GUS AZZAM

By itsnour29

4.7M 285K 44K

[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas... More

Prolog : Gus Azzam
01 - Pertemuan setelah sekian lama
02 - Pesantren Al-Furqan
03 - Kewajiban
04 - Tidur bersama?
05 - Hukuman
06 - Takdir, bukan kebetulan.
07. Sahabat
08. Akish dan Alaska
09. Sakit, Rindu, Alaska.
10. Fitnah dan Jebakan?
11. Di balik kejadian.
12. Perasaan yang berlebihan
13. Hijrah itu lebih baik
14. Cacing Alaska
15. Tahajjud dan cinta nya
16. Aku, kamu, dan salah tingkah
17. Menjadi imam yang baik.
18. Masalalu yang lucu
19. Kecemburuan akan masa
20. Pembicaraan dan Renungan
21. Ada apa?
22. Sebagai Guru
23. Panggilan resmi
24. Bersama dengan nya
25. Kunjungan Mertua
26. Kehilangan di Pasar
27. Kemunculan Sadam
28. Putra Tengah Al-Furqan
29. Kedatangan & Kepergian
30. Pulang atau Pergi
31. Makanan Halal & Haram
32. Tabungan?
33. Beginilah cinta mereka
34. Perasaan Umma
35. Kembalinya Putra Tengah
36. Di balik Bingkai Foto
37. Secara tiba tiba
38. Kabar dan Sebuah Kurma
39. Beberapa panggilan
40. Perempuan yang di temui
41. Ngidam
42. Cerita setelah kerja bakti
43. Meninggalkan Pesantren
44. Pemuda Pemuda Syam
45. Hari Kelahiran
46. Hujan dan Maaf
47. Perihal Sadam
48. Mata yang indah
49. Yang menemukan nya
50. Perempuan perempuan
51. Bertengkar dingin
52. Kembali berdamai
54. Sebelum pamit
55. Sebuah Tragedi?
56. Pilihan yang mutlak
57. Kedatangan dalam diam
58. Keputusan berpoligami
59. Ada nya bukti?

53. Berada di rumah kayu

32.2K 1.9K 1.1K
By itsnour29

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

TARGET NYA TEMBUS LAGI MASHAALLAH 😭

CIE CIE, ADA YANG ULTAH @mhmdd_azzam

••••

•••

••




Pagi telah menunjukkan dirinya. Seisi pesantren kembali ramai sebab pada hari itu menginjak di hari Senin.

Di mulai dengan beberes di asrama usai melaksanakan shalat subuh. Kemudian lonceng kembali berbunyi. Menghabiskan banyak waktu sampai santri santri harus mengantri untuk pergi mandi. Kemudian di berikan arahan lewat pengurus yang menggunakan pengeras suara untuk segera memasuki kelas.

Pria itu sekarang sedang berdiri melihat gerak aktif Ali yang sedang bermain dengan Faiz, sepupu nya. Mereka sedang beradu dengan robot yang ada di genggaman mereka.

"Ali, mau ikut dengan Ayah?"

Azzam menanyakan nya. Anak itu menyadari dan mengangkat pandangan nya. Ali menunjukkan robot nya pada sang Ayah.

Azzam memiringkan kepalanya dan menatap Ali. Ali menurunkan robot nya. Sementara Faiz mulai datang dan berlari kecil.

Pria itu melihat keponakan nya. "Faiz, jalan nya pelan pelan."

"Paman Jamjam."

Faiz tertawa. Ali ikut tertawa. Azzam menatap mereka berdua dengan lama. Ia ikut tertawa dengan anak anak itu.


"Kenapa paman Jamjam?" Tanya nya.

"Ayah bilang, Faiz harus manggil Paman Jamjam."

Sadam. Ya Allah. Apakah dia kehabisan ide sampai Faiz harus memanggil nya dengan panggilan barusan? Tidak apa. Azzam suka. Lagi pula, terdengar menarik.

"Mau ikut mana, Ayah?" Ali bertanya. Azzam mengalihkan pandangan nya ke arah anak sulung nya itu.

Anak sulung, hhh.

"Ibu kamu mau keluar. Mau ikut?"

Anak itu menggelengkan kepala nya. "Masih mau main."

"Benar, ya? Tidak ikut?"

"Tapi kapan pulang nya?"

Azzam terdiam sesaat.

"Mungkin besok."

Anak itu tentu saja menganggukkan kepalanya. "Kalau gitu, Ali mau ikut."

Azzam kemudian mengalihkan pandangan nya ke arah Faiz kemudian menyuruh anak kecil itu untuk ikut mendekat. Faiz berlari kecil kembali. Azzam memberitahu nya, "Faiz di panggil sama nenek disana."

"Mau di antar..."

Pria itu melamun sejenak. Anak Sadam yang satu ini terlihat lucu juga. Wajah nya sangat persis dengan Sadam. Azzam hampir tidak percaya jika lelaki kocak itu sudah memiliki anak.

Azzam meraih tangan mungil nya. "Ayo.."

***

Rasa senang sekaligus terkagum kagum terselimuti dalam bayangan Hana. Perempuan itu merasakan kesejukan kebun teh yang baru saja menyambutnya saat itu baru tiba disana.

Hari ini, Azzam menerima permintaan nya untuk berjalan jalan menuju ke kebun teh dan menginap sehari di rumah kayu. Sudah lama perempuan itu menginginkan nya. Dan hari ini, ia mendapatkan nya.

Sebelum kelahiran Ali, Azzam telah mengambil alih kebun teh untuk meringankan tanggung jawab Kyai Zayn yang masih menjadi pemimpin pondok pesantren.

"Woah... Seindah ini ciptaan Allah!"

Pria itu sesekali menolehkan kepala. Ia tersenyum dan meraih tangan Hana untuk ia genggam. Hana ikut menggenggam tangan nya.

"Kamu suka?"

"Banget, banget banget!!"

"Kebetulan hari ini tidak ada jadwal, Na." Azzam mengatakan nya. Hana menganggukkan kepalanya. Ia ikut tersenyum.

"Oh ya." Azzam berdehem. "Kamu tidak mabuk darat?" Pertanyaan Azzam membuat Hana menggeleng cepat. Ia menunjukkan senyum kemenangan.

"Ngga. Emang nya kenapa?"

"Takutnya kamu mau berhenti."

"Tapi udah mau sampai ngga?"

"Alhamdulillah, sudah. Pakai jaket saya, ya."

Mobil memasuki satu area parkir, kemudian mobil berhenti. Azzam menoleh dan melihat Hana sedang meraih jaket milik suami nya. Ia memakai nya.

Pria itu sedikit mendekat dan merapikan. Tak lupa merapikan hijab dan cadar perempuan itu. Ia juga memastikan bahwa perempuan itu sudah menurut aurat nya dengan baik.

Ketika melihat Azzam sudah membuka pintu mobil, Hana buru buru keluar agar pria itu tidak perlu repot membukakan nya. Kedua nya bertemu dan Azzam berhenti dengan tawaan kecil nya.

"Loh?"

"Udah terlanjur." Hana langsung mendorong dada suami nya. "Ih, ayo, ayo, aku mau lihat rumah kayu nya."

Azzam tersenyum begitu saja. Hana menarik tangan pria itu untuk segera meninggalkan mobil. Bahkan sudah meninggalkan beberapa langkah dari sana. Namun ada satu hal yang belum Hana sadari sama sekali.

Saking semangatnya ingin melihat nampak rumah kayu yang selalu di bicarakan suami nya akhir akhir ini.

Perempuan itu menoleh ke arah nya dan nampak bingung. Azzam terus saja tertawa kecil. Seperti meledek nya. Ia pun bertanya tanya.

"Kenapa ketawa ketawa kayak gitu?"

"Kamu ngga ngerasa lupa dengan sesuatu?"

Kedua alis Hana mengerut. Ia berhenti melangkah, begitupun dengan Azzam. Pria menolehkan kepalanya ke arah mobil. Seakan memberi isyarat. Hana melihat ke arah sana. Terlintas di pikiran sesuatu yang belum ia sadari itu.

"ALI?!!"

"Ning, pelan pelan lari nya!"

Azzam memberitahu nya. Perempuan itu berlari kecil menuju ke mobil. Bagaimana bisa ia melupakan anak nya sendiri yang masih tertidur pulas?! Ah, maklumi saja. Sedari perjalanan yang lama itu, Ali tidak mengeluarkan suara dam tenang tertidur di belakang mereka. Sampai Hana sendiri tidak menyadari nya.

"Ya Allah, Ali!"

Ia mengetuk kaca jendela dengan cepat, dan kesal sendiri. Sementara Azzam baru saja datang menghimbau Hana untuk sedikit menjauh agar ia bisa membuka pintu mobil.

"Kazam kenapa cuma ketawa ketawa?! Ini anak kita loh?!" Perempuan itu memukul punggung nya.

Pria itu menoleh. "Kamu sendiri? Kenapa bisa lupa?"

Tatapan Hana tajam. Azzam yang melihat itu hanya tersenyum. Pria itu mengambil beberapa benda milik Ali. Kemudian memberikan nya pada Hana.

"Kazam sengaja?!"

"Ning, kamu lucu."

"Ngga ada yang lucu."

"Oke, saya minta maaf."

Hana menghela nafas. "Ali—"

"Biar saya yang gendong. Jangan bangunkan dia."

"Tapi berat..."

"Saya bisa."

Hana menatap Azzam sedikit jengkel. Pria itu malah tertawa kecil, sementara Hana sedikit menjauh agar suami nya bisa mendekat ke arah Ali untuk menggendong nya. Tapi anak itu sudah menyadari nya dan perlahan membuka pandangan.

"Ibu..."

"Ibu kamu ketinggalan di pesantren." Azzam berbicara begitu saja. Ali hampir merasa gelisah. Tapi Hana sudah lebih dulu mencubit pria itu.

"Ih, jangan di gituin!"

"Iya iya."

"Ibu..." Ali kembali memanggil nya. Hana langsung menampakkan dirinya.

"Ibu disini, sayang."

Azzam menoleh cepat ke arah nya. Kedua alis Hana terangkat.

"Kamu manggil sayang?"

***

Pria itu, sedang berdiri menunggu kehadiran seseorang, hampir menghabiskan beberapa menit bagi nya dan menurut nya ini sungguh merepotkan.

Bastian.

Bastian berdiri di pinggir jalan yang ramai. Ia berada di depan sebuah toko pakaian. Banyak orang berlalu di belakang nya. Bastian melihat sekitar ia menunggu seorang perempuan.

Siapa lagi jika bukan...

"Hey."

Pria itu mengangkat pandangan nya dengan cepat. Ia melihat sosok perempuan yang ia sudah ia tunggu tunggu. Perempuan itu mendekat ke arah nya.

"Kenapa manggil gua?"

"Dasar ngga guna!!"

Bastian masih menatap Anaya dengan ekspresi bingung nya. Sebelah alisnya terangkat. Anaya nampak menggebu gebu. Tangan nya yang mengulur tadi tiba tiba ia urungkan.

"Apa?"

"Kamu, aku udah bebasin kamu dari penjara, dan kamu ngga guna!"

Anaya baru saja menggertak nya.

"Mereka damai." Anaya kembali menegaskan.

Bastian. "Hey, gua udah ngelakuin apa yang lo minta. Gua nurut sama lo. Lagi pula, ini bukan murni niat gua yang mau bantuin Lo. Gua tau balas budi, dan lo cuma minta gua buat bikin Azzam sama Hana bertengkar. Gua berhasil, mereka sempat bertengkar. Tapi, bukan salah gua kalau mereka berdamai." Bastian menunjuk ke arah nya. Anaya diam dan menatap nya tidak suka.

"Ambil itu?!!" Anaya tiba tiba saja melemparkan kunci mobil ke arah nya. Bastian tentu saja terkejut.

"Ambil itu?! Dasar ga guna?! Aku ga butuh kamu."

Tangan Bastian mengepal. Ia langsung kembali melempar kunci mobil pada Anaya dengan kesal. Merasa tidak terima.

"Mau Lo apa sebenarnya?!"

Anaya menatap Bastian dalam diam. Bastian mengalihkan pandangan nya dan menghela nafas kasar.

"Azzam, Bas. Azzam. Kamu udah ketemu dia kan waktu itu? Kamu harusnya tau kenapa aku pengen dia?!" Anaya bersikeras. Bastian menggelengkan kepalanya.

"Gua lihat dia. Dia memang serius dalam hubungan, dan gua lihat keseriusan dia menangani pertengkaran nya dengan Hana meski sempat tersulut emosi." Bastian berdehem. "Tapi, ini semua efek dari rencana lo. Lo sengaja datang ke pesantren Al-Furqan dua hari lalu itu buat mancing kegaduhan di antara mereka. Gua sama lo muncul di hari yang sama. Jadi jangan heran kalau mereka bisa bertengkar."

Anaya tersenyum, terkekeh, dan kemudian memasang ekspresi kesal.

"Tapi mereka damai lagi besok nya?!"

Bastian tertawa puas.

"Kenapa senang? Bukan nya kamu bilang, kamu suka sama Hana?! Aku pikir kamu terima kerjasama aku, karena kamu suka sama Hana."

Bastian mencoba meyakinkan Anaya. "Meski gua udah masuk penjara sebanyak dua kali, tapi gua masih bisa bedain mana namanya cinta, mana yang nama nya obsesi." Mendengar itu, tentu saja Anaya tersinggung.

"Bas, kamu harus ngerti—"

"Ngga, ngga. Lo yang harus terima. Azzam, menolak, poligami." Bastian menekan kalimat akhirnya.

"Ngga!"

"Nay, ini buat kebaikan bersama. Gua paham. Lo lahir dari keluarga kaya raya. Keluarga yang selalu memenuhi keinginan lo. Anak yang selalu di jaga keinginan nya. Tapi bisa ga, lo terima kenyataan yang takdirnya bukan buat Lo?"

Anaya menepis tangan Bastian yang menunjuk nya. "Jangan sok sok an ceramah di depan ku!!"

Bastian hanya termenung diam dan menatap nya.

"Ingat, Bas. Aku ga butuh kamu?! Terserah kamu mau kemana, paling juga jadi gelandangan. Aku bisa sendiri tanpa di bantu!! Lihat aja, Bas!!" Anaya meneriaki nya. Ia melangkah untuk menjauh dari Bastian. Membawa kunci mobil itu lagi bersama nya.

Bastian hanya memandang Anaya mulai menjauh. Disaat itulah ia baru menyadari bahwa kerjasama mereka telah berakhir.

Jika begitu, ia bersyukur.

***

Ada dua laki laki yang berjalan kaki dengan suara obrolan mereka yang terkadang di gabung dengan bahasa arab. Mereka sedang membicarakan teman lain mereka yang sedang tidak ada. Bukan ghibah. Hanya sedang membicarakan hadiah dari lomba.

"Lah, Ilham kenapa belum balik ke sana?"

"Dia bilang di tunda. Kemungkinan besok k sini lagi."

Pemuda itu tercengang. "Rugi dong!"

Lawan bicara nya nampak jengkel. "Yang benar aja."


Siapa lagi jika bukan pemuda Syam? Pemuda dari pondok pesantren Al-Hussein yang letak nya juga tak jauh dari kebun teh, apalagi dari rumah kayu Gus Azzam.

Mereka berdua berencana untuk pergi ke rumah kayu, untuk bebersih dan bersantai disana. Hadi dan Fatih yang kini sedang hadir. Sementara Ilham dan Ikhsan sedang pergi untuk mengambil hadiah lomba mereka.

Hadi, pemuda itu tersadar ketika Fatih berhenti melangkah dan menepuk lengan nya.

"Anak kecil siapa itu? Kenapa main disana?"

Mereka melihat Ali. Anak kecil yang tidak pernah mereka temui sebelum nya. Hadi menoleh dan ikut bingung.

"Gus Azzam datang?"

"Entahlah—Astagfirullah, Fatih?!" Hadi memanggil nya cepat ketika Fatih tiba tiba saja meninggalkan nya dan malah mendekat ke arah Ali yang sedang bermain sendirian. Anak itu mengambil dahan yang ia temui kemudian mulai mengukir sesuatu di atas tanah, seperti anak kecil pada umumnya.

"Assalamualaikum, bocil.."

Anak itu mengangkat pandangan nya. Ia terkejut. Ali melihat sosok lelaki tinggi di hadapan nya. Sesaat, Hadi ikut datang dan Fatih mengangkat tangan nya, seakan tau bahwa Hadi akan menegur nya.

"Fatih, kita tidak tau ini anak siapa." Hadi menegaskan itu. Fatih mengibaskan tangan nya.

"Lah, kan mau nyamperin, mau nanya. Ngga boleh?"

Hadi mulai jengkel.

"Siapa nama nya, bocil."

Ali menatap Fatih. Fatih membungkuk dan melihat ke arah nya. Ali memperhatikan lelaki itu. Memakai peci, sarungan, seperti Abang santri di Alfurqan.

"Ali." Anak itu menjawab.

Hadi merasa familiar. Kedua alis nya mengerut dan ia memperhatikan wajah Ali.

"Nama lengkap nya, cil." Fatih lagi lagi meminta nya.

Anak itu tersenyum dan mengangkat dahan ranting yang ada di genggaman nya. "Muhammad Khalid Ibrahim Al-Furqan.."

Fatih menoleh cepat ke arah Hadi, tentu saja terkejut. Hadi nampak ikut terkejut juga. Tentu saja mereka tau siapa pemilik nama barusan.

"Ini Ali?!"

Anak itu hanya memandang Fatih dengan bingung. Fatih memegangi kedua pundak kemudian menepuk nya pelan. "Ya Allah, Ali?!! Abang ga tau kalau ini kamu. Lagian, cepat juga gede nya."

Hadi menghela nafas. "Ngga ngenalin gimana? Muka nya aja udah jelas banget kalau dia anak Gus Azzam."

Fatih berdiri dan menyenggol Hadi dengan siku nya. "Mana ku tau kalau dia udah besar begini?"

Sementara Ali di buat bingung dengan dua lelaki di hadapan nya itu yang sedang membicarakan nya. Entahlah, ia tidak begitu memahami nya. Bahasa dan lihat mereka sedikit berbeda.

"Oh ya, Gus Ali."

Anak itu mengerjap. Hadi baru saja memanggil nya. Lelaki itu sesekali melihat ke arah rumah kayu Gus Azzam.

"Ayah kamu ada tidak?"

***


Setelah melaksanakan shalat Dzuhur nya, Hana mulai tidur siang disana. Ranjang kokoh yang sudah Azzam bersihkan debu debu nya. Perempuan itu memeluk boneka beruang yang bawa. Tidur nya pulas sekali. Azzam bisa melihat wajah cantik nya dari kejauhan.

Pria itu sedang duduk di ruang tamu, sendirian. Ia sedang membaca kitab dan buku. Semua nya menumpuk di atas meja.

"Ali."

Azzam mulai memanggil anak nya. Pria itu menoleh ketika tidak mendengar jawaban nya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.."

Tidak mendapat jawaban, justru ia mendengar salam terdengar. Azzam mengangkat pandangan nya. Pintu rumah kayu baru saja di ketuk. Ia mengenal suara itu. Suara laki laki.

Ia berinisiatif untuk mendekat ke pintu kamar dimana Hana mengistirahatkan diri nya disana, kemudian menutup pintu kamar. Mengingat bahwa perempuan itu tidak memakai hijab dan cadar nya.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab nya, dan tak lama pula, ia membuka pintu.

"Hadi? Fatih?"

Kedua laki laki itu. Tentu saja Pemuda Pemuda Syam. Kedua nya ikut terkejut kemudian menyalimi Azzam.

Tapi, Azzam memiringkan kepalanya. Pria itu melihat Ali bersembunyi di belakang Hadi. Anak itu sadar dan mengangkat pandangan nya dengan cepat. Ali langsung saja memasang tawa.

Azzam tersenyum. "Mmm, sembunyi ya? Ayah tau kamu di luar."

"Ada Abang Abang ini, Ayah..." Ali menunjuk ke arah Hadi dan Fatih. Azzam lagi lagi menatap mereka.

"Ayo masuk. Rumah nya sudah bersih."

"Tau aja kalau kita ke sini buat bersihin."

"Oh iya? Pasti kalian mau nyantai lagi disini."

Sebab di persilahkan untuk masuk, Hadi dengan Fatih memasuki rumah kayu Gus Azzam. Mereka berdua duduk di kursi kayu ruang tamu.

Fatih tertawa kecil. Hadi mengusap leher belakang nya. Sementara Azzam mengambil gelas kemudian menyeduh teh untuk mereka berdua.

"Mana Ilham dengan Ikhsan?"

"Ilham lagi ada di kota. Kalau Ikhsan, baru nyampai ke Kairo."

Azzam tentu saja merasa terkejut. Ia tertawa. "Alhamdulillah, Kyai Husein sudah pasti bangga."

Hadi tertawa kecil. "Bulan depan, giliran Hadi yang berangkat ke Yaman, berangkat nya barengan Ilham mungkin. Kalau Fatih..."

Fatih menyandarkan diri nya di kursi berbahan kayu itu. Ia tidak ikut kalah. "Fatih mau nyusul Ikhsan. Ke Kairo juga."

Azzam berdecak kagum berkali kali. Ia mengangkat tangan nya dan melakukan tos tangan dengan kedua lelaki itu. Tapi sayangnya Ilham dengan Ikhsan tidak ada disana.

Pria itu meletakkan dua gelas. Mempersilahkan murid nya itu untuk meminum nya. Mereka berdua tentu saja sungkan. Tapi karena Azzam yang tidak ingin menerima penolakan dari mereka berdua, yang membuat mereka berdua langsung meminum seduhan teh itu.

"Mashaallah, siapa yang buat teh nya?" Fatih tiba tiba saja berniat memuji. Mengingat teh yang ia minum itu tidak pernah ia jumpai rasa luar biasa nya.

Azzam meletakkan cangkir milik nya. "Enak, ya?"

Hadi tertawa. "Buatan Gus Azzam, kan?"

Pria itu menggeleng. "Buatan istri saya."

Hadi dengan Fatih langsung saja terkejut. "Loh, teh nya masih hangat. Ini baru di bikin berarti?"

"Istri saya sedang tidur." Suara Azzam memelan. Hadi langsung menyuruh Fatih untuk memelankan suara nya. Fatih meminta maaf.

"Gus.."

"Hm?"

Fatih dengan Hadi nampak nya sedang beradu saling menyenggol lengan. Mereka sepertinya bingung atau merasa gelisah.

Maka dari itu, Azzam menyadari gerak gerik mereka. Kedua alis nya terangkat. "Kenapa? Ada hal?"

"Tau tidak?"

"Tidak. Makanya beri tau."

Hadi menatap Fatih dengan jengkel. "Yang jelas, Fatih."

"Tiga hari yang lalu, ada perempuan cantik yang datang ke pesantren Al-Hussein dan nyebut nama Gus Azzam."

Azzam yang tadinya terlihat santai kini perlahan terlihat serius. Ia sedikit terkejut ketika Fatih menceritakan itu padanya.

"Siapa? Dia menyebut nama nya?"

"Ngga. Kita ngga tau siapa namanya." Hadi menyambung topik. Ia di penuhi kebingungan. "Perempuan itu datang ke pesantren Al-Hussein, bertemu dengan Hadi, dan mencari Gus Azzam. Tapi Gus Azzam kan ngga tinggal disini? Jadi, dia pergi dan katanya mau ke Al-Furqan besoknya."

Anaya. Tentu nya. Hanya nama itu yang Azzam duga.

Mungkin, dua hari yang lalu itu, Anaya sudah merencanakan pertemuan nya dengan Azzam sebelum ia bertengkar bersama Hana kemarin. Perempuan itu mungkin hampir menyangka bahwa Azzam tinggal di Al-Hussein.

Perempuan itu...

Azzam tidak boleh meremehkan nya.

Anaya sudah hampir menguasai informasi tentang dirinya. Bahkan sudah mengetahui jika ia pernah tinggal di pesantren Al-Hussein.

Azzam hanya bisa berdoa, semoga semua nya baik baik saja.

***

Malam itu, Azzam memenuhi panggilan untuk nya dari Kyai Husein, ia pergi berjalan kaki untuk ke pesantren Al-Hussein dan sempat bertemu dengan Hadi dan Fatih juga.

Tapi ia memilih untuk cepat pulang. Ia tidak begitu lama disana. Kyai Husein hanya membahas kebun teh, dan mempersilahkan Azzam jika sewaktu waktu pria itu ingin membawa anak beserta istrinya ke pesantren nya.

"Nanti Gus Ali nya di bawa ke sini, ya?"

"Sudah tidur dia."

"Maksud nya, besok, Gus."

Pria itu berada di gerbang dan terkekeh kecil. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi setelah memberikan salam.

Tak jauh bagi nya untuk bisa sampai. Beberapa menit ia sudah sampai di halaman rumah kayu nya. Pria itu membuka sepasang sandal nya, kemudian memasuki rumah kayu tersebut.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumussalam.."

Senyum nya langsung saja terlihat. Ia mendengar suara itu berasal dari arah dapur. Maka Azzam kembali melangkah, ia melihat Hana sedang berada disana. Rasa penasaran nya pun muncul.

"Sedang apa?"

Pria itu berbisik. Azzam memeluk Hana dari belakang. Ia memejamkan mata dan meletakkan dagu nya di pundak perempuan itu. Hana menoleh sesaat dan menepuk lengan Azzam yang melingkar di perut nya.

"Bikin teh, mau ngga?"

"Mau, teh buatan kamu enak katanya."

Hana menertawakan nya. "Iya dong. Jelas." Ia membanggakan dirinya. Azzam terdengar terkekeh.

Tapi, Hana berusaha mencerna perkataan Azzam barusan. Ada maksud terselubung dari kata kata itu. Hana menyadari nya cepat dan menoleh. "Katanya? Kata siapa?"

"Pemuda Syam."

Mata Hana melebar, berbinar binar. "Mereka datang? Kok baru tau ya aku?"

"Tadi kamu tidur, Na. Dan mereka datang."

Sesaat, Hana menganggukkan kepalanya. Azzam masih berada disana dan mengeratkan pelukan nya. Sesekali ia mengelus perut istrinya yang masih terasa rata.

"Ah, iya. Kamu tadi manggil Ali dengan panggilan sayang."

Hana mencicipi teh buatan nya itu. Ia sedikit terkejut ketika mendengar perkataan Azzam barusan. Ia mencoba untuk berbalik badan. Pria itu melepaskan pelukan dan sudah berhadapan dengan Hana pada saat ini.

"Emang nya kenapa? Aku akan sayang sama Ali?"

"Tapi kamu ngga pernah manggil saya dengan sebutan itu."

Perempuan itu menatap Azzam lumayan lama, ia menahan senyum dan wajah nya memerah. Tangan nya terangkat dan mengusap sisi wajah tampan suami nya. Azzam terkekeh kecil.

"Panggilan sayang yang kayak gimana? Kan panggilan Kazam udah cocok?"

"Coba zauji."

"Zauji?"

"Dalem, sayang.."

Hana tertawa dan memukul pelan dada suami nya. Sementara Azzam salah tingkah sendiri, pria itu berusaha menghindari pukulan pelan dari istrinya. Mereka meninggalkan dapur dan membuat sedikit kegaduhan.

Hana mulai berhenti berjalan dan memandang suami nya dengan kekesalan. Wajah nya memerah. Sementara Azzam ikut berhenti dan memasang senyum.

"Sthh, sudah. Jangan berisik. Anak kita tidur."

Awalnya Hana mendengus kesal. Azzam mendekat dan berinisiatif menghiburnya. Ia memegangi tangan nya. "Mau tidur?"

Hana menatap nya. Perempuan itu menggeleng. Ia memeluk lengan suami nya.

"Boleh ngga, aku bermanja?"

Pria itu lumayan terkejut. Hana menunjukkan senyum lucu nya. Tapi sesaat, Azzam tertawa.

"Apa nya?"

"Ngga, cuma mau berduaan."

"Ini, sudah berduaan."

Hana mendengus.

Azzam melirik ke arah lain. Tapi lagi lagi ia terkejut ketika melihat Hana tiba tiba saja menuju ke ruang tamu dan duduk di atas alas karpet. Perempuan itu bersandar di dinding rumah kayu. Azzam tersenyum.

Azzam berusaha mendekat kembali dan ikut duduk di samping istri nya. Ikut bersandar di dinding kayu. Hana menggenggam tangan nya.

"Oke." Pria itu tertawa kecil. "Sekarang, kamu mau apa?"

Pria itu sempat menoleh. Melihat wajah cantik istrinya yang terkena sinar bulan. Sinar bulan yang menembus lewat sela sela kecil dinding kayu. Azzam mengusap sisi wajah sang istri, bahkan mengambil kesempatan untuk mencubit nya. Hana hampir mengamuk.

"Kazam?!"

"Iya, iya, sudah. Sini bersandar."

Hana mengangkat tangan nya seakan menjeda. Ia tiba tiba saja bersin. Azzam terkekeh.

"Alhamdulillah..."

"Yarhamukillah.." Azzam membalas nya.

Perempuan itu menatap nya. Ia menggeser badan nya kemudian memeluk lengan suami nya, seperti ini lah bermanja yang ia maksud. Memiliki waktu luang bersama Azzam.

"Ada hafalan?"

Hana membuka pandangan nya. Seakan baru menyadari nya. Ia menepuk jidat nya. "Ya Allah..." Kemudian Hana mengangkat pandangan nya ke arah Azzam. Pria itu sudah menduga nya.

"Lupa, ya?" Bisiknya. Hana membalasnya dengan anggukan. Cengengesan.

"Maaf ya, aku lupa. Besok aja deh." Pria itu juga mengangguk mengiyakan nya, mencium tangan istrinya.

"Ya sudah, kamu dengar saya muraja'ah saja. Boleh?"

Perempuan itu memiringkan kepalanya. Memasang senyum manis. Azzam mencubit hidung nya dengan gemas. Hana memegangi hidung nya kemudian mencubit nya balik. Bahkan lebih sakit dari pada yang Azzam perbuat. Pria itu sempat meringis, namun lagi lagi tertawa kecil.

"Boleh, tapi kalau aku ketiduran, jangan marah, ya?"

"Kamu ngantuk?" Hana memegangi dagunya, kemudian menggeleng.

"Kali aja nanti ketiduran. Suara Kazam merdu kalau baca ayat Al-Qur'an soalnya."

Pria itu hanya menunjukkan senyum nya. Ia menoleh dan memberikan Al-Qur'an berukuran sedang nya pada sang istri. Alquran itu berada di atas meja yang tak jauh dari nya. Hana menerima, membuka, sedikit menjauh, seolah olah tidak ingin Azzam melihat atau sekedar mengintip isinya.

"Surah mana?"

"Al-Qur'an surah Yunus. Surah ke-10."

Hana membuka Al-Qur'an dan mulai mencari surah yang Azzam sebutkan barusan. Alquran itu memiliki terjemahan. Ia bisa melihat banyak terjemahan yang ada disana. Sesaat ia berdehem, melihat ke arah Azzam. Azzam menyadari dan mulai melakukan tahap muraja'ah.

"Bismillahirrahmanirrahim..."

Sekian detik Hana memperhatikan. Suara suami nya begitu merdu. Ia bahkan hampir memejamkan mata karena nya. Tapi ia merasa senang. Senyum nya tak pudar.

Tapi, menuju ke satu ayat, Hana sibuk membaca terjemahan sekaligus mendengar pelafalan Azzam. Ia sedikit salah fokus terhadap satu ayat itu.

Ia menandai nya.

Sesekali ia melirik ke arah Azzam, ia terkejut ketika pria itu juga ikut memperhatikan dari tadi. Di balik Alquran yang menutupi sebagian wajah nya, Hana nampak tersenyum.

Beberapa menit sudah di habiskan. Pria itu melafalkan sekitar tiga halaman. Hana juga bingung, Azzam sudah melafalkan sebanyak beberapa kali, tapi pria ini tidak pernah ketinggalan melakukan muraja'ah.

"Alhamdulillah..."

Hana ikut berucap demikian, ia meletakkan Al-Qur'an dalam pangkuan nya. Tatapan nya menuju ke arah Azzam dengan satu pertanyaan.

"Kenapa?"

Perempuan itu mengangkat kembali Alquran nya. Memperlihatkan ayat yang sudah ia tandai tadi.

"Surah Yunus ayat 12?" Azzam mengatakan nya. Hana mengangguk.

"Kenapa dengan ayat ini?"

"Terjemahan nya." Hana memberitahu nya. "Coba baca deh."

Azzam awalnya membaca ayat tersebut sebelum akhirnya membacakan terjemahan nya. "Apabila manusia ditimpa kesusahan, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Namun, setelah Kami hilangkan kesusahan itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) kesusahan yang telah menimpanya. Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas itu apa yang selalu mereka kerjakan. Alquran surah Yunus ayat 12." Azzam membacakan terjemahan nya. Hana menganggukkan kepalanya, sekaligus merasa merinding.

"Allahuakbar..."

Hana memegangi dada nya, nafas nya menghembus. Sementara Azzam mengusap pundak Hana dan menganggukkan kepalanya.

"Kenapa, kamu menandai ayat ini." Azzam menanyakan itu. Hana menoleh ke arah nya dan memasang senyum sesaat.

"Karena, aku tau. Aku ngerasain. Ketika manusia mendapat banyak musibah, banyak kegelisahan, mereka berdoa kepada Allah, tapi ketika Allah memberi mereka ampunan dan melepaskan musibah nya, mereka mulai menjauh, seakan akan lupa bahwa mereka pernah meminta itu. Mereka datang kepada Allah dalam satu kondisi, padahal Allah selalu datang di setiap kondisi kita." Hana menjelaskan terus terang.

Azzam tersenyum mendengar itu. Ia mengusap kepala istri nya.

"Na, apapun kondisinya, jangan pernah menyerah dalam jalan Allah. Sebab, Allah tidak pernah menunda pintu ampunan nya, sampai matahari terbit dari Barat."

Perempuan itu ikut tersenyum dan terkekeh kecil. Ia mengangguk.













ah, ya maaf. aku jarang bikin adegan plot twist, tapi ya... aku harap, semoga part ini nyambung ya 😭

oh ya, setelah pertimbangan yg amat matang, aku udah rencanain ending nya dari tiga ending yang ku survey 😎

kira kira, kalian mau nya sad/happy/gantung?

btw, follow ig nya dulu :
@storyknur
@mhmdd_azzam
@hanaafsheen_
@pageofalaska2

UPDATE ? (KALAU TARGET NYA TEMBUS)

TARGET : 700 VOTE+1K KOMEN 👏 (makasih)

WAJIB SPAMM :

ALLAHUAKBAR >

ASTAGHFIRULLAH >

ALHAMDULILLAH >

NEXT >

UPDATE >

SEMANGAT KAKNUR >

sekian, terima gaji.

Continue Reading

You'll Also Like

3M 151K 25
(Romance - Spiritual) Nayanika Adzkia Talita, seorang gadis yang suka sekali dengan dunia malam. Balapan motor, berkumpul dengan teman laki-laki, dan...
122K 9.6K 38
"Yayah! Mau kan jadi Yayah benelannya Aila?" tanya Aira dengan begitu gemas. Fadhil tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepala gadis kecil di gen...
6.4K 169 50
Puisi adalah perwakilah hati yg paling dalam. BERAWAL DARI KATA BERAKHIR DENGAN KARYA 🖊 (COMPLETE) Murni pemikiran sendiri 😉 Free Copas. Selamat Me...
389 60 8
Tentang sebuah cerita asmaraloka antara Aksa Nawasena Bhumantara dengan Vanaella Allexana Zhea Aksa, Anka, Allexa Dibaca yuk! Semogaa kalian suka🤍 ...