Akustik

By seinarouta

41.5K 3.4K 623

[ Watty Awards 2016 winner for visual storytelling ] Valent suka suara hujan, suara kerikil yang bergesekan d... More

Prolog
|1. Dalam Sebuah Kebetulan|
|2. Dia Redup|
|3. Tuan Analisis Selalu Tepat|
|4. Meradang|
|5. Bulan Bahasa|
|6. Payung Biru|
|7. Tekad Dalam Hati|
|9. Arunika Dalam Bayang|
10. Luka Penyadar Luka
|11. Seseorang Dari Masa Lalu|
|12. Semanis Warna Magenta|
|13. Tentang Kebahagiaan|
|14. Tangan yang Tak Tergapai|
|15. Belenggu yang Indah|
|16. Teruntuk Valent|
|17. Tangan yang Tak Terlihat|
|18. Sebuah Konsekuensi|

|8. Ingatan Kecil Milik Valent|

1.2K 135 37
By seinarouta

BAGIAN KEDELAPAN
~
|Ingatan Kecil Milik Valent|
~

"Ada tiga kunci ketenangan dalam hidup versiku. Pertama, berbuat banyak kebaikan. Kedua, sedikit berharap. Ketiga, memaafkan."

~

Wangi teh menyeruak ke indra penciuman Valent. Kepulan asap tidak menjadi masalah bagi wanita yang tengah duduk di hadapannya. Wanita dengan jilbab merah muda yang ia panggil 'tante' meraih cangkirnya, menyesap tehnya perlahan. Refleks Valent meraih segelas minuman sodanya, meminum minumannya setelah wanita itu menyesap tehnya, tanda ia menghormati wanita yang berada di hadapannya.

"Masih tidak suka makanan panas?" ujar wanita itu. Dia tersenyum menatap cangkir tehnya, kemudian kembali menatap Valent.

Valent meletakkan gelas berisi soda kembali, lalu menggeleng.

"Tante sudah bilang 'kan. Laki-laki itu harus tahan sama yang namanya panas," ujar wanita itu disertai tinjuan yang lumayan keras mendarat pada bahu Valent hingga dia meringis.

"Uh, tinju tante udah lumayan keras ya?" Valent mengusap-ngusap bahunya sambil memberengut. Dia sudah biasa dengan sikap Athana—sepupu ayahnya sekaligus tantenya—yang selalu meninjunya jika ada kesempatan. Namun, kali ini di luar dugaannya. Tinju itu terasa lebih sakit daripada satu tahun yang lalu.

"Oh ya pasti dong." Wanita itu menunjukkan beberapa otot yang tidak terlihat di balik pakaiannya sambil tersenyum bangga pada Valent.

Tersenyum lebar Valent dibuatnya. "Dulu gendong Valent aja udah ambruk. Padahal umur Valent baru tujuh tahun dan Tante ... enam belas 'kan?" Valent sedang mencoba menggoda Athana. Valent ingat, kali pertama mereka bertemu, saat Lebaran Idul Adha. Athana dulu adalah gadis remaja yang mengasyikkan bagi Valent. Dan saat Athana sudah menikah, Athana tidak banyak berubah. Hanya wajahnya yang sedikit terlihat dewasa.

Athana mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Valent, menatap Valent mendelik. "Jangan coba-coba buka rahasia, Valent." Ia kembali duduk ke tempat semula tanpa lupa menjitak dahi Valent sebelumnya.

Valent meringis lagi, mengusap dahinya. "Sebenernya, sejak kapan hobi tante nyiksa orang gini?" Dia bangkit dari duduknya. "Valent aduin ke nenek, ya?"

Sambil menyunggingkan senyum, wanita itu mengeluarkan sebuah miniatur kereta dari dalam tasnya. "Valent yakin?"

Valent terdiam sebentar, seraya sedang menyelidik. "Tante ... beli?" Dia tersenyum lebar. Valent baru saja ingin meraih miniatur itu, Athana segera mencegahnya.

"Duduk dulu, Valent." Athana tersenyum, merasa dia telah menang. Dia tahu, Valent adalah maniak kereta. Ia menyukai segala hal tentang kereta, majalah, miniatur, novel fiksi atau pun non fiksi.

Valent menurut. Belum Athana berujar lagi, sang nenek datang sambil membawa beberapa kue untuk dimakan bersama malam ini. "Athana, kamu nyogok Valent lagi?" ujar Hestina saat melihat miniatur kereta berada di tangan Athana.

Athana menggeleng. "Nggak, Tante. Thana cuma mau kasih Valent kok. Reksa yang beli pas ada kerjaan di London," ucap Athana. Sebenarnya wanita itu tidak berbohong. Yang membelikan miniatur kereta ini memang Reksa—suaminya—namun miniatur kereta ini merupakan bahan penyogok ... sedikit benar.

Hestina tersenyum, duduk di hadapan Athana. "Kamu ini dari dulu sampai sekarang saya masih nggak percaya kamu udah punya suami, Athana."

Melongo Athana dibuatnya, dia melirik Valent. Keponakannya kini tengah menahan tawa.

"Valent juga nggak percaya, Nek. Dari dulu sampai sekarang sama aja kayak ngadepin Ayfa," tutur Valent membuat Athana melayangkan satu jitakan lagi di dahi Valent.

Dengan satu gerakan cepat, Valent meraih miniatur kereta yang tergeletak di atas meja, lalu bangkit. Bersiap kabur. "Ini dari Paman Reksa 'kan, Tan? Aku ambil, ya," goda Valent langsung berlari pergi. Sekejap enyah dari hadapan Athana.

Athana segera mengambil ancang-ancang untuk berlari ke arah kamar Valent. Sedangkan Hestina duduk manis di atas sofa lekat-lekat melihat keduanya bergelut. Jika Athana datang inilah yang terjadi pada Valent. Hanya gelak tawa yang terdengar. Hestina nyaris tidak percaya, segala kesedihan di mata Valent terlihat lenyap. Seolah selama ini tidak ada luka yang tergores di sana. Maka dari itu, Hestina masih sangat percaya, bahwa Valent masih berhak dan bisa untuk bahagia.

"Valent, tante nggak terima. Kembalikan." Athana menahan lengan Valent sekuat tenaga.

"Ini 'kan buat Valent, Tan." Valent menjauhkan miniatur kereta itu dari Athana.

"Tapi tante belum mau ngasih."

"Yang beli emang siapa?"

"Reksa."

"Yaudah."

"Valent!"

"Tante Sayang!" Valent tertawa sambil menggoda tantenya.

"Aduin ke Om Reksa loh ya!" Wajah Athana terlihat kesal, tetapi Valent tahu. Wanita itu tidak akan pernah kesal padanya. Sejurus kemudian Athana tersenyum, miniatur kereta itu berhasil ia raih.

Tiba-tiba Valent langsung menghambur ke pelukan Athana. Memeluk Athana erat. Ia tidak mengerti, tiba-tiba saja ia ingin memeluk wanita itu. Memang benar, kepercayaannya pada seluruh wanita di dunia ini nyaris raib. Namun, Athana-lah yang membuatnya masih bisa menjalankan akal sehat, bahwa sepenuhnya ia tidak sedang membenci. Karena sesungguhnya, sekuat apa pun ia menyalahi takdir. Ia tidak akan bisa bermain-main dengan hal itu. Seujung jari pun. Maka dari itu, selama ini yang bisa ia lakukan hanyalah berlari. Berlari tanpa arah dan  tanpa tujuan. Berlari tak terbatas. Entah mengejar apa dan untuk apa?

"Tante, Valent sering sekali ingin membuang diri Valent jauh-jauh. Jauh dari Bunda, Nenek, Ayfa, dan Kakek. Sering sekali. Tapi dengan kehadiran tante, segalanya raib. Valent merasa berharga. Tante tahu? Lagu Bunda milik Melly Goeslaw yang pernah Tante perdengarkan dulu ke Valent? Saat rindu mama Valent sering memutar lagunya. Tapi setelah memutarnya, yang Valent inget justru Tante. Bagi Valent, Tante adalah sosok ibu yang paling baik. Valent nggak mau ibu yang lain. Mereka semua nggak suka sama Valent," ucap Valent masih memeluk wanita itu.

Ingatan Athana terlempar ke masa beberapa tahun silam. Dia juga tidak tahu bagaimana persis kisah hidup sepupunya, Harlan, yang merupakan ayahnya Valent  Bahkan selama hidup Athana, bisa dibilang ia tidak pernah mengobrol dengan almarhum sepupunya. Informasi yang ia dapat hanya melalui saudara kandung ayahnya Valent yang diasuh oleh kedua orang tua Athana.

Ingatan itu terasa masih segar di pikirannya. Untuk pertama kalinya dalam hidup Athana ia melihat seorang laki-laki menangis hebat, tangisnya tak kalah hebat dari seorang gadis yang memeluknya. Pemandangan itu adalah di hari ayah Valent meninggal dunia. Dan dua orang yang sedang menangis hebat adalah sepupunya--yang merupakan saudara kandung Harlan.

Yang terlintas di otak Athana saat mendengar kabar itu hanyalah Valent. Hatinya merasa miris saat mengetahui seorang Valent ditinggal mati ayahnya, mengingat ibu kandungnya menelantarkannya sejak ia bayi. Begitu juga yang dilakukan oleh dua ibu tiri Valent yang lain. Mereka meninggalkan Valent karena bercerai dengan ayahnya. Valent kecil selalu mengalami yang namanya perpisahan dengan orang-orang yang ia sayang.

Padahal tepat empat tahun yang lalu, Athana kira Valent akan pulih menjadi remaja pada umumnya yang selalu gembira saat Harlan menikah kembali dengan seorang gadis. Valent sangat bahagia saat itu. Bunda barunya sangat baik. Maria namanya.

Kebahagiaan itu semakin menjadi-jadi saat Valent diberi seorang adik yang imut bernama Ayfa. Namun kebahagiaan Valent tidak berlangsung lama. Kebahagiaan itu ikut pergi dibawa oleh jasad Harlan yang kembali menyatu dengan tanah.

Maria hampir gila saat itu. Ia lebih memilih untuk bekerja dan bekerja. Menafkahi dua ananda kecilnya. Hingga pada akhirnya Maria lebih memilih mencoba bunuh diri, berniat menyusul Harlan. Tetapi ia tidak pernah berhasil menyusul Harlan, Maria justru terbujur koma hampir setahun. Hingga akhirnya ia sadar dalam keadaan kurang waras beberapa minggu yang lalu.

Hati Athana sesak mengingat kejadian itu. Lekat-lekat ia pandang wajah Valent. Ia sadar selama ini Valent tidak pernah memaafkan siapa pun, dirinya sendiri atau pun orang lain. Athana menepuk pundak Valent, lalu melepaskan pelukannya. "Kenangan hanya ingatan yang jatuh cinta pada masa lalu, Val. Oke, itu puisinya Faishal Oddang. Saya tidak menyalahkan kamu atas itu. Kamu boleh mengingatnya Valent. Namun, memaafkan adalah obat atas segala luka. Memaafkan dirimu sendiri atau pun orang lain. Saat kamu memaafkan, Val, kenangan sesakit apa pun tidak akan terasa sakit lagi." Baik-baik ia tatap bola mata Valent, ingin meyakinkan keponakannya.

Valent mengusap wajahnya gusar. Mengalihkan wajahnya. "Valent sudah mencoba, Tan," ujar Valent. Satu kebohongan lagi terucap dari bibirnya. Entah ini adalah kebohongan keberapa. Ia bahkan tidak tahu bagaimana rasanya untuk mencoba memaafkan.

"Dengar baik-baik Valent, kamu tidak akan pernah bisa berbohong pada saya. Saya tahu. Saya kenal kamu dengan baik dan saya serius sekarang. Sudah cukup. Kamu tidak pernah mencoba, Val. Kamu hanya lari 'kan?"

Hati Valent sesak mendengar tuturan Athana. Memaafkan adalah cara terbaik untuk mengobati. Memang benar, namun untuk sekarang ia tidak tahu bagian mana yang pantas untuk ia maafkan pada mamanya? Tidak, seluruh bekas mamanya. Dia dan ayahnya selalu ditinggalkan. Hingga tak ada lagi rasa bahwa dirinya berharga. Dan pula, tak sedikit pun bagian dalam setiap aliran darahnya yang patut ia maafkan. Perlahan tapi pasti, sepasti api yang membakar kayu, sepasti udara yang ia hirup, sepasti aliran darah dalam tubuhnya, sepasti luka karena penghianatan, rasa bersalah itu bergerak pasti, menggerogoti tubuhnya.

Bahwasanya, dialah yang menyebabkan sang ayah meninggal. Setidaknya, bagi Valent begitu.

●•●•●•●

Sejak tadi Magenta berupaya untuk tidak menghiraukan Valent yang terus berjalan sejajar dengannya, langkah kaki Valent yang biasanya lebar seringkali berupaya untuk tetap berjalan di samping Magenta. Pemuda itu tidak berbicara, hanya terus berupaya berjalan sejajar.

Bagi Magenta, kehadiran Valent merupakan mentari. Setiap murid yang melihat pasti akan menyempatkan diri untuk memandang Valent, kecuali para murid laki-laki lain yang mencoba untuk tidak peduli. Dan bagaimana bisa seorang bayang, Magenta, berada di samping mentari dengan jarak sedekat ini? Bayang hanya akan lenyap dalam terang.

"Lo ngapain sih ngikutin gue terus?"

Valent mengedikkan bahunya tidak peduli. Terus berjalan sejajar dengan Magenta.

Magenta menghela napasnya. Mempercepat langkah. Valent hanya bisa menambah bebannya. Keberadaan orang-orang di sekitar Magenta selama ini sudah cukup mengintimidasi, sekarang ditambah dengan hadirnya Valent. Jelas-jelas seluruh mata pasti akan memandang ke arah mereka. Semua itu tidak membuat Magenta senang sedikit pun. Valent hanya menambah rasa intimidasi lebih kuat dari sebelumnya.

"Valent, gue mohon." Magenta baru saja berlari beberapa langkah. Namun, Valent mencekal tangannya cukup kuat.

"Angkat kepala kamu, Magenta. Mata-mata itu cuma tatapan iri. Apa yang kamu takutkan?"

"Kalau pun gue jelasin panjang lebar, lo nggak bakal ngerti. Gak bakal ada yang ngerti. Cukup jauhin gue dan biarin gue hidup tanpa adanya gangguan."

Pemuda itu tersentak. "Lari dari masalah ya, Magen? Saya juga suka melakukan itu. Tapi saya rasa saya bukan sebuah masalah. Itu berarti kamu nggak perlu ngejauhin saya."

Mendesah, Magenta melepaskan cekalan Valent. Ia melanjutkan jalannya. Namun, Valent lagi-lagi menghalangi.

"Minggir." Gadis itu menunduk. Tidak berani memandang wajah yang ada di hadapannya.

Valent memiringkan kepalanya, agar bisa melihat wajah Magenta lebih jelas. Rambut Magenta yang terurai nyaris menutupi seluruh wajahnya. "Ini kali kedua kita mengalami kejadian seperti ini."

"Minggir," ujarnya lagi.

"Dan kali ini, percaya sama saya. Saya nggak bakalan minggir seperti yang lalu. Saya nggak tau gimana lagi, Magenta. Berkali-kali saya berpikir untuk ninggalin kamu begitu saja, hati saya antagonis. Ada sesuatu yang belum saya bereskan."

"Valent," suara itu terdengar semakin kecil. Kerumunan terus bertambah ramai.

"Kamu cuma terlalu takut, Magenta. Padahal, yang kamu butuhkan hanya keberanian."

Menghela napas, gadis itu menatap mata Valent lekat-lekat. "Apa mau lo?"

Dengan satu tarikan yang terbilang lembut, Valent meraih lengan Magenta, membawanya menjauh dari keramaian. Mereka berhenti di ujung koridor lantai dua. "Berani...," Valent menghela napas, "... berani jadi temen gue." Valent baru menyadari kekonyolannya saat ia menyelesaikan kalimat itu, tetapi ia tidak akan menarik kalimatnya. Soalnya kalimat itu serius.

Kini, hanya desauan angin yang terdengar. Beberapa helai rambut Magenta tertiup karenanya hingga memaparkan wajah gadis itu yang pucat. Gadis itu mematung. Ini kali pertama ia merasa waktunya berhenti berputar. Mengapa? Ia bertanya-tanya.

Sungguh, Magenta selalu percaya satu hal. Berteman dengan salah satu murid populer bukanlah pilihan yang baik. Tidak, berteman dengan siapa pun bukanlah pilihan baik.

"Saya tau kamu kuat. Mata kamu, ada tekad tinggi di sana. Saya percaya kamu bisa lebih berani. Musuh kamu adalah kamu. Kelemahan kamu adalah kamu. Saya sekarang percaya hal itu. Maka dari itu ... Magenta Aranada ... mari berteman...."

Magenta mencubit tangannya. Ia merasa kesakitan saat melakukannya--yang berarti ia tidak sedang bermimpi saat Valent berbicara padanya.

"Gue punya satu pertanyaan buat lo."

Valent bergeming.

"Apa yang ngebuat lo mau berteman sama gue?"

Valent menghela napasnya. Mengingat sebuah kejadian di masa lalu yang baru ia ingat saat bertemu dengan bola mata milik Magenta.

●•●•●•●

"Hei, lempar bolanya!" Valent kecil tersadar dari lamunanya. Seorang anak kecil berkulit sawo matang menyuruhnya untuk lekas. Dan Valent pun menendang bola itu, mendarat tepat di depan bocah berkulit sawo matang.

Seseorang menepuk pundaknya. "Kamu mau ikut bermain tidak?" Bocah bertubuh gempal yang menepuk pundaknya tersenyum lebar ke arahnya. 

Sebenarnya Valent kecil takut untuk ikut bermain. Tetapi rasa inginnya untuk bermain bola jauh lebih besar dari ketakutannya. Maka dari itu, akhirnya Valent bergabung dengan mereka. Hari itu untuk pertama kalinya Valent mendapat teman baru di tahun ke empatnya bersekolah.

Si bocah bertubuh gempal itu bernama Duni ,sedangkan bocah kurus dengan kulit sawo matang itu bernama Radar.

Mereka bermain dengan anak-anak lainnya. Valent ternyata sangat lincah dalam mengiring bola dan mencetak gol. Dia sudah berkali-kali berhasil memasukkan bola ke dalam gawang lawan. Berkali-kali pula ia mendapatkan pujian. Hari itu Valent baru sadar bahwa tidak semua anak-anak di kampungnya nakal. Lihat saja Radar dan Duni, mereka berdua sangat ramah mau mengajaknya bermain bersama walaupun anak-anak lain sempat menolak.

"Valent! Cepat oper!" Val melirik Radar lewat ekor matanya. Sadar bahwa tak ada yang menjaga Radar, Valent segera menendang bola sekencang-kencangnya. Namun, bola itu meleset. Justru mengenai Duni, bocah bertubuh gempal itu, yang sedang dalam posisi tidak baik untuk menangkap bola. Duni yang tak bisa menyeimbangkan tubuhnya saat mendapatkan bola pun terjatuh ke tanah. Tangan kanannya yang berupaya menahan beban tubuhnya patah. Bocah itu menangis hebat.

Radar yang tidak berani membantu Valent untuk pergi dari kerumunan yang mengejek Valent lebih memilih memanggil orangtua Duni. Valent sendiri, menatap wajah-wajah yang menyalahkannya. Hari itulah pertama kali ia bertemu Magenta, Magenta kecil datang sebagai tamengnya.

"Anak-anak nakal! Pergi kalian. Kalian buat orang nangis!"

Valent kecil mengernyitkan dahinya. Gadis kecil dengan rok merah bermotif polkadot berteriak pada kerumunan yang mengejeknya. Mukanya memerah karena marah.

Tetapi siapa yang peduli dengan omongan anak perempuan? Mereka tetap mengejek Valent yang tersungkur dengan tumpuan kedua tangannya ke tanah. Magenta yang kesal langsung mengambil pasir pantai di dekat kakinya yang telanjang, lalu melemparkannya ke kerumunan itu. Tak ada ketakutan di bola matanya, yang Valent lihat hanyalah sebuah keberanian.

Anak-anak itu pun pergi karena kelilipan. Orang tua Duni datang dengan panik. Gadis kecil dengan rok merah itu menjulurkan tangannya. Valent tidak meraihnya, lebih memilih untuk bangkit sendiri.

"Terima kasih," ujar Valent kecil.

"Sama-sama."

"Namamu siapa?"

"Magenta."

Mereka berdua pun pergi. Valent kembali ke rumahnya dalam keadaan kacau, sedangkan Magenta kembali ke hotelnya. Gadis kecil itu langsung kena marah kedua orang tuanya karena pergi tanpa izin, tetapi Magenta tidak sedih karena itu. Liburan Magenta di Lombok justru terasa sangat menyenangkan. Ia bangga sudah membantu bocah kecil yang diejek temannya. Namun kelak, ingatan itu mulai sirna seiring bertambah umurnya. Hanya Valent yang terpukau dengan bola mata keberanian itu yang masih terus mengingatnya. Apalagi gadis itu memiliki nama yang aneh.

Magenta. Iya, kata ayahnya itu adalah sebuah warna.

●•●•●•●

"Karena matamu jauh berbeda saat pertama kali kita bertemu. Sekarang, yang saya temui di sana hanyalah sebuah ketakutan."

Jawaban Valent tidak berhasil menjawab pertanyaan Magenta. Pemuda itu justru menumbuhkan pertanyaan baru dalam diri Magenta.

Memangnya di mana mereka pertama kali bertemu? Magenta ingat betul di taman belakang sekolah.

Dan lagipula, dari mana Valent tahu nama lengkapnya?

●•●•●•●

Halo halo halo. Maaf aku nggak bisa ngepost bab ini kemarin karena wifi di rumahku tidak mau diajak kerja sama. Setidaknya hal baiknya wordsnya jadi lebih panjang pas aku edit lagi.

Ngomong-ngomong menurut kalian bagaimana chaper ini? Aku tadinya ragu mau ngasih tau garis besar masa lalu Valent secara langsung, tapi akhirnya aku tulis juga karena menurutku aku bisa puyeng mengungkap bagaimana kisahnya secara tidak langsung. Otakku nggak cukup jago buat itu. Capek juga buatnya. Aku lebih milih fokus ke pemulihan luka mereka aja. Ditambah aku takut membuat kalian bingung dalam keabu-abuan yang aku buat (?) Eh tapi aku belum pernah nyeritain masa lalu Valent dgn lengkap kan sebelum bab ini? Iya gak sih?

Vomment(s) please! Apresiasi kalian akan sangat berharga untukku. Maaf kalo jelek😂

Luv,
Sei/Rou/sayang

p.s. 2500 words lebih😂
p.p.s. kalian ada saran cerita historical fiction yang bagus? Semacam ocepa kingdom-nya sairein(dia keren banget T.T). Atau historical romance mungkin boleh juga.

Continue Reading

You'll Also Like

316K 18.8K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
1.1M 45K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
2.6M 142K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1.7M 123K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...