Sweet Blackout

By NovemberCere13

2.3M 183K 4K

Maia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terke... More

Menu 1: 23!
Menu 2: Wicked!
Menu 3: Blackout
Menu 4: Brooklyn
Menu 5 : Coinsidence
Menu 6: Help From Heaven
Menu 7: Disagreement
Menu 8: First Night
Menu 9: Titik Koma
Menu 10: Heart attack
Menu 11: Unfortunate Event's
Menu 11.2: Unfortunate Events
Menu 12: Stitches
Menu 13: In Silence
Menu 14: Moving Up
Menu 15: Game On
Menu 16 - Bright Lightbulb
Menu 17 - Confident Competition
Menu 18 - Konfesi
Menu 19 - Tsunami Informasi
Menu 20 - Konfesi 2
Menu 21: Well known Stranger
Menu 22: The Only Exception
Menu 24: Pink River
Menu 25: We're That Lucky
Menu 26: If
Menu 27: Midnight Magic
Menu 28: White Brooklyn
Menu 29: Leaks
Menu 30: Lost and Found
Menu 31: Eve
Menu 32: Live
Menu 33: Self Made
Menu 34: Blizzard
Menu 35: Truth Has Been Spoken
Menu 36: Jouska
Menu 37: Beginning of The Past
Menu 38: Comfortable Darkness
Menu 39: Less is More
Menu 40: Pit Stop
Epilog
Extra's
VOTING YUK!
Mini Blackout Menu 1: Mie Instan Rebus
Kabar Gembira untuk Kita Semua
OPEN PO DAN GIVEAWAY ALERT!!

Menu 23: Kinder

45.1K 3.9K 47
By NovemberCere13

Papi berteriak amat kencang ketika kutunjukkan cincin yang melingkari jari manisku. Teh yang sedang Mami minum sampai hampir tumpah karena gerakan tangan Papi.

Sementara Dewa hanya tersenyum tipis disampingku, tangannya belum lepas dari tanganku sejak tadi.

"Jadi?", tanya Papi bersemangat.

"Rencananya lusa saya mau bawa keluarga saya kesini, biar diskusinya lebih enak", jawab Dewa sopan.

Kening Papi sedikit berkerut, apa mungkin Papi sudah tahu latar belakang keluarga Dewa?.

"Oh iya boleh, lebih bagus malah, biar nanti mami siapin semuanya", balas Mami bersemangat.

"Nggak usah repot mi, saya nggak bawa banyak orang", Dewa tersenyum tipis.

"Yee, mau nikah kok nggak boleh repot, udah tenang aja", Mami bangkit dari kursinya dan menepuk pundak Dewa.

"Iya nanti kita undang banyak tamu ya mi!", tambah Papi riang.

Mata Dewa langsung membesar, kentara sekali ia tidak setuju dengan pernyataan Papi barusan. Ia memandangku dengan tatapan bingung lalu menyesap tehnya sebagai pengalih perhatian.

"Saya pikir undangannya lebih baik nggak lebih dari seratus orang pi", usul Dewa sopan.

Papi langsung menurunkan koran yang sedang ia baca, ia memandang Dewa dengan tatapan tidak percaya. Papi berdeham canggung sambil melipat koran itu.

"Nggak bisa dong, kan kolega Papi banyak, kamu juga partner bisnis banyak, ini anak perempuan pertama Papi lho", sergah Papi sedikit serius.

Dewa hampir-hampir ingin langsung menjawab, tapi kusikut pelan perutnya sebelum ia sempat membuka suara. Iris kelamnya menatapku tidak suka.

"Diobrolinnya nanti aja ya sekalian lusa", sengaja kunaikkan nada suaranya.

Segera kutarik lengan Dewa, jelas kami perlu bicara. Jika ia terus ada disini bisa-bisa Dewa dan Papi akan berdebat panjang. Jelas itu akan meninggalkan impresi yang buruk bagi kami semua.

Kuarahkan langkahku menuju halaman belakang, tanpa sengaja kakiku menendang keras mainan Dino. Ia langsung mendelik marah.

"Penganten baru marah-marah aja sih!!", serunya lantang.

Tanpa kuduga hal itu malah membuat Dewa menyeringai. Sementara aku langsung menyembunyikan mukaku yang merona merah.

Kucepatkan langkahku dan duduk dikursi teras halaman belakang, kutepuk kursi disebelahku agar Dewa segera duduk.

"Aku tau kamu nggak setuju, tapi kalo diomongin sekarang percuma, yang ada Papi tambah ngeyel", sebaiknya ia tidak meragukan ucapanku, aku sudah hidup bersama Papi lebih dari dua puluh tahun.

"Aku cuma nggak nyaman, aku maunya dikelilingin sama orang yang bener-bener aku kenal baik nanti", gumam Dewa sambil mengusap dagunya.

"Iya, entar aku coba ngomong sama Papi sayang..", aku tidak benar-benar sadar dengan ucapanku sampai Dewa melirikku dengan senyuman tipis.

"Tama mungkin lebih bisa nyampeinnya lebih baik", Dewa menarik tanganku lalu mengecupnya kecil.

"Lho, emang Mama kamu nggak ikut?, katanya kita mau tengok Mama kamu besok?", tanyaku bingung.

Bibir Dewa membeku diatas jari manisku, matanya memendarkan kegelisahan.

"Kita liat nanti", jawab Dewa singkat.

Melihat perubahan mood Dewa membuatku makin penasaran. Sudahlah, lagipula besok aku akan tahu.

"Mau makan nggak?, aku sama Mami bikin kari", tawarku

"Suapin", jawabnya dingin.

Biasanya ucapan seperti itu akan terasa romantis. Tapi Dewa terlalu malas untuk bermanis-manis seperti itu, ia selalu mengucapkannya dengan nada yang biasa ia pakai di dapur Gold Feather saat ia menyuruhku melakukan sesuatu.

"Yes cheeff..", kucubit hidung Dewa kesal.

Seolah sadar, Dewa tertawa lalu mencium tanganku lembut sebelum aku benar-benar masuk kedalam dapur.

***************************
Lagi, Dewa hanya terdiam saat aku menyuapinya makan. Begitu sampai dirumah Tama, kami berdua langsung istirahat karena kecapekan. Harusnya Dewa mendengar saranku tadi untuk naik kereta atau kendaraan umum saja.

Seperti biasa kami berangkat subuh-subuh dan entah kenapa Dewa banyak sekali mengeluh, percaya atau tidak ia membiarkanku bergantian menyetir saat hari sudah pagi. Ia tidur pulas sekali, aku sangsi ia telah beristirahat sebelumnya.

Kalau bukan karena Tama mengetuk pintu kamar kami keras-keras untuk makan siang, aku yakin baik Dewa maupun aku pasti belum terbangun sekarang.

"Mau tambah?", tawarku sebelum menyuap sesendok terakhir.

"Nggak usah", jawab Dewa cepat.

Moodnya benar-benar buruk hari ini, aku tidak mengerti kenapa, padahal kan hari ini kami akan bertemu ibunya. Tapi ia tidak bersemangat sama sekali.

Kutaruh piring dan sendok kotor diwastafel. Tama belum juga pulang dari menjemput Marissa dirumah temannya, mungkin jika Marissa pulang nanti mood Dewa bisa sedikit membaik.

Sama seperti hari-hari sebelum ia melamarku, Dewa jadi sangat manja. Matanya jarang sekali lepas dariku, seakan-akan aku hendak pergi kemana saja.

"Maia"

Tuh, kan benar. Mencuci piring sebentar saja ia sudah memanggilku, aku penasaran apa alasannya kali ini.

"Kenapa?", tanyaku dari dapur.

Tidak ada jawaban, tentu saja, ia tidak akan menjawab kecuali aku yang sendiri yang mendekat dan bertanya langsung padanya.

"Kenapa?", ulangku selembut mungkin.

"Lama banget", responnya dingin.

"Sekalian aku cuci piringnya Dewa ya ampun..", kuhempaskan tubuhku disofa dan duduk disebelahnya.

Dewa tidak menjawab apa-apa lagi. Ia hanya mengganti channel tivi berulang kali dengan sangat cepat. Meskipun ia berusaha menyembunyikannya, aku tahu ia merasa gelisah.

Kutarik tangan Dewa lalu menautkan jari-jari kami erat. Ia melirikku lewat ujung matanya lalu menghela napas lelah, kini ia menyandarkan kepalanya di pangkuanku.

Tanpa diminta pun, aku hapal jika ia seperti ini ia menginginkan rambutnya dielus pelan. Hal ini jadi semacam kebiasaan setiap aku menginap dirumahnya atau kalau ia sekedar merasa capek.

"Im here you know, nothing to worried about..", ucapku lembut.

Ia membuka kelopak matanya, sekarang wajahnya sudah tidak setegang tadi meskipun masih ada guratan rasa resah yang kentara.

"Be patient a little more, i love you so much", Dewa menarik kepalaku dan mengangkat kepalanya sedikit agar kami dapat berciuman.

"I love you too, to the moon and back, to the moon and back", gumamku diatas bibirnya.

Senyuman Dewa adalah hal termanis yang aku lihat sepanjang hari ini. Ia kembali berbaring dan meletakkan kepalanya dipangkuanku, matanya terpejam menikmati belaian lembutku dirambut hitamnya.

"Kapan kita ke..Uhm, Mama kamu?", tanyaku hati-hati.

Tidak seperti sebelumnya Dewa masih cenderung tenang.

"Agak sore aja biar nggak panas", jawabnya singkat.

Aku hanya bisa tertawa kecil saat Dewa menarik tanganku untuk memeluk dada bidangnya.

Perhatianku teralih karena mendengar suara Marissa didepan pintu. Ia sudah sangat ribut bertanya ini itu pada Ayahnya.

"Halo auntie!!", sapanya riang.

Rok balon yang ia pakai bergoyang lucu saat ia berlari mendekati kami. Marissa menaikkan alisnya saat melihat Dewa yang tiduran dipangkuanku.

"Uncle tidur?", bisiknya padaku.

"Nggak tau?, bangunin aja", aku balas berbisik.

Jari mungil Marissa mulai menyentuh-nyentuh pipi Dewa pelan. Melihatnya saja aku hampir tertawa, aku heran bagaimana bisa Dewa tetap berakting tidur.

"Uncle, bangun, mana oleh-oleh aku?", ucapnya lumayan keras.

Dewa masih berpura-berpura memejamkan matanya acuh.

"Eh, jangan bilang-bilang sama Ayah tapi..", ujarnya sembari melirik pada Tama.

Merasa tidak juga berhasil kini Marissa mencubit pipi Dewa pelan, dan itu makin membuatku sakit perut. Tidak ada yang berani memperlakukan Dewa seperti itu selain Marissa.

"Uuuwaaaaaaa!!"

Marissa berteriak kencang saat kedua tangan Dewa tiba-tiba menyergap badan kecilnya. Benar saja, Dewa bisa dengan mudah tertawa lepas karena Marissa.

Paman dan keponakan satu ini sangat kompak, padahal mereka baru bertemu sekali.

"Mana oleh-oleh aku?", tagih Marissa tidak sabar.

"Lupa, uncle nggak beli", jawab Dewa sembari memangku Marissa.

Jelas Dewa berbohong, ia sudah membelikan Marissa boneka barbie edisi terbatas jauh-jauh hari.

"Nggak temenan ah!", mata biru Marissa menatap Dewa kesal.

"Bohong, sana minta sama auntie Maia ambilin", perintah Dewa sembari mengacak-ngacak rambut Marissa.

Matanya menatapku penuh semangat, tanpa menunggu waktu lama ia menarik tanganku untuk masuk kekamar.

Kalau tidak kutahan Marissa mungkin sudah mengambil hadiah dari ransel Dewa sendiri. Aku tidak sabar mengenalkan Marissa dengan Dino, mereka berdua mempunyai sifat yang kurang lebih sama. Pasti Dino senang sekali.

"Wow auntie!, vater nicht kaufen es für mich!", bola mata birunya hampir tertutup karena ia tersenyum sangat lebar.

"Im not speaking germany sweetie", jawabku tertawa kecil.

"Ups, maaf.."

Kaki mungil Marissa melompat-lompat beberapa kali. Senyum tidak juga lepas dari wajah manisnya. Ia hanya terhenti sebentar saat tidak sengaja tersandung sepatu Dewa yang kutendang tadi pagi karena sangat mengantuk.

Aku bergegas menghampiri Marissa karena keningnya hampir bersentuhan dengan ujung meja. Melihat ia kembali bangun dan memainkan bonekanya, perasaanku jadi lega.

Bisa-bisa Dewa marah jika ia pikir aku tidak mengawasi Marissa dengan benar. Aku jadi penasaran bagaimana perlakuannya dengan anak kami nanti. Aku bukan tipe yang terlalu protektif, dan kelihatannya prinsip Dewa jauh berbeda dari prinsipku itu.

"Marissa, nenek baik nggak?", tanyaku sembari mengelabang rambut panjangnya.

"Uhm, kata Ayah sih baik, baik kok!", ia masih sibuk menyisir bonekanya.

"Kata..Ayah?", kunaikkan salah satu alisku heran.

"Iya, tapi baik ah, waktu itu aku bawa kue keju satu toples langsung habis besoknya udah nggak ada!"

"Iya?, wah suka dong berarti", benar juga, bukankah harusnya aku membawa sesuatu?.

"Kata ayah Nenek paling suka bunga soka, aku udah kumpulin banyak di keranjang"

"Auntie baru tau malah"

"Emang uncle Dewa nggak pernah cerita?", iris birunya membulat sempurna.

"Jarang, abis uncle Dewa sibuk masak", jawabku tertawa kecil.

Aku sangsi jika Dewa mau bercerita hal seperti ini padaku, terlalu sensitif baginya kurasa.

Kami main cukup lama didalam kamar, Marissa tidak memperbolehkan aku keluar selain mengambil segelas air putih. Aku sempat khawatir Dewa akan marah karena aku bermain dengan Marissa terlalu lama-mengingat sikap manjanya akhir-akhir ini, tapi ternyata tidak, ia hanya minta sekalian diambilkan susu kedelai saat aku mengisi ulang gelas Marissa.

Menjaga Marissa seperti ini membuatku berkhayal akan seperti apa anak kami nanti. Meskipun selalu ada anggapan dikeluargaku bahwa gen yang dibawa perempuan keluarga kami sangat lemah, jarang sekali yang mirip ibunya, hampir semua selalu mirip pihak si Ayah. Semua orang bilang mukaku lebih mirip keluarga dari pihak Papi, malah menurut Mami, muka Dino sangat mirip dengan muka Papi waktu Papi kecil.

Kalau memang nanti anak kami lebih mirip Dewa, aku rasa aku tidak keberatan sama sekali. Asal ia tidak sering berteriak didapur saja sih.

"Maia, siap-siap, kita berangkat sekarang", Dewa melongok dari balik pintu.

"Oke, aku beres-beres dulu. Marissa ikut?", kulirik Marissa yang mulai mengemasi bonekanya.

"Ikut, aku mau salin dulu!"

Langkah kaki kecilnya berderap kencang sepanjang lorong depan kamar kami. Apa yang ia akan pakai nanti?, dress putih selutut dengan aksen renda akan sangat cocok dikulit putih porselennya itu.

Kubuka tas ranselku dan mulai memilah baju. Sejujurnya aku agak gugup, ini pertama kalinya aku akan bertemu dengan ibu Dewa, pertemuanku dengan ayahnya tidak begitu bagus kemarin, sangat buruk malah. Jadi kurasa ketakutanku cukup beralasan.

Lamunanku buyar saat Dewa memelukku dari belakang. Ia melingkarkan kedua tangannya diperutku dan menyandarkan keningnya dipundakku.

Afeksi semacam ini adalah hal yang frekuen ia lakukan akhir-akhir ini. Aku sudah tidak heran pada awalnya. Tapi berulang kali dapat kudengar ia berdecak kecil, lama-lama aku risih juga.

"Kenapa sih sayang?", tanyaku lembut.

Dewa malah tersenyum tipis lalu mengecup rambutku singkat.

"Pake celana jeans aja, mau pinjam jaket aku?", tawarnya sembari mengambil jaket dikapstok.

"Boleh deh sini"

Berarti aku hanya harus berganti baju yang lebih sopan lagi. Mungkin kemeja warna turqouise lembut yang kubeli saat H&M sale kemarin pas untuk kupakai hari ini.

Merasa perlu memakai jam tangan, aku duduk dipinggir kasur lalu mengambil jam warna emas diatas kabinet.

Tidak bisa kutahan untuk tertawa kecil saat Dewa berjongkok lalu memelukku dari depan, ia menaruh kepalanya didepan perutku seperti ingin mendengar sesuatu.

"Itu isinya sarapan tadi Dewa", ujarku geli.

"Nanti ada", ia tersenyum tipis.

"Amin", responku asal karena masih sibuk memakai jam

"Lima ya?", cetusnya tiba-tiba.

"Hah?, apanya?", aku kaget karena baru saja fokus.

"Anak kita nanti", Dewa menyeringai lebar padaku.

"Satu aja belum Dewa, mau lima lagi, nanti ya kalo anak kita abis tantrum kamu masih mau punya anak lima apa nggak", jawabku skeptis.

Tawa Dewa langsung pecah, ia bangkit lalu mencium pipiku singkat.

"Aku tunggu diluar, jangan lama-lama", perintahnya dengan suara baritone.

"Yes chef", kuanggukkan kepalaku kecil.

*********************

Tama bilang lebih asik kalau kami jalan kaki saja karena pemandangan sepanjang perjalanan nanti akan sangat bagus. Kami tidak menolak, lagipula cuaca sangat bersahabat, sedikit mendung dan angin membelai dedaunan lembut.

Singkat kata, aku tidak punya alasan untuk menolak usulan Tama.

Pantas Dewa menyuruhku untuk memakai celana jeans saja, pasti terlihat aneh kalau aku memakai dress dan high heels jika akhirnya kami jalan kaki seperti ini.

Jalan yang kami lewati masih berbatu kecil, ciri khas jalan didesa. Beberapa kali rambutku dan Marissa berantakan karena tiupan angin, gadis kecil itu senang saja dan malah terus mengoceh sambil membawa keranjang bunga.

Ia tidak kelihatan lelah sama sekali, padahal kami berjalan cukup jauh. Marissa sangat manis padahal ia hanya memakai celana pendek dan baju bergambar 'my little pony'. Rambutnya yang sudah kukepang tadi ia buka lagi hanya karena aku menggerai rambut panjangku.

Dewa sangat diam sejak berangkat tadi. Ia ketinggalan cukup jauh dibelakang dan memasukkan kedua tangannya dikantong celana jeans dan lebih banyak menunduk.

Saat Tama berlomba lari dengan Marissa aku berlari kecil menuju Dewa. Ia tidak menunjukkan ekspresi apapun saat aku memegang lengannya.

"May i hold your hand?", tanyanya datar.

"You may", jawabku aneh.

Tidak biasanya ia meminta ijin kalau hanya ingin sekedar memegang tanganku.

Kami berjalan amat lambat. Dewa menghela napas dalam-dalam berulang kali. Mungkin ia jauh lebih gugup dariku.

"Uncle Dewa ayo!, kita udah sampe!!", Marissa berteriak dari ujung jalan.

Keningku berkerut, karena sepanjang jalan ini tidak ada satu rumahpun, semak belukar dan ilalang tinggi memenuhi masing-masing pinggir jalan.

Jalanan sangat sepi, hanya ada kami berempat dan tidak ada orang lain lagi. Ada hawa yang tidak asing bagiku saat makin dekat menuju tempat Marissa dan Tama berdiri.

Aku tidak mungkin lupa atmosfer ini. Tidak sebelum mataku terpaku pada deretan Nisan dingin yang berjajar teratur.

Embun rumput membuat kakiku terasa menggigil. Badanku seperti membeku, Dewa hanya memandangku dengan lirih.

Mataku terasa panas, mungkin kristal bening itu sudah mengumpul dipelupuk mataku sekarang.

Genggaman tangan Dewa makin erat. Otakku seperti tidak bisa memproses informasi yang baru saja kuterima ini.

"Maaf aku nggak cerita sebelumnya, aku butuh kamu untuk temenin aku.."

Suara baritone Dewa terdengar sangat pilu. Hatiku terasa sakit hanya karena ucapan singkatnya itu. Berulangkali memantul-memantul dikepalaku tidak mau pergi. Jika aku merasa sesedih ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Dewa sejak kemarin.

Mungkin tindakanku tidak tepat dan berlebihan, tapi aku mulai terisak dan merindukan sosok ibu Dewa yang belum pernah kutemui sama sekali itu.

Continue Reading

You'll Also Like

167K 7.9K 17
Jangan dibaca Endingnya ga jelas soalnya
186K 23.4K 35
Baru setahun menjabat sebagai walikota, Rajendra Sastranegara, paham dia belum memberikan yang terbaik untuk warganya. Namun, pria itu berusaha keras...
120K 25.4K 52
Behind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa...
165K 11.4K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia