Kakak • lrh

By ohsnapitshood

2K 490 164

"Kakak?" "Kakak kenapa harus pergi jauh?" "Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disin... More

Special thanks!
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Kaka🍒
Luke
Kaka-kakak🍒
Kaka
Luke
Jack
Jack
Ben
Kaka
Luke
Luke
Jack
Ben
Jack
Kaka
Calum
Calum
Calum
Kaka
Kaka
Luke
Luke
Jack
Kaka
Jack
Luke
Kaka
Calum
Jack
Jack
Calum
Jack
Calum

Luke

33 9 0
By ohsnapitshood

Anjrit, nggak selesai selesai...

Gue menatap nanar pada tumpukan tugas di hadapan, yang makin lama, kayaknya makin menggunung. Mau selesai kapan, coba?

Agh...

Tangan gue bertumpu pada ujung meja, saat sakit kepala sialan ini kembali menyerang gue. Dan jujur aja, sakit kepala gue makin hari kayaknya makin parah. Kalau dulu cuma kayak pusing biasa, sekarang rasanya kayak kepala gue ditusuk benda tajam, terus selalu ngarah ke perut, bikin gue mual habis habisan.

Nggak, nggak. Gue pasti cuma kecapekan aja, kok. Pasti.

Berusaha mengalihkan pikiran dari prasangka gue yang makin aneh, akhirnya pandangan gue jatuh pada box sepatu converse hitam, yang tadinya ingin gue berikan pada Kaka, cuma karena seharian kita sibuk main dan perang kentut, akhirnya sepatu ini lupa gue berikan padanya. Mungkin, pagi ini aja, sekalian biar dia pakai ke sekolah.

Tentu, gue bukan tanpa alasan memberikan ini padanya. Tempo hari, guru kelasnya menelfon gue, berkata bahwa gambar yang dibuat Kaka menjadi sorotan para guru. Setelah gue diperlihatkan gambarnya oleh guru kelasnya, tentu perhatian gue juga ikut terbawa.

Iya, dia menggambar gue dengan seragam putih dokter, dan dirinya sendiri di samping gue. Ditambah dengan tulisan 'my brother is a great doctor, when i grew up, i want to be a doctor' disampingnya, membuat gue diam diam tersenyum juga. Guru kelasnya bilang, ini pertama kalinya Kaka menggambar anggota keluarga di lomba seni sekolah. Sebelumnya, ia hanya menggambar binatang atau objek mati lainnya. Ditambah, guru kelasnya berkata pada gue, bahwa anggota keluarga yang paling disayanginya hanya kakaknya. Namun, 'kakak' yang dimaksudnya bukan Calum, bahkan Mali, melainkan gue.

Gimana gue nggak ikut senang dengarnya?

Jujur, persepsi gue pada Kaka awalnya selalu negatif, mau dari sisi manapun itu gue ngeliat Kaka, pasti pikiran gue udah negatif duluan. Ya, gue berasumsi gitu juga bukan tanpa alasan. Pertama; Dia adiknya Calum. Calum bajingan, itu gue paham. Dan nggak menutup kemungkinan kalo adeknya bakalan jadi bajingan juga, kan? Kedua; Gue pernah ketemu Kaka waktu dia masih kecil banget, dan badungnya nggak ketulungan. Tapi ternyata, setelah beberapa hari gue tinggal bareng dia, semua persepsi negatif gue padanya hilang gitu aja. Karena gue tau, dia bukan orang kayak Calum, dan dia orang baik baik. Apalagi, waktu dia bilang kalau dia sayang gue. Jujur, gue bukan orang yang perasa sama segala sesuatu, cuma hal hal tertentu yang bisa buat gue mikir panjang. Tapi, pernyataan 'sayang' dari Kaka ke gue, selalu buat gue kepikiran. Dan gue senang, karena gue tau masih ada orang yang sayang sama gue.

"Kak?"

Gue menoleh, mendapati makhluk kecil yang gue pikirkan sejak tadi terduduk di tempat tidur, matanya sembab.

"Kenapa, Ka? Kok bangun? Masih jam lima, loh." Tanya gue, yang dalam hati panik, takut dia sakit lagi. "Nggak enak badan, ya?"

Kaka menggeleng.
"Kakak sini..."

Gue menghampirinya, membuatnya dengan cepat memeluk gue erat.

"Nggak mau sekolah, kak..." Gelengnya, menangis di dada gue. "Mau libur aja..."

"Lah, kenapa?" Tanya gue heran, sembari memeluknya balik serta mengusap punggungnya, berusaha menenangkannya. "Kok tiba tiba nggak mau sekolah?"

"T-Tadi aku nggak hafal dialog..." Isaknya, "Terus... Terus kakak nggak datang... Nggak mau sekolah pokoknya, kak..."

"Sshh, iya iya..." Angguk gue. Pasti, dia mimpi kayak gitu lantaran grogi hari ini mau tampil. "Tenang dulu ya, Ka. Itu mimpi kok tadi..."

Kaka mengangguk, meski masih terisak. Kalau diibaratin hewan, mungkin Kaka itu ikan sapu sapu, soalnya demen banget nempel.

"Sshh, udah ya... Itu mimpi aja Ka, lo pasti grogi hari ini mau tampil, makanya tidurnya nggak enak." Senyum gue, menghapus airmatanya. "Gue pasti dateng, kok. Dan seandainya lo emang beneran lupa di panggung, ya nggak apa apa. Yang penting lo udah tampil di depan banyak orang, lo udah usaha, lo udah berani, dan itu semua udah lebih dari cukup buat gue. Lo udah bikin gue bangga. Jangan nangis ya, Ka? Malu lah, udah kelas 4 masih suka nangis."

Kaka terdiam, menatap gue sendu.
"Kakak... Nggak bakal marah?"

"Enggak, lah." Tawa gue lirih. "Buat apa gue marah? Orang lo udah bikin gue senang, kok."

"Daripada lo takut, mending lo latih lagi dialog lo buat nanti, gue bantuin. Mumpung masih ada waktu sebelum berangkat sekolah. Gimana?" Ajak gue, yang langsung membuahkan anggukan darinya. Senyum lebar kembali terpatri di wajahnya yang memerah, membuat gue ikut tersenyum melihatnya.

Kalau aja gue beneran kakak kandungnya...

"Mau, kak!" Senyumnya. "Mau!"

"Yaudah, ambil kertas dialognya, gih."

Dengan cepat, ia melompat dari tempat tidur, berlari menuju tasnya.

Oh iya, sepatunya.

"Ka, Ka!" Tukas gue. "Bisa tolong cek box converse di meja belajar gue, nggak?"

"Bisa, kak." Sahutnya. "Mau kuambilin sekalian, nggak?"

"Iya, ambilin." Angguk gue. Iyalah, jelas gue mau lihat ekspresinya, waktu tau dia punya sepatu baru.

"Nih, kak." Tukasnya, menaruh box hitam itu di hadapan gue.

"Buka, deh." Tunjuk gue pada kotak tersebut, yang kali ini membuatnya menatap gue heran.

"Enggak ah, kak." Gelengnya pelan. "Ini kan punya kakak."

"Buka aja." Sergah gue. "Itu udah jadi punya lo sekarang."

Ia menatap box itu ragu, membuat gue gregetan ingin membukanya langsung, tapi gue jelas harus sabar, nanti jadi nggak asik kalau gue yang buka.

"Buka, Ka." Cetus gue, yang dianggukinya.

"Ini buat aku, kak?" Tanyanya, yang gue angguki.

"Iya. Makanya buka."

"Asik!" Senyumnya. "Makasih ya, kak!"

"Sama sama. Udah buka gih."

Perlahan, ia membukanya. Dan ketebak, pupil matanya membesar begitu melihat isi dari box sepatu tersebut.

"I-Ini..." Lirih Kaka, sembari mengeluarkan sepasang sepatu putih dari dalam box. "Ini sepatunya beneran buat aku, kak?"

Gue mengangguk.
"Beneran. Senang, nggak?"

"Senang banget, kak!" Senyumnya lebar, namun kemudian meninggalkan sepatunya begitu saja, dengan cepat menghampiri gue, memeluk gue lebih erat daripada tadi. "Makasih banyak, kak! Aku sayang kakaaak!"

"Iya, sama sama. Nanti dipakai ke sekolah, ya?" Tanya gue, yang mau nggak mau kali ini tertawa kecil akibat tingkahnya. "Habis sepatu lo buluk gitu."

"Iya! Nanti kupamerin sama teman temanku sepatunya! Sepatu biru itu kan bekas kak Cal, jadi buluk." Senyumnya, kali ini menatap gue. "Kakak, boleh cium, nggak?"

"Cium?" Tanya gue, heran. "Cium apanya?"

"Pipinya." Senyumnya, yang membuahkan anggukan pelan dari gue. Karena faktanya, gue masih suka dicium sama siapapun itu, sampai sekarang.

Perlahan, makhluk kecil di pangkuan gue mencium kedua pipi gue, lantas kembali memeluk gue setelahnya.

"Makasih kakak! Aku janji, kalau aku udah gede terus punya uang sendiri, aku bakal beliin apa aja yang kakak mau!" Ujarnya, "Semuanya, kak!"

"Serius, nih?" Tanya gue, yang dianggukinya.

Iseng, ah.

"Kalau gue maunya lo jadi dokter juga, gimana?" Tanya gue lagi, membuatnya terdiam sesaat.

"Um..." Gumamnya. "Mau deh, kak."

"Ngaco." Tawa gue, membuatnya ikut tertawa.

"Serius kak, kalau kakak jadi dokter, aku mau jadi dokter juga!" Senyumnya, yang tentu keseriusannya dipertanyakan.

"Katanya waktu itu benci matematika?" Goda gue.

"Sekarang enggak dong." Jawabnya enteng. Ah, paling nanti ada PR matematika juga diajarin tidur.

"Yang benar?"

"Serius!"

"Nggak bohong, ya?"

"Enggak!"

"Tiga kali tiga berapa?"

"Yuk kak hafalin dialognya, udah mau pagi, nih!" Sergahnya, membuat tawa gue lantas meledak. Bisa banget ngelaknya!

"Dasar!" Tawa gue. "Kalau nggak mau jawab bilang aja, Ka!"

"Iya, aku nggak mau." Cengirnya. "Aku mulai ya, kak! Nih, kertasnya."

Gue mengambil kertas dialog dari tangannya, membaca satu persatu yang tertera disana.

"Hai, Cinderella! Sedang apa kamu? Oh ya, nih, kamu cuci bajuku, ya!" Tukas Kaka, yang kali ini mengucapkan bait dialog pertama.

"B-Baik kak." Ujar gue, membalas dialognya. Yang bikin epic sekarang, kita latihan dialog, sambil dia pakai sepatu dan berdiri di atas kasur.

"Nanti malam, kami akan pergi ke pesta, dan kamu dilarang pergi kemana mana selama kami disana!" Tukas Kaka lagi, kali ini memasang tampang se-tengil mungkin. Yang begini sih, mau dia nggak hafal dialog juga pasti aman, improvisasinya bagus.

Atau emang udah tengil dari sananya, makanya pas banget meranin orang jahat juga.

"Kalau kamu pergi ke pesta, maka..." Ia tersenyum licik. Asli, ini gue kasih dia ke audisi drama TV juga keterima, kali. "Maka kamu akan kutimpuk pakai sepatuku!"

"Ngaco lo!" Bingung gue. "Nggak ada bait dialog yang begitu!"

"Emang nggak ada." Ia tersenyum tipis, balik lagi menjadi Kaka yang kadar tengilnya wajar. "Habis, cinderella sepatunya aneh! Sepatu kaca, mana ada!"

"Ya ada, lah! Orang dia yang punya!" Sergah gue.

"Wah, kakak ngebelain..." Tudingnya. "Jangan jangan kakak cinderella lagi? Cinderelluke?"

"Suka ngaco nih kalau ngomong!" Tawa gue, yang lepas begitu aja. Gue tarik pernyataan gue soal tingkat ketengilannya yang wajar, soal itu ternyata gue salah besar.

"Ih, awas, ada Cinderelluke!" Serunya, seraya tertawa puas. Nyari ribut, nih.

"Oh, gitu? Mau hadiah dari Cinderelluke, nggak?" Sarkas gue. Geli asli, apaan sih tuh 'Cinderelluke'?!

"Apa?" Tanyanya. "Malas ah, nanti kentut lagi!"

"Enggak, nggak! Bukan kentut! Sini!" Gue mengayunkan tangan. Yang polosnya, dia benar benar menghampiri gue.

"Jadi..." Gue menghela nafas, menunggunya sampai berada tepat di hadapan gue. "Mulai sekarang, Cinderelluke berubah jadi..."

"Jadi...." Ia menatap gue penasaran. "Jadi apa, kak?"

"Jadi..." Gue memangkunya perlahan, mencoba nggak membuatnya curiga. "Jadi tickle monster! Hahaha, rasain! Mau kemana lo?!"

Kaka tertawa habis habisan, lantaran gue kelitiki sekarang. Siapa suruh ngundang Cinderelluke?

"Kak, geliii!" Tawanya. "Iya iya, maaf! Kakak bukan Cinderelluke!"

"Terus apa?"

"Elluke!" Serunya, yang entah apalagi yang dimaksudnya.

"Aneh aneh lagi gue piting lo." Sungut gue, tentu nggak serius. Kalau dia Calum, baru gue piting beneran.

"Elsa.... Luke." Cengirnya. "Tapi kalau Elsa ngeluarin es, kakak ngeluarin es balok, jadi bisa nimpuk orang orang."

"Nanti elu yang gue timpuk mau nggak, Ka?" Bete gue, yang membuatnya tertawa lebar. Heran gue, bisa gitu ya, waktu sakit super duper kalem, waktu udah sehat petakilannya kebangetan?

"Udah, mendingan lo mandi gih, biar nanti langsung berangkat!" Perintah gue, yang malah membuatnya meringkuk lagi di balik selimut. Padahal, udah jam setengah enam lewat, nggak cukup waktu kalau dia mau tidur lagi.

"Ayo kak, tidur lagi!" Pintanya, "Nggak mau mandi, dingin."

"Nggak, enggak!" Geleng gue, tanpa menunggu lama lantas menyibakkan selimut, menggendongnya hingga depan kamar mandi, nggak peduli dengan rengekannya yang menyerukan bahwa ia ingin turun.

"Enggak mau mandi, kak!" Sungutnya, "Dingin!"

"Lebay ah, udah jam segini juga!" Gue menunjuk jam, yang menunjukkan pukul 6 kurang sekarang. "Kalau mandinya cepat, nanti bisa cepat ke sekolah, bisa cepat latihan sama teman teman lo juga, kan?"

"Malas, ah!" Ujarnya lagi, yang kali ini pasrah aja gue dudukkan di meja wastafel. "Nanti, opening aku harus dansa sama Ashton, padahal aku maunya sama Brendon."

"Jadi lo sukanya sama Brendon, nih?" Goda gue, yang sebenarnya nggak rela kalau sampai ia suka dengan si Brendon tersebut.

"Suka lah, dia kan sahabatku." Angguknya.

Polos banget sih, Ka.

"Ashton tuh sok tau banget deh, kak." Kali ini, makhluk kecil di hadapan gue curhat, "Waktu aku rehearsal sama dia, aku salah terus, kan rese."

"Tapi hari ini lo sama dia, gitu?" Tanya gue, mengatur suhu air di bathtub. Iyalah, mau se-maksa apapun gue, gue tetap harus tau kondisi. Nggak mungkin gue biarin dia kedinginan.

"Iya." Makhluk kecil di hadapan gue menghela nafas. Gue tau dia kesal, tapi nggak tau kenapa, malah jadi lucu.

"Kak, mandinya sendiri apa sama kakak?" Tanyanya, kali ini melompat turun dari meja wastafel. "Sama kakak ya, kak?"

"Emangnya kenapa?" Tanya gue balik. "Pegang airnya Ka, segini kepanasan, nggak?"

"Enggak." Gelengnya, yang hanya mencelupkan kelingkingnya. "Nggak apa apa, biar cepat aja."

"Dasar." Cibir gue, "Yaudah, masuk duluan gih, nanti gue nyusul."

Kaka mengangguk, lantas melepas bajunya sendiri, kemudian masuk ke dalam bathtub.

Iya, kalau mandi sama dia, alamat gue harus setengah telanjang lagi, atau bahasa gampangnya, mandi pakai celana.

-

Jas formal, udah.

Sepatu, udah.

Muka juga udah bersih, beres lah pokoknya.

Ini kenapa gue jadi lebih kelihatan kayak ayahnya Kaka, sih?

"Kak?" Panggil Kaka dari luar kamar, "Kakak udah pakai baju belum? Aku boleh masuk, nggak?"

"Belum, jangan masuk dulu." Sahut gue, yang lantas mengenakan setelan pakaian formal yang sudah gue siapkan sejak kemarin. Nggak mungkin gue pakai kaus oblong dan celana jeans aja, kan? Malu lah sama orangtua lain disana yang pakai pakaian formal.

"Oke." Ujarnya dari luar. "Kakak kalau udah selesai tolong bantu aku ikat tali sepatu, ya?"

"Iya." Angguk gue, yang baru sadar selama ini dia pakainya sepatu kets tanpa tali. Mungkin, ini pertama kalinya dia pakai sepatu tali. Biarin lah, biar dia belajar ikat sendiri juga.

Gue merapikan rambut, melihat pantulan diri gue di kaca. Semuanya beres, hanya satu yang membuat gue sedikit mengernyit heran,

Gue pucat.

Kenapa?

"Nggak," Gumam gue, berusaha melupakan apa yang barusan gue lihat dari pantulan diri gue sendiri. "I'm fine."

"Ka!" Seru gue sembari berjalan keluar dari kamar, yang menemukannya berdiri di depan TV, dengan tali sepatu menjuntai ke lantai begitu aja.

"Belum diikat, ya? Sini, gue iketin." Gue berlutut di hadapannya, menyamakan tinggi gue dengannya, sebelum akhirnya mengikat kencang tali sepatunya.

"Yuk, jalan." Ujar gue, membuatnya tersenyum cerah.

"Makasih, kakak!" Senyumnya, kali ini menggandeng tangan gue. "Yuk, kak!"

"Lets go!" Seru gue, yang ikut tertular semangatnya. "Nanti yang pede ya, Ka."

"Siap, kak!" Tawanya kecil, membuat gue ikut melakukan hal yang sama.

Kalau Calum emang nggak mau jadi kakaknya, gue siap kok gantiin dia kapan aja.

Karena gue tau, yang Kaka butuhkan sekarang, cuma sosok kakak yang bisa mendukungnya.

Continue Reading

You'll Also Like

389K 31.8K 26
Melez Kaplan Taehyung, Melez Tavşan Jungkook ile sevgili olmak istiyordu Ha birde onu altında inletmeyi... [texting+düz yazı] #3 - taekook [13.08.202...
234K 22.2K 24
Jeon Jungkook, 20 yaşına gelen herkesin dolunay gecesi kurt cinsiyetini ôğrenmesi şerefine düzenlenen baloda, kardeşinin kurt cinsiyetini kutlamaya g...
49.7K 7.6K 30
[🥼🔬] [theoretically lab] kim taehyung, stajyer jeon jeongguk'un tam bir virüs olduğunu düşünüyordu.
312K 29.1K 32
Kore'nin nesillerdir düşman olan iki sürüsü; Kim'ler ve Jeon'lar aynı davete katılır. Beklemedikleri şey ise attığı yumruk ile ruh eşi oldukları orta...