My Apple

Oleh mounalizza

337K 27.7K 1.6K

"Apel itu identik dengan warna merah. Nggak ada ceritanya warna hijau." "Tapi kenyataannya ada apel be... Lebih Banyak

Perpisahan dan Pertemuan.
Aku dan Apel Hijau.
Aku dan Apel Merah.
Liburan dan Kesialan
Ambisi dan Khayalan
Kecewa dan Pelampiasan
Sedih dan Pasrah
Malu dan Resah
Panik dan Terlena
Ragu dan Takut
Lemah dan Kuat
Berani dan Nekat
Berdebar dan Bergetar
Bahagia dan Derita
Pulang dan Pergi

Sendiri dan Sepi

11.9K 1.5K 57
Oleh mounalizza


"Siap?" tanya Atika kepada Alvina saat ingin keluar dari kamarnya. Hari ini mereka akan pergi kembali ke tanah air. Satu minggu sudah Alvina tak bertemu Nizar, tak melihat wajah kaku dan tingkah anehnya sungguh membuat hatinya gelisah. Ada rasa kehilangan yang tak bisa ia ungkapkan dengan jelas.

Alvina tahu perasaan ini apa, tetapi mengalah demi menghindari rasa kecewa lebih baik diutamakan. Abaikan, jalan terbaik.

"Ayo pamit sama mama dan dada-ku.." Alvina berjalan lemah menuju ruang keluarga di rumah keluarga Nizar. Mereka orang-orang baik yang menerima Alvina dengan hati terbuka. Terutama sang mama, Tante Mira. Alvina sempat tak enak hati saat Tante Mira memaksanya memanggil dirinya mama juga. Ia merasa diterima tulus.

"Vina, tadi kakak sudah berbicara sama tante kamu Kim, mama dan papa kamu sepertinya sudah memberikan izin kalau kamu boleh tinggal di sini. Kamu boleh tinggal di sini kapanpun kamu mau, tawaran kerja di sini juga belum kamu tolak bukan?" jelas Rezky kepada Alvina.

"Iya Vina aku senang sekali kalo kamu mau tinggal di sini, kerjasama membuka restoran Indonesia dengan kita sepertinya peluang bagus. Kamu punya kemampuan mengurus dan aku juga jadi punya teman. Kamu sudah aku anggap adik aku sendiri, yah karena adik laki-laki aku memilih tinggal berjauhan dengan kita. Nggak masalah kalau kamu menggantikan posisinya. Biarkan sajalah Nizar mau tetap menetap di Malang. Mudah-mudahan nggak kesepian di sana. Karena..." belum sempat Muna melanjutkan, Rezky menepuk lengan istrinya pelan. Melihat reaksi Alvina langsung menunduk saat nama Nizar disebut, siapapun tahu ada raut kecewa dari Alvina.

"Rumah ini selalu terbuka untuk kamu." Muna memeluk Alvina. Ia tahu jika berbicara lagi dipastikan sang suami akan mengacaukan.

"Kamu dipanggil mama di kamarnya." Alvina mengangguk dan berjalan ke arah kamar Tante Mira sendiri. Keberadaan Tante Mira bisa dibilang pengganti sang mama di negara ini. Kelembutan dan kasih sayang dapat dengan mudahnya ia dapatkan.

"Masuk sayang." sapa Tante Mira yang sengaja tidak menutup pintu kamarnya. Wanita tua itu sedang duduk di tempat tidur sambil memegang sebuah kotak kecil.

"Ini buat kamu." kotak itu langsung diberikan ke tangan Alvina. Pandangan Tante Mira tertuju pada kotak itu, meminta Alvina membukanya.

"Itu buat kamu." Alvina merasa tak percaya saat ia membuka kotak itu. Ada dua cincin unik yang berbeda dari kebanyakan cincin dibuat. Dua cincin dengan ukiran berbentuk apel sangat menarik bagi Alvina. Kemilau berlian di setiap pahatan membuat cincin itu tampak istimewa. Alvina memang menyukai buah apel dibandingkan dengan buah-buah yang lain. Dan cincin ini sungguh mencerminkan dirinya.

"Ini bagus sekali tante. Indah.." Alvina melihat lebih teliti keunikan cincin. Memandang dari dekat dua cincin itu dengan dua warna yang berbeda. Apel merah dengan ukiran berbeda, seolah sepasang tangan sedang memegang buah apel. Lalu cincin dengan bentuk apel hijau dengan taburan berlian yang bisa dipakai sebagai bandul kalung, semuanya terlihat unik. Alvina sungguh menyukainya.

"Sangat pas di jari kamu.." Tante Mira semakin tersenyum saat Alvina mencoba di jari manisnya. Cincin itu terlihat pas disematkan di jari Alvina.

"Ini buat kamu."

"Maaf tante ini terlalu mahal, aku tidak pantas menerimanya." Alvina menggeleng, ia tahu ini benda berharga. Untuk status perkenalan berjarak satu bulan, Alvina merasa ini terlalu berlebihan.

"Ini punya Nizar." bagai pengantar berita buruk, kenyataan ini membuat Alvina tak mau menerima.

"Dengarkan dulu." Tante Mira menahan tangan Alvina yang ingin mengembalikan.

"Nizar menitipkan ini kepada tante, saat itu Nizar sudah menyerahkan kepada tante, pemilik siapa cincin ini kelak." Alvina seolah tak mengerti, ia memilih menjadi pendengar setia.

"Dia beli ini dari hasil usahanya. Ini investasi untuk calon istrinya." Alvina yakin wajahnya bersemu.

"Dia memberikan benda berharga ini kepada tante dua tahun yang lalu. Saat itu dia sudah pasrah dan menyerahkan cincin-cincin ini untuk tante pribadi, tapi tante tidak setuju. Tante tahu dia mau cincin ini ada di tangan kamu." Alvina tak bisa membalas pernyataan ini.

"Maksud tante kepada wanita yang dicintainya." Tante Mira menyematkan cincin apel merah di jari manis Alvina.

"Tante bilang, cincin ini kelak akan tante berikan pada wanita pilihan tante sendiri untuk Nizar, dan tidak ada alasan untuk dia menolak."

"Tapi tante.." Tante Mira menggeleng, menolak penjelasan lebih lanjut.

"Nizar itu sebenarnya pria manis dan polos. Hanya saja, dia sudah lupa cara berkomunikasi dengan benar. Tante harap kamu bisa mengarahkannya." Alvina menunduk menahan sebuah rasa kecewa yang beberapa hari ini tak bisa ia luapkan.

"Tante ini wanita yang mengandung Nizar, tante tahu kamu adalah cinta pertama Nizar. Maaf kalau Nizar mengawali awal perkenalan dengan buruk, tak pantas diingat." Alvina tersenyum miris, ingin membantah tetapi sekuat tenaga ia tahan.

"Kalau kamu tidak bisa meninggalkan kedua orangtua kamu, harusnya kamu bisa merayu Nizar. Tante yakin Nizar akan luluh." Nasihat yang belum pernah ia coba. Baik dengan Dimas apalagi dengan Nizar. Egois masih di barisan terdepan.

"Bisakah?" Pada akhirnya Alvina runtuh untuk bercerita. Terlebih di hadapannya adalah seorang wanita yang sangat dihormati Nizar.

"Bisa. Tante tahu Nizar akan mengalah pada akhirnya." Alvina ragu lalu menggeleng.

"Tante yakin, karena cinta itu bisa membuat para pecinta berkorban. Dan Nizar pasti akan berkorban demi cintanya untuk kamu." Alvina benar-benar tak bisa menutupi wajah meronanya. Benarkah Nizar mencintainya?

"Doakan aku yah tante.." Alvina langsung memeluk Tante Mira. "Semoga berhasil. Taklukan putra tante yang aneh itu."

***

"Dia belum datang?"

"Belum ma, kenapa mama yang repot sih dengan Alvina? Dia sudah lupa dengan aku ma. Sudahlah lupakan saja." ketus Nizar memegang ponselnya dengan kesal. Siang ini ia sedang duduk santai di depan layar televisi. Ini hari minggu dan seperti biasa rutinitasnya hanya bermalas- malasan di rumah yang ia tempati sendiri..

Ini sudah hampir satu bulan Alvina pulang ke tanah air bersama Atika keponakannya dan tak ada tanda-tanda Alvina ataupun Atika bertandang ke kota Malang tempatnya berada. Lupa daratan dan terbawa arus keramaian ibukota. Dasar para manusia kurang kerjaan. Seenaknya saja manusia seperti dirinya dilupakan semudah itu.

"Kata Tika saat mereka baru sampai keluarga Alvina terkena musibah kecelakaann kalau tidak salah.."

"Iya ma sudahlah, beberapa hari lagi Tika juga balik ke Aussi kan?" tanya Nizar meyakinkan. Ia sudah tahu akhirnya jika Alvina akan menyerah. Biarkan saja.

"Ehhhmm.. I-iya, Tika juga bilang Alvina akan menetap di sini." ada nada sedih dari sang mama. Beliau terlalu berharap dengan Alvina. Nizar menyayangkan, seharusnya tidak seperti ini. Hati memang tidak bisa dipaksakan kemana berlabuh.

"Ya sudah jaga kesehatan yah. Secepatnya mama akan ke sana menemani kamu."

"Tidak perlu ma, aku sudah terbiasa di sini. Mama senang-senanglah di sana. Kalau ada Alvina mama pasti senang punya teman baru. Selamanya sama kakak pasti pusing juga kan."

Nizar mematikan panggilan ponselnya. Fokusnya kembali menatap siaran berita siang yang tak pernah lepas dari kasus pembunuhan dan tindak kriminal lainnya.

Bayi perempuan malang ditemukan di tempat sampah yang dibuang oleh kedua orangtuanya. Diduga hasil hubungan gelap.

Nizar selalu benci dengan mereka para pengecut penikmat nafsu dunia. Semoga mereka yang ditinggalkan orangtua tak bertanggung jawab diberikan kemudahan melewati hidupnya.

Empat pelaku pemerkosaan di sebuah angkutan umur berhasil ditangkap pihak yang berwajib. Dua masih buron.

Ini lagi, pecundang sangat tak berguna. Tiada ampun bagi mereka, beruntung Nizar bisa menahan segala macam gejolak di hati. Selagi bisa dilampiaskan sendiri, itu lebih baik. Apa yang sedang kau bicarakan Nizar?!

Pembunuhan mutilasi kembali terjadi, pelakunya ternyata pacar pertama korban. Diduga selingkuh membuat tersangka cemburu buta.

Korban permainan cinta adalah emosi yang tidak bisa dikendalikan. Cemburu? Luapkanlah rasa itu dengan jalan yang benar. Potonglah apel-apel segar dengan pisaumu dan telanlah dengan hati bahagia, sehat dan penyaluran yang masuk akal. Setidaknya pergilah ke pasar dan jadilah pedagang daging hewan untuk diperjualbelikan itu lebih baik.

Nizar masih setia mendengarkan berita yang sungguh membuat telinga panas untuk didengar. Banyak manusia yang tidak kuat iman, sebenarnya ia kuat iman hanya kadang suka nakal. Ya nakal, mengingat itu Nizar kembali mengingat Alvina.

Lupakan Nizar! Dia sudah punya kehidupan dan jalan hidup sendiri. Ini keputusanmu yang merelakannya.

Korban patah hati kembali berulah, ditolak lamarannya akhirnya korban berniat bunuh diri, lompat dari atas jembatan penyebrangan. Beruntung korban selamat dan mengalami patah tulang.

"Sinting." Nizar merasa geram. Dirinya yang patah hati saja tidak berfikir seperti itu. Yakinlah semua ada jalannya, jangan takut untuk melangkah.

"Banyak orang stres." Nizar mengambil satu gelas sari apel untuk ia nikmati. Aliran asam manis nan segar ini adalah jalan terbaik pelipur hati yang sedang gelisah dalam kesendirian. Sambil merenggangkan tubuhnya Nizar merebahkan diri di sofa panjang. Menghidupkan layar ponselnya kembali dan membuka salah satu sosial media yang ia punya secara rahasia. Ia memakai nama samaran. Tidak ada seorangpun yang tahu itu dirinya.

Dan wajahnya tak lepas pada sebuah profil seorang wanita yang akhir-akhir ini mengganggu jalan hidupnya.

"Alvina.." Ucapnya sendiri, sesekali ia tertawa dan terdiam miris. Berbagai foto yang terunggah membuat Nizar yakin akan satu kenyataan. Ternyata gadis itu berbahagia tanpa dirinya.

"Apa aku ke sana saja yah? Atau kembali ke Aussi?

***

Tbc
Sabtu, 03-12-16
Mounalizza

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

287K 16.8K 50
Apa pernah kalian menjadi nomor dua? No, kita tidak membicarakan nomor dua pada lomba lari atau peringkat di kelas. Tetapi nomor dua di hati seseoran...
275K 17.3K 41
[Repost] Narayana Pratiwi yang mendadak hidupnya seperti di negeri dongeng. Namun, tak selamanya hidup layaknya di dongeng itu indah. Reinan Wiryawa...
25.3K 1.9K 54
COMPLETED. The joy of meeting or finding someone again after a long separation. "Aku sekarang lagi di Paris, Theo." Edrea mendapat cuti dari kantorn...
4.1M 110K 32
(WARNING 18+ FOLLOW DULU BARU BACA) "Metta mau nenen" "Iya, Samudra" "Metta mau peluk" "Sini" "Metta mau buat anak" "Ayo" Ini cerita tentang Samudra...