Looking For Mate

Oleh gitlicious

1.5M 184K 9.9K

Apa yang istimewa dari umur dua puluh lima tahun? Sepertinya tidak ada selain usia itu dicap sebagian orang s... Lebih Banyak

cast
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua satu
dua dua
dua tiga
dua empat
dua lima
dua enam
dua tujuh
dua delapan
dua sembilan
tiga puluh
tiga satu
tiga dua
tiga tiga
tiga empat
tiga lima
tiga enam
tiga tujuh
Note
Testimoni
INFO PRE-ORDER
Medical

dua puluh

26.4K 4.6K 228
Oleh gitlicious

"Kei, masnya Mia cakep nggak?" Pertanyaan itu keluar begitu aja dari mulut Sera.

Kami berempat saat ini sedang bersantai di rumah sewa, kebetulan sore ini semua tidak ada jadwal dan kami bisa sedikit bersantai.

Gue melirik ke arah Mia yang wajahnya kini ditekuk. Tragedi akta lahir membuat Sera menjadi begitu penasaran akan sosok Kakaknya Mia.

"Lo tau temen Bang Azril yang gue bilang dokter galak kayak macan?" Sera spontan mengangguk. Mas Daru dan mulut tajamnya tentu saja mudah diingat oleh banyak orang. "Iya, itu dia."

Mia tiba-tiba menoyor kepala gue, tidak terima kakaknya disebut macan. "Sembarangan lo!"

"Kenyataannya Mas lo emang galak ya Nyet! Lo aja mengakui itu," sungut gue tidak terima.

"Ya, emang. Tapi galak-galak gitu juga dia Mas gue, Kei." Mia memberi pembelaan.

"Iya terserah lo deh ah,"

"Sera nanya cakep enggaknya Nyet, bukan galak enggaknya!" Kiran ikut angkat suara karena gemas dengan keadaan.

"Cakep... cakep..." ucap gue tidak ikhlas.

"Dih nggak ikhlas gitu jawabnya." Sera menimpali.

"Lo bisa nilai sendiri lah Ra, kan lo udah ketemu dokter Daru di reuni kemarin, ternyata dia kakaknya Mia yang selama ini dipanggil Mas Iyal."

"Reuni apaan ni weh? Kok lo nggak cerita-cerita?" Mia melayangkan pertanyaan penuh protes.

"Cowoknya Sera, Bang Azril, sama mas lo itu temen satu sekolah dulunya, satu SMA."

"Jadi lo udah tau duluan nih kalau Sera udah jadian? Pantesan kemaren responnya biasa aja." Kiran menimpali.

Gue mengangguk, mengiyakan ucapan Kiran.

"Lo kalo mau ketemu ikut aja Ran ke Bandung ntar. Kayaknya Mas Daru ikut juga."

"Kalau mas gue ikut gue berarti nggak ikut Kei, percuma mau ada berapa cowok ganteng pun di sana gak akan bisa gue ambil celah kalo ada dia!" Ucapan Mia membuat gue terbahak. Melihat reaksi Mas Daru saat Danar mengantar Mia pulang kemarin membuat gue sedikit mengetahui karakternya sebagai seorang kakak. Berbanding jauh terbalik dengan Bang Tio dan Bang Azril.

"Selama Levi ikut, gue ikut." Kiran buka suara. Kini bukan rahasia lagi bahwa Kiran memang sedang mencoba mencuri hati temannya di bangku kuliah itu. Bukan tanpa alasan, beberpa teman di angkatannya memang ada yang mengalami cinta lokasi yang berakhir pada pelaminan. Oleh karenanya Kiran mencoba nekat untuk mendobrak pintu pertemanannya dengan Levi. Respon Levi yang cukup baik membuat harapan Kiran kian membumbung tinggi.

"Ini kenapa pada kejebak friendzone semua sih?!" Sera memekik.

"Cuma Kiran sama Mia kok, gue enggak," jawab gue santai.

"Ye, sialan! Meski nggak friendzone lo juga belum tentu lebih baik dari kami. Deket sama banyak cowok tapi hilang timbul dan nggak ngasih kepastian." Kiran menyindir, menancap hingga ulu hati. Membuat wajah gue tertekuk.

"Kei, gue dapet broadcast lagi nih," kata Sera tiba-tiba.

Jika Sera yang berbicara perkara broadcast, pasti ini soal yang aneh-aneh. Terakhir gedung pernikahan yang mempelai wanitanya meninggal. Sekarang apa lagi?

"Lo mau taarufan nggak? Target seratus hari langsung nikah nih. Ada kontaknya juga buat daftar."

"Lo gila ya Ra?!"

***

Hari yang dinanti pun tiba, short gateaway kami ke Bandung. Ajaibnya weekend kali ini adalah Mas Arel, gue, dan juga Mas Daru bisa libur bersama. Di Rumah Sakit ada Shakeel dan tiga dokter lainnya. Gue menduga ini semua campur tangan Mas Arel selaku anak ketua yayasan, jadi kami bisa menukar shift dengan mudah.

Kami berkumpul di satu titik yaitu di rumah Kak Fidel, untuk perjalanan ke sana kami akan berangkat dengan mobil secukupnya saja. Sisanya akan ditaruh di tempat Kak Fidel.

Sera sudah lebih dulu dijemput Andra yang kini terang-terangan menunggu di depan rumah. Kiran pun dijemput Bang Tio dari kantornya. Hanya gue dan Mia yang masih menunggu tumpangan masing-masing karena terlalu segan untuk bergabung dengan pasangan yang sedang kasmaran itu.

"Mas lo jemput beneran Mi?" tanya gue dengan tak yakin. Mas Daru adalah tipe orang yang tepat waktu, aneh rasanya jika sudah semepet ini ia belum datang menjemput Mia.

"Dia cuma WA gue, nanti Mas ke sana," timpal Mia.

"Dan nggak lo bales Mi?"

"Itu udah mengandung perintah untuk nunggu, Mas gue mana bisa dibantah Kei." Gue hanya memberikan senyum penuh keprihatinan melihat Mia yang harus sering berhadapan dengan orang seperti itu.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, namun batang hidung Bang Azril belum terlihat. Gue telepon pun tidak diangkat.

Suara mobil di luar membuat Mia mengintip. Mas Daru dengan mobilnya sudah siap.

"Bareng aja yuk Kei? Tujuannya kan sama ini," bujuk Mia.

Setelah beberapa pertimbangan gue memutuskan untuk menyetujui usulan Mia untuk berangkat bersama Mas Daru menuju rumah Kak Fidel.

"Kuncinya jangan ditaruh di bawah pot lagi Dek, bahaya" tegur Mas Daru yang kini berdiri di samping mobil begitu melihat kami yang sedang berkutat dengan kunci rumah.

"Loh, kok Mas tau?" tanya Mia yang membuat gue menelan ludah gugup.

Mas Daru memilih tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil. "Cepet Dek, udah siang."

Mia mengerutkan alis dan menatap gue sebelum dirinya beranjak pergi. Sialnya, ia lebih memilih untuk duduk di kursi belakang.

"Mia, lo udah gila?!" Gue bersungut kesal, tapi Mia pura-pura mengabaikannya sambil menahan tawa. Mau tak mau akhirnya gue duduk di depan, mendampingi Mas Daru agar tidak terkesan menjadi supir kami.

Keheningan menyelimuti, gue masih terus mencoba menghubungi Bang Azril di sepanjang jalan, tetapi panggilan selalu dialihkan.

"Masih belum bisa ditelepon juga Kei Bang Azrilnya?" Mia buka suara.

Gue menggeleng. "Masih ngorok kali dia, suka ngeselin gini deh, lupa kalau udah ada janji."

Mas Daru mengeluarkan ponsel, kemudian menekan beberapa tombol hingga suara nada panggilan terdengar.

"Oit, Dar, ada apaan?" Suara yang begitu familiar di seberang telepon membuat gue super senewen.

"Di mana?" tanya Mas Daru.

"Di jalan mau ke tempat si cerewet, macet nih. Lo sendiri di mana?"

Mata gue otomatis melotot mendengar penuturan Bang Azril. Sementara Mia sudah menahan tawanya di kursi belakang.

"Di jalan ke tempat Fidel."

Mas Daru menoleh ke arah gue dan memberikan ponselnya.

"Bang Azril!" panggil gue dengan kesal, rasanya bom di dalam diri ini sudah siap meledak kapan saja.

"Kei?! Kok?! Eh, Daru!" Bang Azril terdengar panik.

"Kenapa telepon gue nggak diangkat?"

"Lo sekarang udah sama Daru kan ke tempat Fidel?"

"Ih, jawab dulu!"

"Daru gue titip si cerewet ya, nanti ketemu di tempat Fidel!" panggilan itu kemudian dimatikan secara sepihak. Membuat gue berdecak pelan.

Mia terkikik geli di belakang. Suara notif di ponsel kembali membuat gue merutuk dalam hati.

LamiaLujayn

Jaga image di depan Mas gue ya lo?

Biasanya udah keluar caci maki

KeiAzkadania

Bukan jaga image depan Mas lo,

Salah-salah gue yang kena semprot ntar

Sesampainya di kediaman Fidel kami disambut oleh banyak orang. Mereka sudah lebih dulu sampai, termasuk Bang Azril yang kehadirannya gue hiraukan.

Kehadiran Yuan di tengah-tengah kami membuat alis gue berkerut. Kok bisa?

"Kok lo di sini?" Mia bertanya kebingungan.

"Gue sepupunya Bang Fidel, pas tau Bang Fidel ngajak Kei dan temen-temennya gue yakin lo juga ikut. Bener aja firasat gue,"

"Emang Kak Fidel cerita apaan aja Yuan?"

"Kepo!" balas Yuan sambil tertawa terbahak. Membuat gue berdecak dan menyingkir dari ia dan Mia yang kini sibuk mengobrol.

"Ngambek?" tegur Bang Azril yang datang menghampiri. Gue memilih diam dan tidak menjawab, sok sibuk melihat sekeliling.

"Teleponnya nggak gue angkat karena tau lo bakal ribet ngomel-ngomel. Tadi gue bangun kesiangan soalnya."

"Seenggaknya kabarin kek,"

"Seenggaknya gue kan udah coba jemput lo. Udah ah nggak usah lebay, nanti kalau duit jajan di sana kurang juga minta," sindir Bang Azril yang membuat gue mencebik.

"Gue kan lagi ngumpulin duit buat biaya nikah!"

"Hello, rata-rata cowok yang kumpulin uang buat biaya nikah. Tabungan gue kekuras mulu gara-gara lo nih,"

"Gara-gara cewek-cewek lo yang banyak itu kali, gue sebulan sekali pun belum tentu minta jajanin. Lagian duit yang dikumpulin gue bukan untuk biaya gedung sama resepsi."

"Terus buat apa?"

"Acara bridal showers, dan seragam bridesmaid."

"Mau ala-ala selebgram lo?"

"Isi feed itu penting!"

"Lebih penting lo cari calon suaminya dulu!" sahut Bang Azril sambil menyentil hidung gue.

"Teteeeeh!" teriak Alan yang baru turun dari mobilnya. Bersama Mas Arel dan dua perempuan lainnya.

Mampus gue, itu bocah ikut juga?

"Siapa?" tanya Bang Azril.

"Ko-ass di Rumah Sakit, adeknya Mas Arel."

"Hai semua! Kenalin ini Rena calon istri gue, dan Wenda, sepupunya." Suara Arel memecah keheningan, rata-rata yang lain berkomentar mengenai Arel yang kini sudah mengekspose sang calon istri yang selama ini dia simpan rapat.

"Calon nyonya," ucap Sera tanpa suara ke arah gue. Gue hanya mengulum senyum melihat ekspresi Sera yang bagaikan melihat tumpukan uang segunung.

"Wenda?"

Mas Daru yang baru saja dari toilet tiba-tiba buka suara. Membuat kami mengalihkan semua atensi kepadanya.

"Iyal? Ya ampun udah lama nggak ketemu!" ucap perempuan yang dikenalkan sebagai Wenda.

Untuk pertama kalinya gue menemukan kesan ramah pada Mas Daru semenjak mengenalnya.

"Mas lo ada pawangnya tuh, berarti lo aman Mi," bisik gue asal yang membuat Mia menginjak kaki gue.

"Auwh!"

"Kenapa Kei?" Suara berdatangan dari berbagai arah.

Damn. Ini siapa yang nanya? Kok berjamaah? kayak solat aja.

"Gapapa kok," timpal gue tidak enak.

"Jadi, gimana pembagian mobilnya?" tanya Mas Arel. Semua mulai berpandangan satu sama lain.

"Teteh sama Alan ya?" pinta Alan.

"Kamu sama aku aja," Kak Fidel ikut bersuara.

"Kei, gimana kalau sama gue?" Celio ikut menawarkan.

Dengan panik gue melihat ke arah ketiga sahabat, mencoba meminta pertolongan. Tetapi mereka malah sibuk dengan gebetan masing-masing.

Bang Azril di samping gue memamerkan cengirannya. "Laku juga lo sekarang," bisiknya.

"Gausah berisik!" Bisik gue balik sambil mencubit tangannya hingga ia mengaduh.

"Aku sama Bang Azril aja aja," putus gue final sambil menggandeng lengan Bang Azril.

Bang Azril melepaskan gandengan tangan gue, kemudian merangkul gue dengan seringai yang tercetak di bibirnya. "Ada yang mau nampung gue sama dia? Gue lagi males nyetir."

Ini sepupu emang paling brengsek. Nggak ada duanya. Bukannya bantuin gue buat lolos dari ketiganya ia malah memanaskan arena.

"Kita lihat siapa yang emang pantes buat lo, sepupu," bisik Bang Azril. 

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

865K 75.1K 56
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...
1.5M 118K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
171K 10.3K 54
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
1.3M 69.4K 58
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...