Cantik

By purple1294

651K 28.2K 701

Kirana, seorang gadis gendut yang sering dihina oleh teman-temannya hingga ia bersekolah di SMA dan perubahan... More

Prolog
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Keenam
Ketujuh
Kedelapan
Kesembilan
Kesepuluh
Kesebelas
Keduabelas
Ketigabelas
Kelimabelas
Keenambelas
Ketujuhbelas
Kedelapanbelas
Informasi
Kesembilanbelas
Keduapuluh
Keduapuluhsatu
Keduapuluhdua
Keduapuluhtiga
Keduapuluhempat
Keduapuluhlima
Keduapuluhenam
Epilog
Info Aja

Keempatbelas

17.9K 859 11
By purple1294

Mobil Iwan sudah memasuki gerbang rumah Kirana yang sudah dipenuhi oleh banyak mobil. Mereka bertiga kemudian keluar dari mobil dan berjalan kearah rumah nenek.

"Nek" ucap Laras menghampiri nenek yang masih menangis. Ia kemudian memeluk nenek menyalurkan rasa simpati agar nenek bisa tabah. Nenek membalas dan terisak dipelukannya.

"Nek, yang sabar ya, Laras ikut berduka cita" ucap Laras yang juga sudah menangis. Nenek mengangguk dan menghapus air mata dipipi Laras.

"Tolong hibur Kirana ya sayang. Dia lagi di kamarnya" ucap nenek. Kemudian dianggukkan oleh Laras. Iwan dan Adam kemudian bergantian bersalaman dengan nenek dan menyusul Laras yang menaiki tangga ke lantai dua.

Laras sangat terkejut melihat penampilan Kirana yang sangat kacau seperti orang frustasi saat ini. Rambutnya yang berantakan, dan bekas air mata yang masih ada diwajahnya. Kirana hanya menatap kosong kearah depan.

Iwan sangat khawatir melihat Kirana saat ini. Ia sangat ingin menghibur Kirana. Tapi salahkan ia yang kaku tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap nanar kearah Kirana yang duduk meringkuk diatas kasurnya.

Laras segera berlari kearah Kirana dan memeluknya. Ia menangis sesenggukkan dipundak Kirana yang masih tidak membalas pelukannya. Kirana terdiam karena pelukan Laras yang tiba-tiba.

"Ras, lo kenapa nangis? Gak ada yang sedih disini kok" ucap Kirana. Laras mengeratkan pelukannya lagi. Ia tahu, Kirana sangat sedih dan sepertinya logika tidak mau berpihak dengan Kirana, membuatnya tidak mau menerima keadaannya saat ini.

"Kirana udah.. Lo kalau mau nangis, nagis aja.. Tapi jangan kayak gini" ucap Laras. Kirana hanya terdiam. Ia tahu, sahabatnya saat ini sangat menghawatirkannya. Hatinya terlalu sesak menerima semua ini. Menerima bahwa papanya tidak ada lagi didunia ini. Dan berpisah dengannya dan semuanya.

Tak lama ia membalas pelukan Laras dan menangis di pelukan Laras. Mencurahkan semua kesedihannya kepada sahabatnya yang sedari tadi ia tanggung sendiri. Laras mengusap punggung Kirana yang sudah menangis terisak.

"Papa udah gak ada Ras.. Papa udah gak ada" ucap Kirana disela tangisannya. Laras hanya mengangguk mengerti dan mengusap punggung Kirana yang sudah bergetar hebat. Dari arah luar Iwan dan Adam hanya memperhatikan dari pintu kamar. Melihat Laras dan Kirana yang sudah menangis sesegukkan. Adam kini mengerti apa yang terjadi saat ini. Ia kemudian memperhatikan mata Iwan yang memandang nanar kearah gadis yang dipeluk Laras tadi, yang tadi sempat ia tangkap dari pembicaraan nenek dengan Laras bernama Kirana.

Adam menepuk bahu sahabatnya tersebut membuat Iwan menoleh kearahnya.

Setelah melepaskan pelukannya, Kirana menghapus air matanya dan secara tidak sengaja ia menoleh kearah pintu kamar dan melihat wajah Iwan dan temannya. Ia tidak menyangka, bahwa laki-laki itu datang, saat ia harus merasa kehilangan sesosok Ayah. Kirana memandang Iwan dengan tatapan sulit diartikan. Ada rasa bersalah dihatinya, tapi ia tidak tahu mengapa.

Meski agak kabur karena air mata, Ia dapat melihat wajah yang sangat dirindukannya tersebut. Wajah Iwan yang menatapnya dengan tatapan lembut. Kirana mengulum senyumannya kearah Iwan untuk menyapanya. Iwan membalasnya tersenyum hangat seperti dulu, saat ia masih bersama dengannya.

**

Hujan turun dengan deras saat pemakaman telah dilaksanakan. Jenazah beserta peti mati telah terkubur dengan gundukan tanah yang telah basah oleh hujan. Kirana masih memperhatikan nama papanya yang tertulis dibatu nisan berwarna putih tersebut. Ia menangis kembali, entah sudah berapa banyak air mata yang telah ia keluarkan untuk mengantar papanya ke pemakaman yang sama sekali tidak pernah terbayangkan olehnya.

Laras masih setia duduk disebelah Kirana, begitu juga Siska yang juga sudah mengusap punggung Kirana pelan. Berharap Kirana dapat ikhlas menghadapi semuanya.

Kirana menatap kembali nama papanya. Pandangannya tidak pernah lepas dari tulisan tersebut. Berbagai kenangan dengan papanya terus berputar diotaknya. Terlalu banyak kenangan yang ia miliki. Dan hal tersebut membuat air matanya berjatuhan bercampur dengan air hujan yang sudah membasahi tubuhnya.

"Ki.. Udah.. Kalau lo gini terus, lo bisa sakit" ucap Siska akhirnya karena melihat wajah Kirana yang pucat.

"Ki.. Kita pulang ya" ucap Laras lembut. Kirana menggeleng pelan. Rasanya tak sanggup meninggalkan papanya sendirian disana.

"Papa sendirian Ras.. Gue mau nemenin papa disini" ucap Kirana akhirnya membuka suara. Siska yang mendengar hal tersebut memeluk Kirana dari samping. Membuat Kirana kembali terisak menangis.

"Udah Ki.. Kasihan papa lo disana.. Pasti dia ikut ngerasain sedih, kalau anaknya kayak gini" ucap Siska yang sudah menangis.

"Sekarang lo harus mulai semuanya dari awal Ki.. Tata semuanya dari sekarang.. Bikin mama dan papa lo bangga dengan lo.. Apa yang sudah diamanahin papa lo, harus lo lakuin Ki, karena gue tahu.. Om Khalid pasti sudah menginginkan hal tersebut" ucap Laras menguatkan Kirana. Kirana mengangguk lemah dan bersyukur didalam hati mempunyai sahabat-sahabat yang bisa menguatkan dirinya.

Pelukan Kirana melonggar, badannya luruh seketika. Laras dan Siska terkejut saat mengetahui Kirana pingsan.

**

Sudah tiga hari Kirana terbaring dirumah sakit. Dan setiap hari Laras, Iwan, Siska, Adam dan Mario menjaganya. Meskipun Mario dan Siska tidak bertegur sapa dan hanya mencuri pandang saat satu diantara mereka menoleh kearah yang lain.

Kirana belum juga sadar. Iwan memandangnya dari kursi disamping ranjang Kirana. Ia melihat wajah polos Kirana yang sedikit pucat karena sakitnya. Dokter mengatakan kalau Kirana hanya kelelahan, tapi hal itu membuat Iwan khawatir karena melihat Kirana tidak kunjung membuka matanya.

Keluarga besar Kirana hanya sekali-sekali menjenguk Kirana dirumah sakit karena harus menemani Mama Kirana yang setiap kali frustasi dan para pelayat yang datang. Mereka mepercayakan Kirana kepada sahabat-sahabatnya untuk menggantikan mereka menjaga Kirana.

Iwan terbelalak saat melihat kelopak mata Kirana bergerak. Perlahan namun pasti, Kirana membuka perlahan matanya dan merasakan pusing yang sangat. Setelah mengumpul kesadarannya, ia kembali membuka mata dan terkejut melihat wajah dan senyum hangat yang sangat ia butuhkan saat ini. Senyum laki-laki yang membuat jantungnya berdetak nakal disana. Meski ia tahu, ia tak mungkin memiliki laki-laki dihadapannya saat ini.

"Haus" ucap Kirana melihat ke arah Iwan yang masih memandang Kirana. Iwan dengan sigap membantu Kirana duduk ditempat tidurnya dan memberikan Kirana air mineral yang sudah diberi sedotan. Setelah meneguk perlahan dan dengan rasa gugup menerima suapan minuman dari Iwan, Kirana melepaskan sedotannya tanda ia sudah cukup untuk melepaskan dahaganya.

Kirana mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kamar, berakhir ketika melihat tangannya sudah dipasang selang infus.

"Kamu dirumah sakit" ucap Iwan. Kirana hanya mengangguk. Dan ingin mengeluarkan pertanyaan lainnya dari mulutnya yang segera ia bungkam karena mendapatkan jawaban dari Iwan yang membuat dahinya mengernyit heran.

"Kamu pingsan, lalu dibawa kerumah sakit. Dan syukurnya, dua hari yang lalu libur panjang. Jadi kita bisa jaga kamu dirumah sakit" ucap Iwan. Kirana mengangguk lagi.

"Laras sama yang lainnya mana?" tanya Kirana.

"Lagi makan siang.. Kamu belum makan kan? Gue panggilin dokter dulu ya" ucap Iwan dan dianggukkan kembali oleh Kirana. Perasaannya menghangat saat ini. Debaran jantungnya berpacu dengan cepat saat Iwan membantu Kirana untuk tiduran kembali. Sangat dekat, sehingga Kirana bisa mencium aroma parfum dari Iwan yang sangat wangi, seperti harum mints yang membuat hati Kirana agak terasa lega.

"Loh, kenapa nangis? Apa yang sakit Ki? Tolong bilang sama gue" ucap Iwan melihat titik air mata yang jatuh dipipi Kirana. Kirana menggeleng lemah dan menatap Iwan sangat dalam.

"Aku kangen kamu" ucap Kirana membuat Iwan terdiam mendengarkan kalimat Kirana. Ada perasaan yang meledak disana, mendengar kalimat yang sangat ia ingin dengar. Iwan tersenyum lembut dan membetulkan bantal Kirana.

"Aku juga.. Aku kangen kamu, dan aku gak mau lihat kamu seperti ini lagi. Tolong jangan buat semuanya khawatir, termasuk aku Kirana" ucap Iwan membuat Kirana kembali terisak.

"Yaelah, lo buat anak orang nangis ya Wan?" suara gerutuan dari belakang membuat Iwan dan Kirana menoleh kearah sumber suara. Mendapati Laras, Adam, Mario dan Siska yang sudah tertawa cekikikan disana.

"Eh elah, silahkan lanjutin. Kami disini aja, mau nonton" sambung Laras membuat pipi Kirana merona merah karena malu digoda seperti itu. Iwan hanya berdecak kesal dan lebih memilih untuk berdiri dari duduknya. Ia segera keluar dari ruangan dan memanggilkan dokter.

Sudah satu hari Kirana dirumah sakit setelah ia terbangun dari tidurnya. Kini Kirana tengah duduk di bangku penumpang belakang didalam mobil Iwan. Mereka keluar dari rumah sakit karena dokter memperbolehkan Kirana pulang. Tampak Laras dan Siska tertawa bersama Kirana dikursi belakang. Sedangkan Adam dan Iwan melihat mereka bertiga dari kaca tengah.

Laras tertawa bersama Kirana, begitupun Siska. Tapi Kirana menangkap ada  kesedihan dimata Siska saat ini. Seperti ada rasa kecewa. Apakah karena Mario tidak ada bersama mereka sekarang?

"Siska, lo kenapa?" tanya Kirana membuat Siska agak kelagapan.

"Yah.. Marionya gak ada disini Ki, kan dia lagi mempersiapkan diri untuk belajar supaya keterima di Universitas Harvard ya kalau gak salah?!" goda Laras lalu menoel pipi Siska. Membuat Siska memandang tajam kearah Laras.

"Loh.. Emangnya lo udah baikan ya sama Mario?" tanya Kirana merasa ia sudah banyak ketinggalan cerita semuanya.

"Ya elah.. Lo punya banyak hal yang lo tinggalin Ki.. Gini ya.. Siska mau memaafkan Mario kalau dia.. Mmmpphh" ucapan Laras terpotong ketika Siska menutup mulut sepupunya itu dengan tangannya.

"Apaan sih?" tanya Laras sambil mencoba melepaskan tangan Siska.

"Jadi gini ya Ki" ucap Adam memulai ceritanya dari bangku depan.

"Diam lo!" teriak Siska dari bangku belakang kearah Adam. Membuat Iwan terkekeh. Adam hanya tertawa jail kepada Siska yang wajahnya sudah memerah menahan malu.

"Ishh.. Apaan sih? Bikin penasaran gue tahu gak" cicit Kirana.

"Pokoknya, Siska mau maafin Mario kalau dia keterima di Harvard Ki" teriak Laras setelah berhasil melepaskan tangan Siska dari mulutnya. Siska menahan malu langsung menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya.

"Beneran Sis?" tanya Kirana senang. Siska mendesah pelan dan mengangguk.

"Iya Ki.. Dia minta maaf ke gue. Dan.."

"Wait.. Ceritain selengkapnya dirumah" ucap Kirana menghentikan perkatakan Siska. Membuat Siska mengangguk dan tersenyum.

**

Mobil Iwan sudah masuk kedalam pekarangan rumah nenek Kirana. Mereka kemudian keluar dari mobil. Siska dan Laras membantu Kirana masuk kedalam rumah. Sedangkan Iwan dan Adam mengambil perlengkapan Kirana selama dirumah sakit didalam bagasi mobilnya.

Kirana mengedarkan pandangannya saat memasuki rumah neneknya. Aura kesedihan masih terasa sangat kental disini. Laras dan Siska seakan mengerti, mereka kemudian melepaskan pegangan mereka dan meninggalkan Kirana sendirian saat mata Kirana menangkap sesosok perempuan yang telah melahirkannya tengah duduk dengan tatapan kosong dibangku taman.

Kirana melangkah mendekati mamanya. Tiap langkah yang ia pijakkan membuat ia terbawa kembali kepada perasaan kehilangan yang telah ia coba untuk tidak lagi terbawa olehnya.

"Ma" suara lembut Kirana membuat wanita cantik yang sudah agak kurus tersebut menoleh kepada Kirana. Kirana dapat menangkap rasa kesedihan yang terasa amat mendalam dimata mamanya. Ia lalu berlari dan memeluk mama erat. Mama hanya kembali menangis dan memeluk Kirana hangat.

Kirana melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang sudah membasahi wajah mamanya. Ia kemudian tersenyum hangat.

"Ma.." ucapan Kirana berhenti ketika mendengar mama mengatakan kalimat yang membuat badannya menegang.

"Kamu harus ikut mama ke Paris" ucap Mama. Kirana hanya memeluk mama erat. Ia mengetahui bahwa mamanya saat ini sangat membutuhkan dirinya. Dalam pelukannya ia hanya mengangguk lemah karena ia harus menjaga mamanya. Seperti perintah papa dulu untuk berjanji menjaga mamanya.

Kirana melepaskan pelukannya dan menatap mama penuh arti. Ia lalu menghela nafasnya.

"Ma.. Kasih Kirana waktu tiga hari.. Kirana janji.. Kirana janji akan ikut mama kemana pun, karena itu janji Kirana dengan papa dulu" ucap Kirana. Mendengar hal tersebut, mama kembali memeluk Kirana hangat. Ia kemudian mengangguk dalam pelukannya.

"Iya sayang, mama kasih kamu tiga hari, dan setelah itu, kita pulang ke Paris" ucap mama.

Tubuh Laras menegang ketika mendengar percakapan ibu dan anak tersebut. Meskipun agak jauh dari tempat ia berdiri, ia masih mendengar pembicaran ibu dan anak itu. Nampan yang diatasnya telah terletak dua cangkir teh bergetar hebat. Benarkah apa yang ia dengar ini? Kirana akan pergi jauh? Meninggalkan semuanya disini? Laras susah menelan salivanya sendiri. Tepukan dipundaknya mebuat ia hampir melepaskan nampan yang ia pegang. Ia lalu menoleh kearah Siska yang menatapnya dengan kesal.

"Lo bawain tehnya lama amat" ucap Siska yang langsung merebut nampan tersebut dari Laras.

"Sis.. Kirana mau pergi jauh.. Dia akan pulang ke Paris" ucapan Laras membuat tangan Siska refleks melepaskan nampan yang ia bawa tadi. Teh yang berada dicangkir yang sudah pecah tersebut berhamburan. Siska menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang ia dengar saat ini. Ia menggeleng pelan dan menoleh kebelakang. Memandang Kirana yang masih berpelukan dengan mamanya.

Bersambung..

Tbc ^^

Continue Reading

You'll Also Like

472K 19.3K 37
"Ya ampun, Mbak mau ikut kondangan apa ngelayat?" tawa Mita pecah saat melihatku keluar dari kamar, kulihat Mama pun terkikik entah apa yang lucu. Se...
84.8K 5.9K 36
Aku berbeda Aku tidak cantik Aku tidak sempurna Aku gendut. ***** "Beri aku sedikit kebahagiaan agar aku merasakan apa yang disebut dengan bahagia." ...
1.4K 174 33
[SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE, FOLLOW SEBELUM MEMBACA] sebuah kisah yang mungkin terlihat sederhana, namun percayalah, kita tahu bahwa setiap masalah s...
13.9K 1.4K 41
ini cerita tentang seorang cewek gendut yang selalu di bully karena tubuhnya yang gembul, dia sering berpikir emangnya kenapa sih sama tubuh gendut...