Revas, kedua sudut bibirnya tertarik tinggi. Bisa melihat anak perempuan itu setiap hari, selalu membuat Revas senang tanpa alasan.

Ella menoleh cepat dan balas tersenyum. "Hei, Rev... pagi," sapanya, balik.

Revas mengangguk senang sambil memindai Ella dan baru menyadari cara berjalan Ella yang kurang seimbang. "Kaki kamu... kenapa?" tanya Revas. "Sakit gara-gara bantuin aku tanding kemarin, ya?" tebaknya.

Ella ikut melirik kakinya lalu menggeleng. "Bukan. Ini... jatuh di kamar mandi tadi pagi," bohongnya. "Oh, iya, aku udah lihat rekaman pertandingan kamu kemarin. Kamu keren banget. Akhirnya bisa juga gabung jadi anggota kelab basket. Selamat, ya, Rev...."

Senyum Revas melebar, untuk sesaat melupakan rasa cemasnya. Pipinya menghangat saat tatapannya beradu dengan Ella. "Kalau bukan karena bantuan kamu, aku nggak mungkin bisa berhasil," ucapnya.

Ella menatapnya sambil mengulum senyum. "Down to earth banget, ya...," katanya, tertawa geli.

Revas berdeham rikuh sambil mengusap tengkuk. Pipinya semakin menghangat dan akhirnya tertawa saat menemukan Ella masih menatapnya dengan senyum. "By the way... Mama kamu baik-baik aja? Nggak ada hal serius yang terjadi sama Mama kamu, kan?" tanyanya kemudian, mencoba mengalihkan topik sambil meredakan debar jantung.

Praktis, kening Ella berkerut tipis. "Kamu... tau soal apa yang terjadi sama Mamaku?"

Revas mengangguk sekali. "Kamu memang belum cerita semuanya. Aku cuma nebak terjadi sesuatu sama Mama kamu pas kemarin aku antar kamu pulang," ucapnya. "Mama kamu beneran nggak kenapa-napa, kan?"

Kening Ella berlipat lagi. Revas antar Cinder pulang? tanyanya dalam hati, lalu mengangguk. "Mamaku baik-baik aja. Makasih ya, kemarin udah antar aku pulang," ucap Ella.

Revas mengangguk lagi sambil berjalan pelan. Dari samping, dia memerhatikan Ella dan tiba-tiba saja ingatannya melayang pada seseorang yang kemarin dengan santainya memasuki rumah Ella sambil memainkan ponsel cewek itu. Jujur saja, sampai hari ini, Revas terus memikirkannya. Entah kenapa, dia merasa tidak bisa melupakannya begitu saja.

"Hm, La...," Revas bergumam, sejenak merasa ragu. Tetapi ketika Ella mengerlingnya dengan kedua alis terangkat, Revas melanjutkan. "Kamu kenal seseorang bernama Cinder?"

Ayunan tungkai Ella langsung terhenti. Dia menoleh cepat dengan bola mata membesar, menatap Revas tidak percaya. Seketika jantungnya berdebar kencang. "A-apa, Rev?" tanyanya, ulang. Ella berharap pendengarannya salah. "Kamu... tanya tentang siapa tadi?"

"Cinder," ulang Revas. "Cinder itu... siapanya kamu, atau kamu punya saudara bernama Cinder? Kemarin aku ketemu sama anak berseragam Athalea di depan rumah kamu. Cowok itu lagi pegang-pegang ponsel kamu, terus masuk ke rumah kamu begitu aja. Waktu aku tanya, dia bilang ponsel itu ketinggalan di mobilnya waktu antar Cinder pulang, tapi aku yakin ponsel itu punya kamu. Tapi, kan kamunya lagi sama aku. Nggak mungkin kan kalau kamu..."

Jantung Ella melorot sampai kaki, untuk sedetik seolah kehilangan detak. Tatapannya semakin membola horor. Revas ketemu Kafka?!

"Ponsel kamu... nggak hilang, kan? Atau lagi dipinjam orang?" lanjut Revas.

Ella hanya menggeleng kaku. Dia tidak mendengar kalimat Revas sepenuhnya.

"Terus, Cinder itu... siapanya kamu?" tanya Revas, lagi.

Ella menelan saliva berat. Dia mengerjap bingung sambil berusaha menemukan kata. "Oh, hm... Cinder itu..."

Belum selesai kalimat Ella, seseorang memenggalnya dengan cepat. Laras datang dengan senyum lebar penuh arti. Cewek itu berdiri di antara Ella dan Revas.

"Ciyee... pagi-pagi udah mesra banget. Baru jadian, ya?" tukas Laras, menyeringai menggoda.

Revas dan Ella saling tatap, lalu tertawa bersama. Ella tertawa sambil menggeleng, mengamit lengan Laras begitu saja, menutupi embusan napas keras yang sejak tadi ditahan. Di dalam hati, Ella merasa lega karena Laras datang di saat yang tepat.

"Heh, Anggota Basket Baru, pajak jadiannya mana?" Laras menodong sambil melotot sok galak. Satu tangannya menengadah di hadapan Revas.

Revas menggeleng tanpa bisa menyembunyikan sisa tawa. Pipinya merah padam. "Aku sama Ella belum jadian, Ras," katanya.

Laras mengangkat alisnya tinggi-tinggi, menatap Revas dan Ella bergantian. "Belum jadian?" ulangnya. Revas nyengir garing dan Ella yang meringis sambil menggeleng. "Kalian beneran belum jadian?" ulang Laras tak percaya.

Ella dan Revas mengangguk kaku dengan kompak.

Laras menepuk kening cukup keras. "Ampun deh kalian... aku pikir udah jadian. Revas udah berani peluk-peluk kamu gitu, ya masa belum jadian," katanya.

Kening Ella bertaut lucu. "Peluk?" tanyanya, bingung. Tatapannya mengerling Revas yang mati-matian menahan senyum canggung sekaligus menghindari matanya sambil mengusap tengkuk.

Laras melirik Revas dan Ella bergantian, kemudian menggeram gemas. "Kalian ini... yang satu geraknya lambat, yang satu lagi nggak peka. Aku capek kelamaan liat kalian lelet begini," tukasnya, geregetan.

Revas berdeham dengan wajah bersemu merah. Dia menunjuk jam di pergelangan tangan sambil menahan senyum. "Sebentar lagi bel. Ayo, masuk," ujarnya, buru-buru berlalu ke dalam kelas dengan langkah lebar sebelum sempat mendengar sahutan.

Laras menatap punggung Revas dan menggeleng habis pikir. Dia menyikut lengan Ella sambil berjalan dan terus menggerutu. "Kamu sama Revas itu sebenarnya gimana, sih, La? Kalian sama-sama suka, tapi kenapa belum jadian? Revas suka kamu, kamu juga suka Revas, kan? Tapi kenapa sampai sekarang belum jadian? Aku jadi bingung sama kalian berdua. Nggak ada salahnya, kali, sahabat jadi pacar, selama kalian saling sayang. Lagian...."

Ella tidak benar-benar mendengar apa yang Laras ucapkan selama mereka berjalan memasuki kelas. Dia sibuk menimbang perasaannya sendiri dan memutar ulang kata-kata Laras dalam kepala. Kalau memang benar Revas pernah memeluknya, itu jelas bukan dirinya. Revas tidak pernah memeluknya sebelumnya dan jika kemarin cowok itu memeluknya... yang Revas peluk bukan dia, tapi Cinder.

Tetapi, kenapa Cinder tidak mengatakan apa-apa? Padahal, Cinder tidak pernah suka berdekatan dengan cowok—siapa pun itu. Tetapi kemarin, sedikit pun Cinder tidak menyinggung tentang Revas. Harusnya Cinder marah atau setidaknya memaki Revas di hadapannya seperti yang selalu Cinder lakukan sebelum-sebelumnya. Tetapi kemarin lain. Ella juga baru ingat tidak ada cerita lain tentang Revas selain kabar cowok itu sudah berhasil bergabung dengan tim basket sekolah. Tidak ada cerita tentang siapa yang mengantar Cinder pulang atau pun tentang pelukan. Rasanya sedikit mustahil kalau Cinder lupa. Tetapi kemarin....

Ella menggeleng, menepis pemikiran ajaib yang melintas di kepalanya. Mungkin dia terlalu lelah dan banyak berpikir. Cinder mungkin saja benar-benar lupa dan akan menceritakannya nanti.

"Don't to worry, Ella," gumamnya, mensugesti diri sendiri. Sesaat dia menarik napas panjang dan mengembuskannya berat. Dan ketika tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan tatapan sengit Donna, Ella tahu, yang harus lebih dipikirkannya adalah bagaimana cara menghadapi Donna dan mengajaknya bicara baik-baik.

----------------------------

Jam ke dua kosong dan Ella sudah mengerjakan tugas yang diberikan sebagai pengisi kelas. Dia memutuskan untuk ke kamar kecil dan keluar setelah mencuci muka. Langkahnya sesekali berhenti memandang lapangan yang sedang ramai digunakan kelas lain untuk olahraga dan benar-benar berhenti di depan ruang musik.

Ella menatap ruang itu, pintunya terbuka lebar. Ada piano besar warna hitam di depan deretan kursi yang biasa dipakai anak-anak paduan suara, juga seperangkat alat musik lengkap tidak jauh dari sana. Sebelumnya, Ella tidak pernah benar-benar memerhatikan ruangan itu, karena bagi murid yang tidak bersangkutan dengan ekskul musik, tidak diijinkan masuk dan Ella juga tidak pernah memberanikan diri untuk sekadar melihat-lihat, karena ekstra kurikuler yang diambilnya adalah kelompok ilmiah.

Tetapi, melihat ruangan itu sekarang, entah mengapa Ella digerogoti perasaan aneh. Dia merasa senang sekaligus sedih. Dia jadi teringat Athalea. Ruangan musik di Athalea memang tidak lebih luas dari ruang musik di sekolahnya, tetapi di sana Ella pernah merasakan bagaimana senangnya memainkan piano meski dengan kemampuan seadanya. Di sana, dia bertemu dan mengenal bagaimana sosok Kafka yang selalu berwajah datar. Meski sebentar, tapi di ruangan itu dia pernah berbagi waktu bersama Kafka, mendengar cowok itu bermain piano, bernyanyi dengan suara yang menggelitik perut dan bercerita banyak hal. Dan ruangan itu juga pernah menjadi tempatnya menghabiskan sore bersama Kafka.

Kafka....

Ella memejamkan mata sejenak, memutar ingatan tentang Kafka yang berhasil otaknya rekam. Dan yang dia temukan selanjutnya adalah perasaan senang dan... rindu. Rasanya baru kemarin dia bertemu Kafka dan sudah ingin melihat cowok itu lagi. Tanpa bisa dicegah, Ella mengelurkan ponsel dari saku seragam dan mencari foto Kafka yang berhasil dia pindahkan secara diam-diam dari ponsel Cinder. Dia menatap foto itu, foto beberapa teman sekelas Cinder yang sedang mengerjakan tugas kelompok dan Kafka salah satunya. Ella menatap foto itu dengan perasaan campur aduk dan mendadak ingin tahu sesuatu. Apa yang sedang cowok itu lakukan sekarang?

"Ella."

Tubuh Ella tersentak pelan, lamunannya buyar dan pandangannya terangkat. Di depan pintu kelas, Revas berdiri dengan setumpuk buku catatan dalam pelukan. Cowok itu menatapnya dengan kening berkerut. "Dari mana?" tanyanya. "Aku nggak lihat kamu keluar kelas," sambungnya.

"Oh, dari toilet," jawab Ella, tersenyum tipis. Tatapannya mengerling tumpukan buku dalam dekapan Revas. "Sini aku bantuin. Mau di bawa ke ruang guru, kan?"

Revas mengangguk dan memberikan sedikit beban buku ke tangan Ella. Keduanya berjalan pelan menuju ruang guru. Sesekali, Revas melirik Ella lalu tertawa tanpa suara.

"Kenapa? Ada yang salah, ya, di muka aku?" tanya Ella ketika menangkap basah Revas tengah menatapnya diam-diam. Kedua alisnya terangkat tinggi.

Revas menggeleng, namun kedua sudut bibirnya tertarik lebar dan pipinya merona. "Nggak ada apa-apa, cuma... aku ngerasa kayak baru ketemu kamu lagi, Ella yang lama, yang mau bantuin ketua kelasnya bawain buku ke ruang guru," ujarnya.

Ella mengerjap sesaat, lalu mendengus tawa. "Memangnya kemarin-kemarin aku nggak pernah bantuin kamu, ya?"

"Mau jawaban jujur?" balas Revas dengan senyum tertahan.

Ella tertawa. "Oke. Maaf buat yang kemarin-kemarin. Anggap aja aku lagi amnesia dan lupa punya ketua kelas yang rajin," katanya.

Revas mendengus. "Sebenarnya agak berat, tapi... oke, maaf kamu diterima," pungkasnya, mengulum tawa.

Tawa Ella berderai lagi. Revas praktis menatap sepenuhnya, lalu ikut tertawa sesaat setelahnya. Mungkin hanya perasaannya saja yang sempat berpikir Ella sedikit berbeda. Tetapi melihat tawa anak perempuan itu, Revas menepis apa yang sempat terlintas dalam benaknya. Yang kemarin membantunya bertanding dan yang sekarang berjalan di sampingnya adalah sosok yang sama, sahabatnya sekaligus anak perempuan yang dia sukai dari dulu. Orang terfavorit kedua setelah ibunya.

Beberapa meter di belakang punggung mereka, Donna menatap tajam dengan tangan terkepal erat. Rahangnya mengetat dan napasnya memburu kesal. Ella seolah tidak jera dengan peringatan yang dia berikan terhadap mamanya dan malah terus sengaja mendekati Revas. Tetapi, bukan Donna namanya kalau membiarkan Ella terus berdekatan dengan Revas tanpa gangguan. Dia akan melakukan apa pun agar mereka tidak bisa bersama.

Tersenyum culas, Donna meminkan ponsel, mencari nomor yang baru kemarin dia dapat dari orangtuanya. Dan tanpa basa-basi, dia menghubung nomor tersebut. Hanya sedetik dia menunggu dan suara berat penuh wibawa menjawab teleponnya.

-TBC-

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 100K 24
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
635K 126K 43
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...
485K 6.3K 29
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
279K 3.3K 12
BoyPussy Bxb Cowo Bermeki