Kakak • lrh

By ohsnapitshood

2K 490 164

"Kakak?" "Kakak kenapa harus pergi jauh?" "Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disin... More

Special thanks!
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Kaka
Luke
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Kaka🍒
Luke
Kaka-kakak🍒
Kaka
Luke
Jack
Jack
Ben
Kaka
Luke
Luke
Jack
Ben
Jack
Kaka
Calum
Calum
Calum
Kaka
Kaka
Luke
Luke
Jack
Kaka
Jack
Luke
Kaka
Calum
Jack
Jack
Calum
Jack
Calum

Luke

75 12 2
By ohsnapitshood

Perut gue sukses makin nggak enak setelah gue sarapan.

Bukan, bukan karena roti yang Kaka buat, gue nggak nyalahin dia, ya. Tapi, mungkin efek gue muntah muntah sebelumnya. Ya, sakit kepala gue makin parah sekarang. Bahkan, itu bisa buat gue jatuh kalau jalan nggak pegangan atau bikin gue muntah muntah kayak tadi. Jujur, kalau dibilang curiga sama sakit kepala gue sendiri, tentu udah curiga dari kapan tau, karena yang gue lihat dari gejalanya, sakit kepala parah ini mendekati indikasi suatu penyakit dalam; kanker otak.

Nggak, nggak mungkin...

Gue sehat sehat aja. Itu pasti karena gue kecapekan...

"Kakak!" Seru seseorang di luar kamar mandi, yang gue tau betul siapa si empunya suara. "Aku boleh masuk?"

"Masuk aja" jawab gue acuh, yang akhirnya berniat untuk mandi lagi bersamanya. Maksudnya mandi bareng, gue mandiin dia dulu, baru habis dia beres, gue mandi sendiri. Nggak mungkin gue ngeberesin bersihin private parts gue depan dia, kan?

"Kakak udah lepas baju?" Tanya manusia kecil di hadapan gue, sambil mengemut sikat giginya yang nggak sampai sejengkal tangan gue. "Odol kakak rasanya nggak enak, pedes."

"Ya jangan dimakan, lah." Geleng gue sambil mencuci muka, berniat mencukur bulu bulu di wajah yang udah mulai tumbuh. Gue nggak mau disangka ayahnya Kaka waktu besok dateng, ya. "Ka, sikat gigi, jangan diemut ah odolnya, jorok."

"Aku nggak ngemut" gelengnya, tersenyum kecil ke arah gue. Wajah polosnya sukses membuat gue ikut tersenyum balik padanya. Nggak nahan liatnya. "Kak, gigiku kenapa, sih?"

"Kenapa emang giginya?"

"Goyang gitu, sakit..." ia manyun, masih sambil mengemut sikat giginya. "Waktu aku pertama begini, gigiku ditarik sama kak cal sampai berdarah..."

"Oh," gue menggumam, mengurungkan niat untuk nanti saja cukurnya. "Mana? Sini gue liat."

Kaka membuka mulutnya, terlihat deretan gigi yang super kecil serta satu gigi yang bolong di beberapa bagiannya.

"Yang mana, Ka?" Tanya gue, melepaskan sikat gigi yang diemutnya di pipi kanan. Iya, sikat giginya udah dikasih odol, cuma nggak dipakai untuk menyikat giginya, jadi masih ada di sikatnya. Anak gila, emang.

"Yang ini," ia menggoyangkan gigi taringnya. "Sakit, kak..."

"Oh, itu." Angguk gue. "Yaudah, nggak apa apa, nanti lepas sendiri, kok. Jangan kenceng kenceng sikat giginya, ya."

Manusia kecil di samping gue mengangguk, sembari berlari kecil mengambil bangku pendek yang nggak jauh darinya. Tentu itu untuknya berpijak, agar bayangannya terpantul di kaca, membuat gue tertawa diam diam melihat tingkahnya.

Lucu juga, sih...

Udah ka, nggak usah gede, kecil aja terus.

"Kakak mau ngapain?" Tanyanya, sukses membuyarkan lamunan gue tentangnya, membuat gue menoleh kearahnya, yang sekarang jaraknya dengan cermin di depan nggak sampai sejengkal.

"Lo sikat gigi apa ngaca?" Cibir gue, mulai mengoleskan krim wajah, bersiap mencukur.

"Sikat gigi sambil ngaca" jawab Kaka, nampak sangat hati hati menggosok giginya, yang malah bikin gue gregetan sendiri.

"Gue bantuin, sini." Sergah gue, yang tanpa persetujuannya langsung merampas sikat gigi kecil tersebut dari tangannya, membuatnya manyun dengan segera, menorehkan protes pada gue lewat air mukanya.

"Nggak mau!" Tolaknya. "Aku aja!"

"Lo sikat gigi aja setaun, lama banget!" Decak gue. "Gue pelan pelan, kok. Sini, majuan."

Tetap, ia menuruti perkataan gue, kemudian membuka mulutnya lebar lebar, membuat gue menyikat giginya perlahan lahan, seperti yang gue janjikan padanya.

"Gigi lo kecil kecil banget, sih." Heran gue. "Ini baru kedua kali gigi lo begini atau sebelum dicabut calum udah pernah?"

"Baru pernah dua kali" jawabnya. "Jangan dicopotin ya kak, nanti aku nggak punya gigi."

Gue tertawa geli mendengar penuturannya.
"Ya nanti tumbuh lagi, Ka. Lebih gede numbuhnya malah."

"Boong" gelengnya. "Kakek kakek deket sekolah aku giginya copot banyak, nggak numbuh lagi."

Ya elu jangan nyamain sama kakek kakek lah, ka, ka...

"Itu lain cerita" gue mengayunkan tangan gue acuh. "Udah. Kumur kumur, gih."

Kaka mengangguk, melakukan apa yang gue perintahkan dengan segera. Ternyata, dia bisa juga nurut meski nggak lagi sakit. Gue kira, kalau udah sehat, balik lagi jadi setan.

"Masuk bak, sana. Gue mau cukuran dulu" ujar gue, yang kini lanjut mengolesi krim di wajah, membuat Kaka menoleh ke arah gue.

"Cukuran itu ngapain, kak?" Tanyanya, menatap gue intens, kemudian tertawa kecil.

"Kakak mirip santa!" Tawanya. "Aku mau pegang dong, kak! Boleh nggak?"

"Ngapain?" Tawa gue balik, yang menahan tangannya untuk memegang krim di wajah gue. "Kaka, nggak ah! Gue bukan santa!"

"Lucu!" Ia kali ini memanjat di porselen, duduk disana. "Aku mau bantuin dong, kak!"

"Bantuin apaan? Nyukur?" Tanya gue, yang dianggukinya.

"Tapi aku mau kayak kakak juga!" Senyumnya, menunjuk wajah gue yang udah dipenuhi dengan krim.

"Mau jadi santa juga?" Senyum gue gemas, yang akhirnya dianggukinya.

Dan kalah dengan ekspresi wajahnya, akhirnya gue ikut memakaikannya krim wajah, membuatnya sedikit sedikit tertawa kegelian lantaran gue pakaikan itu.

"Aku adeknya santa!" Serunya sembari berkaca, yang langsung membuahkan pikiran pada gue untuk memotretnya, atau kalau bisa, memotret kami berdua. Entahlah, maksud gue, kapan lagi gue bisa tampil kompak bareng dia? Kalau dia udah gede, belum tentu masih mau begini. Iya, kan?

"Diem dulu, Ka! Jangan dipegang dulu jenggot santanya!" Ujar gue, yang langsung bergegas ke kamar, mengambil kamera. Persetan dikira gila sama orang rumah lantaran jalan jalan nggak pakai baju.

"Kaka!" Panggil gue, memfokuskan lensa kamera padanya. "Lihat sini!"

Manusia kecil dengan 'jenggot'-nya tersebut menengok, dengan cepat memasang ekspresi yang sepertinya senyum, namun malah terlihat seperti orang nahan boker.

Gue tertawa, dengan sigap kali ini memposisikan kamera di depan kami berdua.

"Pasang gaya, Ka!" Seru gue, yang nggak ngerti kenapa mendadak jadi semangat. "Gue setting foto 4 kali!"

Kaka mengangguk, kemudian mencium hidung gue dengan segera, karena itu adalah spot yang nggak terkena krim wajah.

Krek!

Gue mencorengkan krim wajah di hidung Kaka,

Krek!

Kaka gantian melakukan hal yang sama pada gue,

Krek!

Terakhir, gue menumpukan kedua tangan gue pada kepalanya, membuat ia terlihat seperti meja gue sekarang. Taruhan, air mukanya pasti aneh aneh. Gue juga, sih. Hehe.

Krek!

"Selesai!" Seru gue, lantas mengambil kamera dari tempatnya, melihat foto foto kami tadi.

Aneh aneh banget mukanya, hahaha.

"Kakak mukanya aneh!" Tawa manusia kecil disamping gue, kembali mencoreng gue dengan krim wajah di hidung.

"Lo juga aneh semua" cibir gue balik, yang juga gantian mencoreng bagian bawah matanya dengan krim wajah.

"Udah, ah" gue kembali menggenggam alat cukur, berniat kembali melaksanakan kegiatan mencukur gue yang tertunda sejak tadi.

"Ah, kakak!" Kaka menahan tangan gue. "Mau bantu, kak!"

"Duh..." gue menimbang sesaat, sebelum akhirnya menyerahkan alat cukurnya pada Kaka. "Hati hati ya, Ka. Jangan kasar kasar."

Manusia kecil ini mengangguk.
"Siap, dokter Luke!"

Kaka menerima alat cukur tersebut, dengan hati hati mencukur bulu bulu di wajah gue, yang malah terasa geli kalau ia yang mencukurnya.

"Lu ngelitikin gue apa nyukur sih, Ka?" Tawa gue kecil. "Geli!"

"Ih kakak, diem!" Ia mengalihkan pandangannya ke kaca cermin, setelah mencukur sebagian bulu wajah gue di sebelah kanan.

"Begini, kak?" Tanyanya, yang terlihat amat lucu di mata gue, lantaran di wajahnya masih tersisa krim wajah, juga dengan ekspresi yang super polos sembari memegang alat cukur.

Gue mengangguk.
"Nyukurnya jangan kasar kasar, tapi jangan pelan pelan juga. Geli, Ka."

"Oke, kak!" Ia tersenyum, kemudian kembali pada kegiatannya mencukur gue.

"Kakak, kak!" Panggilnya, masih sambil ia mencukur gue.

"Hm?"

"Kalau aku udah gede, udah punya rumah, kakak boleh tinggal sama aku!" Senyumnya, membuat gue tertawa ringan, mengelus rambutnya dengan sayang.

"Kok tiba tiba ngomong gitu, Ka?" Tanya gue, yang membuatnya mengedikkan bahu.

"Kakaknya temenku, dia tinggal sendiri sekarang. Aku nggak mau kakak tinggal sendirian." Jawabnya, membuat gue tergelak.

Polos banget sih lo, Ka.

"Hahaha, oke oke" angguk gue. "Gue tunggu rumahnya, Ka."

Kaka mengangguk mantap, kemudian kembali lanjut mencukur gue.

Kalau dia punya pacar... Gue ditinggalin, dong?

Kalau dia diapa apain sama pacarnya nanti, gimana?

Wah, gila... Amit amit!

"Ka?" Panggil gue.

"Mmm hm?"

"Lo jangan punya pacar, ya." Lirih gue, yang nggak tau kenapa tiba tiba ngomong gini.

"Pacar?" Tanya Kaka, namun fokusnya nggak berpindah. "Apaan tuh, kak?"

Gue tersenyum kecut.
"Nanti lo juga tau sendiri. Pokoknya, jangan punya pacar, ya."

"Nggak punya pacar, oke!" Ia tersenyum manis, menatap gue. "Emang pacar itu siapa, kak? Pernah jahat sama kakak, ya?"

Gue menggeleng.
"Jahat sama lo tepatnya, bukan sama gue."

"Ih..." ia berhenti, mencukur gue, kali ini menatap gue dengan pandangan takut. "Kak... Nggak mau punya pacar ah, takut..."

"Makanya, jangan." senyum gue, "Kalau ada yang ngajak pacaran, juga jangan mau, ya?"

Kaka mengangguk.
"Oke! Kakak juga jangan punya pacar ya, nanti kakak dijahatin, aku nggak mau."

Penuturannya barusan sukses membuat gue tertawa ringan.
"Siap, deh."

"Kakak, udah!" Senyumnya puas, yang langsung mengalihkan pandangannya ke cermin. "Bagus kan, kak?"

Gue mencuci wajah gue terlebih dahulu, sebelum akhirnya mengangguk atas pertanyaannya. Jujur, gue nggak nyangka cukurannya bisa rapi gini. Kirain, bakal berantakan. Atau yang lebih gila, dagu gue bisa hilang. Ternyata nggak.

"Mantap!" Gue mengacungkan jempol. "Rapi banget, Ka!"

"Iya, dong!" Ia tersenyum. "Nanti kalau ada lagi, aku aja yang cukur ya, kak!"

"Beres!" Gue mengangguk, lantas menggendongnya untuk masuk ke dalam bathtub, setelah sebelumnya gue menyesuaikan suhu air.

"Tau nggak, Ka?" Tanya gue, sambil membasahi kepalanya.

"Apa, kak?"

"Tadi pagi, waktu lo sakit, panas lo setara sama suhu air ini." Sahut gue, mengingat kejadian pagi buta tadi ketika ia sakit, meski rasanya nggak pengen ingat lagi.

Matanya membulat, terlihat kaget dengan apa yang baru saja gue katakan.
"Beneran, kak?"

Gue mengangguk, mengiyakan dengan singkat pertanyaannya.
"Iya, makanya gue panik setengah mati pas ngerasainnya. Tapi sekarang, lo beneran udah nggak kenapa kenapa, kan?"

"Panas banget ya, kak..." gumamnya. "Nggak, kok. Aku udah sembuh sekarang!"

Ia tersenyum manis pada gue, membuat bayangannya ketika sudah dewasa nanti tercetak di pikiran gue, yang mana sebenarnya, gue nggak mau dia tumbuh besar. Egois sih, tapi ya, rasain dulu di posisi gue sekarang, baru lo ngerti.

"Kakak," panggilnya. "Kakak tiga bulan lagi, ada waktu luang nggak?"

"Nggak tau juga." Gue mengedikkan bahu, menatapnya heran. "Mau ada apa emangnya?"

"Hari olahraga!" Jawabnya. Iya, jujur aja, yang paling gue kangenin dari dia selama dia sakit, cuma sifat cerianya aja. Gimana, ya... Ramai aja. Udah lama gue nggak ngerasa rumah tuh seramai ini. Semenjak Ben dan Jack pergi, rumah jadi benar benar sepi.

"Kan aku masuk tim atletik sekolah kak, nanti, kata pelatihku, kalau aku bisa sampai nasional, aku bisa dapat SMP bagus!" Celotehnya, sembari bermain air, membuat gue ikut tersenyum tipis melihat tingkahnya. Ya, meski dia masih kelas 4 SD, nggak ada salahnya mikirin SMP. Malah gue senang, akhirnya ia bisa belajar lebih dewasa sedikit.

"Mantap!" Gue mengacungkan jempol, "Bisa lari lo, Ka? Lari dari apa? Kenyataan?"

"Ih! Enggak, lah!" Protesnya, "Lari pendek aja sih buat seleksi kemarin, 200 meter, cuma aku 37 detik."

Gue terdiam menanggapi celotehannya barusan.

200 meter, 37 detik?

Dikasih anjing herder kali belakangnya ya, makanya bisa cepet gitu?

"Cepet juga, Ka..." decak gue. Mungkin, ini juga salah satu sifat biologis yang bisa menunjukkan bahwa Kaka adalah adik kandung Calum; bisa berlari cepat. Dulu, waktu kami masih SMA, cuma dia yang bisa ikut olimpiade olahraga dan bertahan sampai tingkat provinsi. Tapi sisi bajingannya, dia jadi bisa seenaknya ninggalin gue, kalau kita lagi dikejar orang gila. "Pertahanin, dong. Kan lumayan, kalau SMP lo bagus."

"Lo nggak ada niatan buat jadi dokter juga, nih?" Canda gue, yang sesuai dugaan gue, itu lantas membuahkan gelengan darinya.

"Nggak mau, ah. Ribet." Sungutnya, membuat gue spontan menarik pipinya. Enak aja jurusan gue dikatain ribet.

Tapi kalau mau dijujurin sih ya... Ribet, emang. Banget malah.

"Kakaaaak!" Rengeknya. "Lulu, sakit!"

Gue berhenti melaksanakan kegiatan brutal gue menarik pipinya, saat ia berkata demikian.

Apa tadi katanya?

Lulu?

"Apaan, Ka?" Tanya gue, masih nggak menangkap apa yang dikatakannya.

"Apanya yang apa?!" Ia menatap gue kesal, namun bukannya membuat gue ciut, malah membuat gue makin gregetan pengen narik pipinya lagi, bahkan kali ini lebih keras daripada sebelumnya.

"Tadi lo ngomong apa?"

"Apanya?" Ia bertanya balik, sekarang ekspresinya nggak kalah bingung dari gue. "Yang aku teriak 'sakit'?"

"Bukan!" Geleng gue. "Itu, tadi lo manggil gue pakai nama apa? Lele?"

"Oh, itu." Cengirnya. "Lulu, hehe. Tadi asal bunyi aja kok."

"Asal bunyi apa asal bunyi?" Goda gue, membuatnya tertawa kecil.

"Asal bunyi! Seriusan!"

"Masa? Seriusaaan?"

"Serius, kak!" Tawanya makin keras, kali ini ia mundur mundur, berusaha menghindari gue.

"Kalau bohong?" Tuding gue, "Kalau bohong, gue suruh tickle monster kesini ya, biar ngelitikin lo?"

"Nggak mauuu!" Ia menggenggam kedua tangan gue, sepertinya udah tau siapa 'tickle monster' yang gue maksud. Iya, gue sendiri.

"Siap siap, Ka." Gue melepaskan tangan gue darinya. "Tickle monster is coming!"

"Kakaaak!" Jeritnya, sembari tertawa, lantaran kali ini gue benar benar mengelitikinya. "Geli, lulu!"

"Tuh, kan!" Gue ikut tertawa, namun masih belum berhenti mengelitikinya. "Nggak bisa lari lo, Ka!"

"Gantian! Nggak mau tau, ganti- Kakaaak!" Ia kembali menjerit, saat niatnya balik mengelitiki gue, kembali gue balas. Lagian, Luke Hemmings dilawan.

"Kaaak!" Rengeknya, setelah gue berhenti mengelitikinya. Sekarang, mukanya berubah 180 derajat, dari yang ceria, menjadi sebaliknya.

"Nangis nih? Nangis?" Goda gue, yang entah kenapa, kayaknya lagi senang banget godain dia.

"Enggak, sih!" Ia memeletkan lidahnya. "Kakak tuh nangis, matanya merah!"

Gue menggeleng spontan, namun dalam hati membenarkan perkataannya. Iya, sakit kepala gue yang tak kunjung reda, lama lama membuat mata gue ikut merah dan berair juga. Nggak tau lah, gue lagi nggak mau ngurusin.

"Lo kali nangis! Tuh, udah mau nangis gitu mukanya!"

"Kakak mah!" Sungutnya. "Aku nangis beneran, nih!"

Ini ngancem atau gimana?

"Yaudah sana nangis!"

Kaka menatap gue sendu, ekspresinya susah gue tebak. Mau nangis enggak, tapi dibilang flat juga nggak bisa. Gue cuma berharap, semoga dia nggak boker tiba tiba aja. Kan nggak lucu jadinya kalau gitu.

"Iya iya, bercanda kali!" Tawa gue gemas, kali ini sembari mendekapnya erat. Satu satunya alasan kenapa gue nggak mau ngerjain dia lagi, karena gue juga ogah dikerjain balik. Gitu gitu, dia kalo ngerjain orang nyaho juga ternyata.

"Kakak bercanda terus..." sungutnya, yang masih bete menatap gue.

"Ngambek nih ceritanya?"

"Nggak deng, bercanda kali."

Gibeng pakai wajan enak nih kayaknya...

Nggak deng, bercanda elah.

"Elu ngebalikin omongan gue terus." Gue gantian bersungut, kali ini membalutnya dengan handuk, dengan segera mengeluarkannya dari bathtub setelah sebelumnya membilas bersih badannya.

"Kakak lagian bercandain aku terus."

Gue menatapnya bete, disusul dengan cengirannya yang langsung muncul, begitu ia sadar gue menatapnya seperti itu.

Kalau adek sendiri, mungkin udah gue tarik pipinya, pakai tang.

Nggak deng, bercanda kali!

-

"Lo mau tidur di kamar gue lagi, atau tidur sendiri?"

"Mau sama kakak." jawabnya, yang sejak tadi nggak mau lepas dari pelukan gue. Iya, dari sore sampai sekarang yang notabene hampir tengah malam, posisi kami begini begini aja; dia duduk di pangkuan gue, gue jadiin dia guling, yang bebas mau gue peluk peluk kapan aja. Dia mau movie marathon disney, yang udah tau gue nggak gitu suka, tapi yaudahlah. Mumpung masih sukanya kartun, kalau dia udah gedean dikit terus sukanya drama dramaan kan males juga gue nemenin nontonnya.

"Manja banget, sih." Gue menjawil hidungnya, namun tampaknya, makhluk kecil di pelukan gue sekarang udah nggak peduli lagi. Ngantuk, mungkin.

"Tidur ya, Ka? Besok sekolah." Gue mengelus rambutnya, yang dihadiahi gelengan darinya. Kebiasaan deh, pasti nolak.

"Sebentar lagi aja, kak."

"Udah hampir jam setengah dua belas, Ka. Nanti lo sakit lagi, gimana? Udah, nggak ada tapi tapi, yuk tidur." Gue membaringkannya, tanpa menunggu lama lantas menyelimutinya, nggak peduli dengan elakan darinya yang menyuarakan bahwa ia belum mau tidur dan sebagainya. Padahal, gue yakin, didiemin dikit aja pasti tidur sendiri.

"Kakaaak!" Rengeknya, yang mulai rewel lagi. "Nggak mauu!"

"Ssh..." Gue mengelus kepalanya, "Mau dengar sesuatu, nggak? Tapi langsung tidur ya, habis itu."

"Dengar apa?" Lirihnya.

"Janji dulu, kalau udah dengar, langsung tidur. Kalau nggak janji, gue nggak mau."

Ia akhirnya mengangguk.
"Janji, kak."

"Oke." Angguk gue mantap. "Gitu, dong."

Kaka nggak merespon, melainkan hanya menatap gue dengan pandangan penuh harap.

"Mulai ya, Ka." Sahut gue, yang dianggukinya.

"Look at me, i will never pass for a perfect groom, or a perfect son."

"Can it be, i'm not meant to play this part?"

"Now I see, that if I were truly to be myself, i would break my family's heart."

Iya, gue nyanyiin Kaka lagu yang ada di film Mulan, lantaran tadi kita nonton itu dua kali, jadi yang nempel di telinga gue ya, cuma lagu itu. Bodo amat, dah. Asli, kalau nggak buat dia, gue nggak bakal mau.

"Who is that man I see, staring straight back at me? Why is my reflection someone I don't know?"

"Somehow I cannot hide who I am, though I've tried."

"When will my reflection show, who I am, inside?"

Dengkuran halus terdengar dari sebelah gue, menandakan makhluk kecil yang sejak tadi menempel pada gue, sekarang sudah tertidur pulas.

Akhirnya...

"Tidur ya, Ka." gue mengecup pipinya, "Besok, jangan susah kalau gue bangunin. Oke?"

Ia nggak menjawab, masih pada posisi tidurnya sekarang, membuat gue tertawa lirih. Namun lantas kembali mengecup pipinya -sekali lagi-, sebelum akhirnya gue mendekapnya, menyusulnya ke alam mimpi.

"Sweet dreams, baby. I love you, so damn much."

Continue Reading

You'll Also Like

83.7K 5.2K 33
Malfoy ve Black iki ezeli rakip ve birbirlerinden nefret eden iki küçük çocuktur. Black'in 4. Sınıfta Harry'nin yerine arayıcı olmasından sonra Malfo...
403K 48.5K 33
alfa jungkook, en yakın arkadaşının kardeşi olan omega taehyung'a deliler gibi aşıktı.
19.4K 3.3K 11
Taehyung 20 yaşında age play seven bir bebekti, arkadaşı Hoseok'sa ona babacık bulmak için çabalayan birisi. Pek tabii Taehyung'un minik bir çarpışm...
568K 64.2K 40
çapkın bir omega olan kim taehyung, kızgınlıklarını geçirmek için gözüne alfa jeon jungkook'u kestirir