CINDER - ELLA

By jasendradee

1.5M 152K 12K

Bagaimana jika dua gadis kembar identik bertukar tempat untuk menyelamatkan diri dari masalah masing-masing... More

PROLOG
Part 1 - Ini Cinder dan Kafka
Part 2 - Ini Ella dan Revas
Part 3 - Rasa Yang Berbeda
Part 4 - Luka Yang Terungkap
Part 5 - Pengakuan Ella dan Ide Cinder
Part 6 - The Show Time (Cinder's Side)
Part 7 - The Show Time (Ella's Side)
Part 8 - Cinder Yang Baru?
Part 9 - Ella Yang Baru?
Part 10 - Nada-nada Kafka
Part 11 - Angin Sore Revas
Part 12 - Perjanjian Baru
Part 13 - Setelah Kemarin
Part 14 - Aroma Ajaib
Part 16 - Senyum Candu
Part 17 - Hari Bersamanya
Part 18 - Pertaruhan Cinder
Part 19 - Kegelapan Untuk Ella
Part 20 - Penyesalan Kafka
Part 21 - Keresahan Revas
Part 22 - Lain Sekali
Part 23 - Something In Between
Part 24 - Sebuah Rasa (bagian A)
Part 25 - Sebuah Rasa (bagian B)
Part 26 - Seolah Belum Cukup
Part 27 - Kembali
Part 28 - Sekali Lagi
Part 29 - Maaf
Part 30 - Fall For You
Part 31 - What If
Part 32 - I'm Here For You
Part 33 - Stay With Me
Part 34 - Thank You
Part 35 - The Truth Untold
Part 36 - Kau Adalah...
Part 37 - Bukan Dia
Part 38 - Cukup Sampai Di Sini
Part 39 - Karena Seharusnya Begini, bukan?
Part 40 - When You Love Someone
Part 41 - How Can I Say
Part 42 - What Can I Do
Part 43 - Nobody Knows
Part 44 - Somehow
Part 45 - It's Only
Part 46 - Seperti Seharusnya
Part 47 - More Than This
Part 48 - Heartbeat
Part 49 - A 'Good' Way (END)

Part 15 - Tawaran Ella

34.3K 2.9K 35
By jasendradee

            "Kafkaaa!!"

Ayunan langkah Kafka terhenti seketika. Tubuhnya berbalik dengan malas dan menemukan senyum sumringah milik Ella. Cewek itu berlari-lari kecil ke arahnya, kemudian berdiri tepat di hadapannya.

"Hai," sapa Ella ceria, lengkap dengan lambaian tangan kecil dan sorot penuh semangat. Rambutnya tersisir rapi dan bergerak seirama tubuhnya.

Wangi manis stroberi seketika meruap, menelusup ligat melewati indera penciuman Kafka dan mengisi rongga pernapasannya dengan cepat, membuatnya langsung berdeham-deham pelan menetralkan diri.

"Selamat pagi," sapa Ella lagi riang. Senyumnya belum menghilang.

Tidak ada sahutan apapun dari Kafka. Cowok itu malah mengambil satu langkah mundur tanpa suara dan menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menatap Ella tanpa ekspresi.

Pagi ini, Ella kelihatan sangat rapi dan segar. Pakaiannya licin dan dasinya terpasang benar. Pipinya agak merona dan kedua sudut bibirnya tak lelah membentuk senyum cerah. Rambut panjangnya yang tergerai indah, dipagari bandana berwarna merah muda yang diberi jepit hitam di bagian tepi. Warnanya selaras dengan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang kecil, membuatnya seperti tokoh perempuan di dalam film kartun Jepang yang hidup dan bergerak.

Untuk sesaat, Kafka sempat dibuat terdiam memerhatikan. Ucapan Garry beberapa hari lalu tentang Cinder, terngiang di kepala. Garry benar. Akhir-akhir ini, Cinder selalu kelihatan rapi. Cewek itu juga sudah tidak datang terlambat lagi.

Tapi, reaksi Kafka hanya bertahan sebentar. Karena selanjutnya, cowok itu kembali menyuguhkan tatapan khas orang bangun tidur; malas dan tanpa minat. Dia sedang tidak bersemangat melakukan apapun, moodnya sedang kurang bagus, jadi sebaiknya jangan diganggu. Kejadian kemarin masih menyisakan kekesalan tersendiri, ditambah mengingat hukuman yang diterimanya akibat puntung dan bungkus rokok sialan itu. Rasanya ingin sekali ia menerjunkan diri ke dalam laut tanpa ingat permukaan. Ah, kalau saja Bi Karti tidak memaksanya masuk sekolah hari ini, dia pasti sudah membenamkan seluruh badannya di atas tempat tidur sampai besok pagi. Itu lebih menyenangkan.

Detik selanjutnya, satu alis Kafka perlahan-lahan terangkat tinggi, menatap Ella yang hanya tersenyum ceria di hadapannya tanpa mengeluarkan suara. Entah apa yang baru saja menimpa cewek itu, tapi senyumnya berhasil membuat perutnya mendadak berdisko.

"Apa?" tanya Kafka kemudian, dengan nada datar.

Ella menggeleng penuh semangat. "Nggak apa-apa. Senang aja lihat kamu masuk hari ini. Nggak jadi diskorsing, ya?" tanyanya senang.

Kening Kafka berlipat tipis di tengah alisnya yang terangkat tinggi. Sejenak, tatapannya menyapu Ella dari ujung kaki sampai kepala, lalu menarik sudut bibirnya dengan sinis. "Kenapa? Kecewa karena gue nggak jadi diskors?" tanyanya skeptis, masih dengan senyum menyebalkan. "Sori bikin lo kecewa," sambungnya ketus.

Senyum Ella langsung menghilang. Sudut bibirnya terangkat sebal. "Kamu tuh ketus banget, ya. Aku kan tanya baik-baik. Bisa nggak sih, nggak judes begitu?" protesnya misuh-misuh.

Kafka hanya mengedik bahu pelan tanpa menyahut, lalu berbalik cepat dan kembali melangkah santai meninggalkan Ella.

Ella mendesis gemas menatap punggung kurus Kafka yang perlahan menjauh, lalu pelan-pelan menyusulnya. Kemarin, cowok itu tidak mengikuti pelajaran sampai habis. Setelah keluar dari ruang BP, Kafka hanya sebentar masuk kelas, mengambil tas, kemudian keluar. Pulang. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, bahkan ketika Garry dan Aldo bertanya, Kafka hanya mengedik bahu. Memang ekspresinya masih datar, tapi setiap murid juga tahu, kalau tidak mungkin meninggalkan ruang BP begitu saja tanpa adanya hukuman.

Jujur saja, sejak kemarin, Ella tidak bisa duduk tenang. Dia terus kepikiran perihal hukuman apa yang akan diterima Kafka. Bukannya dia sok perhatianatau apa, tapi bagaimana kalau Kafka sampai berurusan dengan yang namanya drop out atau skorsing panjang? Bagaimana pun, ia merasa punya andil atas hukuman Kafka. Kalau saja kemarin ia tidak membawa-bawa bungkus rokok dan pemantik milik Kafka yang tertinggal, mungkin hasilnya akan lain.

Dan semalam, Ella sempat bertanya pada Nola tentang bagaimana perangai Kafka selama di kelas, dan jawaban Nola membuat Ella agak ngeri.

"Yaelah, Cin, lo kayak nggak tau gimana si Kafka aja. Lo sama dia kan sama-sama trouble maker, sebelas dua belas. Hati-hati aja sama dia, siapa tau nanti dia balas dendam dan balik ngusilin lo hahaha."

Jawaban itu juga yang membuat Ella tidak bisa tidur. Nola benar. Bagaimana kalau nanti Kafka tiba-tiba ingin membalas apa yang terjadi kemarin? Dan bagaimana kalau yang menerima akibatnya saat itu adalah Cinder? Melihat hubungan Cinder dan Kafka yang kurang baik, bukan hal yang mustahil kan kalau Kafka mungkin akan menjahili Cinder di kemudian hari? Dan dia tidak bisa diam begitu saja. Di Gentra, Cinder sedang melindunginya dari Donna, dan di sini, Ella akan berusaha melindungi Cinder dari Kafka.

Bukan, Ella nggak berpikir untuk balik menjahili atau debat kusir dengan Kafka. Dia hanya ingin meminta maaf dan kalau bisa—kalau ya—meringankan sedikit hukuman cowok itu. Siapa tahu saja kekesalan Kafka atas kecerobohannya kemarin bisa sedikit berkurang. Siapa tau saja, kan?

Tungkai kaki Ella semakin diseret cepat. Langkahnya berusaha menjajari langkah Kafka yang panjang dan lebar dengan susah payah.

"Jadi, kamu dapet hukuman apa dari Bu Hana?" tanya Ella lagi, setelah berhasil menyeimbangkan langkahnya sejajar Kafka. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum lebar.

Kafka tidak menyahut. Tidak berhenti. Bahkan menoleh saja tidak. Cowok itu tidak menganggap Ella ada di sampingnya sama sekali.

"Kafka, aku tuh lagi ngomong sama kamu. Nggak bisa ya kamu jawab pertanyaan aku?" protes Ella, tanpa sadar menarik tepian seragam Kafka yang tidak dimasukkan.

Langkah Kafka berhenti seketika. Sorot malasnya menatap Ella tanpa ekspresi dan menepis tangan cewek itu yang masih bertengger di ujung seragamnya. "Nggak penting dan bukan urusan lo buat tau gue dapat hukuman apa," sahutnya tanpa nada, lalu kembali melangkah.

Ella mengembuskan napas pelan, berusaha sabar. Kenapa sih susah banget mau ngomong baik-baik sama Kafka? Ella kan cuma mau minta maaf, bukan minta uang.

Langkah Ella diayun lebih cepat, berusaha menyusul Kafka sekali lagi. "Kamu pasti marah sama aku. Nggak apa-apa kok, aku tau aku salah. Tapi aku cuma mau—"

Kata-kata Ella terpenggal seketika dan berjengit mundur. Kafka berhenti mendadak di depannya tanpa aba-aba dan berbalik cepat menghadapnya. Nyaris saja Ella menubruk dada cowok itu kalau tidak punya refleks yang bagus.

Sesaat, keduanya sama-sama bungkam. Dan dalam senyap, sama-sama saling menilai. Tinggi Ella hanya sebatas dagu Kafka, dan jujur saja, buat Ella, itu sedikit mengintimidasi. Belum lagi sorot mata cowok itu yang seperti menguliti. Kalau tidak ingat kesalahan dan akibat yang mungkin akan diterima Cinder nantinya, Ella pasti akan menuruti omongan Cinder untuk menjauhi Kafka. Lama-lama berdekatan dengan cowok itu, entah mengapa, selalu membuatnya sesak napas.

Begitu pun dengan Kafka. Ia merasa sosok Cinder di hadapannya saat ini begitu berbeda. Ada sesuatu yang lain dalam diri cewek itu. Dia memang tidak tahu apa yang membedakannya, tapi jujur saja, berada di sekitar sosok Cinder yang sekarang, tak jarang membuatnya digerogoti rikuh.

Belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Kafka. Cowok itu hanya menatap Ella tajam dan dingin, membuat nyali Ella menciut. Dia hanya mampu membalas tatapan Kafka takut-takut. Bisa nggak sih, Kafka melihatnya dengan biasa? Dia kan bukan maling.

Tidak mau terjebak rikuh, Ella berusaha bersuara. "Hm, begini, i-itu.. aku..."

"Dengar gue, Cinder. Jangan bersikap sok peduli kalau sebenarnya lo nggak peduli. Gue nggak butuh perhatian lo, apapun itu. Dan jangan berusaha perhatian sama gue. Urus aja hidup lo sendiri, ngerti?" kata Kafka setelah terdiam beberapa saat. Nada suaranya terdengar sinis.

Pengin rasanya Ella menggeleng dan menjawab nggak kalah sinis setiap kata-kata dari cowok di depannya. Memang salah ya kalau dia bertanya dan sedikit care? Dia bersikap begitu kan karena masih merasa bersalah. Nggak enak. Bagaimana pun, ia menyumbang kesalahan walau nggak banyak.

Tetapi masalahnya, berhadapan dengan Kafka itu selalu membuat Ella canggung. Selain akibat insiden di ruang musik, tatapan Kafka juga mengintimidasi. Kalau saja tatapan cowok itu bisa membunuh, mungkin Ella sudah mati dari beberapa hari yang lalu.

Kedua tangan Ella saling memilin. Bibirnya bergumam-gumam kecil. "Bukan gitu, Kafka. Aku cuma—"

"Cuma apa? Ngerasa bersalah? Ngerasa nggak enak?" todong Kafka cepat, lalu berdecak. "Nggak perlu, Cinder. Gue nggak butuh semua rasa itu. Lo simpen aja buat orang lain, oke?" lanjutnya ketus.

Ella menggeleng-geleng semangat. "Bukan cuma itu. Aku tau kamu kesal sama aku gara-gara kemarin, dan aku—"

"Udah lah, Cin. Gue nggak minat—"

"Aku cuma mau minta maaf," penggal Ella cepat. "Aku minta maaf."

Kafka langsung terdiam. Tatapannya masih datar dan menyebalkan.

Akhinya kata-kata itu keluar juga, pikir Ella, dalam hati bernapas lega. Meski masih takut-takut, tapi Ella berusaha menatap balik Kafka dengan sorot tegas. "Aku tau barang-barang kemarin itu memang punya kamu. Tapi, kalau bukan karena aku yang bawa ke sekolah, pasti kamu nggak akan dapat hukuman. Nggak akan kena masalah, apapun itu. Jadi, aku minta maaf."

Alis Kafka terangkat dengan cepat, lalu memiringkan kepala, menatap Ella lekat-lekat dengan sudut bibir membentuk senyum miring-menyebalkan, kemudian mendengus tak percaya. "Excuse me? Did I heard—"

Ella mengangguk pelan dua kali. "Kamu nggak salah dengar. Aku memang lagi minta maaf sama kamu," timpalnya cepat.

Lalu, Kafka berdecak. "—wow! Gue nggak tau kalau seorang Cinder bisa minta maaf segampang ini dan nggak ngejek balik gue? You amaze me, Cinder," komentar Kafka skeptis. Dari suaranya, ada sedikit nada mengejek.

"Aku minta maaf bukan karena merasa bersalah aja, tapi mungkin aku bisa sedikit membantu—well, apapun itu. Bagaimana pun, aku punya sumbangsih atas apa yang terjadi kemarin, sampai-sampai kamu kena masalah dan dapat hukuman. I wanna help you, Kafka," sahut Ella, suaranya tersaruk-saruk, tidak yakin.

Sepersekian detik, Kafka mengerjap tak percaya, lalu senyumnya berubah tawa remeh. "Bantuin gue? Lo bercanda, kan? Ini gue yang salah dengar atau lo yang salah minum obat sebelum berangkat?" tanyanya tak percaya. "Masih pagi, Cin. Kalau lo mau bercanda, cari orang lain aja, jangan gue. Nggak lucu," sambungnya judes.

Buru-buru Ella menggeleng, tidak berniat menimpali komentar menyebalkan Kafka. Apapun yang diucapkan cowok itu, Ella sudah kebal.

"Terserah kamu mau komentar apa, tapi aku serius mau bantuin kamu. Aku cuma nggak mau aja kalau nantinya kamu dendam dan balas apapun yang udah aku lakuin sama kamu dengan lebih buruk. Bukannya aku mau berburuk sangka sama kamu sih, tapi... anggap aja aku lagi ajak kamu berdamai." Ella membasahi bibirnya dan mengembuskan napas pelan, "apapun yang pernah aku lakuin sama kamu, aku minta maaf. Serius minta maaf. Aku sama sekali nggak berniat menyulitkan kamu. Yang terjadi kemarin benar-benar di luar dugaan," lalu menatap Kafka lurus-lurus. "Maafin aku, Kafka," tandasnya kemudian.

Tawa Kafka seketika lenyap. Segala gerak tubuhnya menghilang. Dia hanya bisa memerhatikan Ella dalam diam, dengan sorot yang ia harap bisa sedikit membuat cewek itu jengah, tapi yang ada, dia malah mendapatkan tatapan yang sungguh-sungguh, penuh harap dan menenangkan. Kedua bola mata kecokelatan itu berkedip jenaka, menunggu responsnya.

Entah perasaannya saja atau bukan, tapi cewek di hadapannya ini memang bukan seperti Cinder yang biasanya. Cinder yang ia kenal akan langsung mentertawakan dan mengejeknya habis-habisan setiap kali tahu ia dihukum. Bahkan nggak segan menyebarkannya ke seantero sekolah hingga setiap murid menatapnya bosan. Dan sekarang, dengan tiba-tiba saja menemukan cewek itu berniat membantu dan meminta maafnya, membuatnya bertanya-tanya. Apa yang ada di hadapannya saat ini benar-benar Cinder?

Kedua bola mata Ella berkedip cepat. Ia menyadari beberapa tatapan penuh ingin tahu dan bisik-bisik bertanya, kini mulai mengerubungi mereka berdua, membuatnya risi. Cepat-cepat, Ella berdeham. "So, apa sekarang aku boleh tau kamu dapat hukuman apa?" tanyanya sekali lagi.

Suara Ella menarik kesadaran Kafka, membuatnya balik berkedip cepat, lalu tanpa diminta mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas, dan menunjukkannya pada Ella. "Lo punya banyak waktu kuasain Athalea selagi gue selesain hukuman. Tapi abis itu, gue nggak akan ngebiarin lo bikin onar sendirian," sungutnya datar.

Dengan cepat, Ella menyambar kertas itu dan membacanya runtun. Lalu perlahan, matanya membesar kaget. "WHAT?! Hukuman kamu sebanyak ini?" tanyanya tak percaya, nyaris memekik.

Kafka mengedik bahu malas. "Daripada skorsing atau drop out, mereka lebih suka bikin gue disiplin peraturan. Alasan lain... yah mungkin mereka nggak mau berurusan sama bokap gue."

Ella tidak menimpali kata-kata Kafka. Bola matanya sibuk menekuri jejeran tulisan di atas selembar kertas yang terdapat kop surat resmi instansi, tanda tangan kepala sekolah dan distempel. Di sana juga tertera tanda tangan Kafka sebagai pihak yang menyetujui peraturan tertulis itu.

Memang sih, dibanding Gentra, hukuman yang diterima Kafka jauh lebih ringan, tidak harus berurusan dengan skorsing atau pun drop out, tapi hukuman ini...

Tidak boleh datang terlambat lagi;

Pemotongan nilai di setiap mata pelajaran untuk dua minggu ke depan;

Membantu petugas membersihkan halaman belakang sekolah selama dua miggu;

Membersihkan toilet dan ruang ekskul selama dua minggu;

Membantu petugas perpustakaan selama dua minggu;

Mengerjakan tugas tambahan;

Tidak merokok lagi, baik di dalam atau pun luar sekolah; dan

Tidak melanggar peraturan dalam bentuk apapun lagi.

Sederet hukuman itu juga nggak bisa disebut ringan, kan? Ya memang benar sih, merokok di area sekolah itu dianggap pelanggaran peraturan yang sangat fatal, tapi harus ya dihukum sebanyak ini? Dan harus dilakukan sendirian? Yang benar saja!

Ella tidak mencegah saat Kafka menyambar balik kertas tersebut dan memasukkan ke dalam tas. Yang dia lakukan saat ini malah bertanya polos. "Kamu setuju sama semua hukuman itu?"

"Lo pikir gue punya pilihan lain?" tanya balik Kafka, mengedikkan bahu malas.

"Kamu nggak berusaha protes atau nolak? Gimana pun, kamu kan punya hak buat kasih suara, Ka, ya minimal minta buat dikurangi hukuman," sahut Ella.

Kafka mendengus senyum remeh. "Protes? Di tengah semua catatan jelek yang udah gue bikin sendiri? Jangan bercanda, Cinder. Kayak lo bisa protes aja pas dapet SP tiga," komentarnya.

Benar juga sih. Tapi, rasanya nggak adil aja kalau harus menerima hukuman sebanyak itu sendirian, ditambah tuntuttan belajar ekstra.

Ella tidak menyahut dan malah menatap Kafka lekat-lekat. Ia paham kalau cowok itu nggak bisa protes atau pun menolak semua hukuman, karena bukti yang ada sangat kuat. Ditambah catatan pribadinya, rasanya nggak mungkin membantah sekalipun sangat ingin melakukan. Tetapi...

"Kafka," panggil Ella pelan, menatap lurus-lurus bola mata Kafka yang sekelam malam.

"Apa?" jawab Kafka datar, tanpa melepas pandangannya dari Ella.

Hukuman yang diterima Kafka memang tidak bisa diubah, ditolak atau pun diprotes. Tetapi, bukan berarti semua hukuman itu tidak bisa dibuat ringan, kan? Mungkin ide Ella akan terdengar gila, tapi dia sudah memutuskan. Jadi, anggap saja tawarannya ini sebagai sogokan sekaligus penebusan rasa bersalah.

"Ayo, bagi dua semua hukuman kamu sama aku!"

***


Continue Reading

You'll Also Like

655K 4.6K 20
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
5.7M 69.6K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
16.5M 672K 39
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
434K 17.7K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...