Lazarus Chest

By diahsulis

95.6K 22.1K 2.4K

Sebelum kalian membaca kisahku ini, ketahuilah satu hal: Penyihir itu nyata. Dan mereka kuat. Sangat kua... More

2. Pemeriksaan
3. Bencana
4. Mandi di Malam Hari
5. Pemuda yang Terluka
6. Lari, Lari
7. Ciuman yang Dicuri
8. Kabur
9. Jatuh
Lazarus-Pedia #1
10. Pelelangan
11. Pria Buruk Rupa
12. Dijual
13. Kelompok Perompak
14. Xerlindar
15. Menjadi Awak
16. Insiden
Lazarus-Pedia #2
17. Bicara Berdua
18. Xerlindar: Samodiva
Lazarus-Pedia #3
19. Sampai di Tujuan
20. Kembali ke Inggris
21. Xerlindar: Penyusupan
22. Melarikan Diri
Lazarus-Pedia #4
23. Menjadi Buronan
24. Jebakan
25. Melawan Sang Raja
26. Kebenaran yang Terungkap
27. Azran
28. Janji yang Ditepati
29. Sihir Waktu
30. Pesta Penyambutan
31. Tarian di Tengah Malam
32. Kekacauan
33. Target Ditemukan
34. Para Penyihir Berubah Aneh
35. Kepercayaan yang Hancur
36. Azran: Keputusan
Lazarus-Pedia #5
LAZARUS CHEST : [SPECIAL CHAP 1]
37. Membusuk di Penjara
38. Cerita di Luar Nalar
39. Azran: Misi Pembebasan
40. Kebebasan yang Sulit
41. Bertemu Kembali
Lazarus-Pedia #6
42. Azran: Tidak Lagi Sama
43. Azran: Gadis yang Berbeda
44. Suku Carpantia
Lazarus-Pedia #7
45. Jalan Rahasia dan Danau Cermin
46. Serangan Tidak Terduga
47. Kisah yang Sebenarnya
48. Azran: Kebimbangan
49. Azran: Dua Raja Bertemu
50. Menjauh dari Bahaya
51. Dua Monster dan Satu Manusia
52. Ditinggalkan Sendirian
53. Oryziel: Luka
54. Terpaksa Bersama
55. Kuil di Bawah Makam
56. Azran: Ketakutan yang Tidak Beralasan
57. Terikat Bersama Masalah
Lazarus-Pedia #8
58. Ingatan yang Terkunci
59. Menyusup ke Dalam Kapal
60. Serangan di Atas Kapal
61. Melawan Sigmon
62. Sekali lagi Melawan Sang Raja
63. Tujuan yang Jelas
64. Apa Kau Takut Padaku?
65. Oryziel, Azran, dan Visi Masa Depan
66. Edward, Suri, dan Alto
67. Janji Untuk Masa Depan
Lazarus-Pedia #9
68. Dimulai dari Awal
69. Azran: Urusan Antara Kakak dan Adik
70. Merebut Kembali
71. Akhir dari Sebuah Awal
PENUTUP
Visualisasi Karakter
LAZARUS CHEST: [SPECIAL CHAP 2]

1. Pagi yang Aneh

8.3K 571 67
By diahsulis


Peluit uap nyaring itu berbunyi untuk ketiga kalinya minggu ini.

Selama lima tahun lamanya aku dibangunkan oleh bunyi nyaring yang menulikan telinga itu. Setiap hari. Sepanjang tahun. Bunyinya selalu sama, kecuali pada hari-hari tertentu, hari-hari buruk yang sebaiknya tidak dibicarakan.

Tapi sepertinya hari-hari buruk itu sekali lagi akan dibicarakan karena bunyi peluit pagi ini persis seperti bunyi peluit pada hari-hari itu. Bunyi abnormal.

Bunyi adalah sesuatu yang harus aku pelajari di menit pertama bekerja di bawah naungan Serikat. Peluit uap bersiul keras satu kali dalam setiap jeda selama tiga detak jantung adalah tanda untuk segera bekerja. Suara nyaring itu selalu berbunyi setiap pagi, tanpa hari libur, tanpa pernah ada variasi. Namun pada saat-saat tertentu, ada bunyi lain yang terdengar. Dan bunyi lain itu baru saja menjerit di sepenjuru hanggar. Kemungkinan bunyi abnormal itu terdengar hingga ke seluruh wilayah kerja Serikat Pandai: bunyi putus-cepat sebanyak lima kali tanpa jeda.

Bunyi yang menyatakan ada yang tidak beres.

Buru-buru kusingkirkan tongkat sapu yang jadi gulingku semalaman menginap di hanggar. Menyeret tubuh di atas papan beroda, aku meluncur seperti bola meriam ke pintu masuk bagi kapal udara. Edward sudah bersiap di sana, tanpa bicara, menarik tuas seberat lebih dari lima pons di depan pintu. Roda-roda gir berputar, saling melengkapi pola gigi masing-masing, membentuk mekanisme yang membuka pintu secara perlahan dalam bunyi derit halus.

Aku menekan tombol lampu di dekat pintu berkali-kali, memberi sinyal kedipan cepat pada kapal besi yang terbang dengan posisi janggal di kejauhan. Menengok, aku melihat cerminan rasa terganggu yang sama terlukis di wajah Edward. Sedetik kemudian, kontak mata kami berakhir. Kami berdua kembali menatap ke arah kapal udara raksasa itu yang kini semakin jelas sosoknya. Ketika kapal udara itu resmi masuk, segala keanehan yang tadi terlihat, mewujud menjadi nyata.

Sekali lagi ada kapal yang rusak parah.

Cahaya fajar dari pintu hanggar yang terbuka menerangi badan kapal udara di atas enam tiang penyangga hidrolik yang langsung mencengkam tiap kaki kapal saat mendarat. Aku menjengit, merasakan kesan familiar yang mengusik nalar.

Sama, tapi di saat yang sama ... berbeda.

Kerusakan kapal ini sama seperti kerusakan parah dari dua kapal udara lain yang datang ke hanggar selama satu minggu ini. Namun jenis kapal udara yang mendarat hari ini adalah kapal udara sipil, bukan kapal udara militer seperti dua kasus sebelumnya.

Kuamati setiap detail kerusakan kapal udara bagian luar. Atap sampai haluan remuk tak berbentuk, salah satu baling-baling utama hancur, menyisakan tiga baling-baling utama yang mulai berasap karena tugas yang terlalu berat. Puluhan lubang-lubang seukuran kepala, masih berasap dan bercahaya merah bara api, bersarang di sepanjang sisi samping kapal. Sebagai pelengkap, belasan goresan panjang membentang lebar mengikuti bekas tembakan meriam, dari bagian ekor hingga haluan.

Kapal udara ini akan sangat sulit diperbaiki.

Mustahil sebenarnya adalah kata yang tepat, tapi para pengawas tidak akan mengizinkanku atau siapapun berkata demikian.

Benar, mustahil.

Mustahil?

Sesuatu di dalam diriku tergelitik.

Sebenarnya tidak terlihat semustahil itu. Sedikit keajaiban las pada sudut yang tepat dan penempelan lempeng baru yang benar akan membuat goresan mengerikan itu tertutupi. Lubang-lubang itu bisa ditambal dengan lempeng-lempeng baja baru yang banyak tersedia di ruang penyimpanan. Dengan satu baling-baling baru, di bawah tangan terampil, empat baling-baling utama akan menyala kembali seperti tidak ada masalah. Secara teori memang mudah, tapi mewujudkannya adalah tantangan tersendiri.

Dan siapapun tahu, bagi setiap mekanik, tantangan adalah godaan yang sulit dilawan. Siapa peduli perut lapar dan penat jika bisa melihat mesin yang mustahil diperbaiki ini bisa berjalan lagi?

Sakit yang mendadak menyengat mata membuatku serta merta menjauh dari kapal itu, mengutuk semua pemikiran konyol soal perbaikan dan tantangan menggiurkan. Jarak yang mulai tercipta perlahan meredakan sengatan yang datang mendadak itu.

Setengah berlari ke arah ruang penyimpanan alat kebersihan, aku mulai mempertanyakan kewarasan setelah menganggap burung besi itu tantangan bagi mekanik sepertiku.

Tolol, Alto. Kau tolol sekali.

Bagaimana bisa aku melupakan ultimatum begitu penting di hari sepagi ini?

Pikiranku buru-buru bergeser ke tongkat pel dan cairan busa yang harus dituangkan di bagian dalam kapal, ketika suara itu menghentikanku.

"Mau ke mana kau?!" Teriakan itu bisa untuk siapa saja karena ada lebih dari lima puluh budak yang bekerja di hanggar ini dan tidak ada nama khusus di belakang perintah itu. Namun entah karena apa, aku menoleh, menghadap asal suara itu, dan mendapat balasan pelototan dari sepasang mata hitam berpendar milik pria berbaju putih. Pengawas.

Itu si Pemarah Nomor Dua.

Pria itu berhenti lima langkah dari wajahku, sempat berjengit jijik saat menyadari dirinya hampir berdiri terlalu dekat dengan salah satu pekerja—budak, hampir terlalu dekat dengan manusia. Namun sorot jijik itu segera menyingkir, tergantikan sorot mata berapi-api, menambah terang pendar hitam mirip pusaran di matanya: suatu abnormalitas yang hanya dimiliki penyihir.

Aku buru-buru menundukkan kepala. Mendapat omelan di pagi hari tidak pernah menjadi sesuatu yang baik. "Apa matamu tertusuk sesuatu atau memang benda itu hanya jadi pajangan di lubang yang busuk itu, Manusia?" hardiknya keras. "Ada kapal rusak parah di sini! Kau mau memperbaikinya atau mau kuberikan tangan dan kakimu ke anjing-anjing neraka?!"

Bergidik mendengar nama hewan terkutuk itu, aku menelan ludah dengan kasar. Dari sudut mata, Edward tampak mengernyit tak suka. Tubuhnya tegang. Aku memberi isyarat mata padanya. Meski kelihatan enggan, pemuda itu perlahan pergi, berusaha tak acuh dan mengambil kotak peralatan.

Menghela napas dengan sabar karena tahu ancaman itu bukan sekadar ancaman kosong, aku berusaha memikirkan kata-kata yang paling sopan untuk diajukan ke penyihir ini meski semakin hari, bermanis lidah rasanya semakin sulit di hadapan mereka. "Maaf, Sir, tapi ... menurut peringatan yang diajukan oleh Ketua Pengawas, saya—

"Hei, apa yang kau lakukan?" Aku mendengar pengawas lain berderap mendekat. Tanpa melihat, aku mengenali suara itu. Si Pemarah Nomor Tiga. Aneh mendengarnya ternyata bisa berbisik. "Kau mau kita mendapat hukuman lagi? Anak itu benar-benar tidak berguna! Biarkan saja dia membersihkan kapal! Kau tidak mau Ketua menegur kita karena ada kesalahan di sini lagi kan?"

Sambil menatap kaki-kakiku yang telanjang, suara aktivitas perbaikan di hanggar sudah terdengar bising. Roda-roda gigi berbunyi kasar yang aku tahu berasal dari tangga yang dikeluarkan di sepanjang sisi kapal dari balik lantai di dekat cakar-cakar hidrolik. Belasan pasang kaki telanjang kusam para pekerja melangkah di sekitarku ke arah kapal. Hanya aku yang belum bergerak sama sekali dan kalau sampai ada hukuman atas tuduhan kelalaian padahal dua penyihir ini yang menghambat, mereka berdua dipastikan akan meramaikan daftar Mereka-Yang-Tidak-Akan-Kumaafkan-Sampai-Mati.

Tiba-tiba rasa sakit itu datang lagi. Semakin tajam. Energi panas asing menjalari tubuhku, mulai dari ujung jepala hingga ke ujung jari tangan dan kaki, mengirimkan sensasi geli aneh yang mengganggu. Pandanganku berubah lebih berwarna. Sulur-sulur tipis yang menguar dari tubuh dua penyihir di hadapanku. Salah satu sulur berwarna putih keemasan sementara yang lain berwarna biru dengan semburat violet.

Sihir yang bocor.

Napasku tercekat melihat sulur-sulur hijau murni sewarna zamrud keluar dari tubuhku.

Oh tidak. Tidak.

"Tidak, tentu tidak," Si Pemarah Nomor Dua bersuara, memecah kesunyian sekaligus membuat jantungku hampir meledak karena sesaat tadi kupikir dia menyadari ada sesuatu terjadi pada tubuhnya. Penyihir itu menghela napas. "Aku juga tidak suka kesalahan yang membuat kita berulang kali dihukum itu disebabkan oleh satu satu bocah yang sama, tapi Demi Langit, kita kekurangan orang, Jerald!"

Si Pemarah Nomor Tiga, Jerald, mulai menggerutu. "Aku tahu kita kekurangan orang, Demi Tampuk Raja!" Ia ikut menghela napas, menenangkan diri. "Tapi memasukkan orang yang selalu gagal memperbaiki mesin ke dalam kapal udara yang husak separah ini juga bukan jawaban! Itu hanya akan membuat kita kekurangan lebih banyak orang! Kau tahu Ketua tidak akan mau tahu berapa banyak daya yang kita punya! Mereka hanya mau tahu semua beres!"

Pemarah Nomor Dua memberengut kesal. "Lalu kau mau aku berbuat apa? Membiarkan kapal ini teronggok tak terselesaikan sampai Ketua datang, beralasan kita kekurangan orang atau kita biarkan si gagal ini membantu apa saja di dalam sana?" Masih menahan sakit, diam-diam aku sedikit melirik mereka berdua, melihat kening Jerald yang berpikir sampai berkerut-kerut. Pendar di matanya menyala terang seiring otaknya yang terus berpikir.

Di belakang tubuhnya, aku melihat sulur-sulur hijau zamrud milikku berkelahi dengan energi sihir yang bocor dari tubuhnya. Sulur energi biru berlapiskan violet miliknya berubah pucat sebelum benar-benar menghilang. Beralih ke sisi lain, aku melihat sulur putih keemasan si Pemarah Nomor Dua menuju nasib yang hampir sama.

Berdoa dalam hati, aku kembali menunduk, memohon agar sulur-sulur hijau zamrud sialan itu berhenti, menghilang bersama rasa sakit mengerikan ini dengan segera.

"Demi Langit, Jerald, anak ini juga tahu batasannya! Dia paling sering dihukum cambuk di sini—aku sampai hapal wajahnya—dan dia bukan kebal terhadap rasa sakit bukan?" Si Pemarah Nomor Dua mendesak. "Dan dia sudah mendapat ultimatum itu, ingat? Siapa yang tidak takut pada ancaman akan dijual ke pelelangan budak? Dia tidak akan berbuat kesalahan lagi jika masih sayang nyawa. Aku berani jamin."

Jerald menimbang-nimbang lagi. Kerutan di dahinya semakin dalam, membuatku bertanya-tanya apa ia betul-betul sedang berpikir ataukah hanya sedang merasakan keanehan pada tubuhnya. Ketakutan begitu menjalar di nadiku hingga tanpa sadar aku telah menarik kepala terlalu tinggi.

Buru-buru aku menunduk lagi ketika ia menoleh. "Apa yang kau tunggu, Kutu?! Pergi sana dan kerjakan bagianmu di dalam mesin!"

Tanpa memberi hormat lagi, aku berbelok ke arah beberapa kotak peralatan yang terbuka. Selagi memilih peralatan, aku mengeluh dalam hati, menatap kapal udara itu lagi dengan perasaan kacau balau.

Aku akan mendatangi masalah.

Mesin tidak pernah lagi menjadi teman baikku sejak lima tahun lalu. Aneh sekali mengingat sewaktu kecil, mesin-mesin sudah menjadi sarapanku setiap hari bersama Ayah di bengkel kecil kami.

Kalau saja tahu di masa depan kami akan bermusuhan begini kentalnya, aku tidak akan mau memilih Serikat Pandai sebagai tempat bernaung. Mungkin sebaiknya aku mengikut Suri di Serikat Pengrajin. Membuat senjata dan perabotan tampak lebih cocok untukku daripada berurusan dengan fluida-fluida sihir yang langsung lenyap begitu saja dalam sekali pandang.

Aku mengambil beberapa setel kunci ring berbagai ukuran, mur dan baut, kunci pas, serta obeng, tapi tidak dengan kotak peralatan. Dilihat sekilas, aku hampir niat menjalankan pekerjaan hari ini.

Menaiki tangga hidrolik, aku mengernyit merasakan sakit menyengat itu semakin parah. Sensasi panas itu kembali muncul. Sambil menahan stimulus yang semakin kuat itu, aku meniti anak tangga satu per satu.

Dalam pandanganku, masih ada energi sihir mewujud sulur-sulur biru yang meliuk samar di sekitar badan kapal. Masih ada energi sihir tersisa di dalam burung besi itu.

Mendekat ke kapal, sulur-sulur hijau zamrud keluar dari tubuhku dan sisa-sisa energi sihir yang ada di dalam badan kapal mulai meliuk-liuk gelisah.

Detik pertama tanganku menyentuh badan besinya, panas asing itu muncul lagi, menghangatkan tubuhku dari dapam seperti cahaya lilin. Ketika panas itu mencapai ujung jari jemariku, sulur-sulur hijau keluar, meliuk, dan memakan semua sisa energi sihir biru dari mesin kapal. Energi serta merta redup dari dalam tubuh kapal malang ini. Aku hanya diam menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa. Sungguh, hanya perlu terbiasa dengan semua itu untuk tahu satu hal yang pasti: selama sulur-sulur ini masih keluar dari tubuhku, sihir tidak akan mengaliri badan kapal ini atau mesin manapun di sini.

Aku dan mesin tidak akan pernah berdamai dan bersahabat akrab lagi, tidak jika mesin itu dialiri tenaga sihir.

***

Suara desisan itu membuat putaran sekrupku berhenti. Aku menoleh, melihat Edward masuk ke liang mesin yang sama denganku. Mata biru laki-laki itu menjengit melihat peralatanku yang serba apa-adanya, berbeda dengannya yang membawa satu kotak penuh peralatan lengkap.

"Kau hampir niat melakukannya." Edward menyapa sebelum meletakkan kotak peralatannya di lantai ruang mesin.

Aku memutar mata di balik google—kacamata pelindung—yang kukenakan sebelum kembali memutar sekrup dan menjawab 'hmm' sekenanya. "Tidak ada yang bisa kulakukan lagi di sini." Kulepaskan google pelindung mata. Peluh membanjiri wajah, leher, dan tubuhku tapi aku merasa sedikit puas melihat sentuhanku masih ada. Sekrupnya terpasang kencang.

"Benarkah? Kau memperbaiki semuanya?" Edward menghampiri dan melihat seluruh bagian mesin yang telah kuperbaiki. Terdengar gumaman dari mulutnya. "Terlihat bagus buatku. Tidak ada yang bengkok, setidaknya."

"Tapi tetap saja tidak akan berjalan. Selalu seperti itu kan?"

Edward tertawa. "Kau dan masalahmu dengan mesin." Dia meringis dan berhenti tertawa saat aku menyikut lambungnya dengan ujung tumpul obeng. "Maaf. Tapi sungguh, kau bekerja dengan baik, Alto. Kalaupun kapal tua ini tidak bisa mengudara lagi, ini bukan salahmu. Kerusakannya sudah terlalu parah untuk bisa diperbaiki."

"Oh ya?" Sejumput kecil rasa penasaran menyala dalam diriku. "Memangnya separah apa kerusakan di dalam sana?"

Edward menggeleng prihatin. Artinya sangat parah. "Banyak darah, lubang peluru, dan goresan pedang. Dari lebarnya, kurasa bilahnya tidak dilapisi sihir tapi bodi luar..." Edward meringis, kurasa dia ingin bersiul, tapi takut terdengar oleh telinga-telinga di luar sana, "kerusakan seperti itu hanya bisa dilakukan dengan tubrukan langsung pada badan kapal."

Telingaku mendengarkan suara berkelontang di luar yang sedari tadi tak berkurang intensitasnya. "Terdengar serius." Aku memeriksa salah satu roda penggerak, memberi sedikit pelumas di celah persilangan roda giginya. "Kapal itu harus benar-benar kuat untuk bisa menghancurkan penghalang dan merusak badan kapal udara ini."

Edward menghela napas. "Dan badan kapal ini termasuk yang paling kuat yang pernah kita buat," Pemuda itu mengelus badan dalam ruang mesin, mengenang setiap peluh yang kami habiskan untuk membuat komponen setiap satu burung besi ini, walaupun secara harfiah, bukan kami yang menyusun setiap komponen menjadi satu kapal udara utuh.

"Kapal monster macam apa yang sudah menghancurkan tiga kapal udara Inggris sampai begini parahnya, menurutmu?" tanyaku lantas berjengit mendapati sekrup di hadapanku terlalu sedikit kendur. Aku mengeluarkan obeng dan menyetelnya ke gigi minus sebelum mengencangkan sekrup yang lepas itu.

"Kau tidak dengar apa yang kukatakan tadi? Dengan kerusakan separah itu di dalam, sudah pasti pelakunya adalah perompak kan?" Edward agak memekik.

"Tapi kapal perompak mana?" Aku setengah mendesis. "Tidak ada kapal perompak berlapiskan sihir dan kau tahu hanya kapal yang sama-sama berlapiskan sihir yang bisa membuat kerusakan langsung seperti ini."

"Oh jangan jadi naif, Adik Kecil," Edward mendekat, menyadari mur yang kendur di sisiku dan bantu mengencangkannya dengan kunci pas kecil yang ia bawa. "Ada banyak cara, seperti menyandera kapten, membawa kapalnya menubruk kapal ini selagi para perompak itu menodong dengan belasan mulut xifos—senapan berpeluru sihir itu, maksudku—atau bisa juga dengan senjata api manual atau apa saja yang bisa digunakan untuk menodong. Dan setelah berhasil menubruk, langsung masuk dan menjarah isi kapal, atau bisa juga dengan—

"Bantuan kapal hantu Flying Dutchman." Aku menukas dan mencibir Edward. Sejujurnya, tidak ada alasan untuk mengejeknya, tapi perompak bukan topik yang disukai olehku, atau oleh siapapun di sini. Aku mengangkat bahu, menanggapi raut sebalnya dengan santai. "Apa? Kekuatan hantu selalu bisa memecahkan segalanya kan?"

"Lucu sekali, Alto. Lucu sekali." Ujung kunci pas Edward mengetuk kepalaku main-main. "Tapi aku masih yakin ini ulah perompak."

Kalau benar demikian adanya, ini bukan pertanda bagus. Ada lebih dari dua kapal dengan kerusakan seperti ini dalam satu minggu. Itu bukan sesuatu yang akan dilakukan perompak yang main-main pada sasaran. Ini bisa jadi pembuka dari sesuatu yang lebih buruk, kata hatiku yang paranoid. "Kalau begitu, kelompok perompak yang mau seserius ini menyerang Inggris? Alfarins dari Spanyol?"

"Mereka tidak menganggap kita sebegitu pentingnya untuk diserang. Ada banyak kapal negara lain di dekat Spanyol yang lebih kaya dan lebih bernilai untuk dirompak." Edward segera beralih ke sisiku yang lain. Dia mengetuk pipa di sebelahku, mengecek bunyi di setiap inci bagiannya, mencari lubang atau sejenisnya. "Berani taruhan tidak mandi seminggu, pelakunya adalah Black Mary. Kau tahu, anak buah Verlindar itu. Kelompoknya menyerang dan menjarah semua kapal Inggris tanpa ampun selama beberapa tahun ini kan? Kudengar mereka sudah menyerang lebih dari dua puluh kapal Inggris."

Aku menghela napas, tak mau ikut terbawa ucapan Edward. Ada tiga hal yang salah dalam ucapan Edward barusan. Pertama, taruhan itu kosong karena Edward terbiasa tidak mandi selama dua minggu penuh. Kedua, Black Mary bukan satu-satunya perompak di dunia yang mau merompak Inggris secara khusus, jadi kurasa tuduhan Edward tidak beralasan. Ketiga, namanya Xerlindar dan bukannya Verlindar. Dia baru saja membuat nama perompak paling ditakuti di dunia menjadi seperti nama wanita kasmaran.

"Demi Jenggot Raja, apa masalahmu, Kawan?" Edward mengetuk badan besi kapal dengan marah, jelas kata 'Kawan' itu bukan untukku.

"Ada apa?" Aku bertanya dengan malas, tahu persis apa yang akan ia keluhkan.

Edward menoleh padaku dengan heran. "Aku kira akan ada percikan saat membuka tutup mesin, tapi nyatanya tidak ada. Tidak ada sepercik pun." Edward bertolak pinggang. "Kapal ini seperti bangkai binatang."

Meski dugaanku benar, kerongkonganku tetap saja berubah menjadi sangat kering. "Apa maksudmu, Ed?"

"Maksudku, Adik Kecil, tidak ada sihir sama sekali di dalam kapal ini." Dia menerangkan ketakutanku. "Rasanya seolah kapal ini baru keluar dari pabrik. Apa menurutmu para perompak punya semacam alat untuk menghilangkan sihir sama sekali?"

Aku menelan ludah dengan gugup. "Kau bisa melihat sihir?"

Di luar dugaan, sebelah alis Edward terangkat. Keheranan terlukis jelas di wajahnya. "Melihat sihir? Maksudmu apa?"

Kenapa dia jadi balik bertanya? "Kau yang bilang tidak ada percikan!" Tanpa sengaja aku memekik nyaring hingga bergaung di sepenjuru ruang mesin, hampir mengalahkan kebisingan perbaikan di luar. Edward mendesis, segera meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Maaf."

Edward menghela napas. "Maksudku bukan melihat seperti itu, tapi ada uap panas, roda gigi yang baru berhenti bergerak, atau sejenisnya. Tapi sekarang tidak ada. Benar-benar tidak ada apapun. Ingat yang kubilang kan? Seperti bangkai binatang, seakan sihir tidak pernah mengaliri kapal ini."

"Obrolan yang menyenangkan ya? Boleh aku ikut serta?" Kami berdua mendongak serempak ke pintu tingkap yang masih terbuka. Aku langsung menyumpah serapah dalam hati ketika melihat wajah Jerald melongok tak senang dari atas pintu mesin.

Aku dan Edward buru-buru kembali memperbaiki mesin. Edward bekerja dengan tenang, sementara aku bekerja dengan kikuk sekali karena sadar perhatian si penggerutu itu sepenuhnya sedang tertuju padaku.

"Ada apa? Kenapa kalian mendadak sunyi sekali?" Seperti halnya sikap budak, kami berdua diam. Namun itu tidak menghentikan usaha Jerald. Dengan keras kepala, dia ikut masuk ke dalam ruang mesin. Dia mendorong bahu Edward persis gerakan seorang pria yang hendak memicu perkelahian konyol di pasar.

"Ayolah! Ada apa?" Dia mendorong bahu Edward lebih keras. Dari sudut mata, aku melihat tangannya yang lain bersiaga di atas Iaraghi­—pedang yang dapat dialiri energi sihir—dalam posisi siap menarik pedang itu. "Ayo! Aku ingin dengar apa yang kalian sepasang kekasih bicarakan di dalam sini tadi!"

Edward masih bergeming. Ia hanya terus memperbaiki salah satu mur pada pipa dengan kunci pas. Jerald sama sekali tidak menyerah. Ketika iaraghi itu sudah tercabut dari sarungnya, aku sudah berada di antara dirinya dan Edward.

Kurasakan tatapan kaget Edward membakar punggungku sementara dari arah depan, Jerald tidak kelihatan terkesan sama sekali. Bagus. Aku baru saja menempatkan diri ke dalam masalah lebih besar dan Jerald tahu ini. Dia menyeringai penuh kemenangan karena berhasil memancingku.

Sekalian sajalah.

"Mohon maaf." Aku menunduk dalam-dalam. Menghindari kontak mata, sesuai peraturan. "Akulah yang memulainya, Sir."

Melihat kaki Jerald bergerak, aku segera berbalik memunggungi sang pengawas, merangkul Edward dalam posisi melindungi.

"Kurasa kalian perlu diingatkan lagi soal peraturan di sini," Jerald berkata penuh nada kemenangan. "Pertama, dilarang bicara!" Kakinya menendang tulang rusukku. Keras sekali. "Yang kedua, dilarang mengobrol!" Sekarang kakinya mendarat di punggungku, menginjaknya kuat-kuat sampai aku jatuh berlutut, membawa serta Edward ke dalam posisi rendah ini.

Tiba-tiba saja rekan sejawatanku itu melepaskan diri dari rangkulanku dan kemudian tidak ada kaki yang menginjakku lagi.

"Dengan segala hormat, dia tidak melawan Anda, Sir! Kenapa Anda terus menghukumnya?" Edward bertanya dengan gigi yang bergemeretak menahan amarah.

Jerald bersiul. "Kau baru saja melanggar peraturan ketiga, Nak," cibirnya. "Dan entah kau suka atau tidak, tiga pelanggaran dalam sehari bukan sesuatu yang bisa dibiarkan, betul kan? Kalau tidak, kalian bisa menjadi contoh buruk bagi yang lain." Bunyi halus itu memberi tanda padaku bahwa ada satu iaraghi yang baru saja ditarik dari sarungnya.

Seluruh tubuhku tegang akibat aliran panas yang mengalir lembut di udara. Ada sihir yang sedang terbentuk. Ada sihir yang kuyakin berencana untuk mencelakai Edward, dalam lebih dari satu cara. Perlahan, bilah iaraghi berselimut energi sihir biru berlapis violet muncul melewati pipiku.

Tubuhku diam. Membeku.

Sama seperti hari itu, aku hanya akan menunggu tanpa pernah berbuat apapun. Aku hanya bisa menonton semuanya direnggut paksa dariku pelan-pelan tanpa pernah bisa berbuat sesuatu. Sekali lagi aku akan jadi satu-satunya yang ditinggalkan, satu-satunya yang bertahan hidup sambil dihantui penyesalan dan rasa malu tak berkesudahan.

Tidak.

Energi asing menyala dalam tubuhku, mengirimkan panas yang mengalir dengan cepat ke seluruh tubuh. Mataku seperti terbakar. Panas mengalir kepada keduanya dalam intensitas yang tidak main-main, seakan keduanya dihadapkan pada ketel yang sedang mendidih dan ditempelkan langsung ke badan metalnya yang panas beruap. Sulur-sulur hijau zamrud mengalir keluar dari seluruh tubuhku. Seperti tadi, sulur-sulur itu keluar, bertemu dengan energi sihir Jerald, dan memanaskan ruang mesin.

Aliran panas dari tubuhku dan dari sihir Jerald bertemu. Dalam sekejap mata, aliran panas sihir Jerald tertelan sulur zamrud milikku. Nyala sihir biru dari iaraghi miliknya redup. Begitu cepat. Panas dari sihir sang pengawas menghilang bagai api yang lenyap dari lampu minyak yang ditiup.

"Apa? Apa yang ...?" Jerald memekik sebelum mendecih kesal. Pintu tingkat besi terdengar membuka dan menutup kembali. Aku tahu bukan Edward yang baru saja membuka pintu.

"Tadi itu aneh." Edward berkomentar dengan suara berbisik. "Baru kali ini ada pengawas yang lari dari kita."

Mulutku memilih diam, tidak mengomentari ocehannya. Sambil masih menutupi mata sekenanya, aku menoleh, melihat tangan Edward terulur. Senyum tulus yang tersungging di bibirnya. Sambil mengusap mata, aku menerima uluran tangan Edward.

"Kau tidak apa-apa?" Ia bertanya prihatin.

Aku tertawa pahit sambil masih terus mengusap mata yang berdenyut tiada henti. "Seharusnya pertanyaan itu untukmu, Jagoan!" Aku meninju pundaknya main-main. "Kau nyaris kena sabetan iaraghi! Kau terus menantangnya padahal tahu lukanya sulit sembuh jika diobati selain dengan sihir! Bagaimana kalau kau benar-benar kena sabetan?"

"Tapi kenyataannya tidak kan?" Dia berujar pongah. "Akuilah, aku ini pria paling beruntung di dunia!" Lantas kami berdua tertawa pelan. "Tapi sungguh, ada apa dengannya? Kenapa dia mendadak tidak jadi menyerang dan terbirit panik seperti itu padahal ia sudah menarik senjata? Seolah aku baru saja menodongnya dengan meriam."

Jawaban untuk pertanyaan itu, aku sendiri pun tidak tahu pasti. Tapi aku tahu Jerald menyadari ada yang aneh dengan sihirnya. Sudah kedua kalinya ini terjadi padanya dan beberapa pengawas lain. Yang aku butuhkan selanjutnya adalah interfensi dari Ketua Pengawas atau Kepala Serikat dan setelahnya yang akan kuhadapi adalah pasar pelelangan para budak, atau yang lebih buruk ... Garda Serikat.

***

Afterwords:

Bagaimana chap pertama? Ingat cerita ini bisa diakses secara utuh di novel.id

Gratis lho. Nggak bayar! Kalian cuma perlu akses websitenya dan login pake akun facebook kalian untuk bisa kasih like dan komen. Masih belum puas? Kalian bisa download appnya di google playstore dan jadi fans dari Alto dan kawan-kawan. Sekali lagi gratis tis tis. Kalian bisa unduh Lazarus Chest dari appnya gratis lho. 

Gimana? Kurang menarik apa lagi? Kunjungi novel.id sekarang juga dan kirim dukungan kalian buat Lazarus Chest! 

Ehem... anak baru nih soalya. Hahaha 


Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 160K 27
VA IN SOARTA (DIHAPUS!) Namanya Laylaa, seorang gadis cantik yang memiliki hobi tidak biasa. Penyuka hal baru, pemburu bahaya dan pecandu adrenalin...
783K 78K 29
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
7.6K 2K 68
[BOOK 1] Khass memang seorang Guru Muda, tetapi Par takkan menyerah untuk menyeretnya keluar dari perguruan menuju neraka dunia. = = = = = = = = =...
4.7K 2.6K 95
Versi Bahasa Inggrisnya sudah terbit dan bisa dibaca secara GRATIS di Amazon Kindle dan Kobo. https://books2read.com/BowlWorld --- Daftar Pendek (Nom...