Sweet Blackout

By NovemberCere13

2.3M 183K 4K

Maia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terke... More

Menu 2: Wicked!
Menu 3: Blackout
Menu 4: Brooklyn
Menu 5 : Coinsidence
Menu 6: Help From Heaven
Menu 7: Disagreement
Menu 8: First Night
Menu 9: Titik Koma
Menu 10: Heart attack
Menu 11: Unfortunate Event's
Menu 11.2: Unfortunate Events
Menu 12: Stitches
Menu 13: In Silence
Menu 14: Moving Up
Menu 15: Game On
Menu 16 - Bright Lightbulb
Menu 17 - Confident Competition
Menu 18 - Konfesi
Menu 19 - Tsunami Informasi
Menu 20 - Konfesi 2
Menu 21: Well known Stranger
Menu 22: The Only Exception
Menu 23: Kinder
Menu 24: Pink River
Menu 25: We're That Lucky
Menu 26: If
Menu 27: Midnight Magic
Menu 28: White Brooklyn
Menu 29: Leaks
Menu 30: Lost and Found
Menu 31: Eve
Menu 32: Live
Menu 33: Self Made
Menu 34: Blizzard
Menu 35: Truth Has Been Spoken
Menu 36: Jouska
Menu 37: Beginning of The Past
Menu 38: Comfortable Darkness
Menu 39: Less is More
Menu 40: Pit Stop
Epilog
Extra's
VOTING YUK!
Mini Blackout Menu 1: Mie Instan Rebus
Kabar Gembira untuk Kita Semua
OPEN PO DAN GIVEAWAY ALERT!!

Menu 1: 23!

148K 7.1K 123
By NovemberCere13

New story! Lagi pengen cerita yang ga berat dan ga banyak menye-menye gitu. Hope you like it! Please let me know ya wheather you enjoy it or not, happy reading all!

Aroma lembut cokelat menyeruak dari oven kecilku, kuintip sedikit kue red velvet yang sengaja kubuat hari ini untuk postingan blog terbaru. Aku berusaha untuk menahan diri agar tidak membuka pintu ovennya, peraturan nomor satu dalam memanggang kue, jangan buka tutup pintunya! Bisa-bisa suhu udara tidak stabil dan menyebabkan kue tidak mengembang sempurna. Tanganku masih mencoba menggapai sprinkles yang tertutup terigu serbaguna, aku terbatuk-batuk saat mencoba menggeser terigunya.

Bau harum kue makin mendominasi dapur rumahku, aku harap kuenya akan matang sempurna lima menit lagi. Kukibaskan sisa-sisa terigu yang menempel dicelana jeans dan memilih beberapa cake tray sebagai tempat untuk menaruh red velvet cakeku nanti. Tak sengaja kusenggol bekas kaleng susu kental manis yang entah sejak kapan masih saja teronggok diujung meja. Kalengnya menggelinding cukup jauh, dengan malas aku berjalan mengejar kaleng sialan itu.

"Maia, masak atau marah-marah?" Terlambat, Papiku sudah mengambil kaleng bekas itu terlebih dulu.

"Maaf pi, lagi ribet nih." Jawabku cepat.

"Udah mikirin tawaran kerja yang papi omongin kemarin?", Ah tidak, kumohon jangan ini lagi.

"Papi, Aku nggak mau omongin ini dulu..", kuambil kitchen mitt  lalu mengeluarkan kue dari oven.

"Kamu nggak bisa selamanya hidup dari blog kamu." Suara Papi mulai meninggi.

"Pi, bisa, Papi nggak ngerti konsepnya, buktinya aku masih bisa jajan sendiri." Aku berusaha mengelak.

"Tentu Papi nggak ngerti konsepnya, tapi kamu butuh kerjaan yang konsisten, pemasukan yang konsisten, apa ucapan Papi nggak cukup masuk akal?"

"Tapi pi, untuk sekarang masih cukup, lebih malah." Aku menjawabnya sembari mondar-mandir menyimpan kueku untuk didinginkan terlebih dulu.

"Apa yang kurang sih Mai, Papi udah nawarin kerjaan sesuai passion kamu, berapa umur kamu sekarang?"

"Tepat hari ini, 23." Jawabku malas.

"Sudah saatnya kamu masuk kedunia kerja Maia, untuk masa depan kamu, Papi mau yang terbaik buat kamu." Tangan papi singgah dipundakku.

"Aku udah cukup bahagia dengan ini pi.." Semoga suaraku terdengar amat memelas.

"Bisa jadi sampingan Mai, papi nggak akan larang.."

"It just..Work under stress is not my thing pi.." Aku berusaha menjelaskan berkali-kali.

"Jadi?" Nada suara papi terdengar tidak sabar.

"Nggak pi.." Jawabku takut-takut.

Tangan Papi turun dari pundakku, ia tidak mengatakan apapun, hanya menarik napas panjang beberapa kali. Kami saling pandang, Papi memaksakan senyuman yang mengerikan kearahku. Aku hanya berpura-pura lebih tertarik memandangi motif keramik didapur kami. Tanpa kuduga Papi mencubit pipiku cukup keras.

"Aaawwww!!, Paapii!!" Aku berteriak kesakitan.

"You are a sweet little girl as long as i remember.." Aku dapat melihat sedikit kekecewaan dimata Papi saat mengatakan itu.

Aku hanya diam, tidak berusaha menjawab apapun. Pasti akan terlihat amat bodoh jika aku berusaha mengelak karena jelas-jelas aku yang salah, tapi kupikir aku tau apa yang kumau, aku hanya ingin melakukan apa yang aku dan hatiku suka. Lagipula blogku tidak kubangun dengan satu malam, aku berusaha cukup keras untuk membuatnya menjadi seterkenal sekarang.

Papi masih diam ditempat, ia seperti sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku berinisiatif mengambil kursi kayu yang tidak sengaja kurusak pegangannya saat bermain dengan Dino-adikku yang masih berumur 11 tahun, agar Papi bisa duduk sejenak. Papi masih mencoba mencari mataku dan aku masih mati-matian mengelak, lagi-lagi ia hanya menghela napas panjang. Ia menggaruk kecil serabut kayu yang bermunculan dikursi butut itu, lalu membuangnya saat tangannya berhasil mengambil sekeping kecil kayunya, suara garutannya membuat perasaanku tidak karuan, jelas aku mulai merasa tidak nyaman dan Papi pun menyadarinya.

"Baunya enak.." Papi berusaha membicarakan kue buatanku.

Aku hanya menggumamkan kata 'Ya' dengan amat pelan, aku tidak tahu apakah papi akan mendengarnya atau tidak.

"Papi cuma mau bakat kamu diasah ditempat yang tepat, Papi cukup beruntung dapat tawaran dari teman baik Papi untuk kamu, kamu jelas tau restoran yang Dewa pegang bukan restoran main-main. Untuk sekedar magang pun sulit, Papi harap kamu bisa pikirin lagi." Jelas papi sambil membersihkan sisa tepung dipipiku.

"Happy birthday my little girl, semoga Papi masih memiliki cukup waktu untuk melihat kamu terus bahagia." Papi mengecup dahiku pelan lalu pergi dan menutup pintu.

Aku hanya memandangi pintu yang barusan Papi tutup, mungkin harusnya aku tidak seegois itu.

Kualihkan perhatianku dengan menghias kue yang sudah mendingin, entah kenapa hasilnya kurang memuaskan, olesan cream cheesenya terkesan amburadul dan berbintil-bintil jelek, salahku terlalu kasar saat mengolesnya. Kucoba menata kue red velvet itu dengan perasaan campur aduk, ucapan papi masih tergiang diotakku. Tentu aku ingin menjadi anak Papi yang manis, yang selalu menuruti apapun yang papi inginkan. Kupotret kue itu, tidak semenyenangkan biasanya. Kupandangi hasil fotoku yang terlihat biasa saja, memang aku sengaja mengemas blogku secara amatir, aku tidak menyangka banyak yang menyukai konsep yang aku buat, sudah beberapa kali aku masuk koran untuk interview singkat, Papi bahkan mengklipingnya. Mungkinkah aku harus mengalah? Tidak ada salahnya juga mencoba.

Kutinggalkan kue red velvet itu dan berjalan cepat menuju ruang tamu untuk mencari papi, tapi hanya ada mami yang sedang bermain dengan Dino.

"Papi dimana mi?", tanyaku buru-buru.

"Dihalaman kayaknya, tadi keluar, mungkin nyiram tanaman." Mami masih asik menjalankan pionnya.

"Oke makasih mi."

Aku segera berlari menuju halaman, setelah sedikit mencari rupanya papi sedang mencabuti rumput liar yang tumbuh diantara paving blok depan garasi mobil. Muka papi terlihat bingung saat melihatku menghampirinya buru-buru, ia melepas sarung tangan karetnya dan mencuci tangan dikeran air.

"Oke pi, oke, aku mau coba.." ujarku ragu.

"Yakin?"

"Dont make me change my mind pi." Keluhku yang dibalas senyum lebar papi.

"Perfect! Papi bakal telepon Dewa kalo kamu terima tawaran kerjanya." Jawab papi sumringah.

Aku belum pernah bertemu dengan teman Papi yang satu ini, tapi sering kudengar papi menerima telepon dari Dewa. Hanya percakapan membosankan mengenai kabar dan cuaca tipikal percakapan orang tua, bahkan beberapa kali aku mendengar mereka membicarakan merk obat gosok yang bagus dan membandingkannya dengan produk yang Papiku pakai beberapa tahun belakangan, selebihnya tidak ada yang menarik selain Dewa adalah pemilik restoran paling berkelas dikotaku, kami juga jarang makan disana, hanya sesekali dan Dewa selalu saja tidak bisa menemui kami karena ada kepentingan yang tidak bisa ditunda-tapi aku makan steak dan kentang tumbuk yang enak sekali disana, jadi aku tidak pernah memikirkannya.

Ku edit gambar kue red velvet tadi untuk postingan blog, kulakukan sesempurna mungkin dan menghela napas lega saat sudah mempostingnya dan dapat feedback positif lewat akun instagramku. Hidupku cukup sempurna sekarang, jujur aku ketakutan apa yang akan terjadi kalau aku sampai bekerja direstoran Dewa, aku harus memanggilnya apa nanti?, apakah ia setua ayahku?, apakah ia akan terus membayangiku? Ah pikiranku jadi kacau, sampai-sampai aku tidak sadar Papi sudah masuk kamar dan berdiri disamping tempat tidurku.

"Dewa bilang kamu boleh mampir untuk lihat-lihat ke dapur besok." Ucap papi antusias

"Apa pi?"

"Kamu besok datang kerestoran Dewa untuk lihat-lihat kedapurnya besok! Jam 8, nanti Papi yang antar." Nada suara papi amat ceria mungkin ia tidak tahu bahwa gadis kecilnya sedang mengeluh habis-habisan dalam hati.

******************************

Papi masih menggerutu atas pilihan bajuku, karena aku tetap bersikeras mengenakan celana jeans dan kemeja hitam bermotif bunga merah yang norak, mami juga terlihat tidak setuju tapi tatapan memelasku membuat mami mengiyakan selera berpakaianku yang payah.

Kami hampir sampai ke restoran Dewa saat Papi menceramahiku untuk tetap duduk diam dan memperhatikan dengan seksama, ah tulis hal yang penting supaya tidak lupa, beserta tambahan nasehat papi yang berderet panjang. Belum mulai saja rasanya aku ingin kabur, aku harap nanti aku masih bisa berpura-pura mengintip keluar jendela daripada harus berdiri berjam-jam.

"Nanti kamu yang sopan sama Dewa, jangan bikin malu Papi." Perintah papi mewanti-wanti.

"Iya, tapi aku panggil dia apa ya pi, berapa sih umurnya?" Tanyaku basa-basi.

"Masih 33 kalau ga salah, papi juga lupa yang pasti masih muda untuk ukuran orang sesukses dia." Jawaban papi membuatku terkejut.

"Papi kenal darimana? Kok muda banget pi?"

"Temenan kan sama siapa aja maia, ceritanya panjang, nanti papi ceritain".

Jelas aku kaget, usia papi sudah setengah abad, dan tidak biasanya papi main dengan orang yang jauh dari usianya. Karena papi termasuk orang yang malas meladeni percakapan dengan orang yang kurang dewasa dan terkesan lembek dalam menjalani hidup. Mungkin orang ini cukup istimewa juga.

Kami masuk kedalam restoran yang masih tutup itu setelah bertanya pada satpam yang berjaga didepan, ia mengantar kami kesebuah ruangan dilantai dua. Pintunya bergaya minimalis yang modern, kenop pintu itu berwarna silver menyilaukan mata, papi menepuk punggungku pelan. Seakan tahu bahwa tanganku sudah dingin sejak tadi, kucoba memaksakan senyuman kecil pada papi, atmosfer kantor ini seakan menekan dan rasanya aku bisa muntah kapan saja, berbeda jauh dari restoran dilantai bawah yang hangat dan menyenangkan.

"Silahkan masuk pak." Satpam tadi mempersilahkan kami masuk kedalam ruangan tersebut.

Papi berinisiatif membuka pintu dan masuk terlebih dulu, jadi aku mempunyai kesempatan untuk mengekor dibelakang papi. Awalnya aku tidak berani melihat apa yang ada dihadapanku, aku lebih memilih menunduk dan pura-pura tidak ada disitu.

"Dewa ini Maia anak saya.." Aduh papi, mau tidak mau aku harus mengangkat kepalaku.

Dan ia berdiri disana, orang yang bernama dewa itu sungguh jauh diluar ekspetasiku. Rambutnya hitam legam dengan potongan spike, rahangnya keras dan hidungnya mancung, kulitnya putih dengan otot-otot yang terbentuk sempurna, meskipun ia hanya mengenakan seragam chefnya, siapapun bisa melihat bahwa ia lelaki dewasa yang tampan, hampir-hampir aku lupa berkedip. Dengan cepat kuraihkan tangannya yang sedari tadi ia ulurkan padaku untuk berjabat tangan. Sungguh aku tidak percaya usianya 33 tahun.

"Oke Maia bisa ditinggal, selanjutnya biar jadi urusan saya." Suara baritone Dewa terdengar penuh kharisma.

"Oke aku titip Maia sama kamu dewa, kalau ada apa-apa telepon aja." Jawab papi masih sama antusiasnya.

Kupandangi papi yang mulai beranjak dari kursinya, ia mengelus kepalaku sebentar dan berjalan keluar pintu. Kupandangi lekat-lekat punggung papi yang baru saja berlalu dihadapanku, rasanya bau parfum papi sudah tertelan oleh aroma musk yang maskulin berasal dari Dewa, tentu ia memakai parfum yang mahal tebakku.

"Maia herra?" Suara Dewa memecah keheningan.

"Iya, chef..?", jawabku ragu-ragu, semoga saja ia tidak mendengar getaran dari suaraku.

"Saya sudah melihat blog kamu, tentu saya melihat bakat alami dari dalam diri kamu." Aku sedikit tersipu saat Dewa mengatakan itu, "But, work at professional kitchen is completely different, you maybe talented, sadly is not enough." Suaranya sungguh mengintimidasiku.

"Aku nggak keberatan untuk belajar.." Jawabanku membuatnya mendelik.

"Thats good, but, work hard is the main point." Sorot matanya terasa menusuk seakan aku tidak pernah mengucapkan hal yang benar.

"Aku siap untuk kerja keras." Jawabku mantap, mungkin aku tidak tahu apa-apa tapi aku benci diremehkan.

"Kamu harus sadar sepenuhnya, kamu nggak akan kerja sambil santai lagi, atau masak sembari makan sebungkus oreo, its a battlefield down there, and im not gonna telling a lie, this thing gonna be tough.." Dewa mendesis padaku.

Sungguh aku tidak pernah melihat senyuman setidakmenyenangkan itu dan dinginnya terasa menusuk, bagaimana bisa papi berteman dengan orang kasar seperti Dewa, kemana menguapnya semua obrolan tentang obat gosok itu? Aku yakin keringat pasti sudah membasahi keningku, aku harap Dewa tidak melihat tanganku yang mulai bergetar.

"Ayo kita ke dapur, Restoran sudah hampir buka." Dewa berdiri dengan angkuh tanpa melihatku sedikitpun.

Aku merapalkan semua doa yang aku tahu dalam hati, berharap ada keajaiban sehingga aku tidak perlu ada ditempat ini lagi. Dewa terus berjalan sampai disebuah pintu besi dan berhenti sejenak disitu.

"Are you ready?" Lagi-lagi ia mengucapkan itu tanpa melihatku.

Aku harap aku siap, meskipun rasanya lari jauh dari sini dan bersembunyi sampai hidup normalku kembali terasa lebih baik, melihat aku diam saja entah aku salah dengar atau tidak tapi Dewa mengeluarkan kekehan kecil. Rasanya aku sudah membuat keputusan yang salah.

Heyhoo, makasih udah baca sampe akhir part, aduh maaf kalo kesannya flat dan ketebak alurnya yah masih harus belajar banyak, Semoga bisa update cerita cepet dan ga banyak typo lagiii :D

(UPDATE 13/5/18)

BTW Gaes, cerita ini masih amat sangat berantakan dari segi tatanan bahasa dan sebagainya, saya sedang berusaha keras mengedit cerita ini agar setidaknya..Yah..Lebih enak dibaca. Setting Lokasi: Indonesia dan Brooklyn. Kenapa banyak bahasa inggrisnya, karena waktu itu kemampuan merangkai kata dalam bahasa indo saya masih sangat payah. Sejujurnya saya ga nyangka bisa banyak yang orang baca ini, jadi maafkeun gaes semoga mata kalian tak sakit pun. Udah siap? Yuk kita jelahi cerita ini bareng-bareng!

-Best Regards

Continue Reading

You'll Also Like

Sense By liarasati

General Fiction

2M 210K 36
Sinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Ada...
106K 12.1K 118
[Song Series][Completed] Ava, seorang layouter majalah, tidak pernah sesial ini dalam hidupnya; kekasihnya setuju dijodohkan dengan wanita lain, dan...
904K 40K 18
"I am just a boy, standing in front of a girl, asking her if I could kiss her." Bagi Diandra mencari pacar adalah hal terakhir yag dia pikirkan dalam...
1.6M 172K 66
TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes "Kita kapan akan bercerai?" - Aliyah, istri. "Kamu ajakin saya kumpul kebo?" - Jesse...