Naraya

Galing kay RongewuSiji

78.5K 3.8K 102

Tentang Nara, gadis dingin yang tak mau mengenal cinta. Yang tak pernah percaya cinta itu ada. Bukan karena d... Higit pa

first chap
Chap two (She's Nara)
Chap three
Chap Four (Pegat)
Chap Five (My little Princess)
Part six (Pendek?)
Chap seven (Rumah di Surga)
Chap seven (bagian 2)
Chap 8 (Dudududu~)
Chap 9
Chap 10 (Lo ngancem gue?)
Chap 11 (Muahh)
Chap 12 (same old nightmare.)
Chap 13 (Hidup gue berakhir.)
Chap 14 (Ini nggak nyata kan?)
Chap 15 (Ketika aku mulai lelah)
Chap 16
Chap 17 (permohonan maaf.)
Chap 18 (Stalker&Troublemaker)
Chap 20 (Go!)
Chap 21 (Kota Baru, Hidup Baru.)
Manis
Curhatan Harafika.
Promosi!
Mohon dibaca!
OTW MANIS!

Chap 19 (Keep Smile)

2.1K 125 0
Galing kay RongewuSiji

"Bukan hanya membutakan. Cinta juga tak tau diri."~Mrs. Pane.
***

"Gue kangen lo Ra. Sumpah." Dirga menatap Nara lekat. Tak menyangka jika Nara masih menerimanya. Bukan sebagai pacar tentunya, melainkan teman. Sedikit kecewa sebenarnya, tapi daripada tak diterima sama sekali?

Nara tertawa kecil mendengarnya, "Kenapa? Bukannya lo setiap saat merhatiin gue?"

"Kan beda Ra. Gue emang ngeliat lo, tapi nggak bisa ngerasain keberadaan lo. Itu sama aja kayak, lo mules, tapi nggak kebelet." Jelas Dirga membuat Nara sedikit tertawa.

"Berarti gue eek dong?"

Dirga menggeleng. "Enggak lah. Lo bukan kotoran. Lo itu udah kek darah yang ngalir ditubuh gue. Dari jantung, dibawa pembuluh darah ke paru paru, terus balik lagi ke jantung. Lo bagian penting di hidup gue. Sejauh manapun lo ninggalin gue, lo bakalan balik lagi ke gue. Kek darah yang berasal dari jantung, akan balik lagi ke jantung. Egois memang, tapi inikan sifat manusia. Wajar."

Nara mengangguk anggukan kepalanya pelan, "sedikit lebay sih, tapi gapapa. Keren!"
***

Nara tersenyum. Kali ini berusaha setulus mungkin. Dirinya kini sedang menunggu Raja sendiri. Dytha dan Daffa pulang ke rumahnya masing masing. Vano dari tadi tak mendatangi Rumah Sakit. Mamanya pergi entah kemana. Dirga pulang, tak mungkin dia menginap. Dia tau betul Dirga. Dia tak akan lama lama berada satu ruangan hanya dengan seorang wanita. Walaupun ada Raja sekalipun, tapi Raja tak sepenuhnya sadar. Orang bilang, entah benar atau tidak. Orang koma bisa mendengar apa yang orang di sekitarnya bicarakan. Jadi, Raja bisa di bilang sadar, dan tidak sadar.

Dirga. Nara tak menyangka dia akan bertemu dengan Dirga. Dia ingat, ketika dulu dia masih berpacaran dengan Dirga. Tertawa sebentar, hanya Dirga mantan yang masih dekat dengannya.

Nara menggenggam tangan Raja. Mengelusnya lembut. Sudah berapa hari Adiknya tertidur? Tiga? Atau Empat? Lebam di tubuhnya bahkan sudah tak begitu ketara. Tapi sampai detik ini, Rajanya belum sadar juga.

Nara tersenyum, "Nggak papa. Nggak papa kalo Raja belom mau bangun. Nggak papa. Aku bakal nunggu kamu. Selalu nemenin kamu, disini. Jangan lama lama tidur ya? Badanmu tiap hari makin kurus. Mukamu udah mulai nggak terurus."

Nara berucap sambil mengelus wajah Raja penuh sayang. Di dalam hatinya, sejujurnya sakit melihat Adiknya terus terusan tak sadarkan diri. Tapi, dia harus kuat. Agar Raja akan melihatnya bahagia disaat membuka matanya nanti.

Nara tau Raja mendengarnya. Nara tau, Raja selalu merasakan setiap belaian kasih sayangnya. Tapi Raja tak bisa meresponnya.

"Coba aja, Papa disini. Pasti kamu udah sembuh. Pasti kamu sekarang lagi main sama aku. Pasti kamu lagi manjain aku."

Nara tiba tiba teringat akan papanya. Dia dokter. Dokter spesialis yang cukup handal. Dia tersenyum mengingat papanya. Ah, rasa rindu semakin dirasakannya. Dalam hatinya selalu berharap, suatu saat dia kembali bertemu dengan papanya, dan keluarganya kembali utuh seperti sedia kala.

Nara rindu masa masa itu. Sial, tapi takdir mengubah masa masa yang dirindukannya menjadi masa masa yang sangat kelam baginya.

Nara menggeleng kali ini, tidak. Dia tidak akan menangis ataupun kecewa dengan semua ini. Sudah tak ada gunanya menangis. Yang harus dia pikirkan kali ini bukanlah menangis dan meratapi hidupnya. Tapi Raja. Bagaimana caranya dia mengembalikkan senyum di wajah Raja. Bagaimana caranya agar Raja bisa kembali menggenggam tangannya. Bagaimana caranya agar Raja yang membelai rambutnya, bukan dia.

Nara rindu Rajanya. Nara rindu setiap waktu di hidupnya bersama Raja. Mungkin, bila kisah hidupnya dituliskan, akan menghasilkan begitu banyak halaman. Akan menghasilkan ribuan kata yang tak terbayangkan.

Nara jadi teringat tentang tugas menulis puisi dari wali kelasnya. Apa iya, dia harus menuliskannya di dalam sebuah puisi? Itu rasanya seperti melakukan hal bodoh dan konyol. Seperti meminta belas kasihan. Tapi, apa harus? Apa salahnya mencoba?

Nara lalu dengan mantap melangkah dan mengambil alat tulis dari dalam tasnya. Lalu, mulai menulis setiap kalimat di atas kertas putih bergaris hitam bukunya.

Untuk kali ini, dia tak perduli. Biarkan dia terlihat begitu kasihan kali ini.
***

"Ibu mau tanya, siapa yang menuliskan puisi berjudul Senyum?" Wali kelas bertanya. Sekuruh kelas hening. Merasa bahwa tak ada yang menulis puisi yang dibawanya.

Ibu Rina--wali kelas-- menghembuskan nafasnya pelan. Bingung siapa yang menulis puisi ini. Jika dia tau, dia tak akan bertanya. Masalahnya, penulis puisi ini tak menuliskan namanya. Membuat Bu Rani bingung. Dia memilih puisi ini sebagai puisi yang akan Ia serahkan kepada sekolah sebagai puisi yang akan diikut sertakan dalam lomba puisi antar sekolah se-Jakarta.

"Bisakah kalian menjawab?" Bu Rina bertanya lagi.

Kelas masih hening. Tak ada yang tunjuk tangan. Bu Rina menghembuskan nafasnya pelan.
"Baik, ibu akan bacakan."

Biarkan,
Biarkanlah hati ini hancur,
Rusak, bahkan remuk.
Biarkan.

Biarkan aku merasakan sakit ini.
Jangan ada yang merasa perduli.
Biarkan aku yang merasakan sakit ini sendiri.
Tanpa ada yang menemani.

Luka?
Apa maksudmu adalah rongga yang menganga?
Tentu saja aku punya.
Tenang saja, sudah kututupi luka itu agar tak terlalu terasa.

Jangan memberiku belas kasihan,
Aku tak pantas untuk di kasihani
Toh aku masih bisa tersenyum kan?
Memang ini kan yang namanya pengorbanan?
Memang harusnya aku yang terluka disini bukan?

Seluruh penghuni kelas sunyi. Terlalu terpana dengan buliran kata dari puisi yang dibacakan Bu Rina.

"Gila. Keren banget!" Dinda, salah satu siswi yang duduk di barisan paling depan berdecak kagum.

Suara siswa lain mengikuti.

"Ah. Jadi baper gue."

"Nyesek bego dengernya."

"Nyess. Pas banget di hati. Gila gila."

Dan masih banyak kalimat pujian yang di lontarkan. Membuat bu Rina mengetukkan penghapus papan tulis dengan kencang. Berusaha membuat kelas kembali tenang.

Setelah dirasa cukup tenang, bu Rina kembali bersuara, "Jadi, apa nggak ada yang mau mengaku puisi ini? Jujur, saya nggak bakal memaki pembuat puisi ini. Ini karya yang bagus, sangat bagus malah. Jadi, tolong akui ini. Daripada nanti ibu sebar di sosial media dan menjualnya kepada pencinta sastra(?)"

Bu Rina berucap sambil seperti mengancam. Dia tau, pencipta puisi ini adalah anak didiknya. Dari kelasnya.

"Itu puisi saya."

Nara berbicara, membuat seluruh kelas langsung melirik dengan pandangan tak percaya. Tak terkecuali Daffa, Dytha, dan Vano. Mereka bahkan memberi kode seperti mengatakan jangan sok ngaku ngaku deh.

"Terserah ibu, terserah kalian. Mau percaya apa nggak, terserah. Itu emang puisi saya. Saya bikin puisi itu tadi malam. Saya yang menulis setiap kata di setiap baitnya. Apa salah?" Nara berkata. Meyakinkan seluruh penghuni kelas bahwa memang dia lah yang membuat puisi itu.

Bu Rina menggeleng, "Tidak. Kamu tidak salah. Hanya saja, apa judulnya memang ini? Senyum?"

Nara mengangguk mantap, "Iya. Judulnya memang senyum."

"Apa nggak terdengar aneh Nara?"

Kembali Nara menggeleng. "Enggak."

"Kenapa kamu beri judul Senyum?"

"Ibu tau. Puisi itu, berisi rasa yang saat ini sedang saya rasakan. Sedih, dan luka dimana mana. Lalu, kenapa saya malah memberi judul Senyum? Bukan luka atau apapun? Karena, saya berharap. Dibalik puisi ini, dibalik segala rasa sedih dan luka yang saya rasakan ini, masih ada rasa senang yang menghampiri. Saya mungkin sudah menangis berkali kali. Tapi, saya juga ingin tersenyum walau sekali. Itu kenapa saya memberi judul senyum. Aneh memang, alasannya juga nggak begitu dimengerti. Tapi biarkan judulnya tetap itu. Saya yang menulisnya, jadi terserah saya mau memberi judul apa pada puisi saya."

Nara tak perduli kali ini. Biarkan semua orang di kelas ini tau apa yang dia alami. Dia tak perduli tatapan sedih dari Daffa, Dytha, dn Vano. Dia juga tak perduli segala tatapan kasihan dari teman sekelasnya ini. Dia tak perduli. Sama sekali tak perduli. Bahkan, ketika melihat Bu Rina terlihat menahan air mata yang ingin keluar.

Dia menghembuskan nafas sesaat, lalu tersenyum. "Jangan. Jangan ada yang kasihan disini. Hidup emang kayak gini. Jangan pernah kasihan ngelihat kondisi Nara yang kayak gini. Lihat? Nara senyum kan? Tenang, it's ok. Nara bakalan senyum ngeliat kalian senyum. Nara juga bakalan ikut nangis ketika ngeliat kalian nangis. Ayolah. Jangan buat Nara yang terkenal dengan kecantikan dan kecuekannya jadi terlihat menyedihkan."

Dalam dirinya,Nara mati matian menahan air mata yang sudah di pelupuk. Semua orang di dalam kelas terdiam, lalu perlahan ikut tersenyum. Dytha segera ingin memeluk Nara. Tapi ditahan oleh Nara.

Wajahnya didekatkan ke telinga Dytha, "Jangan peluk. Nanti gue nangis."

Dytha langsung menatap mata Nara. Lalu mengangguk sambil senyum tiga jari.

"Ini lagi ngebahas puisi kan? Kenapa malah jadi sedih sedihan?"

Mendengar pernyataan Nara, satu kelas sontak tertawa. Bahkan Bu Rina ikut tersenyum lebar. Tak lucu memang, tapi entah kenapa membuat semua orang ingin tertawa.

Dalam hatinya Nara berbisik. Nggak papa hidup gue ancur. Nggak papa hidup gue menyedihkan. Gue bakal berusaha bikin hidup gue sendiri terlihat menyenangkan.
***
To Be Continued

Sorry for typo. Baca juga cerita Ramai itu, Hilang.


Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

1.1M 17.7K 28
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
1.8M 130K 50
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...