Infinity [RE-POST]

By rapsodiary

4.8M 282K 13K

[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Din... More

Blurb
PROLOG
1- Hadiah di Akhir Semester
2- Liburan yang Dipaksakan
3- Ian si Cowok Manja
4- Ancaman yang Gagal
5- Mengenal Sisi yang Lain
6- Dilarang Sok Tahu
7- Bukan Sok Tahu tapi Memang Tahu
8- Perpisahan
9- Kepergian
10- Kabur
11- Kunjungan Pertama
12- Masakan Pertama
13- Menikmati Senja Bersama
14- Di Mobil
15- Rumah
16- Pulang
17- Selesai?
18- Belum selesai
19- Perubahan Besar
20- Tidak Sepenuhnya Berubah
22- Menunggu Malam
23- Malam itu di Balkon
24- Pelukan Hangat
25- Sepercik Luka
26- Luka Yang Berdarah
27- Kebodohan Yang Melukai
28- Saling Mengobati
29- Pengakuan
31- Kembali
32- Hidup Yang Lebih Baik
33. Gara-gara Sepatu
34- Kejutan
35- Masih Sama
36- Pertemanan
37- Cari Perhatian
38- Pendatang Baru dan Liburan
39- Pacar Posesif
40- Seutuhnya
41- Mimpi Buruk
42- Akhir dari Mimpi Buruk
43- Akhir Cerita Kita
Epilog
Remedy - Sequel of Infinity

21- Kekhawatiran

61.4K 5.6K 218
By rapsodiary

Dinda sedang bersama Audy, Reta serta Farhan di kantin menikmati istirahat mereka sambil bercakap-cakap. Tetapi hari itu Dinda lebih banyak diam. Sudah seminggu sejak terakhir kali dia berbicara dengan Bani. Cowok itu memang tidak bolos lagi dan selalu masuk sekolah, hanya saja Bani sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya di depan Dinda. Pernah sih mereka berpapasan beberapa kali dan saat itu Bani terlihat cuek-cuek saja.

Jujur saja, Dinda khawatir. Dinda yakin hal ini ada sangkut pautnya dengan pengunguman yang disampaikan pihak sekolah tentang pergantian ketua yayasan.

Bukan berganti, tapi lebih tepatnya jabatan ketua yayasan kini dipegang oleh Ibu Berlian Hadianputra. Dan betapa mengejutkannya ketika diumumkan bahwa Ibu Berlian adalah istri Hadian dan ibu kandung dari Petra.

Seisi sekolah gempar. Mereka tau kalau istri dari direktur pemilik yayasan adalah Ambar, ibu kandung Bani, ini semua karena Ambar kerap hadir dalam acara-acara sekolah mendampingi Hadian. Maka kabar miring seputar Ibu Berlian yang merupakan selingkuhan, istri simpanan sampai istri muda mulai menyebar.

Dinda masih tidak tau masalah seperti apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga Bani. Tentang tante Ambar, bu Berlian, Petra, om Hadian. Semua terasa abu-abu bagi Dinda. Dan jujur saja Dinda tidak peduli dengan itu semua. Satu-satunya yang Dinda pedulikan adalah...perasaan Bani.

Bagaimana perasaan cowok itu saat ini? Disaat dia kehilangan bundanya, seorang wanita lain justru muncul di muka publik sebagai istri lain ayahnya.

"Din!" Dinda tersentak ketika merasakan tepukan di pundaknya. Rupanya Audy baru saja menepuk pundak Dinda karena cewek itu melamun.

"Lo kenapa? Itu siomay lo kok nggak dimakan?" tanya Audy khawatir. Pasalnya sejak tadi Dinda yang biasanya cerewet mendadak jadi pendiam.

Farhan dan Reta ikut menatap Dinda.

Merasa diperhatikan teman-temannya Dinda pun meringis tidak enak. Dia sudah membuat teman-temannya khawatir. Tapi hal itu justru membuat Dinda semakin memikirkan Bani. Dinda beruntung memiliki keluarga yang masih lengkap dan teman-teman yang khawatir padanya.

Tapi Bani? Siapa yang akan khawatir dengan cowok itu? Apakah Bani punya sahabat? Apa ayah Bani khawatir padanya? Apa ibu Berlian menyayangi Bani seperti Bani adalah anak kandungnya sendiri?

"Gu-gue pergi dulu, ya." Dinda buru-buru berdiri dan pamit untuk pergi membuat tiga temannya itu mengernyit bingung.

"Lo mau kemana? Lo bahkan belum makan, Din?" kata Farhan sambil menunjuk piring siomay milik Dinda yang baru terjamah sedikit.

Dinda menggeleng. Dia tidak bisa makan dengan tenang jika belum memastikan kondisi Bani. "Gue ada urusan. Kalau nanti gue sampe telat masuk kelas, plis bilang aja gue ke UKS ya?" pinta Dinda pada Audy dan Reta.

"Bilang aja? Berarti lo nggak beneran mau ke UKS?" tanya Reta memastikan.

Dinda menggeleng. "Nanti, suatu saat gue akan cerita. Tolongin gue ya kali ini? Please...," mohon Dinda membuat Audy serta Reta tidak mungkin bisa menolak.

"Oke." Dinda langsung memeluk singkat dua teman perempuannya itu dan menepuk pelan pundah Farhan sebelum berlalu pergi.

"Pasti ada hubungannya sama Bani," kata Farhan sambil menyedot es tehnya.

"Bani? Mereka bener-bener jadi sedeket itu? Atau Bani masih ngebully Dinda?" tanya Reta penasaran.

Farhan menggeleng. "Apapun itu, hubungan yang mereka punya nggak dangkal." Farhan lalu mendorong gelas es tehnya yang sudah kosong. "Waktu itu gue sempet ketemu Bani di halaman belakang. Gue abis dari ruang TU dan Bani lagi di belakang sambil ngerokok. Dia cabut kelas. Iseng, gue nyamperin dia terus kita jadi ngerokok bareng. Kejadian itu persis sehabis ada pengunguman kepsek soal pergantian ketua yayasan."

Audy dan Reta terbelalak. "Te-terus?"

"Ya gue gak ngobrol banyak. Walaupun sekelas, karena gue anak baru juga dan duduk kita jauhan plus si Bani ini orangnya cuek bebek, gue nggak tau harus ngomong apa sama dia." Farhan lalu tampak berpikir. Seolah dia mengingat apa saja yang waktu itu dia perbincangkan dengan Bani. "Dia tiba-tiba bilang, Dinda itu punya peran yang penting banget buat dia. Intinya sih, gitu."

Audy dan Reta saling tatap. Kemudian mereka berdua menatap Farhan. "Mereka pasti pernah mengalami sesuatu bareng yang nggak orang lain tau. Gue yakin ini bukan cuma soal Dinda yang dibully Bani. Mereka pasti pernah mengalami kejadian entah apa itu bareng-bareng."

"Mungkin pas liburan?"

Audy, Reta dan Farhan sama-sama diam. Mereka pun tidak tau jawabannya karena sampai sekarang Dinda belum mengatakan apapun pada mereka.

Farhan lalu ingat saat dia pertama kali ke sekolah untuk mengurus kepindahannya dan berakhir dengan Dinda yang mengajaknya pergi ke rumah seseorang. Farhan baru sadar rumah itu adalah rumah Bani. Tapi Farhan tidak mengatakannya pada Reta ataupun Audy. Karena Farhan tau, ini bukanlah haknya untuk bicara. Biarlah suatu saat nanti Dinda yang mengatakannya sendiri.

***
Dinda berhasil menemukan Bani yang sedang duduk di salah satu bangku penonton dekat lapangan futsal. Padahal Dinda sudah berniat untuk mencari Bani ke kelasnya, untung saja cowok itu ternyata sedang duduk dengan tenang menonton jalannya pertandingan futsal anak-anak kelas sepuluh.

Dengan sedikit gugup Dinda pun duduk di samping Bani. Bagaimana Dinda tidak gugup? Sudah seminggu ini dia dan Bani tidak bertegur sapa. Jangan-jangan Bani kembali tidak ingin kenal dengan Dinda, jelas saja gadis itu gugup.

"Ban," sapa Dinda setelah duduk di samping Bani.

Bani menoleh ke arah Dinda dan mengangguk singkat. Hal itu membuat Dinda semakin ragu apa jangan-jangan Bani sudah kembali seperti dulu?

"Kenapa?" tanya Bani karena Dinda yang hanya diam saja.

Dinda membuka mulutnya, tidak tau darimana harus memulai. Detik terus berjalan dan yang Dinda lakukan hanya menutup dan membuka mulutnya saja tanpa ada suara yang keluar sedikitpun. Hal itu membuat Bani yang sejak tadi fokus ke lapangan kini sepenuhnya teralih kepada Dinda.

"Lo kenapa kayak ikan koki megap-megap gitu?" tanya Bani dengan dahi mengernyit. "Kangen?" tanyanya dengan sebelah alis naik.

Dinda menganga dengan tampang super bego. Apa Bani baru saja menggodanya?

Bani terkekeh lalu menempeleng pelan jidat Dinda dengan satu jari. "Tolol. Lo kenapa sih?"

Bani bersikap seperti terakhir kali mereka bicara. Bani...tidak mengacuhkannya.

Melihat Dinda yang masih saja bengong dengan wajah bloon membuat Bani berubah khawatir. "Lo sakit?" tanyanya sambil menempelkan telapak tangannya di jidat Dinda.

Dinda seolah tersadar dan buru-buru menggeleng. "Nggak kok, gue sehat."

Bani menurunkan tangannya. "Terus kenapa lo kayak ayam nelen karet gitu? Bengong."

Dinda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggak tau, kenapa ya?" tanyanya bingung.

Bani mendengus. "Dasar bego." Bani lalu kembali mengalihkan tatapannya ke arah lapangan. "Lo nyari gue?" tanya Bani tanpa menatap ke arah Dinda.

Dinda ikut menatap ke arah yang sama yang dituju Bani. "Iya," jawabnya jujur.

"Kenapa?"

Dinda diam sejenak sambil menggigit bibir bawahnya. Dinda benar-benar nggak tau harus mulai darimana. Dinda takut kalau dia membahas ini akan merusak atau menyinggung Bani. Jadi pertanyaan yang paling tepat hanya satu. "Lo nggak apa-apa?"

Hening. Tidak ada yang bersuara antara Dinda maupun Bani. Yang terdengar hanya suara berisik dari arah lapangan.

Bel sudah berbunyi sejak tadi. Jam kbm sudah dimulai, anak kelas sepuluh yang masih bermain di lapangan futsal pastilah sedang jam olahraga.

Bani kemudian menghela nafas. "Bohong kalau gue bilang nggak apa-apa." Jawaban Bani sukses membuat Dinda kembali menatap Bani sepenuhnya.

Bani terlihat tenang dan datar saat mengatakannya. Tapi dibalik ketengan itu, terdapat badai yang berkecamuk di dalamnya. Jika diibaratkan, Bani persis seperti air tenang di dalam sungai. Dari atas terlihat tenang, padahal jika menyelam ke dalamnya, terdapat pusaran yang bisa menelan siapapun hidup-hidup.

Dinda tidak tau harus berkata apa sekarang. Bagaimana dia bisa membantu Bani? Darimana Dinda harus memulai? Dia tidak tau apa-apa tentang Bani. Bani masih abu-abu untuknya. Bani masih seperti teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Dan Dinda merasa tidak punya hak untuk bertanya meskipun sebenarnya Dinda sangat ingin.

Bani bersuara. "Balik gih ke kelas, nanti lo kena point."

Dinda menggeleng. Bagaimana Dinda bisa kembali dengan tenang jika dia tau Bani sedang tidak baik-baik saja?

Bani diam. Dia tau kekhawatiran Dinda untuknya. "Nanti lo pulang bareng gue, mampir ke apartemen gue dulu."

Dinda mengernyit. "Hah?"

Bani kemudian tersenyum tipis. "Nanti gue izin sama nyokap lo kalo perlu. Lagian besok 'kan Sabtu, libur." Bani kemudian bangkit dari duduknya. "Sana gih balik ke kelas. Gue juga mau balik ke kelas."

Dinda menaikkan sebelah alisnya. "Beneran?" tanya Dinda meyakinkan. "Beneran ke kelas bukannya cabut?"

Bani kemudian melayangkan tangannya untuk mengacak rambut Dinda. "Iya, Nda."

Perut Dinda terasa mulas. Hah, kalau begini terus Dinda yakin dia akan benar-benar baper dengan Bani. Atau emang udah baper?

"Balik loh ya ke kelas!" kata Dinda sambil menunjuk ke arah Bani, seolah mengancam cowok itu.

Bani mengibaskan tangannya. "Iye, bogel."

Dinda pun melotot. Tapi Dinda tidak berniat untuk membalas Bani dan memilih berlari menuju ke kelasnya.

Dan selama sisa jam pelajaran, Dinda terus berharap agar waktu berputar lebih cepat dan Dinda bisa bersama lagi dengan Bani. Karena entah mendapatkan perasaan dari mana, Dinda yakin, malam ini dia akan menemukan jawaban atas ketidaktahuannya.

#7p#

Continue Reading

You'll Also Like

863K 67.3K 35
[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Aldeo punya mantan namanya Sandria. Sedangkan...
5.2K 553 10
Masih seputar kisah dari Kedhung Jati, juga area Tegal Salahan dengan segala misteri yang menyelimutinya. Namun kali ini penulis akan mengajak kalian...
583K 2.7K 4
[REMAKE | NEW VERSION] "Selalu ada hikmah yang dibawa sang waktu." Hidup Nadi bak kapal terbalik setelah tragedi lamaran oleh salah seorang dosen mud...
164K 4.1K 38
[COMPLETED!] WARNING TYPO IN EVERYWHERE! . PLEASE, DON'T COPY MY STORY! **** Bagaimana rasanya saat pernikahan mu tinggal sehari lagi lalu orang yan...