Akustik

By seinarouta

41.5K 3.4K 623

[ Watty Awards 2016 winner for visual storytelling ] Valent suka suara hujan, suara kerikil yang bergesekan d... More

Prolog
|2. Dia Redup|
|3. Tuan Analisis Selalu Tepat|
|4. Meradang|
|5. Bulan Bahasa|
|6. Payung Biru|
|7. Tekad Dalam Hati|
|8. Ingatan Kecil Milik Valent|
|9. Arunika Dalam Bayang|
10. Luka Penyadar Luka
|11. Seseorang Dari Masa Lalu|
|12. Semanis Warna Magenta|
|13. Tentang Kebahagiaan|
|14. Tangan yang Tak Tergapai|
|15. Belenggu yang Indah|
|16. Teruntuk Valent|
|17. Tangan yang Tak Terlihat|
|18. Sebuah Konsekuensi|

|1. Dalam Sebuah Kebetulan|

7.5K 492 126
By seinarouta

BAGIAN PERTAMA
~
|Dalam Sebuah Kebetulan|
~

Aku tidak mengerti bagaimana cara takdir bekerja. Kadang singgah dalam sebuah kebetulan yang seringkali dijumpai, seringkali juga dilupakan. Hingga pada akhirnya kami sama-sama tidak menyadari bahwa hal itulah yang sering kami sebut dengan takdir.

~

Cerah. Itu perkiraan cuaca tadi pagi yang Valent saksikan di televisi, tetapi sekarang kota Jakarta malah diselimuti oleh awan kelabu yang enggan hilang, menandakan sebentar lagi hujan akan datang.

Hujan.

Hujan selalu mengingatkannya dengan sesuatu yang bernama kenangan. Tak pernah ada yang salah dengan kenangan, tak pernah ia berniat untuk menghapus bagian itu dari hidupnya. Karena kenangan di dalam benaknya adalah sepaket rasa bahagia dan lara, sepaket bunga mawar merah yang berduri. Tak bisa dimungkiri, ia tak bisa menghilangkan salah satunya.

Valent melirik arlojinya, sudah pukul tiga lewat, namun ia masih berada di luar rumah. Seragam SMA-nya masih betah melekat saat ia tiba di Stasiun Kereta Gambir.

Stasiun kereta terlihat penuh sesak oleh orang-orang. Jika dipikir-pikir tidak akan ada penumpang yang menyukai suasana berjubel seperti ini, kecuali mungkin para pedagang atau pun para orang-orang yang mempunyai tangan usil. Tetapi, Valent juga suka keramaian stasiun, suara derap langkah yang terburu-buru ingin mencapai rumah untuk sesegera mungkin pulang menemui keluarga mereka. Sama sukanya pula dengan suara mesin kereta yang kini terdengar samar di telinganya. Beberapa menit kemudian, suara roda besi yang bergesekan dengan kerikil mulai terdengar jelas. Dan berlabulah kereta yang akan Valent tumpangi. Kali ini lagi-lagi kereta menjadi sarananya untuk kabur.

Duduk dekat dengan jendela merupakan pilihan sangat tepat bagi Valent. Rintik hujan kini tengah sibuk memukul-mukul jendela kaca saat kereta telah melaju meninggalkan stasiun. Tak lama, rintik itu digantikan oleh hujan dan petir yang lumayan lebat.

Seseorang mulai mengisi tempat di sampingnya. Valent menoleh sedikit, tanpa sadar bertemu pandang dengan sepasang bola mata jernih.

Dia terpaku, untuk beberapa saat. Dengan kikuk ia mengalihkan tatapan pada ponselnya. Menatap benda persegi panjang itu kosong. Butuh sepuluh menit ia termenung, hingga ia memutuskan untuk tidur. Ia meraih jaketnya, namun tersangkut.

"Permisi, Mbak. Jaket saya kedudukan," kata Valent pada gadis yang masih memakai seragam SMA lengkap di sampingnya.

Gadis itu menoleh. Ia menutup novelnya kemudian berdiri membiarkan Valent mengambil jaketnya.

Merasa dirinya mulai mengantuk, Valent menguap, menutupi seluruh wajahnya dengan jaketnya. Tertidur. Suara kereta yang beradu dengan rel kini bagai dongeng pengantar tidur yang acapkali ia dengar dulu.

Tidurnya tak mendapat gangguan selama sekitar satu jam hingga ponselnya berteriak--meminta untuk diangkat.

"Assalamualaikum," ujar seseorang di telepon.

"Waalaikumsalaam."

"Valent di mana, Nak?" Suara di sebrang sana terdengar amat cemas, deruan napasnya terdengar tidak teratur.

"Valent di kereta, Nek."

"Astaga, Valent mau kemana? Jangan kabur-kaburan begitu, Valent. Kakek bisa marah-marah sama nenek lagi."

"Cuma jalan-jalan ke Bandung, setelah itu Valent balik kok. Nenek tenang aja, ya. Valent udah besar, bilang begitu juga sama kakek. Kalo nenek dimarahin, bilang ke Valent. Ntar Valent yang ngomong."

"Nenek tidak masalah kalau Kakek marahin, Valent. Nenek hanya khawatir dan Valent ini, kerjaannya ngabisin duit aja. Sekali seminggu pasti kamu hilang, tau-tau udah di mana."

"Nanti Valent pulang, ya, tunggu aja."

"Sebenernya Valent ngapain sih naik kereta terus langsung pulang?"

Valent menghela napasnya. Gadis yang berada di sampingnya mulai menimbulkan suara aneh. Kepalanya membentur bahu Valent berkali-kali.

"Valent suka kereta, Nek," balasnya.

Kalimat singkat itu berhasil membuat Hestina--sang nenek--menggelengkan kepalanya, namun ada segaris senyum tipis di sana.

Kereta. Hestina tahu sekali mengapa Valent menjadi penggemar kereta. Memilukan sekali jika mengingat masa lalu, namun kereta adalah obat bagi Valent, obat atas kesedihannya selama ini. Dan Hestina lebih memilih tak mengapa jika Valent menyukai kereta hingga seperti ini. Tak apa kereta menjadi pengobat luka hatinya. Sungguh tak apa.

"Hati-hati di jalan, Valent," kata-kata itu menjadi penutup perbincangan mereka sore itu dan Valent kembali tenggelam dalam suara-suara yang ditimbulkan oleh kereta ... entah mengapa, rasanya menenangkan.

Sehabis menutup sambungan telepon, tangan Valent terjulur. Mengambil sebuah novel yang terjatuh--dekat dengan kolong kursi. Baru saja ia ingin membuka lembar pertama buku itu, gadis yang duduk di sampingnya tanpa sadar tertidur di bahunya--bergeming--setelah berkali-kali membenturkan kepala di sana. Valent berkali-kali mencoba membangunkan. Tidak berhasil. Valent hanya bisa diam. Tidak bergerak sedikit pun. Kantuknya tiba-tiba raib. Sempurna sekali. Kini tubuhnya terasa kaku.

Kereta seolah sedang tidak mengerti dengan kondisi Valent saat ini. Valent sedang membatu di tempat duduknya sedangkan kereta Argo Parahyangan terus memelesat menembus hujan seolah enggan berhenti.

Sekilas Valent memandang wajah gadis yang tertidur di bahunya. Gadis itu mengenakan masker, sebelah wajahnya bahkan tertutup oleh rambut hitamnya yang ia biarkan terurai. Kulitnya cokelat mengingatkan Valent akan deskripsi Hazel dalam novel The Heroes Of Olympus milik Rick Riordan, bedanya gadis yang tengah tertidur di bahunya berambut hitam dan lurus alih-alih berambut cokelat ataupun ikal seperti milik Hazel.

Setelah kira-kira tiga jam perjalanan, kereta berhenti. Pengeras suara dinyalakan dengan keras--pemberitahuan ketibaan. Gadis di sampingnya masih juga belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun dari tidurnya.

Valent menepuk bahu gadis itu pelan. Dan masih tidak ada jawaban. Sadar gadis itu rupanya mengenakan headset di telinganya, Valent mencabutnya. Dengan terpaksa, ia mengambil ponsel dari sakunya, kemudian memutarkan lagu dengan suara keras tepat ke arah telinga gadis itu.

Gadis itu terlonjak, wajahnya seketika agak pucat. Valent bersorak. Namun, sorakan itu tidak bertahan lama saat ia menyadari perubahan raut wajah gadis itu.

"Maaf, apa saya membangunkan Anda sedikit terlalu kencang?" tanya Valent melihat gadis itu masih diam saja sedari tadi, seperti sibuk menormalkan degup jantungnya.

Dia menggeleng, tersenyum tipis, lalu bangkit, beranjak pergi ke arah pintu keluar yang sudah terlihat sepi.

"Maaf dan terima kasih." Suara itu kecil, namun Valent masih dapat mendengarnya.

Sebenarnya siapa yang harus minta maaf?, gerutu Valent.

Bandung ternyata gerimis. Masih ada tiga jam lagi kereta yang akan membawanya kembali ke Jakarta datang. Jaket yang tadinya ia sampirkan di bahunya, ia kenakan. Keluar dari stasiun, Valent berjalan kaki menuju sebuah kedai kopi yang terletak di jalan arteri.

Kedai Kopi Purnama menawarkan interior khas bandung lama. Kayu jati dengan meja kasir tinggi langsung nampak saat Valent memasuki kedai kopi itu. Lain halnya dengan kedai kopi yang berisik yang sering ia kunjungi, kedai kopi ini menawarkan ketenangan dan Valent memang sedang membutuhkan hal itu.

Valent bukan penggila kopi. Ia hanya ingin mampir sebentar merasakan ketenangan yang ditawarkan oleh gerimis bersama aroma kopi malam itu...

... dan juga suara mesin kereta.

Selama di Bandung ia hanya duduk di sana bersama laptopnya, mengetik. Entah apa, yang ia tahu ia sedang mengetik karena tiba-tiba saja ia ingin.

Fragmen waktu kembali menyatu. Lain halnya dengan diriku, tergerus kembali menjadi pecahan yang enggan menyatu.

Aku mencintainya, walau raga tidak pernah bersua. Aku mencintainya, walau bibir tidak pernah menyapa. Aku mencintainya, walau otakku tak mampu mengingat. Dan aku amat sangat mencintainya hingga sampailah pada suatu titik di mana cinta dan benci hanya dipisahkan oleh sehelai benang tipis saja.

Saat mengenggam sudah menjadi hal yang tidak mungkin, saat kasih sayang tak pernah tahu cara mengungkap, aku memilih. Aku memilih pada rasa benci, aku menyerah pada amarah mengingat bahwa aku tak pernah melihat eksistensimu. Dan kamu, tak pernah tahu afeksi diriku dahulu, tak pernah tahu penantianku, tak tahu keluh kesahku dan segala pengharapanku atas dirimu.

Kamu terlalu tak nyata, aku nyaris membenci. Ah tidak, aku memang sedang membenci, Mama.

Bandung, 18 Desember 2015

Valent kini terpaku saat membaca tulisannya kembali. Tangannya bergerak meraih kopi tubruk yang ia beli. Alih-alih mengambil kopi tubruk, tangannya malah menyenggol novel usang yang ia pungut di kereta, ujungnya berakhir dengan rasa penasaran terhadap novel itu. Bukan mengenai isi cerita. Dia sudah tiga kali menamatkan novel itu. Ia penasaran, siapa pemilik novel ini?

Matanya memandang lekat-lekat judul novel itu. Karya Tere Liye yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga. Karena dorongan hatinya, ia membuka lembar pertama buku itu, tertera jelas sebuah tanda tangan dan sebuah tulisan dengan tinta merah.

Kado ulang tahun dari Papa tercinta! (1 Agustus 2013)

Valent menutup kembali buku itu, memijit keningnya yang agak pening lalu memasukkan buku itu ke ransel sebelum ia beranjak dari kedai kopi.

Kereta menuju Jakarta akan berangkat sebentar lagi dan lagi-lagi sebelum ia benar-benar pergi dari kedai kopi itu, pandangannya menangkap seorang gadis dengan baju seragam SMA yang ia temui di kereta kini tengah duduk di sudut Kedai Kopi Purnama. Sendiri. Termenung.

Valent segera mengalihkan tatapannya. Ia harus segera pergi karena hari telah malam. Nenek pasti akan sangat mengkhawatirkannya dan Ayfa si putri kecil itu membutuhkannya.

Kala itu, sang waktu sedang bermain bersama sang takdir, bermain dengan nada indah seperti yang telah terlukiskan di dalam partitur. Alunan melodi kehidupan kini tengah berlangsung.

Dua pasang bola mata mereka bertemu dalam sebuah kebetulan, namun siapa sangka sesuatu yang mereka anggap sebagai kebetulan sedang membangun alirannya sendiri. Tak ada yang tahu, segala kejadian dalam hidupnyalah yang menuntunnya kemari. Tak ada yang tahu hari esok akan bagaimana jadinya. Biarkan hal ini mengalir sebagaimana mestinya.

Mereka sedang terhanyut dalam pikirannya masing-masing. Di bawah rintik hujan yang menghiasi langit Bandung ... hanya mereka dan Tuhan yang tahu apa yang mereka pikirkan. Tentang masa lalu yang selalu dianggap tidak adil.

Layaknya ombak kembali beranjak menuju pantai, membasahi, meninggalkan jejak, entah jejak bahagia atau lara. Yang Valent tahu, rindu dan benci kini amat sangat membunuhnya.

Mama ... Valent kangen sekali.

●•●•●•●

A/N

Halo.___. Gatau mau ngomong apa :v kritik saran dibutuhkan selalu.___. Makasi.___.

Continue Reading

You'll Also Like

3.5M 183K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
328K 19.6K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
341K 15.8K 29
Valerie Grazella Margaretta adalah gadis yang bebas melakukan apapun semau dia. Pakai rok mini? Boleh. Mabuk? boleh. Punya banyak pacar? Kenapa tidak...
658K 25.8K 37
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...