My Apple

Por mounalizza

337K 27.7K 1.6K

"Apel itu identik dengan warna merah. Nggak ada ceritanya warna hijau." "Tapi kenyataannya ada apel be... Mais

Perpisahan dan Pertemuan.
Aku dan Apel Hijau.
Aku dan Apel Merah.
Liburan dan Kesialan
Ambisi dan Khayalan
Kecewa dan Pelampiasan
Sedih dan Pasrah
Malu dan Resah
Panik dan Terlena
Ragu dan Takut
Berani dan Nekat
Berdebar dan Bergetar
Bahagia dan Derita
Pulang dan Pergi
Sendiri dan Sepi

Lemah dan Kuat

12.9K 1.5K 62
Por mounalizza

Setelah minta maaf, jaga jarak dengannya tetapi jangan terlalu cuek. Wanita jika terlalu didekati akan semakin besar kepala.

Tidak perlu menempelinya cuma pastikan saat ia membutuhkan sesuatu kamu ada dan memberikan solusi.

Lakukan perhatian kecil yang tak pernah dilakukan yang lain, lalu berikan senyuman manis sebelum kamu pergi.

Jangan mencela atau mencibir, mengingat sifat kamu yang selalu berceloteh tajam. Sekuat tenaga hindari berucap tajam. Tahan dengan senyuman saat kamu merasa bertentangan.

Jangan melakukan kontak fisik terlalu. Mengingat kamu seperti tahanan baru keluar dari penjara. Gairah dan nafsu sangat rentan.

Saat ini ucapan mereka tidak akan mau dibantah atau disalahkan.

Lakukan semua itu jika kamu yakin dengan perasaan kamu.

Nizar mengangguk saat membaca serentetan pesan dari sang kakak ipar. Berbagai tips sudah ia lakukan dan semenjak kejadian naas itu, lebih tepatnya tiga hari yang lalu Alvina sedikit melunak. Nizar tidak membalas saat Alvina menegurnya dengan ketus.

"Ngapain kamu duduk di dekat aku. Bukankah aku sudah bilang jauh dari pandanganku."

Mendengar ucapan tak bersahabat dari Alvina, Nizar hanya mengangguk dan segera mencari posisi yang tak bisa dilihat Alvina. Sementara dirinya dapat puas menatap Alvina dari belakang. Baiklah masih bisa dikompromikan.

Saat mereka sedang pergi ke sebuah tempat berjualan oleh-oleh, lagi-lagi Nizar mendekati Alvina. Membantu sang gadis yang bersiap membelikan aneka cinderamata dan makanan khas.

"Kamu mau saya bantu kirimkan lebih dulu?"

"Kenapa dikirimkan lebih dahulu? Aku mau bawa sekalian pulang."

"Tapi masih lama, oleh-oleh kamu masa berlakunya tidak lama lagi."

"Seminggu lagi aku pulang dan ini untuk jangka waktu satu bulan masih layak."

"Tapi kamu kan sudah janji sama Tika keponakan saya. Kebetulan semalam dia telpon saya, katanya kamu mau mampir ke tempatnya. Sayang kalau kamu tidak melanjutkan liburan ke Melbourne. Bukankah visa liburan kamu juga masih lama?"

Alvina tidak membalas, ia hanya diam dan sepertinya tak menolak t saat Nizar mengurus pake oleh-oleh untuk keluarga Alvina di tanah air. Pria itu hanya diam di tengah keberhasilannya membuat bimbang Alvina. Apapun yang terjadi, gadis itu harus mau ikut ke Melbourne dengannya.

Dan pagi ini saat jadwal keberangkatan seluruh rombongan pergi ke suatu daerah dimana keindahan air terjun akan menyambut, Alvina justru tak memperlihatkan batang hidungnya di restoran bahkan di lobi penginapan Nizar tidak melihat.

Terakhir semalam saat makan malam, Alvina memang tampak akrab dengan rombongan yang lain. Ia tertawa bahkan mengabadikan dengan aneka foto dan gaya, sangat ceria dengan senyum bahagia. Dan itu semua tanpa dirinya. Nizar hanya menatap di dekat mini bar.

Andai ia bisa ikut berfoto dengannya. Nizar sendiri menggeleng tak percaya dengan pemikirannya. Ia sudah lama vakum dari dunia alay dan segala gegap gempita keramaian bercengkrama dengan yang lain. Sudah sangat lama, bisa dikatakan ia hampir lupa.

Tetapi melihat Alvina dengan mudahnya tertawa lepas, mendadak naluri yang sudah lama hilang seakan berontak ingin keluar. Nizar ingin seperti Alvina tertawa lepas.

"Andi.. Dimana Alvina? Apa dia sudah ada di dalam bus?" tanya Nizar di depan lobi. Rombongan sudah selesai sarapan pagi dan beriringan menuju mini bus. Romantis sekali mereka semua, membuat iri.

"Wah bos sepertinya Mbak Alvina tidak ikut. Tadi dia pesan sama saya mau menikmati fasilitas hotel saja dan mencari oleh-oleh di dekat sini. Dia malas pergi jauh lagi." Nizar menaikkan alisnya. Jadi dia akan pergi tanpa melihat Alvina di dekatnya? Untuk apa dia menjadi benalu dari berbagai macam pasangan suami istri?

"Ya sudah saya juga tidak ikut. Silahkan berangkat lebih dulu. Saya akan menemani Alvina." Andi menyengir seolah faham.

"Iya bos. Semoga berhasil pendekatannya. Anda berdua cocok." Nizar mendadak sombong akan pujian Andi. Dia memang cocok dengan Alvina..

Cocok yah? Sayang gadis kenyal itu masih marah. Sungguh bodoh gadis itu tidak menyadariny, dasar gadis cengeng. Oups salah, gadis cantik. Nizar perbaiki tata kramamu.

Hingga siang Nizar memang menunggu sosok Alvina di depan kamar. Dia menunggu dilobi jikalau Alvina memang berniat keluar. Ada rasa khawatir sebenarnya, tapi dengan mendatangi kamarnya dirasa akan membuat Alvina takut dan kembali meluapkan emosi. Sepertinya kurang sopan. Mengingat mereka tidak punya status akrab lebih dalam.

Tapi kan Alvina pernah seenaknya menggedor kamar dan berbuat tak baik di ranjang miliknya. Mengotori dengan butiran debu yang menempel di alas kakinya, belum lagi bantal yang dilempar ke bawa lantai. Dan yang paling tak diterima Nizar adalah isi kepala Nizar yang dibuat kacau hingga pagi karena keharuman Alvina masih menempel jelas di ranjang itu.

Sayang sampai detik ini Alvina tidak tahu, padahal saat itu bisa saja Nizar berbuat di luar kendalinya. Wanita mabuk datang ke kamar pria bujang yang sekuat tenaga menahan kebutuhan gairah. Apa namanya kalau bukan sialan berungtung bagi Alvina? Tidak ada goresan hati atau kecelakaan klasik dari kondisi seperti itu. Dewi fortuna ada pada Alvina.

Sayang Alvina tidak tahu..

Nizar masih saja menunggu, sudah setengah hari yang ia lakukan hanya duduk tak jelas di sofa lobi. Sia-sia, membuang waktu dengan percuma. Ini sangat bukan Nizar sekali, tetapi demi Alvina ia rela melakukannya.

Perlukah Nizar memanggil dirinya untuk turun ke bawah? Bilang saja pihak hotel memaksa karena ada latihan penanggulangan bencana darurat. Jelas Alvina tidak akan percaya, memangnya ini negara darurat bencana.

Tapi kalau di diamkan saja semakin membuat hati Nizar khawatir. Bisa saja Alvina ternyata sedang sakit. Susah berdiri bahkan merangkakpun tak mampu.

Bagaimana kalau Alvina keracunan makanan? Dia sakit muntah darah dan tenggelam saat berendam di dalam bath up? Segala kemungkinan bisa terjadi.

Atau bisa juga Alvina menghirup gas beracun dari dalam kamar mandi.

Mendadak Nizar berdiri, berlari menuju lift untuk menghampiri sumber kekhawatirannya. Urusan bagaimana reaksi Alvina nanti itu belakangan. Ia hanya butuh kepastian atas keselamatan Alvina.

Dor.. Dor..

Ting.. Tong..

Dor.. Dor..

"Please buka pintu.." Panggil Nizar panik di depan pintu kamar Alvina. Tak lama pintu itu terbuka, menampilkan wajah Alvina yang terlihat segar, sepertinya gadis itu baru saja mandi. Syukurlah tidak keracunan.

Terlihat rambut basah itu mengantarkan keharuman aroma apel. Alvina dan apel.. Paket lengkap sumber kelemahan dan kekuatan Nizar. Lihat saja sekarang, gadis itu menatapnya bingung sambil mengunyah satu apel segar berwarna merah, wajah Alvina terlihat tak suka.

Apa maksudnya menggedor pintu kamar orang seenaknya?

"Mau apa tuan mesum?" Alvina segera merapatkan pintu, hanya terlihat sedikit tubuh Alvina di balik pintu. Ia takut dan menyesal mengucapkan sapaan seperti itu untuk Nizar. Bisa saja pria itu mendorong dan masuk ke dalam kamar lalu bertindak asusila kepadanya.

"Kamu sehat?" tanya Nizar tak perduli sambutan Alvina yang kurang bersahabat.

"Iya aku sehat, apalagi dari pagi tidak lihat kamu." Nizar tersenyum pelan. Syukurlah segala kekhawatirannya hanya sebatas khayalan. Ah kenapa ia sempat mengarang indah? Ini semua karena ceramah sang kakak. Membuat ia mudah paranoid. Sejak aksi remasan tanpa sadar itu diketahui kakak perempuannya, Nizar memang selalu mendapat siraman nasihat setiap harinya.

"Kenapa tidak ikut melihat air terjun?" tanya Nizaf kaku masih berdiri di depan Alvina.

"Aku mau pergi di sekitar sini saja. Malas pergi jauh-jauh."

"Tapikan di sana banyak yang belum kamu lihat. Apalagi kamu.." tukang foto narsis tak penting dan pose bibir mo to the nyong. Wanita dan segala aplikasi magic plus- nya

Nizar sempat diam mencari kata yang pas. Ucapan itu hanya ada di dalam hatinya. Bunuh diri jika mengejek Alvina di waktu sensitif seperti sekarang.

"Apalagi kamu paling suka foto dengan pemandangan indah. Pasti bagus di unggah di akun sosmed." rayu Nizar berusaha tenang. Tubuh Alvina semakin tak terlihat, hanya kepalanya saja yang masih tersisa, menyembul di daun pintu. Nizar berusaha memaklumi. Untuk apa ia berharap lebih?

"Aku bisa cari di google foto pemandangan daerah itu." jawab Alvina.

"Kalau semua bisa dilihat di google kenapa kamu pergi ke sini?"

"Suka-suka aku." Nizar berusaha menahan aneka kata yang bisa saja berakibat membuat Alvina kesal. Ia hampir tersulut memang.

"Maksud saya, kamu foto di belakang pemandangan itu. Saya bersedia menjadi fotografernya." Alvina seakan tak percaya. Pria ini, kenapa selalu bersikap aneh sih?

"Aku nggak berminat pergi sama kamu." Nizar masih diam menatap Alvina, merangkai kata lagi agar terdengar enak di telinga Alvina.

"Kamu sendiri kenapa nggak ikut rombongan?" Alvina tersadar, Nizar sendiri juga tidak ikut rombongan.

"Saya khawatir sama kamu." mendengar itu sedikit kebahagiaan terasa di hati Alvina lalu kembali sirna mengingat perlakuan tidak sopan Nizar beberapa hari yang lalu. Ia masih belum bisa memaafkan.

"Kita makan siang yuk?" ajak Nizar sangat kaku. Alvina menggeleng, tidak sadarkah Nizar dengan nada suara tak bersahabat dari dirinya? Itu artinya menolak, harusnya dengan sendirinya Nizar menyerah dengan teratur. Kenapa malah mengajaknya makan siang?  Seolah di antara mereka tidak pernah terjadi apa-apa.

"Kita bisa cari bersama hadiah untuk keluarga." ajak Nizar sekali lagi.

"Kamu itu selain kaku tapi juga sok kenal yah?" ucap Alvina ketus. "Bapak kamu nggak ngajarin apa cara menghormati wanita yang baik dan benar?  Coba tanya sama dia saat ibu kamu dirayu! Aku yakin tidak sekaku kamu.. Tapi sudahlah nggak penting. Aku udah bilang jangan dekati aku. Kita tidak saling kenal dan cukup sampai di sini saja. Aku nggak mau berteman sama kamu." suara Alvina sangat ketus menatap Nizar.

Sementara Nizar diam menahan segala perasaan, diam-diam Alvina melihat Nizar seperti menahan ucapan sambil bergetar. Jangan lupakan tangan Nizar mengepal keras. Mendadak Alvina takut, ia khawatir menjadi pelampiasan emosi Nizar.

"Su-sudah belum? Aku mau masuk." tanya Alvina takut-takut. Ia sudah bersiap menggebrak pintu jika Nizar memaksa.

Dan reaksi pria itu membuat Alvina diam tak percaya.

Nizar hanya mengangguk lemah lalu mundur untuk masuk ke kamarnya. Kebetulan posisi kamar mereka sekarang berhadapan. Nizar memunggungi Alvina, tangannya bergerak membuka pintu, lalu masuk tanpa perlu repot-repot mengucapkan salam atau segala ucapan kakunya. Alvina hanya menatap mata pria itu penuh emosi. Salahkah ia berbicara?

Alvina hanya menaikkan bahunya. Sedikit tak perduli sepertinya sah-sah saja. Tapi..

Kenapa melihat reaksi Nizar yang diam diakhir itu terasa aneh yah? Apa ia salah bertindak? Tapi kan Nizar pria tak sopan yang telah seenaknya meremas bagian tubuhnya. Walaupun dia sudah meminta maaf. Lagipula, ini bukan salah Nizar seutuhnya. Ia yang tidur memeluk Nizar. Alvina sadar pelukan Nizar membuatnya nyaman.

"Arrgg pusing.." Alvina menghentakkan kakinya sambil mundar-mandir tak jelas di dalam kamar. Sesekali ia mendekati pintu kamar. Mengintip dari celah kaca kecil, apakah Nizar keluar kamar atau tidak.

"Kenapa aku merasa bersalah yah? Apa tadi aku membentak dia terlalu kasar?" Alvina meremas tangannya.

"Ah bodo amat lah.." gadis itu menggigit bibirnya. Bayangan anggukan lemah Nizar menjadi kilasan-kilasan ulang tak berhenti.

"Ahhh mamaaaa..." Alvina mencari nama sang mama di layar ponselnya. Ia mau ber-video call. Ia butuh nasihat sang mama.

"Mamaaaaa..." sapa Alvina di depan layar ponselnya. Sang mama Zahara tampak tersenyum penuh rasa rindu.

"Sayang... Kapan pulang mama rindu kamu.." suara penuh kehangatan yang tak ternilai harganya.

"Iya Alvina masih betah di sini ma.." Bohongnya sebaik mungkin. Ia tidak mau membuat sang mama khawatir. Apalagi karena masalah seorang pria yang baru dikenalnya. Anggap saja ini pengalaman ia berlibur sendiri.

"Mama lagi dimana?" Alvina memperhatikan arah sekitar belakang sang mama duduk. Sepertinya bukan di rumah mereka.

"Mama lagi di rumah tante Kim. Diundang makan malam. Papa kamu lagi di ruang keluarga, mama di dapur sama tante Kim.." Tak lama layar ponselnya berpindah tangan.

"Tante apakabaaaaar..."

"Vinaaa.. Tante dengar dari Ruby kamu di sana sama adik iparnya Om Rezky sahabat tante.."

Alvina langsung terdiam, kenapa wajah Nizar kembali mengudara di depan pandangannya?

Alvina melihat layar, sepertinya sang mama sudah menjauh dari jangkauan. Ponsel miliknya diambil oleh wanita tersayang lainnya. Sang tante Kimberly masih tersenyum menatap wajah Alvina.

"Tante, menjauh dari yang lain bisa? Aku mau berbicara dengan tante.." pinta Alvina pelan.

***

Jika rasa bersalah terus bersarang di hati maka kegelisahan terus bermain di sekitar isi kepala.

"Huufft.." desah Alvina sendiri di restoran hotel menikmati makan malam. Ia memperhatikan seluruh isi ruangan. Berharap Nizar datang untuk makan malam, namun sudah dua jam dia sendiri di sini, tak tampak Nizar dalam pandangan.

Nizar itu adik iparnya Om Rezky sahabat tante. Dia memang terkenal aneh dan punya prinsip sejak remaja. Dia mau sukses dan anti berhubungan. Bukan berarti dia tidak normal.

Penjelasan sekilas tentang Nizar tadi siang dari sang tante membuat Alvina semakin merasa bersalah. Nizar sebenarnya bukan pria mesum dan brengsek dalam kategori parah. Dia hanya kaku dan tak bisa meluapkan ekspresinya.

Dia berubah semenjak ayahnya meninggal. Sebelumnya Nizar memang tidak pernah menerima kasih sayang atau figur seorang ayah. Keluarga mereka sedikit kurang harmonis. Nizar remaja adalah Nizar yang membenci sang ayah. Kedua orangtuanya bercerai dan sempat dekat kembali saat ayahnya kritis. Begitu juga dengan Nizar.

Lalu tadi Alvina mengungkit keberadaan sang ayah di kehidupannya? Sok tahu sekali kamu Alvina.

Tante tahu karena awalnya Om Rezky ingin sekali meminta Ruby untuk adik iparnya. Tapi tante menolak karena usia terlalu jauh. Lagipula putri tante itu kan sejak kecil pacarnya tidak berubah. Tapi kalau sama kamu jarak usianya cocok. Dia pria baik-baik bertopeng kaku. Kamu pasti bisa meluluhkan hatinya.

Wajah Alvina memerah mengingat ledekan itu. Kenapa ia jadi memikirkan Nizar terlalu jauh. Bahkan semenjak tahu Dimas sudah menikah, Alvina tidak memperdulikan lagi rasa sakit hatinya. Dimas seakan tenggelam entah di mana di dalam hati Alvina.

"Aku harus cari Nizar.." Alvina berdiri dan tanpa perduli resiko yang akan diterima ia bergegas menuju kamar Nizar di atas. Jika Nizar bisa mengetuk pintu kamarnya, kenapa ia tidak bisa.

Ting.. Tong..

Cukup satu kali saja ia menekan bel. Dan memang tak perlu menunggu lama pintu itu terbuka dan tubuh Nizar berdiri tenang di hadapannya. Alvina menelan ludahnya. Pria itu memakai kaus putih dan celana santai. Tidak kaku dan harus diakui kadar ketampanannya meningkat. Wajah datarnya itu menggiurkan.

"Ada apa?" tanya Nizar tak mau menatap wajah Alvina.

"Boleh aku masuk?" cicit Alvina malu-malu. Sebenarnya ia takut, tetapi ada perasaan yakin jika Nizar itu pria baik-baik. Alvina harus bisa berbaik sangka.

"Mau apa? Tidak takut dengan saya?" Alvina seperti menjilat ludahnya sendiri. Ia tahu ia terlalu bereaksi berlebihan, tetapi ia hanya manusia biasa yang tak bisa mengendalikan emosi.

"Ya sudah kalau tidak diizinkan." Alvina menunduk dan berniat berbalik. Sedikit menggantung juga tak masalah. Ia hanya menarik ulur.

"Tunggu!" Alvina tersenyum lalu menoleh lemah, sedikit drama tidak ada salahnya.Anehnya Nizar langsung membuang muka. Nizar seperti malas menatapnya.

"Jangan lama-lama. Ini sudah malam, saya mau tidur cepat." Nizar memundurkan tubuhnya. Memberi tanda izin masuk untuk Alvina. Dan hal pertama yang dilihat Alvina adalah ukuran kamar Nizar lebih besar dengan fasilitas lengkap. Ada penampakan piring kotor di meja makan, berarti ia tidak kelaparan. Mungkin Nizar memang mau beristirahat haru ini jadi tidak ikut rombongan, anehnya tempat tidur itu masih terlihat bersih tanpa lecak sedikitpun.

Jika diteliti Nizar tidak keluar kamar sejak tadi siang, tetapi kasur itu terlihat rapi. Apa dia tidak singgah sebentar untuk merebahkan diri? Kenapa Alvina memikirkan di luar kapasitasnya?

"Kamu mau apa?" teguran Nizar membuyarkan pemikirian Alvina.

"Silahkan duduk." Nizar mempersilahkan Alvina duduk di sofa yang lebih besar. Pria itu seperti menjaga jarak. Membuat Alvina kikuk, tapi tekatnya sekarang adalah meminta maaf. Ia harus bisa melewati ruang kikuk ini.

"Maaf.." Ucap Alvina. Ia memang gelisah, seperti tak nyaman. Bergerak dalam duduk yang tak tenang. Hingga akhirnya ia berusaha berdiri untuk mengulang kembali posisi duduk.

"Oh maaf aku tidak tahu ada jaket kamu." rupanya Alvina duduk beralaskan sebuah jaket. Nizar semakin serba salah. Tangan Alvina mengambil jaket itu dan seperti yang bisa ditebak Nizar, reaksi Alvina pasti bertanya.

"Ini jaketku bukan? Kenapa bisa sama kamu?"  Alvina melihat Nizar kembali tak mau menatap wajahnya.

"Iya ini jaket aku. Bukankah jaket ini hilang." Alvina mendekati Nizar. Meminta penjelasan yang masuk akal.

"Itu.. Itu.."

"Itu apa?"

"Jaket itu kamu lepaskan saat kamu datang ke kamarku dalam keadaan mabuk."

***
Tbc
Senin, 28-11-16
Mounalizza

Continuar a ler

Também vai Gostar

1M 90.2K 86
{BXB}{LOKAL}{NON-BAKU} Cerita ini tentang Elvan Maulana yang punya pacar anak IPA kelas sebelah tuh cewek cantik banget awalnya si baik-baik aja samp...
128K 6K 24
Empat tahun lalu, Jessica Lauren bersumpah ia akan melupakan semuanya dan memulai hidup baru di Berlin. Tapi kemudian ia mendapat kabar tentang kemat...
380K 20.7K 18
Apa jadinya jika kamu menyukai orang yang akan menyiapkan pernikahanmu? Itulah yang dirasakan Kean Mardika. Ia yang sebentar lagi akan menikah harus...
Hot Tea with Sugar Por Kammora

Literatura feminina

2.9M 314K 27
Rayaana, perempuan berusia 26 tahun yang sudah diteror masalah calon pendamping sama Ibunya. Menikah bukan masalah komitment, Bagi Rayaana menikah ad...