Pungguk Yang Merindukan Bulan...

By AbelJessica

1.2M 148K 9K

Tulisan ini dilindungi oleh UU RI HAK CIPTA. Berdasarkan ketentuan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28... More

Rambu-rambu PMB
Prolog
PMB1 : Pungguk, Menyatakan Cinta
PMB 2 : Pungguk, Jatuh Cinta
PMB 3 : Pungguk, Dan Kekasih Bulan
PMB 4 : Pungguk, Dan Cupid Kurang Ajar!
PMB 5 : Pungguk, Dan Randy
PMB 6 : Pungguk, Yang Patah Hati
PMB 7 : Pungguk, Dan Pelajaran Berharga
PMB 8 : Pungguk, Dan Rahasianya
PMB 9 : Pungguk, Yang Terhebat
PMB 10 : Pungguk, Dan Pendatang Baru
PMB 11 : Pungguk, Dan Alasan
PMB 12 : Pungguk, Dan Badai Menghadang
PMB 13 : Pungguk, Dan Statistik atau Raffa?
PMB 14 : Pungguk, Dan Goals? Oh, please!
PMB 16 : Pungguk Egois
PMB 17 : Pungguk, Kompromi & Tantangan
PMB 18 : Pungguk, Dan Definisi Keluarga Dari Dua Sisi
PMB 19 : Pungguk, Dan Perjalanan
PMB 20 : Pungguk, Dan Jalanan Terjal
PMB 21 : Pungguk, Dan Rasa Percaya
PMB 22 : Pungguk, Dan Alana
PMB 23 : Pungguk, Dan Hasil Taruhan
PMB 24 : Pungguk, Berakhir Dengan Patah Hati
PMB 25 : Pungguk, Dan Nathanael
PMB 26 : Pungguk, Dan Nathanel (2)
PMB 27 : Pungguk Menjolok Rembulan
PMB 28 : Pungguk, Dan Perburuan
PMB 29 : Pungguk, Dan Perburuan (2)
PMB 30 : Pungguk Dan Pertikaian
PMB 31 : Pungguk Dan Darah
PMB 32 : Pungguk Dan Darah (2)
PMB 33 : Pungguk Dan Restu
PMB 34 : Pungguk Merindukan Bulan
PMB 35 : Pungguk Dan Keluarga
PMB 36 : Pungguk Memanjat Langit
PMB Side Story : Randy Airlangga Putra
Instagram Update
PMB Side Story - Teror? (Part 1)

PMB 15 : Pungguk, Bulan dan Matahari

30.2K 3.7K 333
By AbelJessica

RastyAnjani : Kak Raffa?

RaffaRaffael : Ya?

RastyAnjani : Aku udah bahas soal Miss Universitas sama Ayah dan Ibu. Dan mereka kasih izin buat mengikuti kompetisi itu.

RaffaRaffael : And then?

RastyAnjani : Aku ikut :)

RaffaRaffael : :)

Raffa menatap handphonenya dengan seringaian puas. Ia sudah lama memperhatikan kalau Rasty memiliki kecenderungan ingin menjadi seperti saudara-saudaranya. Gadis itu memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu, bukan hanya demi pengakuan, melainkan juga untuk membanggakan keluarganya. Dugaan Raffa, keinginan itu lahir dari keadaan keluarga gadis itu sendiri. Tampaknya Rasty memiliki keluarga hangat, yang membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberikan timbal balik atas semua dukungan yang diterimanya.

Keinginan Rasty untuk membalas budi keluarganya inilah yang mendorong Raffa untuk menganjurkan Rasty agar mengikuti kompetisi Miss Universitas. Kalau dugaannya tentang keluarga gadis itu benar, Rasty pasti diizinkan dan bahkan didukung untuk mengikuti kompetisi Miss Universitas. Dan Raffa memenangkan taruhannya. Gadis itu sudah memberi jawabannya.

Bukan tanpa alasan Raffa mendorong Rasty untuk mengikuti kompetisi sebesar ini. Ia melihat potensi di dalam diri Rasty, hanya saja gadis itu tidak menyadarinya, terbelenggu dalam kata-kata bernama disleksia. Raffa ingin membebaskan Rasty dari pemikirannya sendiri. Ia ingin menunjukkan pada gadis itu, disleksia tidak akan menghalangi siapapun untuk menjadi apapun yang diinginkannya.

Dan kompetisi ini, akan menjamin kalau Rasty akan tetap ada dalam jarak jangkaunya, sementara ia mengurus hubungannya sendiri bersama Alana.

Dulu, Raffa berpikir kalau ia akan menghabiskan hidup bersama Alana. Mereka cocok dalam banyak hal, dan Raffa merasa nyaman dengan gadis itu. Namun kemudian Raffa sadar, menghabiskan waktu bersama seseorang yang membuatnya nyaman sekaligus ia cintai, jauh lebih baik daripada menghabiskan umur bersama orang yang hanya memberinya rasa nyaman. Karena itu, Raffa berniat untuk mengembalikan Alana ke tempat di mana gadis itu seharusnya berada.

Namun Raffa tidak bisa melakukannya dengan gegabah. Alana akan terluka dan merasa terhina, kalau ia tiba-tiba meninggalkan gadis itu, apalagi memintanya kembali pada Nathanael dengan alasan Tiara meninggal dunia. Alana gadis yang baik, dan Raffa sayang padanya. Ia tidak mau gadis itu terluka, apalagi karena dirinya. Karena itu Raffa berniat untuk melakukannya sehalus mungkin, selicik yang ia bisa, tanpa menyakiti siapapun.

"Sabar Raffael," gumam Raffa sambil menyeringai, "Kau udah bertaruh sekali untuk mencegah Rasty kabur dari tanganmu. Satu taruhan lagi, dan dia akan jadi milikmu. Jadi sabar!"

*

Pungguk Merindukan Bulan – JessJessica

*

"Abang nggak mau pulang ke Kalimantan."

Randy memberi tatapan datar pada Sabda yang sedang memeluk Rasty. Abangnya itu sudah mengucapkan kata yang sama entah untuk keberapa kali, dalam setengah jam terakhir. Lihat saja Sabda sekarang, memeluk Rasty sekuat tenaga, sambil merengek-rengek, hingga banyak pengguna bandara lainnya yang melirik mereka dengan tatapan bertanya.

"Tapi kan Abang harus kerja."

"Abang mau pindah kerja aja," ucap Sabda sedih, "Biar nggak jauh dari adek-adeknya Abang lagi.

"Nanti kita video call." Ucap Rasty sambil menepuk-nepuk pundak Abangnya.

Sabda masih sedih dan ia menatap Randy, "Kamu nggak mau meluk Abang, Dek?"

"Najis." Begitu jawab Randy.

"Keran?" tegur Senja, "Abangnya mau pulang, kok malah dibikin sedih."

"Gara-gara Ibu makanya Bang Sabda jadi kolokan," protes Randy tak terima, "Lihat itu Bang Sabda. Badan gede, tampang seram, suara bariton, tapi kelakuannya kayak anak-anak."

"Abang kamu kan jarang ketemu dengan kamu dan Rasty," Senja masih membela anak sulungnya, "Wajar kalau dia sedih mau pisah dengan kalian."

"Tapi nggak kayak gitu juga Bu," Bantah Randy lagi, "Asal Ibu tahu aja, kalau bukan karena aku yang mergoki semalam, Beras udah hampir dimasukkan ke dalam tas sama Bang Sabda. Mau dibawa ke Kalimantan katanya."

"Sabda?" kali ini Frans yang melotot pada anak sulungnya, "Kamu pikir Beras itu kucing?!"

Rasty hanya bisa meringis, melihat Abangnya diomeli oleh Ayahnya. Senja sendiri berdecak, namun tampak geli melihat ketiga anaknya.

Sabda memang kolokan, Rasty tahu itu. Abangnya itu sering kali bertingkah konyol dan tak masuk akal. Namun Rasty menduga, itu terjadi karena Sabda kesepian. Karena Sabda enggan memikirkan liburan yang akan segera berakhir, dan ia harus kembali ke tempat di mana tidak ada satupun anggota keluarganya. Karena itu juga kadang-kadang Rasty bisa memaklumi tingkah Abangnya yang luar biasa aneh itu.

"Beras yakin, nggak mau ikut Abang ke Kalimantan?" Sabda bertanya untuk kesekian kalinya.

Rasty menggeleng, "Mau di sini aja."

Sabda murung, namun akhirnya mengangguk juga. Pria itu mengeluarkan amplop berwarna kuning dari saku, dan menyerahkannya pada gadis itu, "Ini uang jajan. Jangan boros, ngerti?"

"Yeiy!" pekik Rasty langsung, "Banyak nggak, Bang? Bisa buat beli mesin jahit?"

"Lihat aja sendiri," ucap Sabda sambil mengacungkan amplop berwarna hijau pada Randy, "Ini punya Keran."

Randy nyengir dan dengan sigap menghampiri Sabda, namun Abangnya lebih sigap lagi mengangkat tangannya.

"Peluk dulu sini."

"Najis. Nggak mau." Tolak Randy mentah-mentah.

"Kalau nggak mau, amplopnya buat Beras loh." Ancam Sabda.

"Kasih aja," balas Randy dengan ekspresi tak rela, "Paling juga seratus ribu."

Rasty yang sudah mengintip isi amplopnya, sesak napas ketika berkata, "Dua juta lima ratus. Abang nyuri uang Ayah ya?"

"Enak aja!" ucap Sabda sambil menjitak adiknya, "Abang di Kalimantan itu kerja, Beras. Bukan ngelayap."

"Kerja apa?" tanya Rasty masih takjub.

"Melihara tuyul," Jawab Sabda sekenanya, dan kembali melambaikan amplop berwarna hijau di tangannya, "Keran nggak mau?"

"Nggak usah mau aja, Keran!" ucap Rasty bersemangat, "Biar amplopnya buat aku."

Kadang-kadang, Randy benar-benar yakin kalau Rasty bukan saudara kembarnya. Bukannya meminta Sabda memberikan amplop tanpa perlu membuatnya melakukan adegan pelukan, Kakaknya itu justru menyuruhnya menolak amplop tersebut demi kepentingan kantongnya sendiri. Namun jumlah yang disebutkan Rasty tadi tidak sedikit. Dan kalau ia menolak untuk memeluk Sabda, Abangnya itu tidak akan ragu-ragu menyerahkan amplop tersebut pada Rasty. Rasty kesayangan semua orang, Randy tahu itu. Maka meski setengah hati, ia membiarkan Sabda memeluk dan mencium jidatnya, yang langsung ia hapus dengan ekspresi ngeri.

"Sini amplopnya."

Sabda terkekeh dan menyerahkan amplop milik Randy. Senja dan Frans hanya bisa berdecak melihat Randy langsung memeriksa isi amplopnya, seakan ingin memastikan kalau Rasty tak berbohong. Wajah anak bungsu mereka itu berseri-seri ketika mendapati lembaran-lembaran merah sejumlah yang tadi disebutkan Rasty.

Randy mengantongi amplopnya sambil memperhatikan Sabda yang berpamitan pada Ayah dan Ibu mereka. Satu hal yang dikaguminya dari Sabda, bahkan meski Abangnya sekarang sudah hidup mandiri dan mapan, Sabda tidak pernah lupa untuk mencium tangan kedua orangtua mereka setiap kali akan kembali ke perantauannya. Jadi ketika Sabda kembali memeluknya, Randy membalas pelukan itu dengan lebih hangat. Abangnya itu juga sekali lagi memeluk Rasty dan mencium kedua pipinya, sebelum akhirnya benar-benar berlalu sambil melambai-lambaikan tangan.

"Pengacau pergi!" pekik Rasty setelah bayangan Sabda hilang ditelan kerumunan, "Kedamaian kembali!" lanjutnya sambil menari-nari.

Namun malam harinya, Rasty pindah ke kamar Randy dengan tubuh hangat karena demam, dan mendapati adiknya yang sudah tidur juga mengalami demam yang sama. Sejak kecil mereka selalu mengalaminya tiap kali Sabda pergi. Ayah dan Ibu mereka mengatakan, hal itu terjadi karena rasa kehilangan setelah terbiasa melihat Sabda di antara mereka.

Mungkin, Sabda hanya harus belajar untuk tidak berbuat usil pada adik-adiknya.

**

"Pak Rahmat mana Bang?"

Nathan yang sedang menyimpan gelas kotornya ke wastafel, memberi Raffa kernyitan di kening, "Jemput Mama."

"Bawa mobil?"

"Ya iyalah, Dek. Masa jalan kaki?"

Raffa jadi keki sendiri, "Udah lama perginya?"

"Barusan aja," jawab Nathan, "Kenapa emang?"

"Mau pinjam mobil," ringis Raffa, "Kalau nggak, pinjam mobil Abang deh."

"Ini Abang udah mau pergi," ucap Nathan sambil menggaruk pelipisnya, "Mobil kamu mana emang?"

"Kempes semua bannya!"

"Loh? Kok bisa?" tanya Nathan bingung, "Ya udah, kamu mau ke mana? Numpang dengan Abang aja, nanti Abang turunkan di tempat tujuan kamu."

"Masalahnya aku mau jemput Alana di tempat les masak, terus ke kampus," ucap Raffa cemas, "Ini juga aku udah hampir telat ke kampus."

Nathan memijat pelipis, stres melihat kecerobohan adiknya, "Ya udah, gini aja. Abang bantu kamu cari taksi buat ke kampus. Terus karena tujuan Abang searah dengan rumah Alana, nanti Abang samperin dia di tempat lesnya, terus Abang antarkan pulang. Tapi kalau Alana lesnya masih lama, Abang pesankan taksi aja. Soalnya Abang juga buru-buru."

"Sip!" ucap Raffa sambil mengangkat dua jempolnya, "Yok, Bang! Udah telat ini."

Nathan berdecak, namun meraih tasnya dan tak lama kemudian sudah duduk di balik kemudi. Di sampingnya, Raffa sedang menempelkan handphone ke telinga. Dugaan Nathan, pria itu sedang menghubungi Alana.

"Diantar sampai rumah kok," ucap Raffa dengan nada menyesal, "Nggak mungkinlah Bang Nathan ninggalin kamu di tengah jalan. Atau kamu mau dipesankan taksi aja? Tapi kayaknya ini udah mau hujan loh. Nanti kamu kehunanan, pilek, terus ingusan. Nggak mau kan?"

Sebenarnya Nathan geli mendengar ucapan Raffa, namun ia tetap memasang wajah datar sambil berkosentrasi menyetir.

"Iya, pasti diantar sampai ke rumah, tenang aja. Soalnya tujuan Bang Nathan sama rumah kamu juga searah," decak Raffa tak sabaran, "Tunggu di luar gerbang tempat les. Nggak usah minta beli ini itu, langsung pulang. Jangan manja dan jangan ngerepotin Bang Nathan. Ngerti kan?"

Nathan menghentikan mobilnya tak jauh dari deretan taksi yang kebetulan sedang menunggu antrian di depan sebuah pusat perbelanjaan. Raffa segera meraih ranselnya, berpamitan pada Abangnya sambil tak lupa mengucapkan terima kasih, sebelum kembali menempelkan handphone ke telinga untuk meneruskan nasihatnya pada Alana.

"Raffa ini," gerutu Nathan sambil berlalu, "Ngasih nasihat ke tunangan, kok kayak ngasih nasihat ke anak sendiri."

Tidak lama kemudian, Nathan sudah berhenti di depan sebuah tempat les memasak yang dimaksud Raffa. Ia melihat Alana sudah menunggu dengan ekspresi cemberut, dan tidak menunggu lama sampai gadis itu duduk di sampingnya.

"Kok cemberut?" sapa Nathan.

"Gara-gara Raffa!" semprot Alana kesal.

"Ban mobilnya Raffa kempes, Alana. Lagi apes." Ucap Nathan mencoba memberi pengertian.

"Ya tapi tadi malam dia yang janji mau jemput," ucap Alana sebal, "Aku udah bikinkan kue untuk dia. Tapi apa? Sia-sia jadinya." Sambung gadis itu hampir menangis.

"Kan bisa kamu makan sendiri." Ucap Nathan polos.

"Bikin kue sendiri, dimakan sendiri. Abang tuh emang nggak punya perasaan ya?" omel Alana kesal, "Memangnya Abang pikir les masak itu nggak capek? Aku kan pengen ada yang nyicipin hasil masakanku."

"Ya udah, kasih ke Mama atau Papa kamu." Usul Nathan lagi.

"Buat apa?" ucap Alana sambil mengalihkan pandangan ke arah jalanan, "Kayak mereka bakalan peduli aja, kalaupun ku bilang ini buatanku." Sambung gadis itu sendu.

Kasihan, akhirnya Nathan berkata, "Gini deh, kamu titip kuenya ke Abang. Nanti malam Abang kasih ke Raffa. Gimana?"

"Really?" tanya Alana yang kembali menatap Nathan dengan ekspresi berharap di wajahnya.

"Iya," jawab Nathan, "Simpan aja di kursi penumpang. Nanti Abang kasih tahu ke Raffa, kalau itu buatan kamu."

Sambil mengusap matanya yang sempat basah, Alana meletakkan tas kertas yang sedari tadi dipangkunya ke kursi penumpang. Gadis itu kemudian mengeluarkan satu kotak mungil dari tasnya, dan menatap Nathan dengan penasaran.

"Bang Nathan mau nyoba nggak?"

"Ada jaminan kalau nggak akan keracunan?" tanya Nathan sangsi.

"Nggak sih," jawab Alana sambil menggaruk tengkuknya, "Tapi kalau Abang keracunan, ku bawa ke rumah sakit deh. Janji."

"Nggak mau. Abang masih sayang nyawa." Tolak Nathan tegas.

"Satu aja," rayu Alana pantang menyerah, "Ya Bang ya?"

"Nggak."

"Please?"

"Nggak, Alana."

"Pwease? Pwease?" kini gadis itu sudah berkerjap-kerjap seperti boneka kehabisan batere.

"Ya Tuhan!" Gerutu Nathan kehabisan kalimat penolakan, "Ya udah, sini. Kalau sampai Abang mati, awas kamu. Abang hantui."

Alana bersorak dan menyodorkan kotak kuenya pada Nathan. Ternyata Alana praktek membuat madeleine hari ini, dan Nathan jadi nelangsa karena dulu Tiara sering memesan kue ini padanya. Dengan berat hati ia memakan kue tersebut, diiringi tatapan penasaran dari Alana.

"Enak?"

"Hm."

"Enak nggak?"

"Lumayan," komentar Nathan, "Setidaknya Abang masih hidup."

"Coba satu lagi kalau gitu," ucap Alana bersemangat, "Mungkin kalau yang kedua lebih enak."

"Udah nyampai," ucap Nathan sambil mengerem mobilnya tiba-tiba, "Buruan turun. Abang udah telat."

Meskipun cemberut, akhirnya Alana menurut juga. Gadis itu menyimpan kotak kuenya kembali, dan melambai-lambaikan tangannya pada Nathan dengan ceria. Setelah yakin Alana tidak melihat, Nathan langsung meraba-raba kursi penumpang untuk mengambil botol air mineral, dan meneguk isinya sampai hampir setengah.

"Anjrit! Masih ada kulit telurnya!"

Entah apa yang akan terjadi pada Raffael dalam beberapa jam ke depan.

**

"Miss Arlene?"

Rasty terperangah ketika gadis di depannya berbalik, dan memberinya tatapan bertanya. Gadis ini cantik sekali, sampai Rasty merasa kasihan pada siapapun yang tahun lalu menjadi lawannya di kompetisi Miss Universitas.

"Iya? Siapa?"

"Rasty Anjani Putri." ucap Rasty sambil mengulurkan tangannya malu-malu.

"Oh, yang mau nanya-nanya soal kompetisi Miss Universitas ya?" tanya Arlene dengan nada lebih bersahabat, "Panggil Leen aja." Ucapnya sambil membalas jabatan tangan Rasty, "Raffa mana?"

"Masih di jalan, Miss. Tapi mungkin bentar lagi nyampai." Jawab Rasty masih tersipu-sipu, bingung harus bersikap seperti apa.

Arlene yang sepertinya paham akan sikap canggung Rasty, kemudian mengusulkan, "Gimana kalau kita ke kantin aja? Di sana ngobrolnya lebih nyaman."

"Okay," jawab Rasty setuju, "Tapi aku nggak ngerepotin Miss kan?"

Arlene tertawa kecil ketika menanggapi, "Sebelum mendaftar jadi Miss Universitas, aku udah tahu dan siap untuk direpotkan oleh siapapun, Rasty. Itu kan tujuan dari jabatan ini? Membantu pihak kampus dan Mahasiswanya sendiri, sebisa dan sesanggup yang Miss Universitas lakukan."

Rasty mengangguk paham, kemudian memperhatikan cara berjalan dan bicara Arlene yang anggun. Tanpa bisa menahan diri, ia sudah bertanya, "Miss Arlene model ya?"

Arlene tampak terkejut oleh pertanyaan itu, namun senyum ramahnya kembali terkembang, "Cuma model iseng-iseng aja. Sejak jadi Miss Universitas, berhenti sama sekali. Nggak sempat soalnya."

"Waktu daftar jadi Miss Universitas, apa Miss mencantumkan kegiatan modeling di dalam spesifikasi?" tanya Rasty penuh minat.

Arlene memilih untuk duduk dengan nyaman lebih dahulu, sebelum kemudian menjawab, "Iya. Karena modeling juga merupakan salah satu prestasi."

"Aku nggak punya prestasi apa-apa." jawab Rasty dengan lesu.

"Kata Raffa, kamu suka menjahit." Cetus Arlene.

"Tapi cuma bisa menjahit gitu-gitu aja Miss. Aku nggak punya toko jahit, apalagi butik." Ucap Rasty masih dengan ekspresi lesu yang sama.

"Bisa menjahit itu modal," komentar Arlene dengan bersungguh-sungguh, "Kalau dikembangkan, bisa jadi prestasi."

"Tapi butuh waktu bertahun-tahun kan, Miss? Nggak mungkin dalam beberapa tahun ini, aku jadi penjahit sekelas Anne Avantie."

"Anne Avantie itu perancang busana, bukan penjahit." Ucap Arlene dengan ekspresi geli.

Rasty nyengir dan mengangguk, "Iya, maksudku itu, Miss."

"Maaf terlambat," ucapan Raffa bersama sosoknya yang menghempaskan diri di samping Rasty, membuat percakapan itu terhenti, "Udah sampai di mana obrolannya?"

"Sampai di, Rasty bisa menjahit, tapi dia berpikir, kalau dia nggak punya prestasi." Jawab Arlene.

Raffa mengangguk dan bertanya pada Rasty, "Pencapaian apa yang bisa kamu bayangkan, akan kamu dapatkan dengan kemampuan menjahit ini?"

"Mm, jadi desainer?"

"Jadi desainer itu cita-cita yang hebat," Arlene menanggapi, "Tapi kamu masih bisa punya hal lain yang bisa dikerjakan selama menggapai impian kamu untuk jadi desainer."

"Mmm, jadi penjahit?"

Arlene melirik Raffa, seolah bertanya apakah Rasty sedang mengerjainya? Namun sorot dan ringisan pria itu membuat Arlene sadar, kalau Rasty bersungguh-sungguh dengan ucapannya barusan.

"Gimana dengan, sesuatu yang melibatkan orang-orang di sekitar kamu?"

Rasty diam, teringat dengan ucapan Raffa tentang Alana yang selalu ingin berbuat sesuatu terhadap orang-orang di sekitarnya. Dan Alana melakukan itu sesuai dengan minatnya terhadap dunia kedokteran.

"Maksud Miss, bikin kelas menjahit untuk masyarakat luas?" tanya Rasty dengan kedua mata melebar karena pemahaman.

"Nggak harus untuk masyarakat luas," jawab Arlene dengan tenang, "Bisa kamu ajarkan pada anak-anak tetangga di sekitar rumah kamu. Atau di panti asuhan di dekat rumah kamu. Atau di rumah singgah, tempat di mana Ibu-ibu muda melahirkan tanpa suami. Anggaplah kamu memberi pembekalan pada mereka, supaya mereka memiliki kreatifitas yang bisa digunakan untuk mencari uang. Dan nanti, kegiatan ini bisa kamu tambahkan sebagai salah satu prestasi untuk diikutkan dalam spesifikasi Miss Universitas."

"Tapi aku juga masih belajar," ucap Rasty ragu-ragu, "Belum fasih benar dengan mesin jahit."

"Masih belajar, bukan berarti nggak bisa mengajar," kali ini Raffa yang menanggapi, "Dan bisa mengajar, bukan berarti harus berhenti belajar. Maksudku, lihat aku? Aku juga mahasiswa, sama kayak kamu. Tapi aku bisa jadi tutor untuk kamu. Bukan berarti semua pelajaran kamu udah ku pahami. Kadang-kadang, ada pertanyaan yang nggak bisa ku jawab, dan kita belajar bersama untuk mencari jawabannya. Itu kenapa Universitas kita masih mempertahankan sistem tutor dan adik bimbing ini, Beras. Supaya kita nggak berhenti belajar."

"Beras?" tanya Arlene bingung.

"Oh, itu. Aku dipanggil Beras di rumah," Ucap Rasty malu-malu. "Soal ucapan Kak Raffa, kayaknya aku paham."

Arlene tampak geli ketika mengangguk, "Dengar, kalau kamu masih belum percaya diri untuk mengajar menjahit atau menyulam, kamu bisa ambil waktu sampai akhir semester ini. Anggaplah sebagai waktu untuk mematangkan kemampuan kamu."

"Lagipula," sambung Arlene, "Kamu kan masih tingkat satu. Masih ada waktu untuk menyiapkan diri."

"Menurut Miss, aku bisa?" tanya Rasty dengan penuh harap.

"Semua orang bisa jadi Miss Universitas, Rasty," jawab Arlene dengan senyuman, "Tapi mereka yang berusaha yang paling kuatlah yang akan jadi pemenangnya. Karena itu, jangan mudah patah semangat ya?"

**

"Miss Arlene itu cantik banget ya Kak."

Raffa yang sedang berjalan di samping Rasty, menoleh karena ucapan gadis itu. Pandangan Rasty yang tampak melamun, membuatnya merasa geli.

"Kamu kagum?"

Rasty mengangguk, "Aku jadi penggemarnya Miss Arlene sejak sekarang."

Raffa terkekeh ketika mengakui, "Iya, cantik emang."

"Bisa nggak ya, aku jadi seanggun dia?" tanya Rasty dengan penuh harap.

"Kamu pecicilan begini juga udah enak dilihat kok." Tanggap Raffa.

"Maksud Kak Raffa, aku nggak bisa jadi anggun kayak Miss Arlene?" tanya Rasty dengan nada ngeri.

"Bukan gitu Beras," ucap Raffa sambil mendesah putus asa, "Maksudku, kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Nggak perlu jadi orang lain."

"Bukannya lebih baik kelihatan anggun ya, kalau jadi Miss Universitas?"

"Tapi nggak ada yang pernah bilang, dilarang tampil beda kan? Daripada menjadi sama dengan deretan Miss Universitas terdahulu, kenapa kamu nggak tampil beda?"

"Iya sih," gumam Rasty, "Ngomong-ngomong, Kak Raffa mau nganterin aku sampai mana?"

"Sampai ke jemputan kamu. Habis itu aku jalan ke depan, nunggu taksi."

"Aku juga naik taksi kok," jawab Rasty, "Tadi aku nelepon Keran, handphonenya nggak aktif. Mungkin lagi ujian."

"Pulang sendiri? Berani emang?"

"Berani dong," jawab Rasty percaya diri, "Selama ini aku minta dijemput biar hemat ongkos." Lanjutnya sambil nyengir.

Raffa hanya tersenyum mendengar ucapan itu, dan mulai menendang kerikil di depannya.

"Ras, kamu pernah dengar ucapan kalau kita nggak selalu bisa mendapatkan apa yang kita mau?"

"Huh?"

"Selama ini aku nggak percaya, dan sampai sekarang pun aku masih ragu dengan ucapan itu," ucap Raffa kembali menendang kerikil di kakinya, "Karena itu aku terus berusaha, meski mungkin memakan waktu yang lama."

Rasty tidak menanggapi, karena Raffa langsung melanjutkan, "Tapi kadang aku bertanya-tanya, cemas kalau-kalau terjadi sesuatu di luar dugaan. Misalnya, gimana kalau arah tujuan yang ku kejar itu berubah? Atau, gimana kalau tujuanku memutuskan kalau dia nggak mau menunggu?"

"Kak Raffa ngomong apa sih?"

Raffa memajukan tubuh hingga ujung sepatunya berbenturan dengan ujung sepatu Rasty. Rasty yang kaget, secara otomatis mundur selangkah, sebelum kemudian terhenti karena Raffa menyentuh rambutnya. Ekspresi pria itu tampak kagum ketika mengamati bagaimana kilauan rambut Rasty yang tertimpa sinar matahari di tangannya.

"Kak Raffa?" panggil Rasty ragu-ragu.

Raffa menoleh, mengalihkan pandangannya pada mata Rasty yang tertuju padanya. Sadar kalau gadis itu masih bingung dengan ucapannya sebelumnya, ia berkata, "Kalau aku meminta tujuanku menunggu, menurutmu dia akan setuju?"

Rasty mengerutkan kening, semakin bingung. Namun matahari yang memandikan Raffa dengan sinarnya, membuat perhatian Rasty teralihkan. Mendadak Rasty sadar, inilah Raffa yang sebenarnya. Begitu bersinar, dan bisa melakukan apapun yang diinginkannya. Berbeda dengan dirinya yang tertutup bayang-bayang daun.

Mendadak Rasty mundur selangkah lagi, membuat Raffa merasa kehilangan.

Kemudian, gadis itu berkata dengan lirih, "Bulan aja udah terlalu tinggi untuk Pungguk, Kak Raffa. Kalau itu Matahari, maka Pungguk udah pasti akan terbakar. Bermimpi pun harus ada batasannya."

**

Ps : Guys, saya baru buka olshop nih. Cek instagram saya ya : @abeljessicas.

Pss : Dear guys, saya mau minta maaf karena saya jarang balas komentar kalian. Bukan karena sombong, melainkan karena paket internet saya terbatas setiap bulannya. Kalau lagi di tempat free wifi, saya pasti menyempatkan diri untuk membalas beberapa komentar. Kalau pakai paket internet pribadi, saya rasa lebih bijak kalau paketnya digunakan secara hemat, supaya saya bisa mengupdate cerita. Betul? Maafkan kemiskinan saya ya -_-



Salam, JJ.

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.3M 74.5K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.5M 205K 41
Seri kedua setelah KEPING ** Sudah dihapus untuk kepentingan penerbitan. Terima kasih ?
180K 6K 7
#1 HUKUM [16.04.2021] #1 PENGACARA [19.04.2021] Retrouvaille (n.) the joy of meeting or finding someone again after long separation Ironis. Nadia...
Aberasi | ✓ By Troia

General Fiction

2.3M 234K 27
[Seri Disiden #1] "They say bad boy fucked girls, and good boy fucked up by life." Aberasi © 2017 by Crowdstroia on Wattpad.