The Force of First Sight

Oleh rachma11

31.9K 2.1K 61

Pertemuan yang berawal dari ketidaksengajaan telah mengubah pandangan Kenza Valencia terhadap Rafa Marvelle... Lebih Banyak

《Prologue》
《One》
《Two》
《Three》
《Four》
《Five》
《Six》
《Seven》
《Eight》
《Nine》
《Ten》
《Eleven》
《Twelve》
《Thirteen》
《Fourteen》
《Fifteen》
《Sixteen》
《Seventeen》
《Eighteen》
《Twenty》
《Twenty One》
《Twenty Two》
《Epilogue》
《Announcement》
《New Story》

《Nineteen》

795 64 0
Oleh rachma11

Kali ini aku tidak bangun kesiangan seperti biasanya. Jadi, aku masih sempat untuk sarapan bersama keluargaku. Segelas susu dan roti cokelat sudah berada di hadapanku.

"Denger-denger Alzio balik lagi ke sini, ya?" tanya mama tiba-tiba.

Aku mengangguk. "Iya, Ma. Kenapa emangnya?"

"Entah kenapa mama lebih suka kalo kamu sama dia. Tapi, percuma aja soalnya kamu udah sama Rafa."

Susu cokelat yang kuminum hampir saja membuatku tersedak mendengar pendapat mama. "Aku sama Alzio deket sebatas temen aja, Ma."

Audy yang tadinya asyik dengan makanannya pun mendadak jadi ikut-ikutan berbicara, "Nah, aku juga mikirnya kayak gitu, Ma. Soalnya Alzio itu, kan, seumuran sama Kak Kenza. Jadi, menurutku lebih cocok ketimbang sama yang sekarang."

Aku mendengus mendengar pendapatnya yang tidak logis itu dan bermaksud menyindir hubunganku dengan Kak Rafa. "Bawel, deh. Itu menurut pemikiran kamu, Dy. Tapi, kan, ini masalah hati. Jadi, hanya Kakak yang bisa memilih untuk jatuh kepada siapa."

Papa berdeham mengingatkan. "Udah jangan berantem. Kamu nggak berangkat, Ken? Nanti terlambat, lho."

"Oke. Ma, Pa, aku berangkat dulu, ya."

Setelah berpamitan pada mereka aku langsung mengemudikan mobil menuju sekolah.

☆♡☆♡☆

SMA Starlight tampak sepi karena sekarang masih jam enam lebih sepuluh menit. Aku langsung menuju gedung IPS untuk menemui Kak Rafa.

Sekarang, aku sudah sampai di depan kelasnya. Aku bingung antara masuk atau tidak. Tapi, yang membuatku sedih adalah kemarin malam dia tak membalas line dan sampai sekarang pun belum dibaca olehnya.

Aku mengintip dari kaca jendela dan ternyata tidak ada Kak Rafa. Saat aku membalikkan badan, aku menubruk seseorang. Oh, betapa bodohnya aku ini.

"Sorry, nggak sengaja."

Tunggu! Dari postur tubuhnya dan aroma parfumnya, aku sangat mengenali itu. Dengan semangat aku mendongak untuk menatapnya. Aku tersenyum lebar dan dia hanya membalas dengan senyuman tipis.

"Kenapa kamu di sini?" tanyanya dengan wajah polos yang membuatku gemas.

"Jelas mau nyari kamulah," batinku kesal. Kenapa dia tidak peka sama sekali, sih?

Kutarik tangannya untuk menuju tempat duduk yang terletak di ujung koridor. Aku merasa jauh darinya walaupun kami duduk bersebelahan. Rasanya sangat hampa karena sikapnya yang tidak seperti biasanya.

"Kamu masih marah gara-gara Alzio?"

Kak Rafa menatapku dengan kedua alis yang bertautan. "Enggak, kok. Kenapa harus marah?"

Kemarin saat di kedai kopi dia langsung meninggalkanku. Aku jadi heran dengan sifatnya yang berubah-ubah tak menentu.

"Buktinya semalem kamu nggak jawab line dari aku. Kenapa, Raf?"

Dia tak menjawab selama beberapa detik serta terlihat ragu. "Kemarin aku ke rumah sakit. Sheren kecelakaan. Maaf nggak sempet ngabarin kamu," ucapnya lirih dengan menatap mataku lurus-lurus.

Dengan refleks, aku langsung mengalihkan pandanganku darinya. Perkataannya barusan bagaikan petir yang menyambar-nyambar di sekelilingku. Aku harus kuat menghadapi kenyataan bahwa dia masih peduli pada masa lalunya, tetapi nyatanya itu sangat menyakitkan.

Bahkan, seharusnya dia tahu kalau sekarang aku benar-benar membenci Kak Sheren. Dia belum tahu kejadian menakutkan yang terjadi tiga hari lalu begitu membekas dan tidak bisa hilang dari pikiranku. Aku berusaha mengenyahkan perbuatan jahat Kak Sheren, namun tetap saja hal itu melayang-layang di ingatanku. Jika saja Alzio tidak menyelamatkanku, bisa dipastikan nyawaku sudah melayang.

Mendengar Kak Sheren kecelakaan sebenarnya aku sedikit kasihan padanya. Tapi, untuk apa? Itu mungkin balasan setimpal dari Tuhan karena dia telah mencoba membunuhku. Benar kata Vexia, sifat aslinya sudah tampak. Sekarang, yang kurasakan adalah luar biasa kecewa karena Kak Rafa lebih mementingkan wanita yang jelas-jelas bukan apa-apa lagi dihidupnya. Saat awal kami berpacaran, dia dengan tegas sudah melupakan Kak Sheren. Haruskah aku memercayainya? Aku tahu kalau dia masih meragukan hubunganku dengan Alzio. Tapi, dia berusaha menepis kecanggungan yang terjadi di antara kami dengan bilang kalau tidak ada apa-apa.

"Kenza, what's your mind?" ujarnya seraya menyentuh tanganku, membuatku tersadar dari lamunan-lamunan yang saat ini menguasai diriku.

Memang tadi aku bungkam dalam kurun waktu yang cukup lama. Hati dan perasaanku terombang-ambing karena tidak tahu harus mengambil keputusan apa.

"Nothing-" Aku melepas tanganku darinya karena merasa tidak nyaman dilihat oleh beberapa pasang mata.

Aku kembali melanjutkan ucapanku yang tadinya sempat tertunda, "Aku ke kelas dulu, ya."

Setelah mengatakan itu aku pun langsung berlari untuk menuju gedung IPA tanpa menunggu jawaban dari Kak Rafa. Entah kenapa aku tidak ingin memperpanjang pembicaraan kami.

☆♡☆♡☆

Dari awal pelajaran sampai pulang pun aku tidak fokus sama sekali. Vexia menanyaiku, aku hanya menjawab singkat atau malah terdiam. Sebagai sahabat, sebenarnya Vexia harus tahu permasalahan yang terjadi padaku. Namun, aku tidak siap untuk menceritakannya.

"Lo kenapa, sih?"

"Nggak papa," jawabku dengan pandangan kosong.

Vexia memegang kedua bahuku dan mengarahkan tubuhku untuk berhadapan dengannya. "Gue tau pasti kalo lo punya banyak masalah. Lo harus cerita. Gue janji nggak bakal bilang siapa-siapa."

Aku mengembuskan napasku dengan berat dan menatap seluruh penjuru kelas untuk memastikan sudah sepi atau belum. Ternyata mereka semua sudah pulang dan hanya ada kami berdua di dalam kelas. Setelah menimbang-nimbang, aku pun memutuskan untuk jujur saja supaya tidak membebani pikiranku. Mulai dari perbuatan Kak Sheren yang akan melenyapkanku, pertemuanku dengan Alzio, menipisnya rasa kepercayaan pada hubunganku dengan Kak Rafa, Kak Sheren mengalami kecelakaan, dan hal lain yang terjadi padaku akhir-akhir ini telah selesai kuceritakan semuanya pada Vexia.

"Jadi, itu masalahnya," ujarku seraya menghela napas lega.

"Kenapa lo sembunyiin masalah sebesar itu dari gue?"

Aku menggeleng. "Bukannya gitu. Gue nggak siap aja. Terus gue harus gimana, Ve?"

"Intinya lo harus sabar. Gue bisa ngerasain gimana perasaan lo, Ken. Gue yakin lo bisa ngelewatin semua masalah itu. Lo pasti bingung harus gimana, tapi itu semua cuma lo yang bisa nentuin mana yang terbaik buat lo, buat kelanjutan hubungan lo sama Kak Rafa, dan yang terpenting buat kebahagiaan lo.

"Apa pun keputusan yang lo ambil, gue 100% ngedukung lo. Kalo butuh bantuan dari gue, lo tinggal bilang aja. Lo tau, kan? Gue selalu ada buat lo. Lo jangan pernah takut menghadapi masalah. Stay strong!"

Aku mengangguk paham. Memang semua keputusan hanya dapat diambil dari diriku sendiri. Vexia bukannya tidak mau memikirkan solusi, tetapi dia memberikanku pengarahan supaya aku tidak salah dalam mengambil suatu keputusan.

"Thank you."

☆♡☆♡☆

Hari ini aku belum makan sama sekali. Hanya sarapan pagi tadi. Setelah dipaksa oleh Audy, dengan berat hati aku menuju ruang makan.

"Tumben banget nggak selahap biasanya, Kak. Padahal, ini makanan kesukaan Kakak, kan?"

Kenapa dia begitu cerewet? Tidak tahukah bahwa sekarang aku sedang dirundung kegalauan. Bahkan, makanan yang kusukai rasanya tidak seperti biasanya dan malah terasa hambar. Jika saja keadaanku tidak seperti sekarang, bisa dipastikan aku akan menambah porsi lagi.

"Kenapa diem aja? Abis diputusin sama Kak Rafa, ya?"

Sendok dan garpu langsung terjatuh dari genggamanku dan menimbulkan dentingan yang cukup nyaring. "Jangan sembarangan!"

Audy mengerjapkan matanya seakan tak percaya kalau aku baru saja membentaknya. "Maaf, Kak. Tadi aku bicaranya keterlaluan."

"Nah, itu sadar. Lain kali dipikir dulu kalo mau ngomong."

Dia mengangguk mengerti. "Iya, Kak. Yaudah makannya dilanjutin lagi gih," pintanya.

"Aku udah kenyang."

Baru saja aku akan menaiki tangga, bel rumah berbunyi. Siapa, sih, malam-malam begini bertamu? Itu sangat mengganggu. Dengan bersungut-sungut, mau tidak mau aku pun membukakan pintu.

"Mau nyari siapa?" tanyaku sambil menyedekapkan tangan di depan dada tanpa melihat orang tersebut.

"Nyari kamu, Sayang."

Aku tidak salah dengar, kan? Berarti itu Kak Rafa. Kututup pintu dan mengajaknya duduk di teras rumah. "Ada apa?" ujarku to the point.

"Ini masalah Sheren. Dia lagi kritis."

Entah kenapa topik pembicaraan ini membuatku muak. Lagi-lagi dia masih memedulikan Kak Sheren. "Terus kenapa kamu malah ke sini? Harusnya kamu jagain dia, kan?"

"Aku mau minta bantuan kamu. Pihak rumah sakit kehabisan stok darah AB. Untungnya kamu punya golongan itu. Sheren butuh kamu supaya dia bisa tetep hidup."

Aku terdiam beberapa saat dan bertanya dengan polos, "Kata siapa golongan darahku AB?"

"Kamu pernah bilang dan aku masih ingat dengan jelas."

Haruskah aku membantunya? Perbuatannya kala itu membuatku malas berurusan lagi dengannya. "Nggak bisa bantu. Tugasku numpuk. Deadline-nya besok."

Kak Rafa memutar wajahku agar menatapnya. "Ngerjainnya bisa besok pagi atau pas istirahat, kan?"

"Aku capek. Sekarang, aku mau tidur," elakku seraya bangkit berdiri.

Kak Rafa dengan cepat mencekal pergelangan tanganku. Kak Sheren hanya bisa merepotkan. Yah, kuakui saat ini aku sedikit kasihan padanya. Apalagi golongan darah AB sangatlah jarang.

"Kenapa kamu nggak mau nolongin Sheren? Dari tadi pagi kamu juga kesannya kayak ngehindarin aku."

Aku melepas pergelangan tanganku dari genggamannya dengan kasar. Emosiku benar-benar memuncak, tapi aku mencoba untuk bersabar. "Karena... ada alasan. Aku nggak ngehindar, kok. Kamunya aja mungkin yang ngerasa gitu."

Dia menatapku tak percaya. "Bohong! Kamu suka, ya, kalo dia kritis?" tuduhnya.

Rasa marah yang dari tadi kutahan, kini keluar begitu saja. "Aku benci sama dia! Asal kamu tau, tiga hari yang lalu dia hampir aja bunuh aku. Seharusnya kamu berterima kasih sama Alzio! Dia udah nyelametin nyawaku. Sekarang, buat apa lagi aku bantuin Kak Sheren?"

Air mata pun turun dan membasahi pipiku. Kak Rafa terdiam seribu bahasa mendengar pernyataanku.

"Aku nggak peduli. Kita bisa bicarain hal itu nanti. Sekarang, yang terpenting kamu harus ikut aku," katanya seraya menyeretku paksa untuk menuju mobilnya.

Betapa egoisnya kamu, Rafa. Prioritasmu sekarang adalah keselamatan hidupnya. Bahkan, kalau aku terbunuh pun itu tidak akan membuatmu menyesal. Wanita dari masa lalumu itu nyatanya masih ada di dalam hatimu. Kamu telah berbohong padaku.
Apa yang harus kulakukan? Merelakanmu agar kalian bahagia?
Atau....
Bertahan dengan penuh kepalsuan?

☆♡☆♡☆

Kira-kira hubungan mereka bakal lanjut atau enggak ya? Yuk, silakan yang mau menebak boleh langsung komen wkwk:D

Don't forget to vote and comment, thanks.☺

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

5.7M 244K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
13.1M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
13.3M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
6.1M 705K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...