Pain Demands To Be Felt

By AninditaHidayat

5.8K 27 6

This isn't about the broken heart, it isn't about who is he, it's about me healing my broken heart and how to... More

Introduction
Minggu Pertama (Sarah)
Minggu Kedua (Sarah)
Minggu Kedua (Doston)
Minggu Kedua (Doston)
Minggu Ketiga (Sarah)
Minggu Ketiga (Sarah)
Minggu Ketiga (Doston)
Minggu Ketiga (Sarah)
Minggu Ketiga (Sarah)
Minggu Keempat (Sarah)
Minggu Keempat (Sarah)
Minggu Kelima (Sarah)
Minggu Kelima (Sarah)

Minggu Ketiga (Sarah)

199 0 0
By AninditaHidayat

Aku menatap lorong hotel berusaha sekuat tenaga untuk mendorong koperku. Aku berjalan menelusuri deretan pintu kamar hotel, aku menengok ke kanan, dan menghentikan langkahku sejenak.

Hamparan pantai indah didepan mataku tidak menjadikan aku hidup kembali. Aku menatap pemandangan luar biasa didepan hotel itu. Pantai.

Aku mendongakkan kepalaku, membiarkan matahari menyorot wajahku. Aku tertunduk menatap koperku.

Aku masih tidak percaya apa yang aku lihat satu jam yang lalu di bandara. Aku berjalan meninggalkan pemandangan indah itu, aku berjalan dan melihat pintu kamar hotelku diujung lorong.

711.
Aku menghela nafas dan meraih kunci kamar ditangan kiriku.
Kamarnya sangat luas. Aku sengaja meminta ayah untuk carikan kamar dengan balkon, dan pemandangan mengarah ke pantai. Bali sekarang sudah sangat penuh, butuh menempuh perjalanan sekitar 30 menit untuk sampai didaerah ini, masih sepi.

Aku membuka pintu balkonnya, aku melangkahkan kakiku sambil mengambil nafas panjang. Matahari.
Aku membiarkan cahaya matahari menyelimuti wajah dan separuh bagian tubuhku. Aku memejamkan mata, merasakan angin pantai menjamahi tubuhku.

Aku membalikan badan, ada dua kursi kayu dan satu meja kecil. Terdapat bunga mawar yang disediakan dari hotel. Aku meraihnya.

Mawar. Aku sangat suka bunga mawar. Aku duduk di kursi sambil masih memegang mawarnya. Aku melihat secarik kertas diatas meja itu.

"Jangan pernah sia-sia kan wajah dan senyum indahmu. Tidak ada alasan didunia ini yang bisa membuatmu bersedih. Semoga Bali bisa menjadi obat kelaraan hatimu." -Ayah-

Aku menatap kertas itu, tertulis bahwa itu adalah kertas hotel, tapi sepertinya ayah sengaja menuliskan itu untuk aku. Aku berpikir keras. Darimana ayah tahu aku bersedih? Darimana ayah tahu bahwa aku sedang sedih?

Melihat kertas dan membacanya membuat aku kembali mengingat Doston. Aku memutar kejadian yang tadi aku lihat di Bandara, Doston bersama perempuan lain. Sesak yang 3 minggu lalu aku rasakan kembali datang menghantam dadaku. Aku terisak.

Walaupun aku tidak bisa dengan jelas melihat mereka, tapi aku tahu bahwa itu adalah Doston, mantan kekasihku yang 3 hari lalu baru saja memelukku. Tiga hari yang lalu dia masih mendekapku dalam pelukannya, hingga aku tertidur. Itu Doston.

Doston ada di Bali.
Bersama perempuan lain.
Mungkin itu alasan mengapa dia tidak membalas sms dan tidak menjawab panggilanku.

Aku menangis. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.
Aku merasakan sesuatu telah merenggut sebagian dari ragaku. Badanku terasa lemas tidak berdaya. Sesekali aku membuka mata dan melihat jauh pemandangan indah didepanku, membuatku semakin menangis menyadari bahwa tidak ada satupun didunia ini yang bisa membuatku tidak bersedih saat aku mengingat betapa sakitnya hatiku karena dia.

Indahnya Bali tidak mampu berbuat apapun atas kesakithatian ini.
Secarik kertas dari ayahku masih ada ditangan kananku, aku meletakan mawar merah yang tadinya aku genggam, dimeja kecil sebelahku.

Aku berdiri, menyandarkan badanku kepagar balkon kamar hotel. Aku tertunduk.

Doston.
Aku kira kedatangannya kemarin adalah tanda bahwa diapun tidak bisa pergi dariku. Aku pikir dia merindukanku dan merasakan apa yang aku rasakan. Harapanku lenyap seketika saat aku melihat dia di Bandara bersama perempuan itu. Anganku atas memilikinya kembali jatuh bersama air mataku seketika aku tahu bahwa aku salah. Aku salah mengira bahwa Doston akan kembali lagi kedalam kehidupanku.

Tidak seharusnya aku membiarkan dia datang lagi. Aku merasa menjadi manusia paling bodoh didunia ini membiarkan dia menyembuhkan luka yang dia buat, lalu berharap dia akan menjadi obat dari kesakitan ini.

He's the one who hurt you.
You can't never heal something you broke.

Aku menangis menyadari kenyataan baru bahwa memang semuanya telah berakhir. Aku menangisi diriku sendiri karena aku terlalu cinta hingga aku mengira Doston akan menyembuhkan aku padahal dialah orang yang menyakitiku.

Aku terisak dalam tangisku. Siapa kah dia yang bersama Doston?

Apakah dia sudah menemukan cintanya yang baru?
Apakah aku sudah tergantikan? Secepat itu?

Aku kembali menangis.

Bel kamarku berbunyi. Aku mencoba menghapus air mataku, menarik nafas sangat dalam sampai aku merasakan dadaku sedikit bergetar karena aku menghentikan tangisku seketika. "Ya, sebentar!"

"Selamat siang mbak, maaf mengganggu. Bapak Anton sudah menunggu di lobby." Pria baruh bawa itu tersenyum.
"Eh.. oh iya mas, I'll be there in 10 mins. Thanks!" Aku menjawab dari balik pintu.

Ayahku menunggu di lobby. Why didn't he call me? Aku dengan cepat meraih handphone ku. Ternyata handphone ku masih dalam keadaan airplane. Argh, bodohnya.

Aku beranjak kearah kamar mandi dengan cepat. Mencuci mukaku yang masih terlihat merah karena menangis. Aku mencuci tangan lalu merapihkan rambutku. Aku tidak terlihat baik, aku tidak peduli. Toh ayahpun tahu aku sedang bersedih, dia bahkan menuliskan surat kecil itu untukku.

Aku membuka koperku dan memilih dress hitam panjang berbahan sangat dingin, cocok untuk Bali yang sangat panas. Aku meraih kacamata hitamku. Sebelum aku membuka pintu, aku mengoles sedikit lipstick warna merah muda dan menyemprotkan parfume kesukaanku, vanilla&coconut.

Aku berjalan dilorong hotel mencoba menenangkan diriku. Aku tidak boleh terlihat benar-benar habis menangis. Aku menggunakan kacamata hitam besar setidaknya itu bisa menutupi mataku yang terlihat sedikit bengkak.

"Ayah." Aku menyentuh pundaknya.
Ayahku duduk di cafe lobby hotel. Tangan kanan nya memegang koran dan tangan kirinya memegang rokoknya. Dia mendongak, "Sudah siap anak cantik ayah?" Dia tersenyum melihatku, membuka kacamata hitamnya.
"Tadi aku lupa, handphone ku masih airplane mode."

Ayah beranjak dari duduknya, dia memegang pundakku. "Tidak apa, kamu sudah baca surat ayah?"
Kami berjalan kearah mobil. "Sudah, yah.. thank you.." Aku meraih pundak ayahku dan mencium pipinya.
"Sudah! Anak cantik ayah tidak boleh sedih lagi! Kita makan siang dulu ya, sekalian ayah ingin kamu tahu tentang bisnis baru ayah itu." Ayahku tersenyum membuka pintu mobil untukku.

Aku duduk sendiri dikursi belakang. Ayah sibuk dengan handphone nya, aku tidak tahu dia berbicara dengan siapa, dia berbicara dalam bahasa jawa, mana gue ngerti!

Aku menatap jalanan dengan tatapan kosong. Aku menyenderkan kepalaku ke jendela mobil. Hari itu Bali terlihat begitu ramai, jalanan penuh dengan mobil dan motor berlalu-lalang. Aku meraih handphoneku. Aku menatap layarnya, masih dalam keadaan airplane. Aku menghela, kuletakkan kembali handphone ku kedalam tas kecil hitam pemberian ibuku diulang-tahun ke 20 satu tahun lalu. Aku memutuskan untuk membiarkannya dalam keadaan airplane, lebih baik. Aku sedang tidak ingin diganggu, aku tidak ingin berbicara dengan siapapun, aku sedang ingin sendiri, hanya sendiri. Aku kembali menatap jalanan.

"SUNDARA"
Restoran ini terlihat bersih dan ramai.
Supir itu membukakan pintu mobil untukku sebelum aku sempat membukanya, "Terimakasih, Pak!" Aku tersenyum. Dia diam hanya mengangguk.

Ayahku berjalan menuju pintu utama restoran itu, aku berjalan dibelakangnya. Ayahku masih berbicara dengan seseorang di handphone nya. Aku mengikutinya masuk.

Sesekali ayahku melihat kearahku sambil tersenyum. Aku hanya menatapnya. Senyumku mungkin terlihat sangat terpaksa. Aku tidak peduli. Aku baru saja menyaksikan sesuatu yang sangat menyakitkan untukku.

Meja itu berukuran cukup besar untuk 2 orang, aku menatap ayahku. Dia menjauhkan handphone nya, "Nanti ada yang nyusul, nak." Dia memberiku kode untuk duduk di meja itu.

Aku melihat sekitar. Restorannya sangat bagus, sebagian yang datang kesana adalah rombongan keluarga. Diujung dekat jendela, aku lihat ada dua orang duduk saling berhadapan, si laki-laki memegang tangan perempuan cantik didepannya, perempuan itu sangat cantik, wajahnya oriental. Mereka terlihat bahagia, sesekali perempuan itu tertawa kecil wajahnya memerah setiap laki-laki itu menyentuh dagunya. Argh.

Pemandangan itu mengingatkan aku saat 3 minggu yang lalu, saat untuk pertama kalinya aku bertemu Doston lagi. Aku menghela nafas, mengingat Doston hanya membuat dadaku sesak. Aku melihat ayahku duduk didepanku, menyandarkan badannya ke kursi kayu itu.

Aku tidak boleh bersedih, aku tidak mau ayahku melihatku bersedih, setidaknya aku harus menyembunyikan apa yang aku rasakan sekarang, demi ayahku.

Setelah memesan beberapa makanan untuk aku dan ayahku, aku menutup menu restoran itu, "Terimakasih, mbak!" Aku tersenyum.
Waitress itu mengangguk tersenyum meninggalkan aku dan ayahku.

"Sudahlah, jangan bersedih lagi ya, nak!" Aku menatap ayahku.
Ayahku meletakan handphonenya dikantung kemejanya. Aku tersenyum.
"Jangan kamu pikir ayah tidak tahu apa yang terjadi, nak. Ayahmu ini akan selalu tahu, dan akan selalu berusaha membuat anak cantiknya tidak bersedih." Dia tersenyum.
Aku terdiam sejenak, "Siapa yang kita tunggu yah?" Aku bertanya, memutuskan tidak membahas tentangku.
"Teman bisnis ayah yang baru, sebenarnya dia teman lama ayah saat sekolah dulu, kemarin ada kesempatan reuni, dan ada kesempatan bagus untuk ayah dan dia memulai bisnis baru, peluangnya sangat bagus." Ayahku menjelaskan.
"Orang Bali?" Tanyaku.
Ayahku mengangguk, "Iya, Bali, tapi dia muslim karena dulu kalau tidak salah dia menikah dengan perempuan muslim." Jawabnya lagi.
Aku mengangguk.
"Eh akhirnya koncoku ini datang juga!" Ayahku berdiri memeluk pria yang baru saja datang menghampiri meja kita.
Usianya mungkin lebih tua sedikit dari ayahku, mungkin 3 tahun lebih tua dari ayahku. Dia datang bersama satu orang lain dibelakangnya, aku tidak bisa melihatnya.
"Ini anakku yang paling besar, ayu to?" Ayahku tertawa, menunjukku.
Aku tersenyum, "Halo, om."
"Kebetulan Nton, aku sudah terlalu tua, susah menyetir mobil malam-malam gini, jadi aku ajak anakku sing lanang." Orang tua itu membalikkan badannya, sekarang aku bisa melihat orang yang tadi datang bersamanya.
Aku mengerutkan keningku.
"Oalah, iki to anakmu sing lanang, sini duduk nak." Ayahku menyalami dan menyentuh pundak laki-laki itu, dia tersenyum menundukkan kepalanya.

Bukannya itu Gale?
Aku tahu orang itu. Namanya Gale, bukan? Aku terdiam.

Badannya sangat proporsional. Tingginya sekitar 186 cm, aku tidak yakin. Pundak dan dadanya tegap. Aku yakin dia rajin berolahraga. Dia menggunakan kemeja biru muda, bagian lengannya dilipat sampai siku, kemejanya masih tertata rapih. Celananya hitam terlihat pas untuk ukuran badannya. Rambutnya tidak sepertiku, warnanya coklat. Mukanya tidak terlihat biasanya, he's mixed!
Wajahnya bukan wajah Indonesia, hidungnya mancung, tulang rahangnya terlihat sangat tegas, bibirnya tidak kecil, mungkin karena dia campuran.
Pelipisnya mengkilat, kulitnya putih bersih.
Dia menatapku. Aku memalingkan wajahku, aku tidak mau dia tahu bahwa aku sudah 2 menit lamanya memperhatikan dia selagi dia sibuk dengan handphone nya.

Benar, itu Gale.
Sabahat baik Doston.
Argh, kenapa semuanya berhubungan dengan dia! Aku menggerutu dalam hati.

Gale tidak terlihat kaget melihatku. Aku yakin dia mengenaliku, bahkan aku ingat dulu dia pernah menghampiriku di club tapi aku menolak ajakannya untuk minum. Sebenarnya aku tidak begitu ingat, tapi Doston selalu saja membahas itu, Doston selalu terlihat cemburu setiap dia membahas Gale dan aku di club itu. Jelas tidak ada yang terjadi antara aku dan Gale, tapi tetap saja, posesif!

Aku menghela nafas membenarkan posisi dudukku, aku tersenyum kepadanya, lalu memalingkan wajahku.

"Ini anakku yang bungsu, Nton.." Orang tua itu duduk disebelah ayahku, "Sini duduk, nak." Gale mengangguk tersenyum, dia memilih untuk duduk disebelahku. Aku bergeser sedikit.
"Kenalin, Nak. Itu anak pertama Om Anton." Orang tua itu tersenyum lebar kearahku, "Halo, Gale." Dia tersenyum menyodorkan tangannya, aku tersenyum kecil, "Sarah."

Benar, dia adalah Gale.

Dia duduk tepat disebelahku.
Aku melihat ayahku dan temannya berbicara sangat seru, mereka berbicara dalam bahasa jawa, aku tidak mengerti apapun, aku menghela nafas.

"Aku kemari sekalian mau liburan sama Sarah, Ndri." Ayahku mengambil sendok dan garpu didepannya, makanan baru saja datang.
"Oh gitu to.. Sarah sering ke Bali?"
"Sering Om." Aku tersenyum sembari membersihkan piringku dengan tissue.
"Dia sering kesini! Hobinya liburan! Liburan mulu!" Ayahku menggodaku.
Mereka berdua tertawa.
Aku hanya tersenyum, menyendokan nasi ke piringku.
"Kalau kesini, kasih tau om ya.. Biar dijagain!" Om Andri menggodaku lagi sambil menyentuh pundak ayahku, aku hanya tersenyum.
"Om Andri ini bos di Bali!" Canda ayahku sambil menyuapkan udang goreng mentega yang tadi aku pesan.
"Alah, Nton.. bisa aja kamu nih! Ayahmu lebih bos dari om!" Mereka kembali tertawa, aku hanya tersenyum lalu memutuskan untuk fokus pada makan siangku.

Dari awal datang sampai sekarang, Gale masih sibuk dengan handphone nya. Aku tidak mencoba mencari tahu, aku tidak peduli. Aku bisa lihat dari ujung mataku bahwa handphone nya lah yang membuatnya terdiam hingga sekarang.

"Lo pasti lagi sms Doston ya!" Bisikku pelan, membuka pembicaraan.
Aku tidak peduli, sebelumnya aku tidak pernah berbicara dengan Gale setelah kejadian di club itu, tapi kita saling tahu, aku pun yakin dia sering dengar ceritaku dari Doston, mereka sahabat dari kecil.
Dia menatap aku yang sedang mengunyah makananku, lalu tertawa kecil, "Jangan GR deh lo!" Dia tertawa lalu mengunci handphonenya lalu meletakan disebelah piringnya.
Aku meraih piring nasi dan menarik kearahnya, "Sibuk bener sih." Kataku.
"Iya gue habis kasih tahu Doston lo ada di Bali." Dia menyendokkan nasi kepiringnya.
Aku terdiam, aku merubah posisi dudukku mengarahkan badanku kearahnya. "Serius lo?!" Astaga, Sarah.

"Eh.. Kalian sudah kenal?" Ayahku bertanya, mungkin suaraku terlalu nyaring tadi.
Doston tertawa sambil masih mengambil beberapa lauk yang tersedia dimeja.
"Ah.. nggak yah, kita lagi ngobrol aja.." Aku membenarkan posisiku ke posisi semula, aduh Sarah. Ayahku mengangguk dan kembali dalam percakapakannya bersama Om Andri.
"Santai kali, nggak lah, gue bercanda." Gale menyuapkan suapan pertamanya.
"Ah apaan deh lo gak lucu!" Aku berbisik mendorong tangannya dengan pundakku.
"Jangan cemberut, jelek lo!" Gale mengejekku.
Aku terdiam, kembali menyuapkan makan siangku.

Continue Reading

You'll Also Like

4.6M 172K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
4.9M 61K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
553K 91K 36
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
4.2M 31.3K 29
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...