Best Scandal

desiariaa

1.8K 233 23

Ada sepuluh siswa pilihan yang menjadi panutan siswa-siswa lain sekaligus menjadi andalan para guru di SMA Tr... Еще

Scandal - 1
Scandal - 2
Scandal - 3
Scandal - 4
Scandal - 5
Scandal - 6
Scandal - 7
Scandal - 8
Scandal - 9
Scandal - 10
Scandal - 11
Scandal - 12
Scandal - 13
Scandal - 14
Scandal - 15
Scandal - 16
Scandal - 17
Scandal - 18
Scandal - 19
Scandal - 20
Scandal - 21
Scandal - 22
Scandal - 23
Scandal - 24
Scandal - 25
Scandal - 26
Scandal - 27
Scandal - 28
Scandal - 29
Scandal - 30
Scandal - 31
Scandal - 32
Scandal - 33
Scandal - 34
Scandal - 35
Scandal - 36
Scandal - 37
Scandal - 38
Untitled Part 39
Scandal - 40
Scandal - 41
Scandal - 42
Scandal - 43
Scandal - 44
Scandal - 45
Scandal - 46
Scandal - 47
Scandal - 48
Scandal - 49
Scandal - 50
Scandal - 51
Scandal - 52
Scandal - 53
Scandal - 54
Scandal - 55
Scandal - 56
Scandal - 57
Scandal - 58
Scandal - 59
Scandal - 60
Scandal - 61
Scandal - 62
Scandal - 64
Scandal - 65
Scandal - 66
Scandal - 67
Scandal - 68
Scandal - 69
Scandal - 70

Scandal - 63

15 0 0
desiariaa

Ribi tak berhenti tertawa sambil menceritakan apa yang terjadi di sekolah dari hari sejak ia dan ke-5 mantan anggota BEST kembali, disusul dengan Seven, Sakaris dan Sana yang juga kembali di 2 hari berikutnya. Tentu saja itu tentang BEST gen-46 dengan kepemimpinan Abyasa yang menurutnya morat-marit. Hingga hari ini, jumlah kubu yang pro Abyasa dinilai mulai berkurang dan beralih ke kubu pro BEST gen-45.

"Pokoknya seru banget, Ver! Apalagi kalo lo liat tampangnya! Kocak tau nggak? Ya kesel, ya gondok, ya marah, ya dendam juga kali ya!"

Yang Ribi ajak bicara sejak tadi, tampak tidak ikut terbawa suasana. River diam. Tidak ikut tertawa. Satu-satunya yang ia lakukan hanya memperhatikan wajah Ribi. Masalahnya bukan karena cerita Ribi membosankan atau Ribi jelek dalam menceritakan sesuatu. Masalahnya adalah apakah River akan bisa melihat wajah kesal, wajah gondok, wajah marah dan wajah dendam Abyasa?

Hari ini sudah hari Sabtu. Hanya tersisa 1 hari baginya untuk bisa membuktikan dirinya tidak bersalah untuk skandal yang terjadi di masa lalu. Namun hingga hari ini, ia masih belum menemukan titik terang. Satu-satunya harapan yang ia punya, masih sulit ia hubungi.

"Ver? Halo, River! Lo dengerin gue nggak sih?" akhirnya Ribi sadar jika sedari tadi River tidak menyimak ceritanya.

"Seru banget kayaknya ya. Tanpa gue." kata River sambil membuang muka.

Di detik inilah Ribi baru sadar kalau River tidak menyukai ceritanya. Padahal niat Ribi bercerita seperti ini adalah untuk memberi tau perkembangan serta update peristiwa di sekolah yang River tinggalkan. Sama sekali Ribi tidak bermaksud untuk membuat River iri karena River tidak—belum bisa ikut bergabung bersamanya dan yang lain. "Sori." Ucap Ribi kemudian dengan pelan.

River hanya diam sambil mengambil gelas minuman di depannya.

"Jadi, lo udah sampe mana?" tanya Ribi hati-hati.

River menggelengkan kepalanya.

Kedua alis Ribi segera mengerut. Ia langsung lemas. "Ver..."

River hanya menghembuskan nafasnya kasar sambil bersandar pada sandaran sofa.

"Nyokap lo gimana? Waktu itu kan dia bilang nggak bakal tinggal diam, Ver? Terus bokap lo juga nggak bakal tinggal diam kan?" selemas-lemasnya Ribi, Ribi masih berharap agar apa yang terjadi pada River masih bisa diperjuangkan.

Lagi-lagi River menggelengkan kepala.

"Ver, jangan gitu dong!" seru Ribi sontak meremas lengan River.

"Selain gue, di rumah juga ada masalah lain."

"Masalah apa?" tanya Ribi cepat.

"Hunter."

Kening Ribi mengerut, "Hunter kenapa?"

"Dia ketauan make."

Remasan Ribi di lengan River sontak terlepas. Bersamaan dengan itu, kedua matanya membulat maksimal. "Hah? Maksud lo make narkoba?"

"Apalagi?"

Ribi terdiam. Mendadak ia ikut bingung dengan masalah yang tengah dihadapi oleh keluarga River. Ia ikut menyandar di sandaran kursi dengan tatapan kosong ke depan.

River meliriknya heran. Kenapa jadi Ribi yang malah kelihatan depresi?

"Jadi, lo udah nentuin mau pindah ke SMA mana? SMA Tantular? SMA Prapanca? SMA Soebroto? Kasih tau gue, Ver. Biar gue bisa nyiapin berkas sekarang juga." gadis itu menoleh, menatap kedua mata River lurus dan serius.

"Hah?" River heran sejadinya.

"Atau mau SMA Adhyaksa? SMA itu bagus juga, Ver."

Kedua ujung bibir River pun terangkat. Cowok itu tidak tahan untuk tidak tersenyum geli karena ucapan Ribi. "Kenapa jadi lo yang heboh nyari sekolah baru?"

"Udah gue bilang, lo pindah SMA, gue juga ikut pindah SMA." Tegas Ribi mengingatkan apa yang pernah Ribi ucapkan dulu.

"Jadi lo serius mau ngikutin gue kemana pun?" satu alis River terangkat.

"Ya."

"Ternyata lo bisa sebucin ini ya?" ledek River.

Ribi hanya memajukan bibir sambil memeluk satu lengan River. Lalu ia jatuhkan kepalanya di atas bahu cowok itu. "Bukannya udah dari dulu?"

Sambil menatap kepala cewek itu, River pun tersenyum. "Thank you for loving me." Katanya kemudian dengan lembut, selembut kecupannya di kepala Ribi.

"Kayak lagunya Bon Jovi aja." Gumam Ribi dengan wajahnya yang bersemu merah.

"Lo tau?"

"Tau lah."

"Coba nyanyiin."

"Nggak mau!"

"Malu karena suara lo jelek?"

"Sialan!"

Mereka berdua pun sama-sama tertawa sampai kemudian terdengar bunyi getar ponsel River. Karena getaran itu, Ribi terpaksa mengangkat kepalanya dari bahu River. Sambil memperhatikan River yang tengah memeriksa ponselnya, Ribi bertanya, "Siapa sih? Gangguin orang aja."

River tidak menjawab. Namun wajahnya menunjukkan ekspresi yang jika dinarasikan itu seperti itu akhirnya kamu mendapatkan sesuatu dari hal yang telah lama kamu tunggu. Seperti itu. Dan benar saja, cowok itu bergegas dan bersiap untuk pergi.

"Ver?" Ribi bertanya heran sekaligus penasaran.

"Gue harus pergi sekarang." Jawab River.

Ribi langsung melirik jam dinding di kamarnya. "Apaan sih, Ver? Masih jam 8. Gue juga belum ngantuk." Tentu saja Ribi bete. Sebab malam Minggu ini adalah hari pertama Ribi bertemu kembali dengan River setelah pulang dari pulau Macan.

"Bukan SMA Tantular, SMA Prapanca, SMA Soebroto atau SMA Adhyaksa. Kita bakal tetep sama-sama di SMA Tribe sama yang lain juga sampe kita lulus nanti." Kata River sambil tersenyum.

"Hah? Gue nggak ngerti. Maksud lo apa sih?" Ribi benar-benar bingung.

River tidak menjelaskan lebih lanjut. Yang ia lakukan hanya mengecup bibir Ribi sekilas. Kemudian ia pun segera berdiri sembari mengatakan sebuah kalimat, "See you Monday."

Setelah membiarkan Ribi mematung karena tindakan dan ucapannya, cowok itu pun pergi dari kamar hotel tempat Ribi menginap seperti malam-malam sebelumnya.

**

Ribi segera menghembuskan nafasnya kasar begitu kaca mobil di depannya terbuka dan memperlihatkan sosok Denver.

"Morning." Sapa cowok itu dari balik setir, tanpa keluar dari mobil.

"Jadi lo mau apa?" tanya Ribi to the point dengan niat cowok mengajaknya bertemu. Bukan, lebih tepatnya Denver pergi ke hotel tempat Ribi menginap yang bukan lain adalah hotel milik papanya sendiri. Namun Ribi tidak mengijinkan cowok itu untuk menjemputnya sampai di kamar. Cukup sampai di basement saja.

Tanpa mengatakan apa-apa, Denver hanya memberi kode pada Ribi agar gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Dengan ogah-ogahan, Ribi terpaksa mengikuti. "Lo nggak tidur semalem?" tanya Denver begitu gadis itu sudah duduk di sampingnya dengan wajah kusut.

"Gimana gue bisa tidur, nasib River belum tau mau gimana." Ribi menjawab jujur sejujur-jujurnya tanpa ada niat menutupi sama sekali tentang alasannya tidak bisa tidur semalaman. Belum lagi, setelah River pergi pukul 8 tadi malam, River hanya mengirim satu pesan yang isinya:

Rumah chaos.

Denver segera menghembuskan nafas kasar dan segera menyalakan mobil meninggalkan basement hotel.

"Mau kemana sih?" tanya Ribi.

"Ntar juga lo tau."

Mobil pun melaju dan melesat pergi dengan kencang. Menuju ke sebuah tempat yang dalam hitungan sekitar 1 jam, membuat Ribi terkejut. Tepatnya ketika mereka sampai di sebuah area pemakaman.

"Ver, siapa yang meninggal?" tanya Ribi heran sekaligus penasaran.

Denver mendengus. "Otak lo terlalu banyak dikontaminasi sama River sampe lo lupa kuburan temen lo sendiri."

Ribi tersentak bukan main dan mendadak merasa bodoh bukan kepalang setelah menyadari kalau ini adalah area pemakaman tempat temannya, teman Denver dan teman River beristirahat.

Segera setelah Denver keluar dari mobil tanpa bicara apa-apa, Ribi mengikutinya. Dan langkah kedua remaja itu sama-sama terhenti ketika sudah tiba di depan sebuah makam yang sudah tidak baru lagi. Namun di dekat pusara, terlihat satu buah buket bunga mawar yang segar.

Denver segera berjongkok dan mengambil bunga itu. "Ada yang habis dari sini." Katanya singkat.

Hanya satu nama yang terlintas di pikiran Ribi saat Denver mengatakan itu. Jika memang ada orang yang lebih dulu datang mengunjungi makam ini, maka orang itu kemungkinan besar adalah River.

"Cih!" tanpa sadar Denver mendecih dan tersenyum sinis. Bukan hanya Ribi, Denver juga memikirkan satu nama yang sama persis dengan yang Ribi pikirkan. "Mau apa tuh orang ke sini? Mau minta pertolongan Enzo?"

"River emang nggak alim. Tapi gue yakin dia bukan termasuk golongan orang syirik." Kata Ribi ikut berjongkok di samping Denver.

Ya, ya, ya. Denver tidak lupa kalau Ribi pasti akan selalu memasang badan untuk River. Karena itu, Denver tidak mau menanggapinya lagi. "Lo tau hari apa sekarang?"

Sejujurnya Ribi tidak terlalu tau sampai ia menemukan jawabannya sendiri dengan melihat tanggal kematian di pusara bernama Enzo. "Hari kematiannya."

"Ya. Tepat 2 tahun Enzo pergi ninggalin kita." Denver mengelus pusara Enzo. Terlihat jelas raut sedih di wajahnya.

Ribi hanya diam, menunduk sembari merapatkan kedua tangan. Rupanya ia tengah berdoa. Berdoa untuk Enzo, sesuai yang ia bisa.

"Harusnya sekarang Enzo masih bareng sama-sama kita, Bi. Kalo aja River nggak ngebunuh dia." Kata Denver setelah Ribi selesai berdoa.

Tanpa menoleh pada Denver, Ribi menyahut. "Apa pantes ngomongin itu sekarang di depan kuburan Enzo?"

"River yang udah bunuh Enzo, Bi. Lo harus percaya itu." ucap Denver dengan kedua gigi atas dan bawah yang saling beradu.

Ribi menghembuskan nafasnya berat, kemudian berdiri. "Makasih lo udah anter gue ke sini dan udah ingetin gue soal Enzo."

Denver yang masih berjongkok itu kemudian mendongak, menatap wajah Ribi.

"Gue pulang duluan." Pamit Ribi lalu pergi meninggalkan Denver.

Denver meringis sengit. Kepercayaan Ribi pada River benar-benar kuat. Bahkan terlalu kuat hingga tak goyah sama sekali. Hal itu membuat Denver makin kesal. "Bi, apa gue harus bikin River sama kayak Enzo biar lo bisa berhenti percaya sama apa yang lo percaya?"

Ucapan itu sontak membuat langkah Ribi terhenti. Ribi segera membalikkan badan. Dengan wajah yang mengerikan, Ribi balas menatap Denver yang kini tengah berdiri menatapnya. "And then I'll kill you too, Denver. I swear."

Tangan Denver pun mengeras, sama hal dengan rahangnya.

**

Siapa yang tidak tau dengan istilah F4 di SMP Dasadarma? Yaitu sebutan untuk empat kawanan siswa yang terdiri dari 3 cowok dan 1 cewek. Enzo, Denver, River dan Ribi. Sejak kelas 7, mereka sudah terkenal karena selain visual, tentu saja karena pengaruh serta dominasinya. Sampai-sampai, tak ada yang berani mendekati mereka.

Sampai suatu ketika, tepatnya saat mereka semua naik ke kelas 9, Ribi mulai merasa ada yang mengganggunya. Gangguan itu bukan datang dari cowok-cowok tengil yang berusaha mendapatkan perhatiannya. Bukan cowok-cowok rese yang berusaha mengusiknya. Mana mungkin ada cowok yang berani melakukan itu kepada Ribi selagi di samping Ribi ada 3 pawang yang selalu siap sedia untuknya?

Betul sekali. Sebagai satu-satunya cewek di antara tiga cowok, Ribi amat angat dijaga dan dilindungi. Enzo, Denver dan River tidak akan membiarkan cowok mana pun mengganggu Ribi. Yah, jangankan menganggu, mengijinkan cowok-cowok yang ingin mendekati Ribi juga tidak mereka perbolehkan. Sampai-sampai Ribi kesusahan sendiri mencari teman cowok lain selain mereka karena mereka terlalu over protective.

Awalnya memang Ribi kesal dan merasa terkekang. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa. Bahkan ia juga merasa, tidak butuh teman-teman cowok lain selama ada tiga orang cowok itu bersamanya.

Lalu apa gangguannya? Gangguan datang dari seorang siswi pindahan baru bernama Azula. Azula ini bisa dibilang cantik. Bahkan anak-anak lain tak segan membandingkan kecantikan Azula dengan Ribi. Banyak yang bilang kalau Azula lebih cantik. Tapi masih lebih banyak yang bilang kalau Ribi lah yang lebih cantik.

Hal itu sebenarnya tidak begitu Ribi hiraukan. Pun dengan Azula sendiri. Masa bodo ia dengan pendapat orang tentang siapa yang cantik, siapa yang lebih cantik dan siapa yang paling cantik. Namun, ada satu masa di mana Ribi merasa terganggu dengan perkataan Azula saat mereka bertemu untuk pertama kalinya.

"Oh, jadi ini ya, yang namanya Ribi?"

Satu alis Ribi terangkat, "Kenapa?"

"Anak-anak bilang, kamu cantik banget. Ya, aku pikir beneran cantik banget dong. Ternyata..." Azula mendekati Ribi, kemudian membisikinya sesuatu, "Biasa aja."

"Hah?" Ribi sedikit tidak percaya. Tidak, bukan masalah kalau ia menilai Ribi tidak secantik menurut versinya. Tapi cara Azula berbicara itu yang membuat Ribi kesal dan geram.

"Hai, temen-temennya Ribi!" selanjutnya Azula segera mengalihkan perhatiannya pada Enzo, Denver dan River. "Kamu pasti yang namanya Enzo ya? Kalo kamu Denver dan kamu yang paling tampan pasti River?" dengan senyum manisnya, gadis itu menyebut ketiga nama teman-teman Ribi satu per satu.

"Mau apa lo?" ujar Denver tidak suka.

Azula menggeleng pelan dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. "Kalo kontrak kalian jadi bodyguard-nya Ribi udah habis, aku boleh ngontrak kalian buat jadi bodyguard aku nggak? Aku juga butuh dilindungi dan dijaga kayak Ribi yang selalu kalian jaga dan lindungi."

"Buruan ke kantin, Bi. Gue udah laper." Tidak peduli dengan omong kosong Azula, River pun menghampiri Ribi. Namun dengan cepat Azula memotong langkahnya.

"Jangan buru-buru, Ver." Kata cewek itu sembari memainkan dasi River. "Kalian berdua juga, jangan buru-buru. Aku belum selese berdiplomasi."

"Nggak ada yang perlu lo omongin lagi." tukas River sembari menepis tangan Azula hingga dasinya pun terlepas dari genggaman Azula.

Denver pun menepuk bahu Enzo dan segera mengajaknya untuk pergi bersama River dan Ribi.

Namun lagi-lagi Azula tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja. "Gue yakin gue bakal bisa lebih muasin kalian daripada Ribi."

Ribi, River, Denver dan Enzo seketika menoleh padanya.

"Maksud lo apa?" desis Ribi makin geram bukan main.

Senyum Azula kembali terkembang. "Aku nggak sepolos itu, Bi. Ya kali, mereka mau-mau aja jadi bodyguard kamu kalo kamu nggak ngasih tubuh kamu."

Detik itu juga, Ribi langsung menerjang Azula. Perkelahian antara dua gadis cantik itu pun tak bisa dielakkan.

**

Akibat dari perkelahian itu, wajah cantik Ribi terpaksa harus ditempel plester di beberapa bagian. Bahkan ia juga harus di-skors selama 1 minggu karena diduga sebagai biang dari perkelahian itu. Sedangkan Azula? Berkat perkataannya yang manis, ia berhasil lolos karena ia diposisikan sebagai korban.

Bagi Ribi, rasa sakit di wajahnya belum seberapa dengan rasa sakit karena ucapan Azula yang jelas tidak ada benar-benarnya! Pertemanan antara Ribi dan ketiga cowok itu pure. Tidak ada istilah friends with benefit atau hal-hal semacam itu. Lagipula, mereka masih SMP! Masih belum memikirkan hal-hal seperti itulah!

"Gue butuh bantuan kalian bertiga." Ucap Ribi di hadapan ketiga temannya.

"Apa?" tanya River.

"Gue pengen kalian bertiga berlomba, ah, nggak. Berlomba terlalu bagus. Oke, gue pengen kalian ngajak kalian bertiga taruhan. Taruhan buat deketin Azula. Terus pacarin dia. Terus putusin dia pas lagi cinta-cintanya." Otak licik Ribi bekerja. Bibirnya menyeringai seperti iblis.

"Ngaco!" sembur River tidak setuju sama sekali.

"Ayolah, Ver. Demi sakit hati gue. Gue sakit hatiiiiii bangeeeeeeet dikatain yang nggak-nggak sama dia." Gadis itu merajuk manja sambil merangkul leher River dari belakang.

Denver yang melihat Ribi begitu lengket dengan River hanya bisa menahan diri. Hal-hal seperti ini bukan hal yang baru. Di antara dirinya, Enzo dan River, memang Ribi terlihat paling dekat, paling nyaman dan paling sering membuat kontak fisik dengan River.

"Bi, terlalu sadis nggak sih?" ujar Enzo.

"Itu dia tujuannya! Biar dia kapok! Biar dia tau rasa dengan siapa dia berurusan!"

"Taruhannya apa?" berbeda dari River dan Enzo, Denver sepertinya setuju.

"Terserah, kalian maunya apa?"

"Lo yakin terserah kita?" satu alis Denver terangkat.

"Ya. Selama itu nggak ngerugiin gue."

Denver langsung mendengus kecewa.

"Nggak. Gue bisa bantu lo mikirin cara lain selain itu." River tetap tidak setuju.

"Ver, please." Ribi mendekatkan bibirnya ke telinga River. Memohon sambil berbisik.

"Oke. Gue setuju!" ujar Denver.

"Ver? Lo serius?" Enzo tidak percaya.

"Kenapa? Toh dia bukan siapa-siapanya kita kan?"

"Ver—"

"Kalo lo keberatan, biar gue sama Enzo aja." Potong Denver pada River.

Akhirnya ketiga cowok itu pun setuju untuk bertaruh. Berpura-pura mendekati Azula, berpura-pura menjadi pacarnya, tetapi asli memutuskannya pada saat ia cinta-cintanya.

"Ingat rules-nya. Kalian jangan sampe beneran jatuh cinta sama dia ya?" kata Ribi mengingatkan sebelum mereka bertiga memulai untuk perang.

Singkat cerita, ketiga cowok itu pun telah memulai perang mereka. Waktu mereka perang terbilang cukup singkat. Karena hanya dalam waktu 6 minggu, sang pemenang telah terpilih. Yaitu Enzo!

Denver kesal bukan main. Pasalnya ia sudah berharap minta sesuatu pada Ribi. Tapi karena ia kalah, ia tidak bisa mendapatkan hak istimewa itu. Sebaliknya, justru Enzo yang mendapatkannya.

"Gue nggak mau apa-apa, Bi." Di luar dugaan, Enzo tidak menginginkan apa pun! Enzo bilang, yang harus ia lakukan hanya membantu Ribi membalaskan rasa sakit hatinya pada Azula.

Perjalanan cinta pura-pura antara Enzo dan Azula pun resmi dimulai. Karena harus berperan menjadi pacar Azula, kontan Enzo jadi sering absen berkumpul bersama Ribi, River dan Denver. Enzo jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama Azula. Dan dari kebersamaan yang sering Enzo lewati bersama Azula, Enzo mulai merasa nyaman dengan Azula. Bahkan Enzo sampai ada di titik telah benar-benar jatuh hati pada Azula dan tak berniat memutuskannya.

Tentu saja Ribi marah. Ini tidak seperti prediksinya. Bagaimana pun, Ribi mau Enzo memutuskan Azula sesegera mungkin.

"Nggak, Bi. Sori, gue nggak bisa. Gue beneran sayang, gue beneran cinta sama dia, Bi." Begitu kata Enzo.

"Lo dipelet sama dia?"

Sebelum terjadi pertengkaran hebat antara Ribi dan Enzo, River dan Denver buru-buru melerai mereka dan membawa mereka ke tempat yang terpisah. Denver membawa Enzo, sedangkan River membawa Ribi. Itu adalah pilihan yang tepat karena hanya River yang bisa mengatasi Ribi jika gadis itu tengah marah.

Setelah pertengkaran singkat Ribi dan Enzo, waktu pun kembali berjalan dan berlalu. Dengan Enzo yang jadi semakin jarang bertemu ketiga temannya. Di sekolah, mereka juga seringnya berduaan. Kemana-mana berduaan. Sampai-sampai mereka berdua dijuluki pasangan paling bucin sesekolah.

Jika kalian pikir hanya Ribi yang mengatur permainan, maka kalian keliru. Tanpa pernah siapa pun tau, Azula juga melakukan hal yang sama. Malah bisa dibilang, permainan yang Azula atur ini lebih lancar dari Ribi. Ya, Azula sengaja memilih Enzo untuk ia jadikan pacar bukan karena memang ia menyukai cowok itu. Azula hanya berpura-pura menjadi pacar Enzo untuk bisa mendekati cowok yang benar-benar ia sukai, yaitu River.

Azula tau, dari ketiga cowok yang mendekatinya, River inilah yang terlihat paling tidak niat, paling tidak ada usaha dan paling dingin terhadapnya. Dari situ, Azula sadar kalau ia tidak bisa mendekati atau bahkan mendapatkan River. Akhirnya, Azula memilih untuk memutar manuver dan menjadikan Enzo sebagai pilihannya. Sembari ia berpacaran dengan Enzo, ia mencari informasi tentang River.

Salah satunya adalah, River suka tidur di rooftop jika sedang mengantuk. Azula sudah amat menantikan moment ini. Memperhatikan River yang tertidur di bangku yang sedikit kepanasan. Namun hal itu tidak membuat River terganggu. Cowok itu tetap tampak tenang tertidur tanpa menyadari ada sesuatu yang mendekati dirinya.

Azula mencium bibirnya.

"Ngapain lo di sini?"

"Hai. Kamu udah bangun?"

Entah kenapa, River mencium ada sesuatu yang tidak beres.

"Ver, gimana kalo kita pacaran? Daripada Enzo, sejujurnya aku lebih suka kamu." kata Azula dengan memajukan wajahnya ke depan wajah River.

Yang membuat River makin yakin kalau ada yang tidak beres adalah, tiga kancing teratas kemeja Azula terbuka.

"Ri... Ver..." pintu rooftop terbuka. Muncul Enzo yang terkejut melihat keberadaan Azula di tempat yang sama bersama River.

"River, berhenti!" Azula sengaja menjatuhkan diri di hadapan River yang masih terduduk di bangku. Tak lupa, Azula memegangi seragam bagian atas.

"Kalian... Ini... Ada apa?" Enzo mulai mendekati mereka.

"Zo, ini cewek yang beneran lo suka?" River menunjuk cewek yang masih di lantai itu dengan telunjuknya.

"Enzo... River, Zo... River... River berusaha ngelecehin aku." gadis itu menangis.

Sontak Enzo langsung berlari ke arahnya untuk memeriksa keadaan Azula. Betapa terkejutnya Enzo, melihat kancing baju Azula yang terbuka sehingga memperlihatkan bra di baliknya.

Gadis itu jatuh ke pelukan Enzo. Berpura-pura meluapkan seluruh tangis dan emosinya. "Aku takut, Zo. Aku takuuut..."

"Zo! Lo jangan percaya apa katanya!" seru River. "Ini nggak kayak yang lo liat!"

Mata Enzo melirik tajam. Baginya, semua sudah jelas. River telah melecehkan kekasihnya. Tidak mungkin baginya untuk tidak marah. Enzo pun segera melepas pelukan Azula dan berdiri menghadapi River. Tanpa babibu, Enzo segera memukul River.

"Bajingan lo, Ver! Brengsek! Bangsat!" Enzo menduduki perut River dan memukuli River bertubi-tubi. River sendiri berusaha melindungi kepalanya.

Azula di tempatnya, terkekeh geli melihat perkelahian dua cowok itu. Sesekali ia bersiul sambil merekam kejadian itu di ponselnya.

Tak tahan lagi terus dipukuli oleh Enzo, River akhirnya melawan. Dengan sekuat tenaga, ia memukul balik Enzo. Sayangnya, soal adu fisik seperti ini, Enzo memang lebih unggul dari River. Karena itu, Enzo mampu menghadapi River dengan mudah.

Hingga River terpojok. Bukan di pojokan. Tapi di tepi rooftop. River mulai hati-hati. Sedikit salah langkah saja, bisa dipastikan nyawa River melayang. "Zo, dengerin gue. Kita bicarain ini di tempat lain."

"Nggak, Ver. Kita selesein ini di sini. Sekarang." Enzo mendesis dan memajukan langkah menghampiri River.

River makin terpojok. Pada moment itu, River sudah pasrah. Jika memang waktu hidupnya di dunia hanya sampai hari ini, ia pasrah. Jika memang begini jalannya, ia pasrah. Jika memang di tangan temannya nyawanya dihabisis, ia pasrah.

"Zo, lo salah satu temen terbaik yang gue punya..." kata River untuk terakhir kalinya.

BRUGG!

Terdengar suara sesuatu yang menghantam tanah. Setelah ditelusuri, rupanya itu adalah tubuh manusia yang terjatuh dari atap. Dua orang siswa yang melihatnya segera menjerit histeris sejadinya.

Bukan tubuh River, melainkan tubuh Enzo. Bukan waktunya bagi River, tapi waktunya untuk Enzo. River yang semula sudah pasrah, entah mendapat kekuatan dari mana, untuk bisa menghindari serangan terakhir Enzo. Namun hal itu membuat Enzo kehilangan tumpuan, kehilangan keseimbangan yang berujung pada kehilangan nyawa.

Продолжить чтение

Вам также понравится

[1] Dear Mr Nerd | ✔ Unknown Ghost

Подростковая литература

706K 38.6K 40
Berawal dari tantangan, berubah menjadi sebuah kenyamanan. NO PLAGIARISM! COPY! ATAU SEJENISNYA. Highest rank: #8 General Fiction (28 Agustus '16) ...
Katanya Mantan [TAMAT] Lula Thana

Подростковая литература

2.3M 243K 59
"Je, lo beneran nggak pacaran lagi sama Ganesh?" "Iya, kan gue juga udah bilang putus sama dia 30 Januari." "Terus kenapa dia masih suka perhatiin lo...
SENJA NATA [END] Murti Mutolaah

Подростковая литература

5.7K 299 47
Selesai. Dan nggak di revisi. Wkwk:) Selalu ada cara tersendiri untuk menikmati senja. Selalu ada kenyamanan tersendiri ketika melihat senja tenggela...
Warm In The Arms ✔ Ness 📸

Подростковая литература

2.7M 198K 74
"Ketika orang yang paling dibenci, berubah menjadi orang yang paling disayang." Dia yang tidak kamu sukai. Dia yang masuk ke dalam daftar orang-orang...