Pungguk Yang Merindukan Bulan...

By AbelJessica

1.2M 148K 9K

Tulisan ini dilindungi oleh UU RI HAK CIPTA. Berdasarkan ketentuan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28... More

Rambu-rambu PMB
Prolog
PMB1 : Pungguk, Menyatakan Cinta
PMB 2 : Pungguk, Jatuh Cinta
PMB 3 : Pungguk, Dan Kekasih Bulan
PMB 4 : Pungguk, Dan Cupid Kurang Ajar!
PMB 5 : Pungguk, Dan Randy
PMB 6 : Pungguk, Yang Patah Hati
PMB 7 : Pungguk, Dan Pelajaran Berharga
PMB 8 : Pungguk, Dan Rahasianya
PMB 9 : Pungguk, Yang Terhebat
PMB 10 : Pungguk, Dan Pendatang Baru
PMB 11 : Pungguk, Dan Alasan
PMB 12 : Pungguk, Dan Badai Menghadang
PMB 13 : Pungguk, Dan Statistik atau Raffa?
PMB 14 : Pungguk, Dan Goals? Oh, please!
PMB 15 : Pungguk, Bulan dan Matahari
PMB 16 : Pungguk Egois
PMB 17 : Pungguk, Kompromi & Tantangan
PMB 18 : Pungguk, Dan Definisi Keluarga Dari Dua Sisi
PMB 19 : Pungguk, Dan Perjalanan
PMB 20 : Pungguk, Dan Jalanan Terjal
PMB 21 : Pungguk, Dan Rasa Percaya
PMB 22 : Pungguk, Dan Alana
PMB 23 : Pungguk, Dan Hasil Taruhan
PMB 25 : Pungguk, Dan Nathanael
PMB 26 : Pungguk, Dan Nathanel (2)
PMB 27 : Pungguk Menjolok Rembulan
PMB 28 : Pungguk, Dan Perburuan
PMB 29 : Pungguk, Dan Perburuan (2)
PMB 30 : Pungguk Dan Pertikaian
PMB 31 : Pungguk Dan Darah
PMB 32 : Pungguk Dan Darah (2)
PMB 33 : Pungguk Dan Restu
PMB 34 : Pungguk Merindukan Bulan
PMB 35 : Pungguk Dan Keluarga
PMB 36 : Pungguk Memanjat Langit
PMB Side Story : Randy Airlangga Putra
Instagram Update
PMB Side Story - Teror? (Part 1)

PMB 24 : Pungguk, Berakhir Dengan Patah Hati

24.3K 3.5K 268
By AbelJessica

Nathan mengetuk pintu kamar rawat inap Alana namun tidak mendapat jawaban. Akhirnya pria itu mendorong pintu tersebut, dan mendapati Alana yang sedang tertidur pulas.

Dengan langkah teredam Nathan mendekati pinggir ranjang untuk memperhatikan perban yang menutupi pelipis gadis itu. Semalam Noel mengatakan kalau keadaan Alana akan baik-baik saja, meskipun gadis itu harus menerima jahitan akibat luka pada pelipisnya. Nathan yang tidak percaya meminta agar Noel melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh, untuk memastikan Alana tidak mengalami cidera di bagian dalam kepalanya. Noel memberi Nathan tatapan seakan pria itu sudah gila, namun akhirnya menurut karena Raffa mendesaknya dengan permintaan yang sama.

Nathan mundur satu langkah ketika menyadari gerakan halus dari Alana. Gadis itu mengulet untuk meregangkan tubuh, kemudian mengucek mata dengan jemari.

"Raff? Haus."

Nathan meraih gelas di nakas, kemudian mengangsurkannya pada gadis itu, "Duduk yang benar."

Alana yang terkejut karena mendengar suara Nathan, langsung bangkit duduk sebelum kemudian mengeluh sambil memegangi kepalanya. Nathan meletakkan buket yang dibawanya, kemudian duduk di pinggir ranjang dan membantu gadis itu menyingkirkan rambutnya ke balik bahu.

"Pelan-pelan Alana."

"Raffa di mana?" tanya Alana masih memejamkan mata, berusaha mengendalikan pusing yang mendera karena gerakannya yang tiba-tiba.

"Nggak tahu," jawab Nathan apa adanya, "Aku baru datang dan dari tadi kamu sendirian." Lanjutnya sambil menyodorkan gelas yang tadi diminta Alana.

Ragu-ragu Alana menerima gelas tersebut, menghabiskan isinya sampai setengah, kemudian mengembalikannya pada Nathan yang dengan sigap menyimpannya kembali ke nakas. Keduanya terdiam sampai akhirnya Nathan berinisiatif untuk menyerahkan buket yang tadi dibawanya ke pangkuan Alana.

"Cokelat?" tanya Alana keheranan melihat isi buketnya.

Bukannya berisi bunga seperti kebanyakan buket lainnya, Nathan justru memberi Alana buket berisi cokelat. Bukan hanya cokelat batang, beberapa keju dan cokelat pasta juga diselipkan di sana, membentuk bulatan seperti bunga.

Nathan mengangkat bahu dengan ekspresi tak yakin ketika berujar, "Kamu pernah bilang kalau kamu lebih suka makanan daripada bunga. Itu kenapa buketnya ku isi dengan cokelat."

"Oh, iya." Jawab Alana sambil menatap buket cokelatnya yang indah.

"Aku minta maaf," sadar kalau Alana tidak akan memulai percakapan, Nathan kembali angkat bicara, "Mendorong Raffa sampai jatuh menimpa kamu, aku minta maaf."

"Dimaafkan." Lirih Alana setelah diam sejenak.

"Maaf karena ngebentak-bentak kamu," lanjut Nathan, "Raffa benar, aku nggak berhak untuk memperlakukan kamu kayak kemarin."

"Okay." Jawab Alana lagi.

"Alana aku..,"

"Aku mau Raffa," potong Alana tiba-tiba, "Bisa tolong panggilkan dia?"

"Alana..,"

"Aku mau Raffa!"

Pintu terbuka dengan sosok Raffa yang muncul sambil membawa plastik. Pria itu langsung mengangkat alis begitu melihat kehadiran Nathan, namun memilih untuk tidak berkomentar dan mendekati ranjang untuk meletakkan bawaannya. Gerakannya terhenti karena Alana menangkap lengan kemejanya, tanda untuk meminta perhatian.

"Kenapa?" tanya Raffa sambil melirik buket di pangkuan gadis itu.

"Aku nggak bisa istirahat kalau ada banyak orang di sini."

Pengusiran yang dilakukan secara terang-terangan itu membuat Nathan dan Raffa terperangah karena tak menyangka. Keduanya menatap Alana dengan bingung, namun gadis itu bergeming dengan tangan yang memutih karena mencengkeram kemeja Raffa seerat yang bisa dilakukannya.

Pada akhirnya, dehaman Raffa yang menjadi interupsi kecanggungan menyesakkan dada itu. Nathan yang sadar kalau kehadirannya tidak diharapkan, beranjak pergi tanpa diperintah untuk kesekian kalinya.

"Mau baring lagi?" tanya Raffa setelah Nathan hilang di balik pintu.

Tanpa memberikan jawaban, Alana berbaring miring memunggungi Raffa. Buket pemberian Nathan diletakkan begitu saja di atas ranjang, seakan gadis itu tidak berniat bahkan hanya untuk menyingkirkannya, jadi Raffa menyimpannya ke atas meja.

"Bang Nathan bilang apa sama kamu?" tanya Raffa setelah duduk di pinggir ranjang gadis itu.

"Nggak bilang apa-apa."

"Jadi kenapa kamu ngusir dia?"

"Apa aku butuh alasan untuk menolak ketemu dengan dia?"

"Aku tahu kamu marah," ucap Raffa sambil menarik bahu gadis itu agar menghadap padanya, "Tapi Bang Nathan nggak pernah berniat untuk mencelakakan kamu. Dia nggak berniat untuk membuat kamu cidera. Aku sendiri yang jadi saksi gimana cemasnya dia waktu kamu pingsan kemarin."

"Kamu pikir aku marah karena ini?" tanya Alana sambil menunjuk perban yang menghiasi pelipisnya, "Ini cuma satu luka, Raffa. Luka lainnya yang lebih parah ada di sini!" Lanjut gadis itu sambil menunjuk dadanya sendiri, "Dan dia nggak pernah minta maaf untuk itu. Bahkan sampai tadi, dia cuma minta maaf untuk luka nggak seberapa di pelipisku ini."

"Kasih dia kesempatan." pinta Raffa sambil meremas tangan gadis itu.

"Jadi kamu pikir, apa yang ku lakukan selama ini, kalau bukan memberi dia kesempatan?" tanya Alana sambil menatap ke arah pintu tempat Nathan menghilang tadi, "Bang Nathan nggak butuh kesempatan dariku. Dan aku udah berhenti mengharapkan permintaan maaf darinya."

"Alana..,"

"Aku mau tidur," potong Alana kembali memunggungi Raffa, "Kamu boleh keluar kalau kamu mau."

Raffa berdecak, sadar kalau Alana benar-benar akan mengusirnya kalau ia masih memaksa gadis itu mendengar penjelasannya. Pada akhirnya Raffa hanya memasangkan selimut untuk gadis itu, kemudian mengulurkan sebelah tangan untuk mengusap rambutnya.

"Mau ku bacakan dongeng?" tanya Raffa mencoba mencairkan suasana.

"Memangnya kamu pernah baca dongeng?" tanya Alana masih jutek.

"Hey, jangan remehkan aku! Ganteng-ganteng gini aku penggemar dongeng Putri Salju," tukas Raffa yang kemudian menyambung kalimatnya dengan cengiran, "Versi bokepnya tapi."

Punggung Alana bergetar karena menahan tawa, "Jorok kamu."

"Padahal kamu penasaran sama ceritanya kan? Iya kan?"

"Nggak tuh." Elak Alana kembali memasang ekspresi juteknya.

"Yakin? Seru loh. Pangeran dan Ibu tirinya Putri Salju itu sebenarnya...," kemudian Raffa diam, berdeham dan berkata, "Nggak jadi ah."

"Kamu sengaja!" pekik Alana sambil melemparkan bantal pada wajah Raffa yang justru tergelak-gelak.

"Sebentar, sebentar. Aku dapat pesan." Ucap Raffa sambil berusaha menghindari cubitan yang disarangkan Alana pada lengannya.

Rasty Anjani : Kenapa hari ini kita nggak belajar? Kak Raffa sakit ya? Kalau iya, semoga cepat sembuh ya ^0^

Tadi pagi Raffa memang mengirimkan pesan pada Rasty untuk memberitahu gadis itu kalau ia tidak bisa mengajar untuk beberapa hari ke depan. Sepertinya gadis itu baru selesai kuliah, sehingga baru membalas pesannya setelah beberapa jam berlalu.

"Kenapa? Ada pesan penting?" tanya Alana ketika dilihatnya Raffa hanya memandangi layar handphonenya.

Raffa mengangkat kepala, menggeleng dan meletakkan handphonenya di atas nakas, "Nggak kok. Sampai di mana cerita kita tadi? Oh, hubungan terlarang Ibu tiri Putri Salju dan Pangeran ya?"

"Nggak mau dengar! Nggak mau dengar!" pekik Alana sambil menutupi telinganya.

"Pada suatu malam yang gelap, disebutkan Pangeran keluar dari peraduannya. Dengan langkah mengendap-endap sang Pangeran berjalan menuju kamar di tempat terujung, yang sebenarnya merupakan kamar Ibu tiri...,"

Ucapan Raffa terhenti karena Alana kembali melemparkan bantal ke wajahnya. Pria itu tertawa terbahak-bahak mendapati Alana yang tak rela kisah Putri Salju kesukaannya diubah menjadi cerita perselingkuhan. Gadis itu kembali merajuk, memunggungi Raffa yang melirik handphone di atas nakas.

Raffa sudah tidak tahu lagi, apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan olehnya. Sikap cerobohnya yang terlalu percaya diri telah menggiringnya pada kesalahan fatal yang membuat Alana terluka. Belum lagi ditambah dengan dirinya dan Nathan yang babak belur karena perkelahian mereka.

Bukan ini yang Raffa bayangkan ketika nekat untuk mengubah segala hal yang menyangkut dirinya, Nathan, Alana dan Rasty. Ia hanya ingin mengembalikan Alana pada Nathan, bukannya membuat gadis itu cidera, atau berbaku hantam dengan Abangnya. Ingatan ketika dirinya membanting tubuh Nathan ke atas meja, serta bayangan ketika Alana tak sadarkan diri akibat kebrutalannya, membuat Raffa ingin membenturkan kepalanya sendiri ke tembok. Belum lagi ditambah dengan kenyataan kalau bukannya memperbaiki hubungan Nathan dan Alana, Raffa justru membuat keduanya semakin menjauh sampai Alana sanggup mengusir Abangnya. Dan siapa yang bisa menjamin ke depannya Rasty tidak akan terluka kalau Raffa nekat meneruskan rencananya?

Semua ini tidak sepadan. Mengorbankan Alana dan Nathan demi kepentingannya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Jadi Raffa memilih untuk berhenti sebelum semuanya terlanjur semakin berantakan.

*

Pungguk Merindukan Bulan – JessJessica

*

"Ngapain?"

Sapaan itu membuat Rasty mengangkat kepala dan langsung tersenyum gembira, "Kak Ardo? Kok udah lama nggak muncul di PMB?"

"Biasalah. Si Jessica pelupa itu nggak ingat kalau aku juga muncul dalam cerita kalian," jawab Ardo sambil melirik author berkacamata yang sedang menggaruk-garuk kepala sambil nyengir minta maaf, "TRP aja nggak update-update lagi karena dia galau mau milih aku, Azra atau Raka. Heran! Alia aja nggak segalau itu disuruh milih satu di antara kami bertiga," Sambung Ardo dengan kening berkerut tanda berpikir keras. Kemudian pria itu menggedikkan bahu dan mengulangi pertanyaannya, "Lagi ngapain kamu?"

"Belajar," jawab Rasty sambil menunjukkan kertas-kertas yang terhampar di depannya, "Ada tugas akuntansi untuk minggu depan. Karena tugasnya banyak, jadi ku cicil mulai dari sekarang."

Ardo melirik kertas yang dimaksudkan oleh Rasty dan berkomentar, "Salah semua itu."

"Sok tahu!" rengut Rasty tak suka, "Kan Kak Ardo belum lihat."

"Sekali lihat juga udah tahu kalau pekerjaan kamu salah semua," jawab Ardo enteng, "Selesaikan aja kalau nggak percaya. Ku sembah kamu kalau hasilnya emang balance."

"Sok pintar." Ucap Rasty jengkel.

Ardo hanya memutar bola mata dan sibuk menikmati bakwan penyet yang tadi dibawanya. Ekspresi pria itu membuat Rasty jengkel dan bertekad untuk meneruskan pekerjaannya. Lima menit kemudian, keringat dingin mulai mengalir di pelipis gadis itu. Meski sudah mencoba berkali-kali, penjumlahan akhir yang dilakukannya tidak menunjukkan hasil yang sama.

"Oi, Do!"

Sapaan itu membuat Rasty mengangkat kepala dan mendapati seorang pria jangkung baru saja menepuk pundak Ardo. Kedua orang itu saling mengacungkan tinju dengan akrab, sementara Rasty memandangi mereka dengan tatapan penasaran.

"Kenapa mukamu?" tanya Ardo sambil menertawakan lebam-lebam di wajah temannya, "Habis nyium tembok?"

"Biasalah, anak cowok!" jawab pria itu sambil nyengir, kemudian menyadari kalau Rasty sampai menyipitkan mata untuk mengamatinya.

Ardo yang menyadari kebingungan keduanya, mengenalkan mereka dengan caranya sendiri, "Beras kenalkan, ini Nathan, Abangnya Raffa yang gebetan kamu itu."

Wajah Rasty merah padam ketika menggebuk lengan Ardo. Tergagap-gagap ia menjelaskan pada Nathan yang kini balas menyipit padanya, "Aku nggak naksir Kak Raffa kok. Dia tutorku." Demikian gadis itu membela diri.

Karena tutor erat kaitannya dengan pelajaran, secara otomatis Nathan melirik kertas yang sedari tadi ditulisi oleh Rasty, dan tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, "Salah semua itu."

Rasty berkerjap tak percaya sementara Ardo berbaik hati menertawakan juniornya, "Ku bilang juga apa?"

"Kenapa kalian langsung menyalahkan hasil pekerjaanku padahal belum kalian periksa?" tanya Rasty sambil bersungut, "Kak Raffa nggak pernah kayak gitu. Dia selalu memeriksa seluruh pekerjaanku sebelum menjelaskan di mana letak salahnya."

"Sana ngadu ke Raffa." Tukas Ardo menyebalkan.

"Kak Raffa udah tiga hari nggak ngajar." Ucap Rasty sambil mengumpulkan kertas-kertasnya yang penuh dengan coretan.

"Dia di rumah sakit," ucap Nathan memberitahu, "Jagain tunangannya."

"Alana sakit?" tanya Ardo sementara Rasty masih membeku karena mendengar informasi itu. "Sakit apa? Parah?"

"Jatuh. Pelipisnya luka," jawab Nathan dengan suara nyaris datar, "Sebenarnya kemarin udah diizinkan pulang. Tapi Raffa ngotot nambah rawat inap satu hari lagi karena nggak yakin sama keadaannya Alana. Mungkin besok siang baru pulang."

"Pantas kemarin dia nggak datang waktu rapat BEM, padahal paginya masih muncul di kelas," Ardo menanggapi, "Ku pikir dia kabur karena malas rapat."

Informasi itu membuat Rasty semakin tertegun. Raffa datang ke kampus? Jadi kenapa pria itu tidak membalas pesannya? Dan kenapa pria itu tidak menemuinya secara langsung untuk menjelaskan alasan kenapa ia tidak bisa mengajar?

"Perlu bantuan?"

Pertanyaan Nathan membuat Rasty berkerjap kaget, "Ya?"

"Perlu bantuan?" ulang Nathan sambil menggedikkan bahu ke arah kertas yang berada di cengkeraman gadis itu, "Butuh bantuan untuk tugas kamu?"

Rasty menatap kertas di tangannya sebelum akhirnya menggeleng pelan, "Makasih, tapi aku nggak mau merepotkan. Nanti ku pelajari lagi."

Nathan dan Ardo saling melirik, kemudian menggedikkan bahu tanda tak memaksa. Keduanya kembali terlibat dalam obrolan, sementara Rasty termenung di tempatnya. Kenapa hatinya mengatakan sesuatu yang besar telah terjadi?

**

"Tadi aku ketemu dengan Adek bimbing kamu."

Ucapan Nathan membuat langkah Raffa terhenti. Ia membalikkan badan untuk menatap Nathan yang berjalan ke arah wastafel untuk mencuci gelas yang baru selesai digunakannya.

"Siapa?"

"Memangnya kamu jadi tutor untuk berapa orang?" tanya Nathan sambil mengusapkan busa sabun pada gelasnya.

"Jangan pernah temui dia lagi." Tegas Raffa sambil berlalu.

"Aku nggak pernah berniat untuk menemui dia. Kebetulan ketemu waktu dia lagi makan siang dengan Ardo," tanggap Nathan membuat langkah Raffa kembali terhenti. Nathan sendiri justru sibuk membilas dan mengeringkan gelasnya, mengamatinya dengan teliti seolah meyakinkan diri kalau ia telah mencuci benda tersebut dengan bersih, kemudian menyimpannya di atas rak sambil melanjutkan, "Ngomong-ngomong, apa yang sebenarnya kamu ajarkan ke dia? Dari lima contoh soal yang dikerjakannya, nggak ada satupun yang benar."

"Bukan urusanmu." Jawab Raffa.

Nathan terkekeh dan menggedikkan bahu dengan ekspresi tak peduli, "Memang. Tapi bukan salahku kan, kalau dia minta bantuan untuk mengerjakan tugasnya? Aku cuma mencoba bersikap baik pada juniorku."

Tanpa menunggu sahutan Raffa, Nathan berlalu menuju kamarnya. Setelah memastikan pintunya terkunci, pria itu menjulurkan lidah dengan ekspresi menyebalkan.

"Rasakan! Memangnya cuma kamu yang bisa bertingkah menyebalkan?"

Hal yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang adalah, Nathan dan Raffa sama-sama memiliki sisi iblis di dalam diri mereka.

**

Rasty menempelkan pipinya di meja, sementara tangannya bergerak mengikuti gurat-gurat pola taplak meja. Gerakan tangannya sempat terhenti karena mendengar suara kursi ditarik, namun beberapa detik kemudian, ia kembali sibuk dengan kegiatannya.

"Apa kita masih musuhan?" suara Randy.

Rasty dan Randy memang saling mendiamkan setelah pertengkaran terakhir mereka. Biasanya mereka tidak pernah saling mendiamkan lebih dari beberapa jam, karena Rasty tak tahan bila tidak mengobrol dengan saudara kembarnya. Namun beberapa hari ini, Rasty seperti kehilangan minat untuk berbaikan dengan Randy. Bukannya meminta maaf atas sikap egoisnya, gadis itu justru sibuk melamun dan mengabaikan Randy yang sudah menunjukkan tanda-tanda perdamaian.

"Ras?" panggil Randy karena merasa tidak ditanggapi, "Masih marah?"

Rasty menggeser pipinya sampai ia bisa melihat tangan Randy yang terkepal di atas meja. Tanpa mengatakan apapun ia menangkupkan tangan ke tangan adiknya itu, meremasnya perlahan untuk menunjukkan kalau ia sudah tidak marah lagi.

"Kamu kenapa?" tanya Randy yang mulai menyadari keanehan saudarinya, "Ada masalah?"

Rasty menjawab pertanyaan tersebut dengan lirih, "Nggak kok."

"Ada yang ngejekin kamu di kampus?" tanya Randy curiga, "Siapa orangnya? Kasih tahu sama aku."

"Seseorang pernah ngasih tahu aku kalau kita bisa mendapatkan apapun yang kita mau selama kita berusaha. Katanya, hasil nggak pernah mengkhianati usaha."

Randy mengangkat alis mendengar pernyataan absurd itu. Ia bahkan menempelkan punggung tangan ke kening Rasty untuk memastikan kalau Kakaknya itu tidak sedang mengalami demam tinggi, karena curiga kalau Rasty sedang mengigau sekarang.

"Aku selalu mengingatkan diriku sendiri untuk nggak mempercayai kalimat itu. Bukan karena aku mudah patah semangat, melainkan karena aku harus realistis."

Randy hanya diam, jadi Rasty melanjutkan, "Yang paling lucu adalah, aku menipu diriku sendiri. Aku selalu bilang, 'kamu harus realistis Rasty! Kamu harus bersikap realistis atau kamu akan terluka.' Tapi sebenarnya, jauh di dalam hatiku aku meyakini kalau aku bisa mendapatkan apapun yang ku inginkan selama aku berusaha."

"Ada apa?" tanya Randy meskipun ia mulai bisa menebak arah pembicaraan ini.

"Sakit," Rasty memukul dadanya dengan bahu yang mulai berguncang karena tangisan, "Patah hati itu sakit, Randy. Dan bodohnya, aku sendiri yang membuat diriku jatuh sampai sedalam ini, dengan berhalusinasi kalau suatu saat nanti Kak Raffa akan membalas perasaanku, padahal aku tahu kalau dia punya tunangan. Aku cewek jahat karena menginginkan milik orang lain, dan sekarang, Tuhan menghukumku untuk sikap jahatku."

Randy beranjak pindah ke tempat di mana Rasty duduk masih dalam posisi menempelkan pipinya ke meja. Pria itu menirukan posisi Rasty dengan meletakkan pipinya di atas kepala gadis itu.

"Nggak papa," gumamnya sambil memainkan rambut Rasty di antara jemarinya, "Lagipula, semua orang pasti pernah patah hati. All you have to do is move on and move up."

Randy benar tentang semua orang yang pasti pernah patah hati. Karena itulah Rasty membiarkan airmatanya menetes sebanyak yang ia mampu keluarkan, untuk menuntaskan perih di dadanya. Setelah ini, ia akan kembali bangkit berdiri dengan tegar. Karena patah hati, bukan alasan untuk patah semangat.

**

J

Continue Reading

You'll Also Like

58K 5.9K 48
" I wish you could hear all words I'm too afraid to say. " -Unknown Banyu, memiliki alasannya sendiri mengapa dia memilih untuk tidak mengungkapkan p...
31.3K 1.8K 17
Edward Clayton, pria tua asal California, mendambakan seorang putra selama puluhan tahun pernikahannya. Keinginan yang kemudian berubah menjadi obses...
1.9M 242K 34
[Seri Disiden #3] Sebab banyak yang bilang, seorang eligible bachelor yang suka main perempuan seperti Aksel akan berubah begitu menemukan perempuan...
398K 23.2K 20
[SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT KATA DEPAN] RUNNER UP Author Rising 2020. -- Amaya tak pernah menyangka bahwa menyetujui permintaan Shulan untuk men...