I'm Your Brother ✔

Bởi De_Ria

25.3K 2.3K 3.1K

⚠️17+ Mengandung kekerasan ⚠️Dengan Follow, Vote, Komen, Share kalian sebagai Readers ngehargai gue sebagai p... Xem Thêm

PROLOG
1|Lo Pembunuh
2|Sebenci itu kah?
~CAST~
3|Alvaro dan Jalan Raya
4| Papa dan Mama
5| Lo Jahat Kak
6| Flashback
7|Luka
8|Merasa Sakit
9|Sandiwara Lidiya
10|Renggang
11| Demi Adek
12|Leonara dan Alvaro
13|Permainan
14|Tak Sengaja
15|Coklat dan Bunga
16| Astaga Laura
17|PR Matematika
18|Tapi Kenapa Re
19|Marah dan Maaf
20|Segelas Minuman
21| Tanpa Sadar
⚠️PROMOSI⚠️
22| Andrean dan Alvaro
23| Licik
24| Siapa yang bayar?
25| Re Kuat Demi Varo
26| Sebotol Jus Strawbarry
27| Bukan Re Pelakunya
28| Sakit
29| Perkemahan & Kejujuran
31| Dipaksa Kembali
32| Kencan Pertama
33| Berita Mengejutkan
33| Detak Yang Sama
34| Amarah Saka
35| Bahagia Itu Sederhana
36|Drama Ibu Tiri
37| Rahasia & Tipu Muslihat
38| Teror
39| Yang Datang Akan Pergi
40| Amarah Papa
41|Duka dan Dendam
42| Kecewa
43| Detik
44|Penculikan
45| Dalas Dendam
46| Pengorbanan
47| Varo & Kakak
48|Kenyataan
49| Tentang Kakak
50| Hanya Penyesalan |Epilog|
51|🥳Valak Comback🥳|15
⚠️PROMOSI⚠️
~ADA APA INI~

30| Perjuangan & Rasa Sakit

548 34 31
Bởi De_Ria

Hai anak bunda Valak tersayang apa kabar?

Kangen bunda gak sih??

Bunda cuman mo ngingetin

Jangan lupa tinggalkan jejak
Vote dan komen

"Jangan menjadi NINJA dengan menghilang tanpa meninggalkan jejak, bikin bunda sedih."

Tandai TYPO

Ria

Sesuai janjinya kepada dokter Hendra hari ini Andrean datang ke Rumah Sakit untuk melakukan cuci darah pertama kali. Sebelum membuka pintu ruangan dokter, Andrean menghela nafas pelan sembari tanganya tergerak mengetuknya beberapa kali.

"Permisi Om."

Dokter muda itu dengan segera menatap kearah cowok yang tengah berdiri di depan pintu dengan tatapan kosong, "Andrean silahkan."

Andrean membawa langkahnya lalu mendudukkan diri di hadapan dokter Hendra. "Hari ini HD pertama kamu," ucap beliau lirih, "Meskipun seharusnya sudah yang ke tiga kali."

Andrean hanya tersenyum tipis sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf Om, waktu itu Alvaro sakit. Terus Re ikut perkemahan jadi sibuk banget."

Dokter Hendra menghela nafas pelan, tanganya tergerak menyentuh tangan kiri Andrean, dengan segera ia mengecek tensi darah cowok itu. "Om HD itu disuntik ya?"

Dokter menghentikan aktifitasnya sebentar, menatap Andrean yang tiba-tiba mengajukan pertanyaan. "Iya. Akan ada dua jarum yang menjadi tempat keluar masuknya darah kamu, yang terhubung dengan mesin hemodialisis."

Mendengar itu Andrean meneguk paksa ludahnya. Membayangkan satu jarum saja sudah sakit apa lagi dua jarum yang akan menemaninya dua kali seminggu.

"Andrean?"

"I-iya O-om?"

Dapat dokter tangkap raut ketakutaan yang jelas tercetak di wajah pucat Andrean, tangan dokter Hendra terulur mengusap pelan rambut cowok itu. "Kamu mau sembuh kan? Kamu harus tenang, sekarang kamu ikut Om ke ruang HD."

Andrean menghela nafas pelan lalu bangkit dan berjalan mengikuti dokter Hendra. Sesampainya ruang HD mata Andrean mengedar menatap ruangan serba putih itu, sembari menunggu dokter kembali Andrean melangkah mendekati alat yang ada di dekat branker.

Sahabat barunya Andrean

"Hai alat yang baik, jangan terlalu sakit ya, kita kan teman," lirih Andrean sembari menyentuh alat hemodialisis itu. "Lo sahabat baru gue, kenalin gue Andrean Narendra. Gue minra jarumnya kecil aja, gue takut."

"Jarumnya sebesar ibu jari kamu, Andrean."

"Astaga tuhan!"

Seorang suster tertawa pelan saat melihat cowok itu terperanjat, ia melangkah mendekati Andrean sembari meletakkan beberapa alat medis.

"Kak suster tau nama saya?"

"Tau. Silahkan naik ke branker." Andrean menghela nafas pelan, meski keringatnya sudah mengalir deras ia tetap berusaha terlihat baik-baik saja.

"Nama kamu Andrean Narendra, usia 17 tahun, gagal ginjal stadium 2?" Andrean menganggu kecil.

Detik setelahnya ia menagang saat suster meraih tangan kirinya sembari menekan beberapa kali seolah mencari sesuatu. Ia hanya bisa pasrah, "Tuhan semoga tidak mengerikan."

Andrean terbaring lemah sembari matanya terus menatap darahnya yang berputar di dalam alat hemodialisis. Tubuhnya terasa lemas, energinya semua terkuras habis.

Ia cukup banyak berteriak saat dokter dan suster memasangkan jarum di tanganya, belum lagi gejolak mual yang tak tertahankan sedang mengujinya.

Andrean mencoba tidur tapi tubuhnya menolak istirahat. Tak lama pintu terbuka menampilkan dokter Hendra dan seorang anak kecil perempuan berjalan kearahnya.

"Andrean bagaimanana kondisi kamu, ada yang kamu rasakan?"

"Mual dan sesak banget Om," lirihnya.

Dengan segera dokter Hendra memasangkan nasal kanula di hidung Andrean. "Kakak tadi teriaknya keras banget, Rea sampai terkejut."

"Maaf, tapi Kakak takut jarum." Dokter Hendra hanya tersenyum tipis, tanganya tergerak mengusap jemari Andrean. "Kamu istirahat Andrean, HD masih lama. Jangan sampai kondisi kamu menurun."

"Rea, kamu mau temenin Kak Andrean disini?" Dengan penuh semangat Rea mengangguk dan segera naik keatas branker, mendudukkan diri didekat Andrean. Mata anak itu tertuju pada tangan kiri Andrean yang terdapat alat medis.


"Lihat ini Rea jadi ingat saat pertama kali kemo, rasanya sakit banget sampai nangis. Kalau saja Rea diberi kesempatan sembuh Rea ingin terus hidup," ucap anak itu sembari memeluk Andrean.

Tanpa sadar air mata cowok itu mengalir saat mendengar harap anak kecil di dekatnya, begitu indah sekali. Tangan kanan Andrean tergerak membalas pelukan anak itu yang begitu erat, mereka saling menguatkan satu sama lain.

"Tuhan, cukup Rea yang sakit, sembuhkan Kak Andrean."

Andrean berjalan gontai memasuki mensionya, ia baru saja pulang dari rumah sakit. Tubuhnya begitu lemas belum lagi gejolak mual masih terasa sampai sekarang.

"Astaga Aden pucat gitu, Aden sakit?" Bi Ida segera menghampiri anak majikanya yang baru pulang, raut khawatir jelas tercetak di wajah wanita pruh baya itu.

"Papa dimana Bi?"

"Tuan dan Nyonya sedang  ada keperluan keluar kota," jelas Bi Ida. Andrean memejam singkat saat rasa nyeri kembali menjalar.

"Bi tolong anterin air panas buat kompres ya, Re ke kamar dulu."

Bi Ida hanya mengangguk namun pandanganya masih menatap punggung Andrean yang mulai menghilang tertelan jarak.

Sesampainya kamar cowok itu segera berganti pakaian, senyum sendu terukir di bibir pucatnya saat melihat pantulan dirinya dicermin yang sangat memprihatinkan.

"Lo harus sembuh Re." Andrean lalu segera memakai kaos hitam polos saat mendengar pintu kamarnya diketuk seseorang.

"Aden permisi, ini airnya." dengan segera Andrean menghampiri Bi Ida  yang masih menatapnya intens sembari menyerahkan wadah lecil itu.

"Tangan Aden kok bengkak? Aden kenapa?"

Senyum tipis terulir di bibir Andrean, dengan segera cowok itu meraih tangan wanita paruh baya itu membawanya ke pipinya. "Bi, Re gak papa. Oh iya Re mau istirahat, kalau butuh sesuatu panggil aja."

Setelah Bi Ida pergi Andrean segera menutup pintu lalu membawa langkahnya menuju tempat tidurnya, tanganya tergerak mengambil kompres haid dari Laura lalu handuk kecil di dalam nakas.

Tubuhnya yang lemas bersandar pada tempat tidurnya, perutnya sangat sakit, belum lagi punggungnya terasa hampir patah. Dengan perlahan Andrean mengompres tangan dan perutnya, hingga getaran singkat di ponselnya mengalihkan atensinya.

Laura: 
"Jangan lupa nanti malan kerja ya Andrean."

Andrean mengulum senyum, sungguh cewek bernama Laura itu sangat berisik saat ia mengambil cuti.

Me:
"Iya bawel."

Laura:
"Gue pukul lo⚠️🙁😤"

Andrean terkekeh kecil tak bisa membayangkan raut kesal dari gadis itu.

Me:
"Ra nanti malam lo sibuk?"
"Gue butuh bantuan lo."

Laura:
"Apaa?😤"

Me:
"Nanti juga tau 🤭"

Setelah pesan terkirim Andrean kembali mencengkram erat perutnya, sungguh efek hemodialisis membuatnya lemah, dengan tangan bergetar Andrean segera meminum obatnya.

"Rea ingin terus hidup."

Andrean memejam singkat membiarkan butiran air mengalir dari matanya, "Bukankah tuhan selalu memberikan kebahagiaan? Tapi kenapa selalu menyedihkan jika yang datang kematian?"

"Astaga lo rela izin kerja demi ke toko mainan, gila ya lo," omel Laura sembari turun dari mobil Andrean.

"Gue gak gila, gue cuman ingin beli hadiah buat seseorang yang begitu kuat."

Andrean memasuki toko mainan itu dengan di ikuti oleh Laura. "Lo beli mainan buat siapa?" Andrean tak menggubris ia mengambil satu boneka beruanh lucu berwarna putih.


"Ra biasanya anak perempuan suka mainan apa?"

Laura nampak berfikir sekejap lalu mengambil boneka barbie, meski bingung dengan Andrean yang memberi  membeli mainan entah untuk siapa. Setelah dirasa cukup cowok itu segera membayarnya.

"Re, lo gak papa kan?" Tanya Laura khawatir saat melihat cowok itu memejam sembari mencengkram erat perutnya. "L-lo yang bayar, gue tunggu di mobil." Laura melongo sembari menerima kartu milik cowok itu.

"Tuh anak bandel kalau disuruh ke dukter.

Andrean membuka pintu mobilnya paksa lalu dengan tergesa ia membuka dasboard dan segera meminum obatnya, sungguh meskipun sudah HD tapi rasa sakit tak juga menghilang.

"Andrean bantuin gue dong," dengan segera cowok itu menghampiri Laura lalu memasukan barang-barang tadi ke mobil. Dengan wajah sebal Laura mendudukan diri diatas kap mobil, tak lupa tanganya menyodorkan kartu milik Andrean.

"Makasih ya Ra."

"Ya, gue minta lo ke RS. Periksa, kondisi lo payah! Pucet kek mayat tau," cowok itu hanya tertawa kecil.

"Dih malah ketawa, gue tau lo kaya tapi jangan pelit buat kondisi!" Andrean meringis pelan saat tanganya dicubit oleh Laura. Meski terlihat menyebalkan Andrean tau cewek itu khawatir pada keadaannya.

Pukul 23.30 malam Andrean berjalan menyusuri koridor rumah sakit sembari membawa beberapa barang di tanganya, ia bermaksud datang untuk menemui Rea.

Cowok itu menghela nafas pelan sembari membuka pintu ruang rawat, senyum sendu kecil terukir di bibirnya saat mendapati anak itu sudah tidur.  "Cantik..."

Anak itu bergerak perlahana lalu membuka matanya, senyum mengembang terukir di bibirnya saat melihat kedatangan Andrean. "Kejutan."

"Kak Andrean."

Andrean menyerahkan mainan serta boneka pada Rea lalu mendudukan diri di tepi branker, "Ini semua buat Rea, Kak?"

"Iya sayang, maaf kalau Kakak bangunin kamu." Rea menggeleng pelan lalu memeluk Andrean dengan erat, "Makasih ya Kak."

"Sama-sama sayang, semangat terus ya. Kakak yakin tuhan sayang sama kita."

Rea tersenyum tipis, mata anak itu tertuju pada pakaian kerja Andrean, sebelum anak itu bertanya kecupan lembut dari Andrean sudah mendarat di pipinya.

"Nikmati selagi bisa, jalani selagi bahagia, sebelum tuhan memaksamu diam untuk selamanya."

Jika bahagia itu  sakit, carilah celah sakit untuk bahagia

~Andrean Narendra~

Huhuhu... ada yang mau disampaikan pada

Andrean?

Rea?

Laura?

Bunda Ria?

Alvaro??

Ekspresi bunda saat ngetik part ini

Huhu ramaikan 100 readers lebih bisa up loh

Hehe bay bay

Banyakin komen

See you sad day

Spoiler part 31:

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

Aksara Bởi 🌥

Teen Fiction

128K 7.7K 25
[Completed] Kala kata tak lagi bermakna. Suaranya tak pernah didengar. Sakitnya tak pernah dirasa. Aksara dengan segala ceritanya. Membawa luka pada...
97.1K 9K 36
Bagi Angga, Aldi adalah jiwanya dan semestanya, Angga menjadikan Aldi sebagai porosnya. Begitupun sebaliknya. Mereka saling melengkapi satu sama lain...
8.2K 968 66
"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa s...
7K 744 22
sederhana,kisah dua kakak adik kembar yg memiliki banyak perbedaan. Perbedaan nasib yg membuat mereka sengsara. Masalah yg hadir dalam hidup mereka p...