25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)

By HeinLKreuzz

263K 19.1K 1.4K

Dua puluh lima anak melangkahkan kakinya di kehidupan SMU dengan harapan yang beragam. Mereka ditempatkan dal... More

Resensi
Diary Hari Pertama
Diary Hari Kedua
Diary Hari Ketiga
Diary Hari Keempat
Diary Hari Kelima
Diary Hari Keenam + Komentar Minggu Pertama
Diary Hari Ketujuh
Diary Hari Kedelapan
Diary Hari Kesembilan
Diary Hari Kesepuluh
Diary Hari Kesebelas
Diary Hari Keduabelas + Komentar Minggu Kedua
Diary Hari Ketigabelas
Diary Hari Keempatbelas
Diary Hari Kelimabelas
Diary Hari Keenambelas
Diary Hari Ketujuhbelas
Diary Hari Kedelapanbelas + Komentar Minggu Ketiga
Diary Hari Kesembilanbelas
Diary Hari Keduapuluh
Diary Hari Keduapuluhsatu
Diary Hari Keduapuluhdua
Diary Hari Keduapuluhtiga
Diary Hari Keduapuluhempat + Komentar Minggu Keempat
Diary Hari Keduapuluhlima
Konklusi : Fakta Dibalik Tragedi
Jalan yang Mereka Pilih

Babak Pembuka dalam Babak Penutup

15.1K 894 67
By HeinLKreuzz

-----Awal ataukah akhir?----- 

Kebakaran itu berlangsung hampir empat jam. Belasan mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk menanggulanginya. Bergalon-galon air disemprotkan ke titik-titik api. Proses yang melelahkan bagi para petugasnya. Ditambah ratusan penduduk yang antusias menonton malah memperlambat dan membatasi aksi mereka. 

“Malam ini sebuah obor raksasa menerangi pusat kota. Dimana bahan bakarnya adalah sebuah sekolah terkenal di kota kita. Saya, Darla Emmanuel, melaporkan langsung dari tempat kejadian,” kata seorang wanita cantik yang sedang meliput kejadian tersebut bersama krunya. 

Darla memperbaiki tata letak rambutnya, sementara kamera menyorot puing-puing sekolah. “Saat ini…” lanjut Darla, “…api telah berhasil dipadamkan. Melanjutkan liputan kami sejam sebelumnya, bisa Anda lihat keadaan sudah mulai teratasi. Kami juga telah menemukan beberapa saksi mata yang akan kita wawancarai khusus untuk para pemirsa semua.” 

Seorang anak mendekati Darla. Dia kelihatan gugup sekaligus bersemangat. 

Darla menunjukkan mimik terharu, “Saksi pertama kita adalah salah satu dari murid sekolah ini. Silahkan perkenalkan dirimu, Dik.” 

Si anak gagap sebentar. Matanya bersinar menatap kamera. Teman-temannya memberi semangat di belakang. “Er… nama… nama saya Ryan Iskandar. Saya murid kelas 3.” 

Darla pura-pura menenangkan Ryan, “Pelan-pelan saja, Dik. Kami tahu kalian masih shock. Tolong ceritakan bagaimana musibah kebakaran ini bermula.” 

Ryan mengangguk. “Saya anggota klub sepakbola. Sore tadi termasuk jadwal latihan kami. Anak-anak yang lain sudah pulang semua. Lalu kami melihat anak-anak kelas terkutuk berbondong-bondong ke belakang gedung sekolah.” 

“Ma’af! Kelas apa katamu tadi?” potong Darla, terkejut dan bergairah. 

“Kelas… terkutuk,” jawab Ryan ragu-ragu. Diliriknya teman-temannya, meminta dukungan.

“Kelas macam apa itu?” Darla menodong Ryan. 

“Kelas yang mengerikan. Isinya anak-anak aneh semua. Ada kutukan yang mengiringi kelas itu.” 

“Kutukan?” Darla mempermainkan nada suaranya. Berusaha membuat penonton semakin penasaran. 

“Iya, kutukan!” kata Ryan berapi-api. “Kelas ini sudah ada sejak tahun 2003. Setiap angkatan tidak bertahan lebih dari satu tahun.” 

“Wow,” puji Darla, bukan pada Ryan tapi lebih pada dirinya sendiri yang baru saja mendapatkan berita fantastis. 

“Makanya saya punya firasat buruk saat melihat anak-anak kelas terkutuk berlarian bergerombol. Nah, beberapa menit kemudian terdengar ledakan yang bersahutan. Kaca-kaca jendela beterbangan ke segala arah dibuatnya. Terang saja kami semua panik melarikan diri. Yang saya ingat, dengan cepat api mulai menjalar dan melahap setiap ruangan. Lalu salah satu teman saya, Kienan, menghubungi polisi.” 

Seorang anak berkepala plontos yang berdiri di belakang Ryan melambaikan tangannya. “Saya Kienan,” serunya, tersenyum gugup. Kamera menyorotnya sebentar lalu kembali lagi pada Darla dan Ryan. 

“Terima kasih atas keterangannya, Ryan. Pemirsa semua, saksikan wawancara eksklusif saya dengan Ryan Iskandar dan teman-temannya, besok sore di acara Bincang-bincang Bersama Darla dengan tema Kelas Terkutuk.” 

Ryan yang mendengarnya, megap-megap. Dirangkulnya teman-temannya. “Kita masuk TV! Kita masuk TV lagi!” katanya kegirangan diiringi sorak-sorai teman-temannya. 

“Saya akan melanjutkan dengan saksi kedua.” Darla berlari kecil ke arah mobil pemadam kebakaran, diikuti para krunya. Darla mencegat seorang petugas tinggi besar yang wajah dan seragam merahnya penuh belepotan jelaga hitam. 

“Aku sedang sibuk!” tolak si petugas, nadanya ketus. 

“Sebentar saja Pak,” mohon Darla. Tersenyum sedikit genit. “Anda sudah berjanji akan bekerja sama tadi. Tidak jantan bagi seorang laki-laki untuk mengingkari janjinya sendiri kan?” bisik Darla. 

Si petugas termakan umpan. Walau wajahnya tetap keras membatu. 

“Ma’af nama Anda?” tanya Darla. 

“Anto,” jawab si petugas. 

“Lengkapnya?” 

“Ya Anto! Tidak ada embel-embel di belakangnya!” Anto naik pitam. “Ada masalah dengan itu!?” 

“Tidak.” Darla memaki dalam hati. “Baiklah Pak Anto, bagaimana keadaan di dalam sana?” Darla menunjuk gedung sekolah. 

“Kacau sekali. Semua ruangan habis dilahap api.” 

“Apa ada korban?” 

“Korban jiwa tidak ada. Tapi ada beberapa murid dan guru cedera akibat ledakan.” 

“Bagaimana dengan serombongan anak-anak yang dilansir berada di belakang gedung?” 

“Kami juga menerima laporan itu. Anehnya saat kami melakukan penyortiran di tempat itu kami hanya menemukan satu orang anak yang terkapar di rerumputan. Ada luka bekas pukulan di kepalanya.” 

“Siapa anak itu!? Apa dia masih hidup?” Darla menyorongkan mikrofonnya terlalu dekat dari mulut Anto. 

Anto menepis mikrofon tersebut. “Itu bukan wewenang saya untuk menjawabnya!” 

Darla mundur perlahan, menimbang-nimbang sebentar, “Kalau begitu, ini pertanyaan terakhir. Anda yakin tak ada anak lain di lokasi tersebut?” 

“Ya!” jawab Anto pendek. Meninggalkan Darla tanpa permisi. Padahal reporter itu sudah berharap akan dapat banyak berita penting dari jajaran petugas pemadam kebakaran. 

Darla memberi isyarat agar kameraman mengambil gambar kerumunan orang-orang. Dia mendekati seorang polisi, menanyakan siapa pimpinan mereka di sini. Dia kehabisan saksi penting dan otaknya berpikir keras mencari saksi potensial baru. Polisi tadi menunjuk seorang pria gendut berkumis lebat. Darla mengenalnya. 

“Malam, Pak Inspektur,” sapa Darla. 

Pria tersebut menatap Darla. Wajahnya pucat dan terlihat jelas kelelahan. “Darla. Aku tidak punya waktu untuk wawancaramu saat ini.” 

“Kita off-air saja,” usul Darla. 

“Kau ingin tanya apa?” 

“Anak yang ditemukan, kondisinya?” 

“Dia pingsan. Kurasa itu saja yang bisa kusampaikan padamu. Kita lihat saja perkembangannya nanti.” 

Darla terpaksa mengurungkan niatnya untuk mengorek informasi lebih. Usai berterimakasih dia kabur untuk mewawancarai penonton yang berebut ingin masuk TV. 

Sang Inspektur menghela nafas. “Wanita itu selalu bikin susah,” keluhnya. 

“Darla?” celetuk salah satu bawahannya. 

“Siapa lagi.” 

Seorang petugas paramedis menghampiri mereka. “Anak itu sudah siuman,” lapornya. 

“Kalau begitu, tunggu apa lagi. Dimana anak itu sekarang?” kata si Inspektur. 

“Di ambulance paling depan.” Petugas paramedis tadi menuntun mereka ke sana. Beberapa polisi bertampang sangar mendorong para penonton supaya mundur menjauhi lokasi kejadian sewaktu mereka lewat. Namun ada saja wartawan-wartawan nekat yang mencuri-curi maju untuk mendapatkan gambaran lebih akurat. 

Ada yang berteriak-teriak di dalam ambulance. Saat pintu ambulance dibuka, mereka melihat anak yang mereka perbincangkan tadi meronta dan menjerit minta dilepaskan. Dua petugas paramedis lain memegang tangannya dan memintanya menenangkan diri. 

“Teman-teman saya! Tolong teman-teman saya!” ratap anak itu. 

“Lepaskan dia!” perintah Inspektur pada para petugas paramedis. 

“Tapi Pak…” Sang petugas paramedis ingin menolak. 

“Teman-teman saya!!!” jerit anak tadi, menyayat hati siapapun yang mendengarnya. 

“Lepaskan anak itu!!!” perintah Inspektur lagi. Kali ini intonasinya lebih keras. 

Para petugas paramedis mengalah. Mereka melepaskan pegangannya. Si anak menatap Inspektur, bingung sekaligus berterimakasih. 

“Bapak siapa?” tanyanya pada Inspektur. 

“Namaku Inspektur Gunther Shya. Kurasa kau sekelas dengan anakku.” 

Mulut anak itu terbuka lebar. “Omega?” Air matanya mengalir di pipinya. 

“Ya, dia putriku.” Inspektur Gunther memeluknya. “Tenanglah, kau aman di sini.” 

Namun si anak menolak dipeluk. “Anda tidak mengerti! Omega dan yang lain, mereka terkubur hidup-hidup! Ada murid gila yang berniat mencelakai kami!” 

“Apa maksudmu!?” Mata Inspektur Gunther terbelalak. 

“Saya berhasil kabur! Yang lain tertipu kata-katanya dan dia mengurung mereka di ruang penyimpanan beserta dirinya sendiri!” 

“Pelan-pelan… kami tidak dapat memahami ceritamu kalau kata-katamu tidak jelas seperti ini.” 

Anak tadi tercekat. Dia membuka seragamnya dan mengeluarkan sebuah buku dari balik baju dalamannya. “Ini,” diserahkannya buku itu pada Inspektur Gunther. “Semuanya ada di sini.” 

“Buku apa ini?” Inspektur Gunther membuka halaman pertamanya. 

“Itu diary kelas. Yang lebih penting sekarang tolong Anda segera ke belakang sekolah. Cari sebuah pintu tingkap beton. Di bawahnya ada ruang penyimpanan. Di sanalah Omega dan yang lain terkurung. Tolong teman-teman saya!” 

Inspektur Gunther langsung memahami kondisinya. “Lakukan yang dia katakan! Panggil bantuan! Segera!” teriaknya. 

Bawahannya berhamburan mematuhinya. Inspektur Gunther sendiri berlari menuju belakang gedung sekolah. Si anak berniat menyusulnya yang tentu saja langsung dihalangi petugas paramedis yang menanganinya. 

“Lukamu belum sembuh Nak.” 

“Tapi teman-teman saya?” 

“Ada petugas yang lebih kompeten menanganinya! Kemarikan kepalamu, perbannya longgar gara-gara kau banyak bergerak!” 

Si anak terpaksa menurut. 

“Kalau kau menurut begini kan enak. Kami tahu kau khawatir tapi kondisimu sendiri juga sedang cedera. Beristirahatlah dulu. Oh ya, namamu siapa? Biar kami bisa menghubungi orang tuamu.” 

Si anak meringis karena si petugas terlalu kencang menarik perban di kepalanya. Kemudian dia menyebutkan namanya. 

Continue Reading

You'll Also Like

116K 28.6K 118
Kisah-kisah yang entah puitis, humoris, sarkastis, atau optimistis; bercokol di antara enigma dan ambiguitas :.:.: ( ~'-')~ Oracular: 30 Daily Writ...
10.1K 1.1K 40
Jung Sungchan lelaki kelahiran tahun 2001. "Will you be my lover??." Ucap sungchan sembari menatap lea. "Emmm Yes I will." jawab lea malu malu. JANG...
91.5K 10K 61
Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan penyebab tewasnya Jun karena overdosis, bah...
Mirat By Dian Fajarianto

Science Fiction

1.1K 180 22
[R-17] [Disturbing Content] "Malam, semua. Bertemu lagi dengan Kaga Kukila, seekor pungguk setengah manusia yang jadi v-caster karena tak sanggup men...