Revenge

By liarasati

1.4M 58K 1K

[Tersedia di Google Playbook] Indira Febriana, menghabiskan lebih dari tujuh tahun hidupnya untuk mencari keb... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15

Bab 32 (End)

58.8K 3.8K 142
By liarasati

Ketika satu persatu bayangan itu hadir. Indira mulai menyadari dimana dirinya berada. Tepatnya ketika ia terbangun dalam pelukan Satria semalam, dan yang bisa dilakukannya saat itu hanyalah menangis.

Hubungannya dengan Satria. Hubungannya dengan Abdi. Juga dengan Adelia. Yang diterima ingatannya adalah kenyataan. Hari itu ketika mereka hendak menghadiri acara pernikahan adik Satria, ada hal yang sangat ingin ia sampaikan kepada Satria sebelum bencana itu terjadi. Indira mengingat semuanya. Ya... Ingatannya telah kembali.

Namun, ia belum mengatakan apapun dengan Satria. Kegiatan mereka masih sama sarapan pagi lalu mengantar Satria dan Alan ke teras depan. Ada sesuatu yang masih mengganjal dihatinya dan harus diselesaikannya.

Untuk itulah ia duduk disana. Di sebuah kafe tengah menunggu seseorang. Indira kembali melirik jam tangannya, baru sepuluh menit tetapi rasanya sudah terlalu lama.

Tetapi sepertinya ia tak akan menunggu lebih lama lagi, karena yang ditunggu akhirnya datang. Indira menarik napas panjang, mempersiapkan batinnya.

Tanpa dipersilakan wanita itu sudah duduk kursi di hadapan Indira. Indira mengangkat wajahnya memandang lurus ke arah Adelia.

"Ada apa tiba-tiba meminta bertemu?" tanya Adelia.

"Tetang permintaanmu waktu itu..."

Mata Adelia menyipit tajam. "Kau sudah mengingatnya?"

"Iya. Dan jawabanku untuk permintaanmu waktu itu adalah.. Tidak. Aku tidak akan pernah melepaskan Satria. Suamiku..."

Adelia menggertakkan giginya, tangannya terkepal dari balik meja.

"Kesalahanku padamu memang tak termaafkan, aku juga tidak berharap kamu akan memaafkanku. Di kehidupan lain nanti aku pasti akan menerima hukumanku. Tapi untuk kehidupan sekarang, aku ingin berbahagia dengan keluargaku..."

Setetes air mata meluncur dari mata Adelia dan langsung ditepisnya. "Seharusnya aku sadar kau orang yang sangat egois."

"Aku akan lebih egois jika mengabaikan cinta yang diberikan Satria untukku, mengabaikan kebahagiaan anakku. Terutama kebahagiaanku sendiri. Aku memutuskan untuk tidak memperdulikan lagi. Apapun yang orang katakan, apapun yang kamu dan mertuaku katakan. Hanya dengan cinta Satria dan Alan bagiku sudah lebih dari cukup."

Indira bangkit dari kursinya. "Untuk terakhir kalinya aku memohon, jangan mengganggu keluargaku lagi. Meskipun aku tidak berhak mengatakannya, dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar berharap kamu bisa berbahagia. Tanpa harus mengemis cinta Satria."

Air mata Adelia mengalir deras tanpa bisa ditahan lagi. Ia menggeram penuh emosi, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Indira sepertinya telah kembali menjadi Indira yang dulu dikenalnya, bisa dilihat dari matanya yang menyala penuh ancaman. Kenyataa pahit harus ditelannya, ia benar-benar sudah kalah.

***

Indira langsung menyetop taksi kosong yang lewat. Naik ke dalamnya dan menyebutkan alamat tujuan. Ia menghempaskan tubuhnya ke sandaran. Berulang kali menarik napas lalu membuangnya. Semua yang dilakukannya adalah benar, gumamnya dalam hati.

Seulas senyuman tertarik di wajahnya. Hanya dirinya, Satria dan Alan. Keluarga yang saling mencintai. Sepanjang perjalanan Indira terus melamun. Tanggapan orang lain, memang seharusnya tak diperdulikannya lagi. Apapun yang dikatakan mereka dialah yang menjalani kehidupannya.

"Sudah sampai Non," ucap sang supir taksi.

Indira tersentak dan mengeluarkan dompet dari dalam tas tangannya. Setelah membayar, Indira keluar dari taksi. Bukan bangunan rumahnya, melainkan bangunan bertingkat yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak ke sini, batin Indira.

Indira melangkah pelan memasuki bangunan apartemen. Menunggu pintu lift terbuka, dan masuk ke dalamnya. Menekan tombol lantai yang sudah sangat dihapalnya.

Denting pintu left terbuka. Indira keluar menyusuri lorong dan berhenti tepat di depan pintu apartemen miliknya lalu menekan tombol kode pintu.

Indira mendorong pelan pintu, lampu ruangan langsung menyala terang. Dengan tenang Indira melangkah dan mengamati seisi ruangan yang sama sekali tak berubah dari terakhir kali ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Indira mencampakkan tas tangannya ke atas sofa dan membuka tirai hingga menampakkan pemandangan dari luar gedung.

Bel interkom berbunyi, Indira langsung mengarahkan pandangan ke pintu. Senyumnya semakin mengembang, seolah sudah mengetahui siapa yang hendak bertamu ke tempat yang sudah sangat lama ditinggal penghuninya tersebut.

***

Satria langsung menyambar kunci mobilnya ketika mendapat kabar dari Pak Teguh kalau Indira pergi ke suatu tempat. Memerintahkan Sekretarisnya untuk mengosongkan jadwalnya hari itu. Ketakutan Satria bertambah dua kali lipat, ia beberapa kali mewanti Pak Teguh untuk mengikuti kemanapun Indira hendak pergi.

Hatinya sungguh tak tenang, sejak kemarin sikap Indira sudah aneh, tepatnya ketika ia pulang dari menjemput Alan, Satria sangat yakin ada sesuatu yang dikatakan Ibunya. Tadi pagi, meskipun Indira menampilkan wajah yang penuh senyum, tetap saja dari raut wajahnya seolah ada yang disembunyikan, ia seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Satria keluar dari mobilnya, setelah memarkirkannya ke sebuah kafe. Ia mengambil tempat duduk dengan jarak yang lumayan jauh dari Indira, hingga wanita itu tak menyadari keberadaannya. Satria juga menutupi wajahnya dengan buku, berpura-pura membacanya.

Beberapa menit menunggu. Tubuh Satria membeku, melihat orang yang ditunggu Indira akhirnya hadir. Otaknya semakin berpikir keras, kenapa Indira ingin menemui Adelia? Apa yang ingin dibicarakannya? Mungkinkah, Indira sudah mengingat semuanya?

Satria terus menunggu, dengan beragam pertanyaan yang berhamburan di kepalanya. Dan ternyata pertemuan itu tak lama. Indira keluar dari kafe. Tak menunggu waktu lama, Satria langsung membayar pesanannya dan masuk ke mobilnya mengikuti Indira yang sudah menaiki taksi.

Perkiraan Indira akan kembali ke rumah ternyata salah. Taksi yang ditumpanginya malah menuju ke gedung apartemen yang sangat dikenalinya. Satria seolah terhempas dengan dada yang bergemuruh kencang. Sudah bisa dipastikan Indira telah mendapatkan ingatannya kembali.

Satria memutar mobilnya ke parkiran basement. Ia keluar dan memasuki lift. Pikirannya menimbang-nimbang, kalimat pertama apa yang harus dikatakannya pada Indira. Apakah Indira akan menerimanya? Atau kembali menolaknya.

Pintu lift terbuka. Satria keluar dan melangkah pelan ke unit apartemen Indira. Berulang kali ia menarik napas sebelum menekan bel.

Hanya butuh beberapa detik menunggu sampai Indira membuka pintu, dan berdiri di depannya dengan wajah datar.

Satria memberanikan diri melangkah masuk. "Indira... Ka—mu.., Um. Aku..."

Indira langsung mengarahkan jari telunjuknya ke bibir Satria. "Ijinkan aku yang berbicara duluan dan jangan menyelanya sampai aku berhenti."

Darah Indira berdesir dengan bibir yang tiba-tiba bergetar. "Aku mohon ma—afkan aku... setelah semua kesakitan yang kuberikan padamu. Menipumu. Memanfaatkanmu. Membuatmu jauh dari Alan. Semuanya ... Maafkan aku Satria."

Tangisannya tak terelakkan. Satria sudah sangat ingin merengkuh Indira dalam pelukannya, namun ia membiarkan Indira menyelesaikan kalimatnya.

"Aku mencintaimu... dari dulu hingga detik ini. A—aku sangat mencintaimu..."

Satria langsung merengkuh tubuh Indira yang bergetar. Membiarkan Indira menumpahkan air matanya di dadanya. "Aku sudah memaafkanmu Indira. Bahkan jauh sebelum kamu meminta maaf. Hanya satu permintaanku. Jangan pernah meninggalkanku lagi."

Indira menggeleng dalam dekapan Satria.

"Aku juga mencintaimu," ucap Satria mengecup pucuk kepala Indira.

***

Indira bersandar nyaman di tubuh Satria. Dengan televisi yang menyala, yang justru menonton kemesraan mereka. Satria berulang kali mengecup dan memainkan rambut Indira.

"Jadi apa yang kamu bilang ke Adel?"

"Rahasia."

"Oh, jadi gitu sama suami sendiri main rahasia..."

"..."

"Ndi..."

"Hmm."

"Nggak mau cerita?"

Indira menggeleng. Menggeser tubuhnya dan mengalungkan tangannya ke leher Satria. "Ada urusan yang belum selesai, makanya aku ketemu dia tadi."

"Apa ada yang kamu tutupin lagi? Tentang Mamaku? Tentang Adel?"

Indira kembali menggeleng. "Aku nggak mau nambah beban kamu. Nggak ada masalah apa-apa Satria... percaya sama aku. Jika pun ada aku bisa nyelesaikannya sendiri. Dan wajar jika Mama kamu nggak suka sama aku. Aku bisa memakluminya, yang penting dia nggak benci sama Alan."

"Aku mau hidup kamu nyaman. Kalau ada masalah kita bisa bicarain sama-sama."

Indira mengecup pipi Satria. "Aku anggap itu hukuman sosial bagi aku. Pandangan miring Mama kamu, keluarga kamu, orang-orang yang kenal kamu. Aku bisa menerima semuanya. Yang penting kamu sama Alan tetap disisi aku. Toh, mereka nggak tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga kita."

"Dulu, aku selalu takut untuk datang minta maaf ke kamu. Aku anggap kesalahanku nggak termaafkan. Tapi berada jauh dari kamu juga nggak mudah. Aku selalu rindu sama kamu. Kangen saat-saat kita lagi berdua kayak gini. Aku takut kalau kita jumpa lagi, sikap kamu ke aku jadi berbeda. Dan begitu aku sampai sini, semuanya kejadian. Itu sebabnya aku berulang kali berpikir buat pergi lagi, tapi kalau nggak ada Alan aku juga nggak sanggup, Sat. Dia selalu ingetin aku sama kamu."

Satria mencium kening Indira. Kedua kelopak matanya. Hidungnya. Dan terakhir bibirnya. "Aku selalu disampingmu, Indira. Maafin sikap aku yang kemarin, aku benar-benar nggak tahu itu yang ada dipikiran kamu. Aku malah mikir kamu nggak pernah cinta sama aku." Kata Satria sebelum lanjut mencium bibir Indira, melumatnya penuh damba.

Dering ponsel dari saku Satria benar-benar merusak suasana. Satria mengumpat kesal sementara Indira hanya tertawa.

"Aku udah bilang kosongin jadwal hari ini, masih aja ada yang nelpon."

"Angkat aja, siapa tahu penting."

Satria mendengus dan meraih ponsel dari sakunya. "Papa..." sebutnya sebelum mengangkat telepon.

"Hallo Pa..." sahut Satria seraya melepas rangkulannya dari Indira dan berjalan menjauh.

Di saat bersamaan Indira juga menepuk jidatnya, teringat jika saat ini Alan pasti sudah pulang sekolah dan mencarinya.

"Aku harus balik ke kantor," kata Satria seraya mendekat.

"Alan juga pasti udah pulang."

"Ya udah, ayo! Aku antar kamu pulang."

"Aku bisa naik taksi. Kamu langsung ke kantor aja."

"Padahal aku sampe lupa ada pertemuan sama Papa gara-gara ngikutin kamu tadi. Terus sekarang kamu suruh aku biarin kamu pulang naik taksi. Nggak Indira..."

Decakan keluar dari mulut Indira. "Aku nggak kemana-mana Satria... jangan ikutin aku, apalagi sampe nyuruh orang lain buat ikutin aku. Kayak nggak ada kerjaan lain aja," ucap Indira seraya mencubit pinggang Satria.

Satria tertawa sambil mengacak rambut Indira. "Besok-besok nggak lagi. Tapi kali ini biarin aku yang anter kamu dulu ke rumah."

***

Alan menunggu Indira mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Tetapi tak seperti biasa Indira malah meletakkan begitu saja piring Alan.

"Mom..."

"Hmm."

Satria ikut memperhatikan ekspresi Alan yang berubah cemberut. "Kan biasanya disuapin."

Alis Indira terangkat sebelah, sementara Satria berdeham menahan tawanya yang sesaat lagi mungkin akan meledak.

"Oh ya? Sejak kapan? Biasanya juga Alan makan sendiri."

Alan mencebik lalu sesaat kemudian ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan beralih ke Satria.

"Nggak ada lagi Alan yang manja," sahut Satria tersenyum penuh arti ke arah Alan.

"Berhasil Dad!" pekiknya.

Satria mengangguk. Alan sontak meraih leher Indira dan mengecup kedua pipinya. Alan sempat menolak usul Ayahnya saat ingin membawa Ibunya jalan-jalan tanpa dia. Tetapi Ayahnya menjanjikan akan membuat Ibunya sembuh, Alan benar-benar tak menyangka akan secepat ini.

"Mommy udah inget semuanya kan! Udah inget Alan lagi kan!!"

Indira hanya mengendikkan bahu. "Memangnya kapan Mommy pernah lupa sama Alan."

"Hmm. Waktu kemarin karena Mommy jatuh. Kata Daddy Mommy nggak inget sama Alan."

"Itukan kata Daddy," sahut Indira yang dihadiahi pelototan oleh Satria. "Udah ah. Alan habisin makanannya, nggak ada acara suap-suapan."

"Humm.." Alan tertunduk lesu dan mulai memakan makanannya.

"Mulai bohong ya!" bisik Satria, "Mommy Alan minta dihukum." Lanjutnya lagi.

"Nggak takut," jawab Indira cuek sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.

***

Selesai mengganti baju Alan dan menidurkannya, Indira langsung beralih ke kamarnya. Satria tidak ada ditempat, ia pasti masih berada di ruang kerjanya. Tadi ia sempat bilang ke Indira kalau ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikannya, selain karena niat Ayahnya yang ingin pensiun perusahaan juga sedang dalam rencana pembangunan hotel setelah negosiasi lahan dengan penduduk lokal berhasil dilakukan.

Indira segera mengganti pakaiannya dengan gaun tidur. Bersandar di bahu ranjang memainkan ponselnya sambil menunggu Satria. Indira mulai membuka kembali akun sosial media yang telah lama ditinggalkannya. Mengingat kembali teman-teman sekantornya dulu yang selalu menggunakan waktu luang untuk bergosip, membuat Indira kangen suasana kerjanya dulu.

Satria masuk ke ruangan memperhatikan Indira yang tertawa sendiri sambil melihat ke layar ponselnya. "Ngapain sih?" tanya Satria mendekat seraya mengecup kepala Indira sekilas.

"Ini... Liatin akun sosmed teman-teman sekantor dulu. Udah pada punya baby. Jadi kangen kerja."

"Aku nggak akan ijinin kamu kerja lagi," sahut Satria tegas.

Indira mendesah, mematikan layar ponselnya dan menatap Satria. "Aku kan cuma bilang kangen. Bukan bilang mau kerja lagi."

"Iya. Tapi kalau kamu udah minta kan aku susah nolaknya. Jadi aku bilang dari sekarang."

Pengakuan Satria membuat Indira tertawa kecil. Satria bangkit dari kasur dan mengambil sesuatu dari dalam lemari. Kotak kayu yang dibawa Satria kontak membuat Indira terbelalak. "Itu kan punya aku!" Indira melompat dari kasur ingin meraih kotak kayu tersebut, namun langsung terhalang karena Satria buru-buru mengangkatnya.

"Tapi kan suratnya buat aku."

"Kamu udah baca.."

Satria kontan mengangguk. "Iya. Semuanya."

Wajah Indira langsung bersemu merah. Menggigit bibir bawahnya karena malu.

Satria menurunkan tangannya. "Aku ketemu ini pas kamu lagi di rumah sakit." Satria membuka kotak dan mengambil kotak cincin dari dalamnya. "Aku seharusnya nggak buang ini." Satria menarik tangan Indira duduk di pinggir ranjang. "Maafin aku. Kamu pasti capek nyarinya."

"Aku tahu waktu itu kamu lagi marah. Aku juga terkejut pas ngeliat kamu ngerokok, waktu itu. Aku pasti udah buat hidup kamu ancur banget. Aku yang salah. Tapi cincin ini sangat berharga, itu satu-satunya pemberian kamu."

Satria membuka kotak dan mengambil cincin tersebut dari dalamnya. Ia menyematkan cincin tersebut di jari manis Indira yang masih kosong. "Kamu mau aku pake dua-duanya?" tanya Indira.

"Iya. Anggap aja yang satu cincin nikah. Yang satu cincin lamaran."

Indira tertawa. "Nggak aneh?"

Satria menggeleng. "Yang ini." Satria menunjuk ke cincin permata. "Lambang kebahagiaan. Dan yang satu lagi." Merunjuk ke arah cincin emas. "Lambang kepahitan."

"Semuanya adalah kenangan kita. Aku nggak mau menghilangkan salah satunya. Aku mau kita sama-sama ingat gimana kita terluka dan bisa tersenyum seperti sekarang."

Indira menitihkan air mata. "Walau selanjutnya yang akan aku janjikan sama kamu hanya kebahagiaan," lanjut Satria meraih dagu Indira. Menghapus jejak air matanya. Dan perlahan memperkecil jarak, mencium ujung hidungnya yang memerah meraih lalu bibirnya, menciumnya penuh dengan kelembutan.

-The End-

11/11/2016 Liarasati

Sorry for typo.

Continue Reading

You'll Also Like

983K 83.8K 22
[Versi revisi plus bonus part hanya tersedia di Google Playbook] Nadia tak menyangka akan bertemu dengan seorang Azka, teman sekolahnya dulu yang lug...
2.3M 251K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.2K 252 7
Dalam hidupnya, Nene hanya mencintai Shincan, bukan, bukan, dia hanya hanya mencintai Mark. Seorang lelaki dengan senyuman cerah. Dengan rambut piran...
1.8M 82.1K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞