Kakak • lrh

By ohsnapitshood

2K 490 164

"Kakak?" "Kakak kenapa harus pergi jauh?" "Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disin... More

Special thanks!
Kaka
Luke
Kaka
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Luke
Kaka
Kaka🍒
Luke
Kaka-kakak🍒
Kaka
Luke
Jack
Jack
Ben
Kaka
Luke
Luke
Jack
Ben
Jack
Kaka
Calum
Calum
Calum
Kaka
Kaka
Luke
Luke
Jack
Kaka
Jack
Luke
Kaka
Calum
Jack
Jack
Calum
Jack
Calum

Luke

64 15 2
By ohsnapitshood

Ya Tuhan...

Gue menghela nafas panjang, setelah kembali berargumen dengan Kaka soal harus nganterin dia pulang atau nggak. Niat gue kan baik nganterin dia sampe rumah karena pertama; dia masih kecil, kedua; gue nggak bisa ngelepasin dia pulang sendiri gitu aja. Eh, dia malah nolak berkali kali dianterin pulang. Gimana, sih? Udah bagus mau dianterin! Calum mana peduli dia mau pulang jam berapa juga!

Yang kakaknya sebenernya dia apa gue, sih... Jadi gue yang ribet gini...

Ya, nggak ngerti dosa apa yang dilakuin tante Joy, sampe harus punya anak kayak dia. Rewel banget, nggak boong. Gue tau dia masih SD dan kalo dideket dia predikat gue ganti jadi 'kakak', tapi ya nggak ada kakak yang nggak stress ngadepin adek kayak gitu. Masa iya gue harus adu mulut atau jawabin setiap pertanyaan dia tiap kali belajar? Waktunya abis buat jawabin pertanyaan dia, lah. Jujur aja emang pertanyaannya berbobot, cuma kan frekuensi dia nanya tuh nggak ada jeda, dan semua hal yang dia liat itu ditanyain tanpa baca dulu keterangannya. Mungkin itu juga yang bikin Calum males punya adek kayak dia. Meski dari segi kecerdasan ya sebenernya bagus, tandanya dia selalu pengen tau ini itu yang diliat, cuma caranya aja salah, kebanyakan nanya tapi gamau nyari jawabannya sendiri.

Gue memungut sobekan kertas kecil di karpet kamar, yang kayaknya bekas kaka ngitung tadi.

Oh, tapi kayaknya nggak...

'Tukang marah!!'

Gue mendengus geram, dengan segera melempar kertas tersebut ke tong sampah. Jelas ini ulah siapa, nggak perlu lagi ditanya. Apalagi dengan font tulisan yang sehari aja gue perhatiin langsung tau itu tulisan punya siapa.

Tapi kira kira, dia udah sampe rumah belom ya? Kan gerimis ini...

Gue mengambil handphone, dengan segera menekan tombol telfon di samping kontak Calum, berniat menghubunginya untuk memastikan keadaan Kaka. Jujur aja, meski dia nyebelin, gue nggak bisa menahan diri buat nggak khawatir sama dia. Mungkin begini rasanya punya adek.

"Wei?"

"Cal? Adek lo udah sampe rumah?" Tanya gue, seraya duduk di sofa depan TV lantaran kepala gue mulai sakit lagi. Harus sering tidur kayaknya gue.

"Udah, nih lagi nonton dragon ball."

"Keujanan, nggak?" Tanya gue, sembari menyenderkan kepala lantaran semenjak ngajar Kaka tadi, kepala gue pusing parah. Bener bener butuh istirahat kayaknya.

"Dikit, biarin aja."

'Biarin aja', katanya?

Orang sinting...

"Suruh mandi, ntar sakit." Tukas gue, kali ini sambil menyalakan TV, karena yang tinggal dirumah cuma gue dan mama dan ayah, rumah jadi sepi. Jack dan Ben udah lama merantau dari rumah, kuliah di tempat yang bahkan gue nggak tau dimana, orang jarang banget ngehubungin rumah. Bodo amat, dah.

"Gausah disuruh, kalo bersin juga mandi sendiri." Ucap Cal santai, "Csgo nggak nih?"

"Nggak, lah. Mau nugas gue." Geleng gue. "Enak banget hidup lo ya, masih bisa maen csgo gitu."

"Lo aja ribet, nugas mulu. Idup lo harusnya nyantai dikit, jangan apa apa belajar."

Kurangajar.

"Makanya, jangan masuk kedokter- Yaudah laper masak sendiri, Ka!" Seru Cal, yang entah akhirnya ngomong sama siapa, karena samar samar ada orang berteriak 'Laper, kak!' Dari balik telfon.

Kaka kali, ya?

"Makanya jangan masuk kedokteran. Baru nyaho kan sekarang, tugas mulu. Mam tuh tugas." Tawanya puas. Emang bajingan, kebiasaan.

"Eh, anak sastra, diem lo." Dengus gue. "Ntar juga lo-"

Anjrit...

Gue meremas rambut erat erat, kala sakit kepala sialan ini kembali menghujam kepala gue layaknya jarum berkali kali. Sakitnya kali ini bahkan bikin perut gue ikut berkontribusi juga.

"Luke? Woy, masih hidup nggak lo?"

"I-Iya masih..." Lirih gue. "Udah ya, ngomong mulu lo. Gue mau nugas dulu."

"Mampus. Selamat kenyang makan tugas, dokter!" Ledeknya, yang sebelum gue maki maki balik udah keburu mutusin sambungan, jujur bikin gue makin gondok, tapi lantaran sakit kepala bajingan ini, gue jadi nggak bisa ngapa ngapain.

Gimana gue mau nugas kalo kepala gue begini terus...

Nggak nunggu lama, gue langsung berjalan cepat kearah kamar, meski langkah gue tersandung berkali kali kala menaiki tangga. Dan nggak nanggung juga, tiga pil sakit kepala langsung gue telan secara bersamaan, dengan harapan sakitnya bisa hilang dengan segera.

Tidur bentar, ah... Siapa tau bangun bisa enakan...

-

Sialan.

Secepat mungkin, gue berlari ke kamar mandi dekat tempat tidur, memposisikan kepala gue tepat di atas toilet dan memuntahkan segala yang gue makan mulai dari tadi pagi sampe tadi sore. Rupanya, keputusan gue untuk tidur bukan hal yang tepat, karena malah bikin sakit kepalanya makin menjadi, terus ujungnya bikin gue begini.

Sakit...

Gue menekan erat perut gue, berniat kembali memuntahkan semua yang ada di perut sebelum akhirnya handphone gue berbunyi nyaring dari tempat tidur, menandakan ada telfon masuk.

"Bentar..." Lirih gue, yang akhirnya hanya meludah di toilet, lantas berjalan terseok menuju tempat tidur, menggeser tombol hijau tanpa melihat siapa penelfonnya.

"H-Halo?"

"Kak?" Sahut seorang dari telfon, "Kak Luke? Ini aku, Kaka."

"Ng... Kenapa, Ka?" Tanya gue lirih, berusaha mengatur nafas lantaran salah sedikit, perut gue bisa berulah lagi kayak tadi, gue ogah muntah dua kali.

"Kakak nggak apa apa, kak?" Tanyanya, yang gue gelengi, nggak peduli dia bisa liat gue atau nggak.

"Nggak. Lo kenapa nelfon? Udah jam segini, tidur." gue melirik jam meja yang menunjukkan pukul 2 pagi. Sementara tugas gue masih terbengkalai lantaran gue tidur tadi. Parah, harus langsung ngerjain gue, nih...

"Kak, di rumah ada siapa?" Tanyanya lagi, membuat gue mendadak bingung.

"Ada siapa?" Tanya gue balik. "Ya ada gue, lah. Kenapa emang?"

"Selain itu?"

"Ya... Ya ada mama sama ayah gue. Kenapa, sih? Mau ngebom, ya?" Tebak gue asal, karena aneh aja tiba tiba dia nanya gini.

"Enggak, mau tidur sana. Semalem aja..." Ucapnya, namun nada suaranya terdengar sedikit berbeda, nggak seceria tadi sore. "Boleh ya, kak?"

"Emang kenapa?" Sergah gue, "Minta temenin kak Mali gih."

"Nggak bisa, kak Mali belom pulang, kak Cal juga udah kabur duluan." ujarnya, suaranya makin bergetar, membuat gue tambah bingung. "Ya, kak? Boleh ya, kak? Semalem aja..."

"I-Iya iya, boleh kok. Boleh, boleh" angguk gue, akhirnya mengiyakan permintaannya, nggak tega denger suaranya yang kayaknya makin ketakutan dari waktu ke waktu. Takut juga sih dia kenapa napa, tapi itu kan tanggung jawab Calum sama kak Mali harusnya, bukan gue. Jadi harusnya gue nggak usah ikutan takut juga.

'Harusnya'.

Tapi kayaknya nggak, karena makin gue pikirin, makin khawatir juga dengan keadaan bocah satu itu.

"Kenapa, Ka? Ada maling emangnya?" Tanya gue.

"Nanti aku jelasin..." Lirihnya. "Sekarang intinya aku boleh kesana, kan?"

"Boleh kok." Angguk gue. "Gue jemput, ya?"

"Nggak usah, aku bisa sendiri, kok. Nanti bukain pintunya, ya?"

"Gue jemput aja deh, Ka." Sergah gue, yang gatau kenapa takut ngelepas dia jam segini sendirian ke rumah gue.

"Jangan, kak..." Ucapnya, "Bahaya kalo ketauan mama sama ayah..."

Mama sama ayah?

Ah, tambah bingung gue.

"Yaudah, gue jemput depan komplek aja ya?" Tanya gue lagi, yang meskipun nggak paham masalahnya, tapi akhirnya berusaha bantuin dia 'kabur' juga.

"Y-Yaudah, terserah... Aku keluar dulu, ya..."

Ia mematikan sambungan, membuat gue langsung bergegas mengambil kunci mobil, niat untuk menjemputnya benar benar terlaksana, karena rupanya ia juga nggak main main mau kesini.

-

"Kak?"

Gue terhenyak saat jendela mobil diketuk oleh seseorang, yang ternyata nggak lain nggak bukan, orang yang udah gue tunggu 15 menit dari tadi.

Gue membuka pintu samping, disusul dengan Kaka yang akhirnya membanting diri ke jok mobil gue. Matanya sembab, kentara banget dia habis nangis.

"Maaf ya kak, jadi ngerepotin..." Paraunya, yang gue angguki.

"Nyante, kali" ujar gue. "Besok sekolah, nggak?"

Ia mengangguk.
"Tapi nggak mau."

"Kenapa?" Tanya gue, sembari menyalakan mesin mobil, bersiap pergi dari tempat ini.

"Tasnya ketinggalan di rumah."

Nih anak kabur bukannya sekalian bawa tas, coba...

"Terus jadi besok mau ngapain? Nggak pulang, kan?"

"Aku ikut kakak kuliah aja boleh?"

Gue ngerem mendadak, nggak nangkap apa yang barusan dia omongin.

Ikut gue kuliah? Yang bener!

"Ikut gue kuliah?" Tanya gue heran, yang dianggukinya pelan.

"Iya. Nggak boleh, ya?"

Bukannya gaboleh, tapi ya kali...

"Liat nanti, ya." Sergah gue, kembali melajukan mobil. Jalanan sepi pagi buta begini bikin gue santai, mau ngebut atau jalan ala mobil mogok yang pelannya setengah mati juga terserah, dan mungkin ini untungnya nyetir pagi pagi.

"Kakak kuliah bawa mobil?" Tanyanya, sembari memainkan miniatur penguin di dashboard gue. Biarin, deh.

Gue mengangguk, mengiyakan pertanyaannya.
"Iya"

"Temenku ada yang bawa mobil, kak." Ujarnya, yang sukses membuat gue menoleh kearahnya.

Lah iya gitu kelas 4 SD bawa mobil?

"Masa?"

Ia mengangguk.
"Eh, terus ketabrakan deh. Barusan kemarin masuk sekolah lagi."

Kalo gue boleh bilang, satu yang berkesan dari nih anak sejak pertama ketemu, itu sifatnya yang kelewat jujur. Gatau itu sifat yang harus dibanggain apa gimana, tapi gue jarang liat yang begini.

"Ketabrakan kenapa?" Tanya gue, masih fokus pada jalanan karena mata gue mulai mengabur, mungkin efek terlalu sering baca jarak dekat.

"Kakinya nggak nyampe buat nginjek gas, terus akhirnya dia dudukin gas, eh nabrak langsung gara gara dia nggak liat."

Buset.

"Gila lo, yang bener?" Tanya gue, nggak percaya.

Ia mengangguk lagi.
"Beneran, kak. Itu mobil papanya, terus cicilannya belom lunas, lagi."

"Udah ah, jangan ngomongin dia. Nanti kupingnya panas." Sergahnya.

Bodo amat anjir yang ngomongin pertama kan elu...

Kami sama sama terdiam, hanya deru mesin mobil yang memecah keheningan, juga suara perut Kaka yang sepertinya minta diisi.

"Laper?" Tanya gue, yang dianggukinya perlahan.

"Nggak ada yang bisa dimakan dirumah..." Desahnya pelan, lantas menyenderkan kepala ke jendela, entah kenapa sekarang terlihat putus asa, padahal gue nggak nanya apa apa selain 'laper?'.

"Nggak ada yang bisa dimakan apa lo yang nggak bisa masak?" Selidik gue, namun pandangannya meredup, membuat gue percaya anak ini nggak makan setidaknya sejak tadi malam.

"Tadi ada sosis, dimakan kak Cal. Aku minta, nggak dibagi..." Lirihnya, yang membuat gue diam diam iba. Siap, naluri ke-kakak-an gue nggak seharusnya muncul sekarang, kan?

"Tapi siang udah makan, kan?" Tanya gue lagi, yang digelenginya.

"Aku kasih temanku, soalnya makan siang dia tumpah semua abis ditabrak kakak kelas." Jawabnya, "Di kampus kakak besok ada makanan kan, kak?"

Dont judge a book from its cover, bener. Kirain nih anak cuma bisa slengean aja, taunya bisa baik juga sama temennya...

"Nanti makan dirumah gue aja." Sergah gue, nggak tega membiarkannya kelaparan. "Lain kali kalo Cal nggak ngasih padahal lo udah minta, rebut aja."

"Nggak ah, nanti aku dimusuhin berminggu minggu." Gelengnya. "Pasti kak Cal lagi seneng seneng deh sekarang..."

"Emang dia kemana? Kok lo nggak diajak?" Kepo gue, lantaran sejauh yang gue tau, hobi Kaka adalah ngekor orang yang lebih tua dari dia. Jadi tumben sekarang dia nggak ngikut Cal.

"Kabur dibilangin." Tukasnya, "Tapi dia seneng seneng aja tadi pas kabur, nggak takut."

"Kenapa harus takut?" Tanya gue, sembari memarkirkan mobil di garasi, "Kalo besok mau ikut gue ngampus, abis makan langsung tidur ya, biar besok bangun pagi nggak susah."

Ia mengangguk, mengacungkan jempolnya tanda setuju.
"Siap, deh!"

"Yaudah gih, langsung ke kamar gue aja, ya. Gue siapin kamar buat lo dulu. Atau mau nonton juga terserah, tapi suaranya jangan gede gede." Tukas gue, yang dianggukinya acuh seraya meloyor masuk ke dalam rumah, berlari entah kemana.

Asik kali ya, kalo punya adek?

"Kak!" Panggilnya, kembali menyembulkan kepala dari pintu rumah. "Kakak, kakak punya anjing?!"

Gue mengangguk singkat, mengunci mobil dan lantas ikut masuk ke dalam rumah, membiarkan Kaka mengelus elus Molly. Iya, Molly, anak anjing yang gue rawat dari ia masih kecil sampai sekarang.

"Ih, lucu!" Tawanya kecil, masih mengelus elus Molly, membuat gue otomatis tersenyum juga melihat polahnya.

"Kakak!" Panggilnya lagi, terdengar lebih ceria daripada tadi di mobil, "Molly dibawa ke kamar boleh, ya?"

"Boleh aja" angguk gue, "Asal jangan berantakin kerjaan gue, ya"

"Siap, kak!" Senyumnya lebar lebar, lantas membawa Molly ke atas.

Boleh kan, kalo gue iri sama Cal sekarang?

-

"Ka-"

Gue tercengang, melihat rak buku gue yang kini berantakan, namun tanda tanda kehidupan Molly nggak tercium sedikitpun, melainkan hanya sosok Kaka yang duduk rapi di karpet, memusatkan pandangannya pada buku besar anatomi milik gue.

"Kaka... Udah gue bilang kan jangan diberantakin..." Desah gue putus asa, menaruh makanan di meja, lalu lantas memungut satu persatu buku yang tercecer di karpet, namun belum gue mengambil beberapanya lagi, tangan gue dicegat oleh bocah gila ini, menandakan bahwa gue nggak boleh melanjutkan kegiatan gue rapiin buku.

"Jangan diberesin, kak! Aku belom selesai baca!" Tolaknya, merebut semua buku dari tangan gue begitu aja.

Dia? Baca buku anatomi? Emang ngerti? Diajarin matematika aja sampe pulang belom tentu ngerti...

"Baca ginian emang ngerti?" Cibir gue, "Nih, makan yang rapi, jangan berceceran. Dan diem, gue mau nugas."

Ia mengangguk setuju, seraya mengambil makanan yang gue berikan. Wajahnya mendadak berubah cerah, entah kenapa.

"Enak, Ka?" Tanya gue, lantas menegakkan diri di bangku, bersiap kembali nugas.

Ia mengangguk, masih dengan sendok yang diemutnya. Entah yang mana yang dia anggap makanan sekarang.
"Enak, kak"

"Makan yang bener ya, sendoknya jangan diemut." Tegur gue, yang disenyuminya, namun masih dengan keadaan mengemut sendok. Biarin ah, nanti juga makanannya abis sendiri.

"Kak, kenapa urat manusia bentuknya begini?"

Barusan juga gue suruh diem... Barusan, loh...

"Baca keterangannya." Jawab gue acuh, sambil kembali menghitung kelajuan darah, kembali berkutat dengan tugas.

"Kak, emangnya kenapa kalo benang fibrin nggak kebentuk?"

Untung adek sepupu lo, Ka.

Kalo nggak udah gue jadiin bahan praktek operasi jantung anak, kali.

"Ka, gimana kalo lo makan dulu, abis itu baru nanya?" Tanya gue, namun dianggukinya. Nggak ngerti anjir random banget nih anak, susah ditebak...

Ia diam, begitu juga dengan gue yang kembali sibuk nugas, menghitung sepersekian senti radius aorta. Jujur, kepala gue masih sakit bukan main, tapi seluruh tugas ini jelas nggak kalah penting, jadi mau keadaan gue gimana juga, tetep harus gue kerjain.

Sialan...

Gue meremas pelan rambut gue, kala rasa sakit itu kembali menyerang kepala gue bertubi tubi. Nggak mungkin gue minum obat lagi, gue udah kebanyakan buat hari ini, nggak mau overdosis.

"Kak, pusing ya belajar terus?" Tanya Kaka, yang jujur gue nggak tau itu pertanyaan atau cibiran.

Gue menggeleng, berusaha mengabaikan sakit kepala yang makin tajam kian waktu, bahkan kali ini membuat pandangan gue mengabur.

"Nonton film aja, yuk. 22 Jumpstreet bagus loh, kak."

Gue menggeleng lagi,
"Nanti ya, Ka."

"Kak, kakak capek kan belajar mulu? Sampe kepalanya dipegangin gitu?" Tanyanya lagi, "Ayo nonton, kak..."

"Kak, ayo..."

"Kakak..."

"Kak Luke, ayo..."

"Kakaaaaak!"

"Kak-"

"Nggak, Kaka! Tugas gue banyak, jangan seenaknya!" Seru gue frustasi, membuatnya terhenyak, namun lantas terdiam.

"Yaudah, deh..." Lirihnya, membuat rasa bersalah sedikit sedikit menyelinap di hati gue, mengingat perbuatan gue barusan kayaknya berlebihan.

Kasar banget kayaknya gue tadi...

Menghela nafas, akhirnya gue mengangguk pelan.
"Yaudah, yaudah iya kita nonton..."

"Kakak beneran?" Tanyanya lirih, yang gue angguki.

"Iya" Ucap gue. "Ka, maaf ya, tadi gue beneran nggak ada niat bentak lo, kok..."

"Nggak apa apa." senyumnya, "Ayo, kak!"

Gue tersenyum tipis, membiarkannya mengacak acak tempat dvd, memilih film apa yang disukanya. Karena jujur, mood gue berangsur membaik kala melihatnya tersenyum atau bahkan tertawa.

Semenjak ditinggal Jack dan Ben, nggak tau kenapa rumah rasanya sepi, bukan tempat yang gue suka lagi, bukan yang menjadi pelarian utama gue untuk mencari kebahagiaan. Dan sejak Kaka datang kemarin, entah kenapa definisi 'rumah' bagi gue, terasa seperti hidup kembali.

Mungkin ini rasanya jadi kakak.

Continue Reading

You'll Also Like

84.1K 5.3K 34
Malfoy ve Black iki ezeli rakip ve birbirlerinden nefret eden iki küçük çocuktur. Black'in 4. Sınıfta Harry'nin yerine arayıcı olmasından sonra Malfo...
405K 48.8K 33
alfa jungkook, en yakın arkadaşının kardeşi olan omega taehyung'a deliler gibi aşıktı.
31.6K 1.7K 11
"kurtarıcısına aşık kız... klişe hikaye." "komşu kızına platonik aşık çocuk mu söylüyor bunu?" ya da asi'nin şebnem'in kızı olarak doğup büyüdüğü ve...
22.5K 3.1K 60
Hep aynı yıldıza bakarsan yolunu asla kaybetmezsin...